SEPUTAR TENTANG TAFSIR AHKAM
F. Corak Penafsiran Klasik
2. Ibnu Katsir
9. Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan 10. Abu Ja'far bin Ahmad bin Ali Al-Katib.146
Katsīr dalam pengembangan karir keilmuannya, adalah di masa pemerintahan Dinasti Mamlūk.150
Di saat ia hidup, pusat-pusat studi Islam seperti madrasah-madrasah dan masjid berkembang pesat. Perhatian para penguasa pusat di Mesir maupun penguasa daerah di Damaskus sangat besar terhadap studi Islam. Banyak ulama- ulama ternama masa ini, yang akhirnya menjadi tempat menimba ilmu sangat baik bagi Ibnu Katsīr.151 Ibnu Katsīr juga banyak terlibat dalam urusan kenegaraan. Tercatat aktifitasnya pada bidang ini, pada akhir tahun 741 H. ia ikut penyelidikan yang akhirnya menjatuhkan hukuman mari atas seorang sufi Zindiq yang menyatakan Tuhan terdapat pada dirinya (hulūl). Tahun 752 H. ia berhasil menggagalkan pemberontakan Amir Baibugah ‘Urus, masa khalifah al- Mu’tadid. Bersama ulama lainnya, pada tahun 759 H. ia pernah diminta Amir Munjak untuk mengesahkan beberapa kebijakan dalam memberantas korupsi, dan beberapa peristiwa kenegaraan lainnya.152
Selama hidupnya Ibnu Katsīr didampingi seorang istri yang bernama Zainab, putri al-Mizzī yang masih terhitung sebagai gurunya. Beliau wafat pada hari kamis 26 Sya’ban 774 H., bertepatan dengan bulan Februari 1373 M.153
150 Kata Mamlūk berasal dari Bahasa Arab yang berarti budak belian,
yaitu budak-budak yang berasal dari Kaukakus, daerah perbatasan Turki-Rusia, Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), jilid III, 145-149.
151 Ibn Katsīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, jilid XIII dan XIV, 143.
152 Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsīr Ibnu Katsīr, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), 38.
153 Ibid, 39.
Sejak kepindahan Ibnu Katsīr bersama kakanya ke Damaskus tahun 707 H., ia mulai meniti karir keilmuan.
Peran yang tidak sempat dimainkan oleh ayah dalam mendidik, dilaksanakan oleh kakaknya, Kamāl ad-Dīn ‘abD al-Wahhāb. Kegiatan keilmuan selanjutnya dijalalni di bawah bimbingan ulama ternama di masanya.
Guru utama Ibnu Katsīr adalah Burhān ad-Dīn al- Farazī (660-729 H.), seorang ulama pengikut Mażhab Syāfi‘ī dan Kamāl ad-Dīn Ibn Qādī Syuhbah. Kepada keduanya ia belajar fiqh, dengan mengkaji kitab at-Tanbīh karya asy- Syirāzī, sebuah kitab furu’ Syāfi‘iyyah dan kitab Mukhtasar Ibn Hājib dalam bidang ushul fiqh. Berkat keduanya Ibnu Katsīr menjadi ahli fiqh sehingga menjadi tempat berkonsultasi para penguasa dalam persoalan-persoalan hukum.
Dalam bidang hadis, ia belajar dari ulama Hijaz dan mendapat ijazah dari Alwānī, serta meriwayatkan secaera langsung dari Huffāż terkemuka di masanya, seperti Syeikh Najm ad-Dīn Ibn al-‘Asqalānī dan Syihab ad-Dīn al-Hajjār (w. 730 H.) yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn asy- Syahnah.154 Kepada al-Hāfiz al-Mizzī (w. 742 H.) penulis kitab tahżib al-Kamāl, ia belajar bidang Rijāl al-Hadīs.
