SEPUTAR TENTANG TAFSIR AHKAM
B. Seputar Tafsīr Ahkam
3. Karakteristik Tafsir Ayat-ayat Ahkam
pertama kali mereka mencari hukumnya dalam al-Qur’ān.
Dan jika tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’ān, dicarinya dalam hadis Nabi, serta apabila tidak ditemukan dalam keduanya, baru mereka melakukan ijtihad.68 Akan tetapi diantara hasil ijtihad para Sahabat pun kadangkala terjadi perbedaan pendapat. Sebagai contohnya perbedaan pendapat antara Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thali, masalah iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya.
a. Tafsīr fiqhy Tahlīly, penafsiran al-Qur’ān lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian tahlily diwakili oleh kitab Jami’ al-Bayyan fi Ta’wil al-Qur’ān karya Muhammad bin Jarir ath- thabary yang selanjutnya dikenal dengan Tafsīr ath- Thabary, kitab ini merupakan presentasi dari fiqhi asy- Syafi’iyyah meskipun dalam pembahasannya Imam ath-Thabary lebih banyak menggunakan mazhab sendiri ketimbang terkontaminasi dengan madzhab yang sudah ada pada masa itu, kemudian kitab al- Jami’ li ahkam al-Qur’ān karya Abu Bakar al- Qurthuby, kemudian kitab Ahkam al-Qur’ān karya Abu Bakar Ibnu al-’Araby yang keduanya merupakan presentasi dari kitab tafsīr fiqhy madzhab al- Malikiyyah, kemudian kitab Ahkam al-Qur’ān karya Imam Abu Bakar Ahmad bin ar-Razy al-Jashshash yang kemudian dikenal dengan nama Ahkam al- Qur’ān li al-Jashshash yang merupakan presentasi dari kitab fiqhi madzhab al-Hanafiyyah, kemudian kitab fath al-Qadir karya Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany dan kemudian kitab Tafsīr ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.69
b. Tafsīr Fiqhy Ijamly, penafsiran al-Qur’ān lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’ān
69 Riri Fitria, “Pemetaan Karya Tafsīr di Arab Saudi”, Jurnal Mutawatir, (Vol. 1, Nomor 2, Desember 2011), 124.
li Asy-Syafi’i yang dikumpulkan oleh Imam al- Baihaqy.70
c. Tafsīr Fiqhy Muqaran, penafsiran al-Qur’ān lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Muqaran diwakili oleh kitab Tafsīr ath- Thabary, Al-Qurthuby dan Tafsīr Ibnu Katsir. Kitab- kitab tafsīr tersebut melakukan pendekatan muqaran dalam menguraikan ayat-ayat yang menimbulkan beberapa perselisihan utamnya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
d. Tafsīr Fiqhy Maudhu’i, penafsiran al-Qur’ān lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Mudhu’i diwakili oleh kitab Ahkam al- Qur’ān li al-Jashshash, kemudian kitab Tafsīr ayat al- Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.
e. Tafsīr Fiqhy Tahlily Maudhu’i : Penafsiran al-Qur’ān lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Tahlily Mudhu’i diwakili oleh kitab Ahkam al-Qur’ān karya al-Jashshash dan kitab Tafsīr al- Munir karya Dr. Wahbah al-Zuhaily. Kitab tersebut menguraikan ayat-ayat secara tahlily dengan memberikan tema pada setiap kelompok ayat yang akan ditafsīrkan.71
70 Supiana, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir, (Bandung: Pustaka Islamika), 304.
71 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), 97.
f. Tafsīr Fiqhy Tahlily Muqaran: Penafsiran al-Qur’ān lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Tahlily Muqaran diwakili oleh kitab Tafsīr ath-Thabary, Al-Qurthuby, dan Tafsīr Ibnu Katsir.
Kitab-kitab tersebut menguraikan ayat secara tahlily dengan menguraikan perbandingan-perbandingan antara pendapat para fuqaha’ lalu berusaha mentarjihkan dan atau menkompromikan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya dengan mengacu pada dalil-dalil yang shahih.
g. Tafsīr Fiqhy Tahlily Ijmali: Penafsiran al-Qur’ān lewat pendekatan fiqhi dengan menggunakan metode penyajian Tahlily Ijmaly diwakili oleh kitab Ahkam al- Qur’ān karya Abu Bakar Ibnu al-’Araby.
