• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEPUTAR TENTANG TAFSIR AHKAM

F. Corak Penafsiran Klasik

3. Sayyid Quthb

Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.169

Terhadap yang membaca (iyyāka), tanpa tasydid pada huruf ya’-nya, yaitu yang dibaca ‘Amr ibn Fayyād, Ibnu Katsīr berkomentar bahwa bacaan ini adalah syaz dan tertolak, karena (iyā) artinya sinar matahari.170

Terhadap yang membaca (iyyāka), tanpa tasydid pada huruf ya’-nya, yaitu yang dibaca ‘Amr ibn Fayyād, Ibnu Katsīr berkomentar bahwa bacaan ini adalah syaz dan tertolak, karena (iyā) artinya sinar matahari.171

pemberi kredit.172

Nama lengkapnya adalah Sayyid Quthb Ibrahim Husain Shadhili. Beliau lahir di perkampungan Musha dekat kota Asyut Mesir, pada tanggal 9 Oktober 1906 M. beliau merupakan anak tertua dari lima bersaudara; dua laki-laki dan tiga perempuan. Ayah Quthb adalah seorang anggota Partai Nasionalis Mustafa Kamil dan mengelola majalah al-Liwa”.

Konon, pada usia 10 tahun Quthb telah hafal al-Qur’ān di luar kepala. Pendidikan dasarnya selain diperoleh dari sekolah Kuttab, juga dari sekolah pemerintah dan tamat pada tahun 1918 M. Quthb muda pindah ke Hulwan untuk tinggal bersama pamannya seorang jurnalis, pada tahun 1925 M, ia masuk ke institusi diklat keguruan, dan lulus tiga tahun kemudian. Setelah itu melanjutkan studi ke universitas Dar al- Ulum (universitas Mesir modern) hingga memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang arts education.173

Qutb adalah seorang penulis, intelektual Mesir, dan Islamis yang bergabung dengan Persaudaraan Muslim Mesir (ikhwan al-muslimin). Sejak kecil ia sudah menghapal al- Qur’ān. Kemudian ia pindah ke Kairo, dimana ia mengenyam pendidikan Barat antara tahun 1929 dan 1933, sebelum memulai karirnya sebagai seorang guru di Ministry of Public Instruction. Pada pertengahan karirnya,

172David Sagiv, Islam Otentitas Liberalisme, alih bahasa: Yudian W. Asmin, (Yogyakarta: LKiS, 1997), 39.

173 Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin, Studi Al-Qur’ān Kontemporer, “Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsīr”, (PT.

Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 2002), 111.

Qutb memfokuskan dirinya pada tulisan-tulisan sebagai pengarang dan pengkritik, menulis sejumlah novel seperti Ashwak dan memperkenalkan novelist Mesir Naguib Mahfouz dari ketidak tenaran.174

Pada tahun 1939, dia menjabat sebagai fungsionaris pada Mentri Pendidikan Mesir (wizarat al- Ma’arif). Dari tahun 1948 hingga tahun1950, ia berangkat ke Amerika dalam rangka mendapatkan beasiswa untuk belajar Sistem Pendidikan, menerima gelar master dari The Colorado State College of Education (sekarang University of Northern Colorado). Karya pertamanya tentang kritik sosial keagamaan, Al-'adala al-Ijtima'iyya fi-al-Islam (keadilan sosial dalam Islam), dipublikasikan pada tahun 1948, pada saat di luar negeri.

Qutb lebih dikenal dengan karya teoretikalnya dalam meredefinisikan rumusan Islam fundamentalis dalam perubahan sosial dan politik, secara spesifik terdapat dalam karyanya “Keadilan Sosial” dan Milestone (petunjuk jalan).

Selain sebagai tenaga pengajar di universitas tersebut, Quthb juga bekerja sebagai pegawai pada kementerian pendidikan, bahkan sampai menduduki jabatan inspektur.