Beliau juga pernah berguru pada aż-Żahabī (Muhammad bin Muhammad, 1284-1348 M.) di Turba Umm Sālih. Pada tahun 756H/1335 M. ia diangkat menjadi kepala Dār al-Hadīs al-Asyrāfiyyah (Lembaga Pendidikan Hadis), setelah Hakim Taqiy ad-Dīn as-subhī meninggal
154 Ibn Katsīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, jilid XIV, 149-150.
dunia. Berkaitan dengan studi hadis, pada bulan Sya’ban 766 H. beliau ditunjuk mengorganisasi pengajian Sahih al- Bukhārī.155
Dalam bidang sejarah, Ibnu Katsīr banyak dipengaruhi oleh al-Hāfiz al-Birzalī (w. 739 H.), sejarawan dari kota Syam. Berkat al-Birzalī dan tarikhnya, Ibnu Katsīr enjadi sejarawan besar yang karyanya sering dijadikan rujukan utama dalam penulisan sejarah islam.156 Pada usia 11 tahun beliau telah menyelesaikan hafalan al-Qur’ān, dilanjutkan memperdalam Ilmu Qiraat, studi tafsīr dan ilmu tafsīr, dari Syaikh al-Islm ibn Taimiyyah (661-728 H.)
Dari berbagai disiplin ilmu yang digelutinya, banyak sekali gelar yang disandangnya antara lain: Dari berbagai disiplin ilmu yang digelutinya, banyak sekali gelar yang disandangnya antara lain:
a. Al-Hāfiz, yaitu orang yang mempunyai kapasitas hafalan 100.000 hadis matan maupun sanad, walaupun dari berapa jalan, mengetahui hadis sahih serta tahu istilah ilmu itu157
b. Al-Muhaddis, yaitu orang yang ahli mengenai hadis riwāyah dan dirāyah, mengetahui cacat dan tidaknya, mengambil dari imam-iammnya, serta dapat mensahihkan dalam mempelajari dan mengambil faedahnya.
155 Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif, 40.
156 Ibn Katsīr, al-Bidāyah wa an-Nihāyah, jilid XIV, 312.
157Mannā’Khalīl al-Qattān, Mabāhis fī ‘Ulūm al-Qur’ān, (Riyād: al-
‘Asr al-Hadīs al-‘Arabiiyyah, 1973), 365.
c. Al-Fāqih, yaitu gelar keilmuan bagi ulama yang ahli dalam hukum Islam (fiqh), namun tidak sampai ke tingkatan mujtahid. Ia menginduk pada suatu mażhab, akan tetapi tidak taqlīd.
d. Al-muarrikh, yaitu orang yang ahli dalam bidang sejarah.
e. Al-mufassir, yaitu orang ynag ahli dalam bidang tafsīr, menguasai perangkat-perangkatnya yang berupa
‘Ulūm al-Qur’ān dan memenuhi syarat-syarat mufassir.158
Ibnu Katsīr merupakan ulama yang produktif dalam memberikan dan dipelajari kembali.
Karya-karya itu mencakup berbagai disiplin ilmu, antara lain bidang tafsīr, hadis, fikih, sejarah dan al-Qur’ān.
Dari berbagai disiplin ilmu yang ia kuasai menunjukan keluasan ilmu yang ia miliki.
Bidang Fikih:
1) Kitab al-Ijtihād fī Talab al-Jihād Ditulis tahun 1368- 1369 M. Kitab ini ditulis untuk menggerakan semangat juang dalam mempertahankan partai Libanon-Syiria dari serbuan raja Franks di Cyprus.
Karya ini banyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibn Taimiyyah, as-Siyāsah as-Syar‘iyyah.
2) Kitab Ahkām. Yaitu fikih didasarkan pada al-Qur’ān dan hadis.
158Muhammad ‘Ajjāj al-Khātib, Usūl al-Hadīs, (Beirut: Dār al-Fikr, 1409 H.), 448.
3) Al-Ahkām ‘Alā Abwāb at-Tanbīh yang merupakan komentar dari kitab at-Tanbīh karya asy-Syairazī.
4) Bidang Hadis
5) At-Takmīl fī Ma’rifat as-Siqāt wa ad-Du‘afā’ wa al- Majāhil (5 jilid). Merupakan perpaduan dari kitab Tahżīb al-Kamāl karya al-Mizzī dan Mīzān al-I‘tidāl karya aż-Żahabī (w. 748 M.) berisi riwayat-riwayat perawi-perawi hadis.