Seluruh kitab tafsīr yang kami sebutkan di atas hanyalah sebahagian kecil dari kitab-kitab tafsīr fiqhy yang menurut penulis dapat mewakili seluruh bentuk ragam metode penyajian mulai dari metode tahlily, ijmaly, muqaran, dan maudhu’i, atau penggambungkan dua metode penyajian dalam satu bagian kerangka metodologi penulisan tafsīr yang dimaksudkan untuk dapat memudahkan para mujtahid dan umat Islam secara keseluruhan dalam memahami al-Qur’ān secara utuh.
Selain dari jenis dan corak tafsīr fiqhy di atas terdapat pula corak tafsīr fiqhy yang lain yang disebut dengan istilah Tafsīr al-Fqhy al-Haditsiyyah; yaitu penafsiran ayat-ayat ahkam lewat riwayat hadis-hadis Rasulullah SAW atau atsar dari sahabat beliau, corak ini diwakili oleh kitab-kitab hadis
seperti Shahih al-Bukhary, Shahih Muslim, Jami’ at-Tirmidzy, Sunan Abi Daud, Sunan An-Nasi’i, Sunan Ibnu Majah, al- Mustadrak yang didalamnya terdapat satu kitab khusus yaitu kitab at-Tafsīr, serta kitab ad-Durru al-Manstur fi at-Tafsīr bi al- Ma’tsur karya Imam As-Suyuthy. Tentunya diantara ayat-ayat hukum yang ditafsīrkan lewat periwayatan ini jumlahnya lebih sedikit bahkan mayoritasnya lebih kepada penguraian secara khusus tentang sebab turunnya (asbab an-Nuzul) suatu ayat yang berkenaan dengan hukum.72
Untuk mengenal tafsīr ahkam lebih dalam lagi, perlu diketahui secara detail, beberapa tafsīr fiqih yang terkenal diantaranya:
1. Ahkam al-Qur’ān (Al Jashshash)
Kitab tafsīr ini dikarang oleh Abu Bakr Ahmad ibn
‘Ali Al Razi, yang cukup terkenal dengan sebutan Al Jashshash. Ia merupakan imam fiqh Hanafi pada abad ke 4 (empat) Hijriyah, kitabnya dipandang sebagai kitab tafsīr fiqh yang terpenting, terutama bagi pengikut mazhab Hanafi.73
Al Jassas dalam kitabnya ini, telah memaparkan semua surat-surat al- Qur’ān, tetapi ia banyak menjelaskan panjang lebar tentang ayat-ayat yang ada relevansinya dengan hukum. Sistimatiska yang dipakai adalah urutan bab per bab, sebagaimana yang dikenal dalam kitab fiqh dan setiap bab diberi judul (nama bab), dimana penulis selanjutnya
72Abdul Qadir Muhammad Shalih, Al-Tafsīr wa al-Mufassirun fi al-
‘Ashri al-Hadith, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2003), 184-185.
73 Adz - Dzahabi, Tafsīr wa al-Mufassirun, 230.
menjelaskan keterangannya di dalamnya. Menurut Husein Al Zahabi, kitab Al Jassas ini lebih terkesan sebagai kitab fiqh Muqarin, ketimbang tafsīr fiqih, karena Al Jassas tidak hanya menerangkan hukum yang dapat diistinbathkan dari suatu ayat, akan tetapi lebih jauh ia menjelaskan berbagai masalah fiqh yang telah diperselisihkan oleh para Imam Fiqh. Dan Al Jassas pun banyak menonjolkan sikap fanatiknya terhadap mazhab Hanafi dan menolak pendapat-pendapat Imam yang lainnya.74
2. Ahkam al-Qur’ān (Oleh Kiya Al Haras)
Tafsīr ahkam Kiya Al Haras ini bercorak mazhab Imam Syafi’i dan ia sendiri merupakan pakar fiqh Syafi’i di awal abad ke 6 H. Tafsīr ini dianggap sebagai kitab tafsīr fiqh Syafi’i yang terpenting sebagaimana tafsīr Al Jassas.
Kesamaan antara kedua tafsīr ini dengan yang lainnya adalah fanatisme mazhabnya yang amat menonjol. Fanatisme pengarang nampak jelas pada muqaddimah tafsīrnya. Akan tetapi ia tidak sampai mencela Imam-imam yang lain sebagaimana yang dilakukan Al Jassas.