Namun karena tidak cocok dengan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang terlalu tunduk pada Inggris, ia mengundurkan diri dari jabatannya itu. Sewaktu masih bekerja di kementerian tadi, Quthb mendapat tugas belajar

174 Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia, (Bandung: Teraju 2003), 18.

ke U.S.A untuk kuliah di Wilson”s Teacher College dan Stanford University dan berhasil memperoleh gelar M.A di bidang pendidikan.175

Selama tiga tahun di luar negeri, Quthb berkesempatan mengunjungi Inggris, Swetzealand dan Italia.

Pengalamannya di Barat ini ternyata membawa arah baru dan bahkan titik balik pemikirannya. Setibanya di Mesir, ia bergabung dengan keanggotaan Ikhwan al-Muslimīn. Di sini, Quthb banyak menyerap pemikiran-pemikiran Hasan al- Banna dan al-Maududi.176

Pada kata pengantarnya, Sayyid Qutb mengemukakan kesan-kesanya hidup di bawah naungan al-Qur’ān. adalah nikmat. Nikmat yang tidak diketahui kecuali oleh yang telah merasakanya. Ia merasa dekat dan mendengar serta berbicara dengan Allah melalui al-Qur’ān. Hidup di bawan naungan al- Qur’ān, Sayyid Qutub merasakan keselarasan yang indah antara gerak manusia sebagaimana kehendak Allah dengan gerak-gerik alam ciptaan-Nya. Ia melihat kebinasaan yang akan menimpa kemanusiaan akibat pemyimpangannya dari undang-undang alam ini. Ia menyaksikan benturan yang keras antara ajaran-ajaran rusak yang dididektekan padanya dengan fitrahnya, yang telah ditetapkan Allah.

175 Said Agil Husein al-Munawar, Al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 71.

176 Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta:

Kalam Mulia, 1990), 88.

Kondisi Mesir tatkala itu sedang porak poranda ketika Sayyid Qutb telah kembali dari perhelatannya menempuh ilmu di negeri Barat. Saat itu, Mesir sedang mengalami krisis politik yang mengakibatkan terjadinya kudeta militer pada bulan juli 1952. Pada saat itulah, Sayyid Qutb memulai mengembangkan pemikirannya yang lebih mengedepankan terhadap kritik sosial dan politik. Oleh karenanya, kita melihat upaya-upaya yang dilakukan Sayyid Qutb dalam tafsīrnya lebih cenderung mengangkat terma sosial- kemasyarakatan. 177

Dalam tafsīr fi Zilalil al-Qur’ān ini lebih cenderung membahas tentang logika konsep negara islam sebagai mana yang didengungkan oleh pengikut Ikhwan al-Muslimin lainnya seperti halnya Hasan Al Banna, Abu A’la al Maududi.

Sayyid Quthb menulis buku dalam berbagai judul, baik sastra, sosial, pendidikan, politik, Fīlsafat maupun agama. Karya-karyanya telah dikenal secara luas di dunia Arab dan Islam. Jumlah karangannya telah mencapai 24 buku di antaranya, Fī Dzilālil Qur’ān, dalam 30 juz, selain buku- buku yang tidak kita ketahui sampai sekarang. Barangkali berdasarkan makalah-makalah yang dimuat di majalah atau di surat kabar, seperti di Amerika yang kita lihat buku-buku dan biografī-biografī. Buku-buku di atas dapat kita klasifīkasikan sebagai berikut:

177 Farmawi al, Abd al-Hayy, Al Bidayah, 321.

A. Buku-buku sastra yang bersifat mengkritik meliputi:

a. Muhimmatu al-Sya”ir Fī al-Hayah (1932) b. Al-Taswiru al-Fanni Fī Qur’ān (1945) c. Masyahidu al-Qiyamah Fī al-Qur’ān (1945) d. Al-Naqdu al-Adaby: Usuluhu Wa Manahijuhu.

e. Naqdu Kitāby Mustaqbali al-saqafah Fī Misra.178 b. Buku-buku cerita.

a. Thiflun Min al-Qaryah (1945)

b. Al-Athyafu al-Arba”ah, ditulis bersama-sama dengan saudara-saudaranya: Aminah, Muhammad, dan Hamidah (1945)

c. Asywak (1947)

d. Al-Madinah al-Mashurah.

B. Yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran.

a. Al-qasash ad-diniy, ditulis bersama Abdul Hamid Jaudah as-sahhar.

b. Al-Jadid Fī al-Lughah al-Arabiyah, bersama penulis lain.

c. Al-jadid Fī al-Mahfuzhat, ditulis bersama penulis lain.

d. Raudhatu al-Thifl, ditulis bersama Aminah, as- sa”id dan Yusuf Murad, terbit dua episode.

178 Muhammad as-Sayyid Jibril, Madkhal ilā Manāhij, 166.

C. Kumpulan buku-buku agama.

a. Al-Adalah al-Ijtima’iyah Fī al-Islam (1949) b. Ma’rakah al-Islam Wa Ra’samaliyah (1951) c. As-Salam al-Alami Wal-Islam (1951) d. Nahwa Mujtama’in Islami (1952) e. Fī Dzilālil Qur’ān (1953-1964)

f. Khashaish at-Tashawwur al-Islami Wa Muqawwimatuhu.

g. Al-Islam Wa Musykilat al-Hadharah.

h. Dirasat Islamiyah (1953) i. Hadza al-Dīn

j. Al-Mustaqbalu Lihadza al-Dīn k. Ma’alim Fīth-Tariq (1945).179

Tafsīr Fi Zhilalil al-Qur’ān merupakan tafsīr Hermeneutik yang paling actual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan menjawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk al-Qur’ān.

Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hukum, budaya, peradabaan, politik, psikologi, spritualisme, dakwah dan pergerakan dalam suatu rumusan Hermeneutik sesuai dengan tuntutan

179 Mahdi Fadulullah, Titik Temu Agama dan Politik Analisa Pemikiran Sayyid Quthb, CV. (Solo: Ramadhaani 1991), 38.

zaman. Berbagai persoalan ini, di samping persoalan- persoalan lainnya, mendapatkan perhatian yang memada di dalam tafsīr ini. Sehingga membuat tafsīr ini terasa sangat actual apalagi gagasan-gagasan Sayyid Qutb yang tertuang di dalam tafsīr ini sangat orisinil berdasarkan nash-nash al- Qur’ān tanpaterkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing, karena itu tafsīr Fi Zhilalil Qur’ān dapat dikatagorikan sebagai tafsīr corak baru yang khas dan unik, serta langkah baru yang jauh dalam tafsīr. Zhilal juga dapat dikatagorikan sebagai aliran khusus dalam tafsīr, yang dapat disebut sebagai “aliran tafsīr pergerakan”. Sebab metode pergerakan (al-manhaj al- haraki) atau metode realistis yang serius tidak ada didapati selain pada tafsīr fi Zilalil Qur’ān.

Sumber-sumber fi Zilalil Qur’ān berbeda dari sumber-sumber tafsīr lainnya disebabkan perbedaan karakter dann tujuannya. Sumber-sumber dalam Zhilal itu tidaklah mendasar atau pokok (primer), akan tetapi sifatnya sekunder, sebab Sayyid Qutb menyebutkannya untuk memberikan contoh dan bukti dari yang apa yang ia katakana. Ini adalah bagian dari beberapa keistimewaan Zhilal.

Mengenai klasifikasi metodologi penafsiran, Dr.