6) Jāmi‘al-Asānīd wa as-Sunan (8 jilid), berisi tentang para sahabat yang meriwayatkan hadis dan hadis-hadis yang dikumpulkan dari Kutub as-Sittah, Musnad Ahmad, al-Bazzār dan abū Ya‘lā serta Mu‘jam al-Kabīr.
7) Ikhtisār ‘Ulūm al-Hadīs yang merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah ibn Salāh (w. 642 H/1246 M.) 8) Takhrīj Ahādīs Adillah at-tTanbīh li ‘Ulum al-Hadīs atau
dikenal dengan al-Bāhis al-Hadīs yang merupakan takhrij terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syairazī dalam kitabnya at-Tanbih.
9) Syarh Sahīh al-Bukhārī yang merupakan kitab tafsīran (penjelas) dari hadis-hadis Bukhārī. Kitab ini tidak selesai penulisannya, tetapi dilanjutkan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalānī (952 H. atau 1449 M.).159 Tidak diragukan lagi bahwa ada bermacam-macam jenis tafsīr yang berbeda-beda. Pada umumnya perbedaan ini terletak dalam pendekatan dan aspek tertentu. Ada jenis tafsīr yang menekankan aspek filologis (bahasa) dan harfiah
159Hasan Bakti, Ensiklopedia Aqidah Islam, (Jakarta: Prenada Media.
2003), 19.
dari naskah al-Qur’ān. Jenis yahng lain memusatkan perhatian pada arti dan kandungannya. Ada pula tafsīr yang sebagian besar didasarkan pada hadis-hadis Nabi SAW atau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān sesuai dengan perkataan (qaul) para sahabat dan tabi‘in. Jenis tafsīr lainnya adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’ān dengan menggunakan akal atau ijtihad sebagai alat untuk memahami makan-makna al- Qur’ān.
Pada baigan ini, penulis akan membahas tentang karakteristik penafsiran Ibnu Katsīr.160 terutama yang tertera dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm. Karakteristik ini dapat diidentifikasi lewat sistematika penafsiran, metode penafsiran, teknik, dan corak aliran penafsiran.161
Dengan demikian, karakteristik penafsiran Ibnu Katsīr dapat berarti ciri khas tertentu yang ikut mewarnai dan digunakan Ibnu Katsīr dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’ān.
Sistematika yang ditempuh Ibnu Katsīr dalam tafsīrnya, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur’ān sesuai susunannya dalam mushaf al-Qur’ān, ayat demi ayat dan surat-demi surat, dimulai dengan surat al-fātihah dan diakhiri dengan surat an-Nās. Maka secara sistematika, tafsīr ini menempuh Tartīb Mushafī.
Mengawali penafsirannya, Ibnu Katsīr menyajikan sekelompok ayat yang berurutan yang dianggap berkaitan
160Muhammad Bāqir as-Sadr, Pendekatan Tematik Terhadap Tafsīr Al-Qur’ān, dalam ‘Ulūm Al-Qur’ān, Vol. I/1990, 28-29.
161 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm az-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān fī ‘Ulūm
al-Qur’ān, (Beirut: Dār al-fikr, 1998), 3.
dan berhubugan dalam tema kecil. Penafsiran perkelompok ayat ini membawa pemahaman adanya munāsabah ayat dalam setiap kelompok ayat itu dalam Tartīb Mushafī. Dengan begini akan diketahui adanya keintegralan pembahasan al- Qur’ān dalam satu tema kecil yang dihasilkan kelompok ayat yang mengandung munasābah antar ayat-ayat al-Qur’ān, sehingga mempermudah seseorang dalam memahami kandungan al-Qur’ān serta yang penting adalah terhindar dari penafsiran secara parsial yang bisa keluar dari maksud nas.