3. Ahkam al-Qur’ān (Ibn Al ‘Arabi)
Dalam kitabnya ini Ibn Al ‘Arabi menggunakan sistem pembahasan dengan menyebutkan satu surat, kemudian menjelaskan beberapa ayat yang di dalamnya terdapat hukum-hukum. Kemudian ia menjelaskan ayat hukum tersebut satu pesatu, misalnya pada ayat pertama
74 Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, 99.
terdapat lima masalah, pada ayat kedua 7 masalah dan seterusnya.
Corak lain yang menjadi ciri tafsīr ini adalah kecenderungannya dalam istinbath hukum tetap merujuk kepada bahasa Arab, sangat menghindari cerita-cerita israiliyyat yang penggunaan hadis-hadis dla’if. Disamping fanatisme Maliki tetap ada, tapi juga banyak terlihat sikap kenetralan Ibn Al ‘Arabi dalam banyak hal, sehingga sering kali tafsīr ini dijadikan tujukan umum, meskipun bermazhab Maliki.75
4. Al Jami’ Li Ahkam al-Qur’ān (tafsīr Al Qurthubi) Kitab ini dikarang oleh Imam Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar ibn Farih Al Qurthubi, yang hidup di abad 7 Hijriyah dan merupakan seorang Mufassir ternamka di Spanyol.
Pada Muqaddimah, Al Qurthubi menjelaskan maksud penulisan tafsīr serta cara penulisan yang dipakainyta. Ia tergerak hatinya untuk menulis buku tafsīr, sebagai jawaban tantangan yang berkembang dari kaum rasionalis Mu’tazilah, Al Rawafidah, filosuf dan ekstrim sufi lainnya. Jawaban tersebut ia tuangkan melalui karyanya yang tidak hanya membatasi diri pada ayat-ayat hukum, tapi juga menafsirkan ayat-ayat lain secara menyeluruh. Cara yang
75 Hujair Sanaky, “Metode Tafsir, (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin)”, dalam Jurnal al- Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008.
ditempuh adalah menyebutkan asbabu al nuzul, menghubungkan pendapat-pendapat yang lain, menyediakan paragraph khusus bagi kisah mufassir serta mengutip ungkapan Ulama’ terdahulu, yang terpenting dari kitab ini dibanding dengan kktab tafsīr fiqih lainnya adalah sikap netral dan tiadanya fanatisme Al Qurthubi terhadap mazhab Mailikinya. Penjelasan-penjealsan di sertai detail detail yang dipandang benar meskipun dalil tersebut datangnya dari selain mazhab Maliki.
5. Kanz Al Irfan Fi Fiqh al-Qur’ān
Kitab tafsīr ini dikarang oleh Miqdad ibn ‘Abd Allah Al Suyuri Al Asadi Al Hilli, beliau wafat pada tahun 826 H / 1423 M, yang menganut mazhab Syi’ah Imamiyah Isna Asyari’ah. Sistematika pembahasan tafsīr ini menggunakan cara pembagian per bab-bab kemudian dari topik-topik tersebut dijelaskanlah ayat-ayat yang berkenaan dengannya, misalnya Bab Thaharah, selanjutnya Penulis menjelaskan satu per satu ayat-ayat yang ada hubungannya dengan thaharah dan mengeluarkan hukum darinya. Alasan-alasan yang menguatkan mazhabnya, juga disertai dengan penolakannya terhadap mazhab lain. Menurut Al Zahaby, argumen yang dikemukakan oleh Al Suyyuri bersumber kepada dua hal, yaitu dalil Aqli dan dakwaan bahwa apa yang disampaikannya merupakan hal yang diajarkan oleh Ahl Al Bait. Sehingga membuat dalil-dalil yang dipakai banyak yang
lemah, dan hal ini dilakukan hanya semata untuk membela pendapat atau mazhabnya Syi’ah.76
Sejak zaman Rasul dikenal dua cara penafsiran al- Qur’ận. Pertama, penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu.
Kedua, penafsiran berdasarkan ijtihad atau ra’yi. Di masa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat al- Qur’ān di samping ayat al- Qur’ān sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad mereka. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk menafsirkan al-Qur’ān berdasarkan ra’yi atau nalar mulai berkembang sejalan dengan kemajuan taraf hidup manusia yang di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan yang tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam al- Qur’ān.77
76 Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), 77.
77 Rohimin, Metodologi Ilmu, 66.
BAB III
DASAR DASAR METODE TAFSIR KLASIK DAN HERMENEUTIK DALAM MENAFSIRKAN AL
QUR’AN