Abdul Hay al-Farmawy seorang guru besar Tafsīr dan Ilmu- ilmu Qur’ān Universitas al-Azhar membagi corak dalam menafsirkan al-Qur`ān menjadi tiga bentuk, yaitu tahlilīy, maudhū’i dan ijmāli muqarin. Dilihat dari corak penafsiran yang terdapat yang tafsīr Fî Zilālil Al-Qur`an dapat digolongkan kedalam jenis tafsīr tahlili. Artinya, seorang penafsir menjelaskan kandungan ayat dari berbagai aspek

yang ada dan menjelaskan ayat per ayat dalam setiap surat sesuai dengan urutan yang terdapat dalam mushaf.180

Tafsīr Fī Dzilālil Qur’ān, karangan Sayyid terdiri atas delapan jilid, dan masing-masing jilidnya yang diterbitkan Dar al-Syuruq, Mesir, mencapai ketebalan rata-rata 600 halaman. Term Dzilāl yang berarti “naungan” sebagai judul utama tafsīr Sayyid Quthb, memiliki hubungan langsung dengan kehidupannya. Sebagai catatan mengenai riwayat hidup Sayyid Quthb, dan juga telah disinggung pada uraian yang lalu bahwa dia sejak kecilnya telah menghafal al-Qur’ān, dan dengan kepakarannya dalam bidang sastra, dia mampu memahami al-Qur’ān secara baik dan benar dengan kepakarannya itu, serta segala kehidupannya selalu mengacu pada ajaran al-Qur’ān. Oleh karena itu, Sayyid Quthb menganggap bahwa hidup dalam “naungan” al-Qur’ān sebagai suatu kenikmatan Selanjutnya, bila karya tafsīr Dzilālil Qur’ān dicermati aspek-aspek metodologisnya, ditemukan bahwa karya ini menggunakan metode tahlīi yakni metode tafsīr yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’ān dari seluruh aspeknya secara runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. Dalam tafsīrnya, diuraikan korelasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sabab nuzul), dan dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’ān, Rasul, atau sahabat, dan para tabiin,

180 M. Qurais Shihab, Wawasan alQur’an: Tafsir Maudu’i Atas Berbagai Persoalan Umat, Vol. I., (Bandung: Mizan, 2005), 501.

yang disertai dengan pemikiran rasional (ra’yu.) Kerangka metode tahlīly yang digunakan Sayyid Quthb tersebut, terdiri atas dua tahap dalam menginterpretasikan ayat-ayat al- Qur’ān.181

Pertama, Sayid Quthb hanya mengambil dari al- Qur’ān saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan, referensi, dan sumber- sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama, dan langsung. Tahap kedua, sifatnya sekunder, serta penyempurna bagi tahap pertama yang dilakukan Sayyid Quthb. Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan Adnan Zurzur yang dikutip oleh al-Khalidi bahwa Sayyid Quthb dalam menggunakan rujukan sekunder, tidak terpengaruh terlebih dahulu dengan satu warna pun di antara corak- corak tafsīr dan takwil, sebagaimana hal itu juga menunjukkan tekad beliau untuk tidak keluar dari riwayat- riwayat yang sahih dalam tafsīr al-ma’sur.

Dalam upaya memperkaya metode penafsirannya tersebut, Sayyid Quthb selalu mengutip penafsiran- penafsiran ulama lainnya yang sejalan dengan alur pemikirannya. Adapun rujukan utama Sayyid Quthb dalam mengutip pendapat-pendapat ulama, adalah merujuk pada beberapa karya tafsīr ulama yang diklaim sebagai karya tafsīr bi al-ma’sur kemudian merujuk juga pada karya tafsīr bi al- ra’y. Dari sini dipahami bahwa metode penafsiran Sayyid Quthb, juga tidak terlepas dari penggunaan metode tafsīr

181Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Edisi Revisi, (Surabaya: Anika Bahagia, 2010), 16.