Dari cara tersebut, menunjukan adanya pemahaman lebih utuh yang dimiliki Ibnu Katsīr dalam memahami munāsabah dalam urutan ayat, selain munāsabah antar ayat (tafsīr al-qur’ān bi al-qur’ān) yang telah diakui kelebihannya oleh para peneliti.
Kitab suci al-Qur’ān menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu, dan pemadu gerakan-gerakan Islam sepanjang sejarah pergerakan umat.162
Jika demikian halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’ān melalui upaya penafsiran mempunyai peranan yang signifikan, lahirnya bermacam-macam tafsīr dengan metode yang beraneka ragam dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran para mufassir.
162 Hasan Hanafi, al-Yamin wa al-Yassar fī al-Fikr al-Islam, sebagaimana dikutip oleh M. Quraisy Shihab, Membumikann al- Qur’ān, (Bandung: Mizan, 1997), 83.
Para mufassir dalam memahami dan menafsirkan al- Qur’ān, menggunakan satu atau lebih metode, berdasarkan keahlian dan kecenderungannya masing-masing. Metode penafsiran diartikan sebagai suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik, untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah dalam ayat-ayat al- Qur’ān, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.163
Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa metode penafsiran berisikan seperangkat kaidah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat al-Qur’ān Untuk mengetahui metode apa yang dipakai Ibnu Katsīr, perlu kiranya melihat secara sekilas tentang perkembangan metode penafsiran al-Qur’ān. Memperhatikan perkembangan metode penafsiran terutama yang muncul sebelum masa Ibnu Katsīr, akan sangat membantu dalam melacak bagaimana Ibnu Katsīr menafsirkan al-Qur’ān.
Dalam perkembangan dunia penafsiran, secara umum metode penafsiran dibagi menjadi empat macam.
Pertama, metode Tahlīlī, kedua, metode Ijmālī, ketiga, metode muqāran (komparatif). dan keempat, metode Maudū‘ī, (tematik). Upaya mengklasifikasi penafsiran semacam ini juga bervariasi di kalangan para pemerhati tafsīr.
Muhammad as-Sayyid Jibril membuat klasifikasi tafsīr berdasarkan beberapa kategori. Kategori pertama berdasarkan sumber-sumber penafsiran. Kedua, berdasarkan pemaparan dan teknik penyajian penafsiran, dan ke tiga,
163 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’ān, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 2.
berdasarkan keumuman dan kekhusussan mażhab yang dianut oleh penafsirnya.
Berbeda juga klasifikasi yang dilakukan oleh Muhammad Bāqir as-Sadr, dalam melihat metode pendekatan penafsiran. Ia membagi kepada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan analitis (al-Ittijāh at-Tajzī‘ī) dan pendekatan sintesis atau tematik (al-Ittijāh at-Tauhīdī au Maudū‘ī).164
Sehubungan dengan bermacam-macam metode dan kategori penafsiran tersebut di atas, maka akan terlihat bagaimana metode penafsiran Ibnu Katsīr. Berdasarkan kajian sementara terhadap penafsiran-penafsiran Ibnu Katsīr, khususnya dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm, penulis menangkap bahwa Ibnu Katsīr cenderung menempuh dalam penafsirannya dengan menggunakan metode Tahlīlī.
Dalam Tafsīr Ibnu Katsīr, aspek arti kosakata dan penjelasan arti tidak selalu dijelaskan. Kedua aspek tersebut dijelaskan ketika dianggap perlu. Atau kadang pada suatu ayat, suatu lafal dijelaskan arti kosakatanya, sedang lafal yang lain dijelaskan arti globalnya karena mengandung term (istilah), bahkan dijelaskan secara terperinci dengan memperlihatkan penggunaan term itu pada ayat-ayat lainnya.
Misalnya, ketika menafsirkan kalimat (hudan li al-muttaqīn) dalam surat al-Baqarah ayat 2, menurut Ibnu Katsīr hudan di sini adalah sifat diri al-Qur’ān itu sendiri, yang dikhususkan bagi muttaqīn dan mu’minīn yang berbuat baik. Disampaikan
164Muhammad Bāqir as-Sadr, Pendekatan Tematik Terhadap Tafsīr Al-Qur’ān, dalam ‘Ulūm Al-Qur’ān, Vol. I/1990, 28-29.
pula beberapa ayat yang menjadi latar belakang penjelasannya tersebut yaitu dalam Qs. Fussilat (41):44, Qs.
al-Isrā’ (17): 82, Qs. Yūnus ayat 57.165
Dalam menafsirkan al-Qur’ān, Ibnu Katsīr menggunakan penjelasan dari al-Qur’ān itu sendiri (tafsīr al- Qur’ān bi al-qur’ān), atau berdasarkan penafsiran dari Nabi, dan menafsirkan al-Qur’ān menurut pendapat (qaul) para sahabat atau tābi‘īn.166
Oleh karena itu, Tafsīr Ibnu Katsīr dapat digolongkan sebagai salah satu tafsīr yang memakai corak ma’sūr. Penetapan ini karena yang mendominasi tafsīr ini adalah penafsiran dengan unsur-unsur asār sebagaimana definisi di atas. Adapun unsur asār yang mendominasi tafsīr ini yaitu:
1) Penafsiran al-Qur’ān dengan al- al-Qur’ān.
2) Sunnah (hadis) 3) Pendapat sahabat.
4) Pendapat tābi‘īn
Nuansa Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm
Tafsīr Ibnu Katsīr mengandung beberapa nuansa penafsiran. Hal ini disebabjan karena pribadi Ibnu Katsīr sendiri selain sebagai mufassir juga sebagai muarrikh, dan Hāfiz. Latar belakang keilmuan itu terbawa dalam analisis
165 Al-Imām Abū al-Fidā’ al-hāfiz Ibn Katsīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-
Qur’ān al-‘Azīm, cet. Ke-2, (Beriut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyah, 2008), jilid. I, 46.
166 Muhammad as-Sayyid Jibril, Madkhal ilā Manāhij, 88.
ayat yang sedang ditafsīrkan. Adapuun nuansa tafsīr yang dimaksud antara lain:
a. Nuansa Fikih
Dalam Tafsīr Ibnu Katsīr dapat ditemui beberapa penafsiran terhadap ayat-ayat hukum yang dijelaskan secara luas dan panjang lebar, dengan dilakukan istinbāt (mengeluarkan hukum) dan tarjīh terhadap pendapat- pendapat tertentu. Dalam tarjīh ialah melakukan analisis terhadap dalil yang dipakai (istidlal), dengan bersikap secara netral.
Misalnya tentang kasus bilangan talak menurut syara’.
Dalam surat al-Baqarah ayat 230, Ibnu Katsīr mengupas dan menjelaskan tentang bekas suami yang tidak dapat kembali kepada bekas istrinya, sebelum bekas istri itu kawin lagi dengan orang lain hinga bersetubuh, kemudian diceraikan oleh suaminya yang baru itu. Sementara orang yang berkilah dengan meminta kepada orang lain untuk menjadi muhallil (penghalal). Ibnu Katsīr menegaskan bahwa pekerjaan itu dilaknat Allah swt dan Rasul-Nya yang berarti perkawinan itu batal.
Ibnu Katsīr menafsirkan ayat ini dari segi bagaimana status perceraian satu atau dua kali bila bekas istri kemudian kawin lagi dengan orang lain, setelah masa iddahnya habis.
Ibnu Katsīr menyebutkan dua pendapat. Pertama, pendapat mazhab Mālikī, as-Syāfi‘ī dan Ibn Hanbal, bahwasanya perceraian itu tetap dihitung, dan bila ia kembali nikah dengan istrinya, maka perceraian yang pernah terjadi itu harus dihitung pertama. Kedua, menurut mazhab Abū
Hanīfah, bahwasanya perceraian yang pernah terjadi itu tidak dihitung lagi dalam perkawinan tersebut.167
b. Nuansa Ra’yu
Maksud dari nuansa ra’yu di sini yatu bahwa Ibnu Katsīr dalam tafsīrnya melakukan penafsiran al-Qur’ān dengan ijtihad. Ia memahami kalimat-kalimat al-Qur’ān dengan jalan memahami maknanya yang ditunjukkan oleh pengetahuan Bahasa Arab dan peristiwa yang dicatat oleh seorang ahli tafsīr. Beberapa hal berkenaan dengan penggunaan ra’yu dalam Tafsīr Ibnu Katsīr, dapat disampaikan rincinya sebagai berikut:
Menentuakan ayat mana menafsirkan ayat mana. Di samping riwayat tafsīr ayat yang dikutip, Ibnu Katsīr melakukan sendiri penafsiran ayat dengan ayat.