muqaran.182

Bisa dikatakan kitab Fī Dzilālil Qur’ān yang dikarang oleh Sayyid Quthb termasuk salah satu kitab tafsīr yang mempunyai terobosan baru dalam malakukan penafsiran al- Qur’ān. Hal ini dikarenakan tafsīr beliau selain mengusung pemikiran-pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’ān. Termasuk di antaranya adalah melakukan pembaruan dalam bidang penafsiran dan di satu sisi beliau mengesampingkan pembahasan yang dia rasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsirannya adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsikan al-Qur’ān. Sisi sastra beliau terlihat jelas ketika kita menjulurkan pandangan kita ke tafsīrnya bahkan dapat kita lihat pada barisan pertama. Akan tetapi, semua pemahaman uslub al-Qur’ān, karakteristik ungkapan al- Qur’ān serta dzauq yang diusung semuanya bermuara untuk menunjukkan sisi hidayah al- Qur’ān dan pokok- pokok ajarannya untuk memberikan pendekatan pada jiwa pembacanya pada khususnya dan orang-orang Islam pada umumnya. Melalui pendekatan semacam ini diharapkan Allāh dapat memberikan manfaat serta hidayah-Nya. Karena pada dasanya, hidayah merupakan hakikat dari al- Qur’ān itu sendiri. Hidayah juga merupakan tabiat serta esensi al-Qur’ān. Menurutnya, al- Qur’ān adalah kitab dakwah, undang-undang yang komplit

182 Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta:

Paramadina, 1995), 270.

serta ajaran kehidupan. Dan Allāh telah menjadikannya sebagai kunci bagi setiap sesuatu yang masih tertutup dan obat bagi segala penyakit.183

Sayyid Qutb sudah menampakkan karakteristik seni yang terdapat dalam al-Qur’ān. Dalam permulaan surat al- Baqarah misalnya, akan kita temukan gaya yang dipakai al- Qur’ān dalam mengajak masyarakat Madinah dengan gaya yang khas dan singkat. Dengan hanya beberapa ayat saja dapat menampakkan gambaran yang jelas dan rinci tanpa harus memperpanjang kalam yang dalam ilmu balaghah disebut dengan ithnab, namun dibalik gambaran yang singkat ini tidak meninggalkan sisi keindahan suara dan keserasiaan irama.

Pada tahun 1955 sekitar bulan Mei, Qutb termasuk salah seorang pemimpin ikhwan muslimin yang ditahan setelah organisasi itu dilarang oleh presiden Nasser dengan tuduhan berkomplotan untuk menjatuhkan pemerintahan.

Pada tanggal 13 Juli 1955, pengadilan rakyat menjatuhkan hukuman 15 tahun kerja keras kepadanya. Ia ditahan di beberapa penjara Mesir hingga pertengahan tahun 1964.

Pada tahun itu pula ia dibebaskan atas permintaan Abdul Salam Arif, presiden Irak yang mengadakan kunjungan ke Mesir. Setahun kemudian ia ditangkap lagi bersama saudara- saudaranya dan 20 ribu orang, termasuk diantaranya 700 wanita. Tanggal 12 April 1966, Qutb diadili oleh pengadilam

183Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al- Qur’an, (Yogyakarta: LESFI, 1996), 54.

Militer dengan tuduhan berupaya menumbangkan pemerintahan Mesir dengan kekerasan lewat karya Ma’alim fi ath- thariq-nya. Pada 21 Agustus 1966, Ia bersama Abdul Fatah Ismail dan Muhammad Yusuf Hawwasy dinyatakan bersalah dan dihukum mati. Kemudian ia bersama dua orang temannya dihukum gantung pada tanggal 29 Agustus 1966.

184

Meninggalnya Qutb secara fisik tidak berarti hilangnya ide-ide pemikirannya tentang Islam dan politik Banyak karyanyayang sampai sekarangmasih memberikan pengaruh yang kuat bagi para pejuang muslim fundamentalis.

Karya-karyanya antara lain: At-Taswirul fanny fi al-Qur’ān (seni artistik dalam al-Qur’ān), Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’ān (hari akhir menurut al-Qur’ān), Al-‘Adalah al- Ijtima’iyyah fi al-Islam (keadilan sosial dalam Islam), Fi Zhilal al-Qur’ān (tafsīr dibawah naungan al-Qur’ān), As-Salam al-‘Alamiy wa al-Islam ( Islam dan perdamaian dunia), Al-Mustaqbal li hadza ad-Din ( masa depan agama Islam), Hadza ad-Din (inilah Islam), Al-Islam wa Musykilat al-Hadharah (Islam dan problem-problem peradaban