Dibandingkan penafsiran yang lain, penafsiran yang dilakukannya lebih luas dan banyak. Kenyataan ini membuktikan bahwa tafsīr al-Qur’ān dengan al-Qur’ān itu pada hakekatnya tetap melibatkan ra’yu. Perannya yaitu pada usaha meneliti ayat mana menjelaskan ayat mana, dan keluasan dan tidaknya penafsiran sangat dipengaruhi tingkat pemahaman masng-masing mufassir.
Memilih dan menyeleksi riwayat-riwayat, baik dari Rasulullah, sahabat maupun tābi‘īn untuk menafsirkan al- Qur’ān. Proses seleksi ini tentu pada ra’yu.
Menerangkan maksud ayat demi ayat, baik secara global maupun terperinci dengan bantuan ilmu Bahasa Arab
167 Al-Imām Abū al-Fidā’ al-Hāfiz Ibn Katsīr ad-Dimasyqī, Tafsīr al-
Qur’ān, jilid I.
(nahwu, sarf dan lain sebagainya), ‘Ulūm al-Qur’ān, Asbāb an-Nuzūl, Makkī, Madanī, Nāsikh mansukh, hadis dan
‘Ulum al-Hadīs, Ushūl Fiqh dan ilmu-ilmu lain.168 c. Nuansa Kisah
Pada Tafsīr Ibnu Katsīr tampak usaha untuk menerangkan ayat-ayat yang bertutur tentang kisah, dan juga menambahkan pada kisah tertentu kisah yang bersumber dari ahli kitab yaitu Isrāilliyyāt dan Nasrāniyyat. Kisah-kisah dalam Tafsīr Ibnu Katsīr mencakup:
1) Kisah para Nabi dan umatnya
2) Kisah orang-orang masa lalu yang tidak jelas keNabiannya
3) Kiah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah.
Berkaitan dengan kisah ini, Ibnu Katsīr mengambil sumber penafsiran dan penjelasannya dari ayat-ayat lain (tafsīr ayat dengan ayat), hadis dan juga dari penuturan ahli kitab yang berupa Isrāilliyyāt dan Nasrāniyyat
d. Nuansa Qiraat
Keberadaan Ibnu Katsīr sebagai ahli qiraat, ikut memperkaya nuansa tafsīrnya. Yakni menerangkan riwayat- riwayat al-Qur’ān dan qiraat-qiraat yang diterima dari ahli- ahli qiraat terpercaya. Dalam penyampaiannya, Ibnu Katsīr selalu bertolak pada qiraah sab‘ah dan Jumhur Ulama, baru kemudian qiraah-qiraah yang berkembang dan dipegangi sebagian ulama dan qiraah syazzah
Contoh qiraah pada ayat 5 surat al-fātihah.
َُكاَّي ِإ
ُ
ُ د بْعَن
َُكاَّيِإَوُ
ُ نيِعَت ْسَنُ
168 Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif, 69.
Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.169
Terhadap yang membaca (iyyāka), tanpa tasydid pada huruf ya’-nya, yaitu yang dibaca ‘Amr ibn Fayyād, Ibnu Katsīr berkomentar bahwa bacaan ini adalah syaz dan tertolak, karena (iyā) artinya sinar matahari.170
Terhadap yang membaca (iyyāka), tanpa tasydid pada huruf ya’-nya, yaitu yang dibaca ‘Amr ibn Fayyād, Ibnu Katsīr berkomentar bahwa bacaan ini adalah syaz dan tertolak, karena (iyā) artinya sinar matahari.171