• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Tafsīr Berdarkan Sasaran dan Tertib Ayat Metode tafsīr bila di tinjau dari segi sasaran dan Metode tafsīr bila di tinjau dari segi sasaran dan

SEPUTAR TENTANG TAFSIR AHKAM

E. Metode Tafsīr Berdarkan Sasaran dan Tertib Ayat Metode tafsīr bila di tinjau dari segi sasaran dan Metode tafsīr bila di tinjau dari segi sasaran dan

tertib ayat-ayat yang di tafsīrkan maka metode penafsiran ini dibagi mejaditiga macam yaitu

Pertama metode tafsīr tahlily yaitu menafsirkan ayat- ayat al- Qur’ān dengan cara urut dan tertib sesuai dengan uraian ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf dari awal surat al-fatihah hingga surat ahir annas.115

Metode tafsīr tahlīliy adalah suatu metode tafsīr yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al- Qur’ān dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsīrnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam mush-haf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munāsabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain.

Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab al- nuzūl (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-

115 M. Ridwan Nasir, Persfektif Baru, 15.

kadang bercampur-baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash (teks) al-Qur’ān tersebut. 116

Mufassir dengan metode ini, dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan al- Qur’ān. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah al- Qur’ān sendiri yang berbicara dengannya. Sehingga dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang mudah serta uraian yang singkat dan bagus.

Para penafsir metode tahlili ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang lebar dan sebaliknya, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Selanjutnya, mereka juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang aneka ragam. Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode Tahlīliy ini dapat dibedakan kepada berbagai macam corak tafsīr yaitu:

Tafsīr bi al- Ma’tsûr, bi al- Ra’yi, al- Shufi, al-Fiqhi, al- Falsafi, al- ‘Ilmi, al- Adab al- Ijtima’i.

Dalam menafsirkan ayat-ayat al- Qur’ān dengan metode ini, mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbāb al- nuzūl atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya

116 Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsīr Dan Aplikasi Model Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 66.

ayat, dengan cara meneliti hadis-hadis yang berhubungan dengannya. Sebagai contoh: “Penafsiran yang diberikan tafsīr al- Jalālain terhadap 5 ayat pertama dari surat al- Baqarah, tampak tafsīrnya sangat singkat dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai.

Penafsiran tentang alif lām mīm (ملا), misalnya, dia hanya berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula penafsiran باتكلا كلذ, hanya dikatakan: “Yang dibacakan oleh Muhammad”. Begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris saja. Sedangkan tafsīr tahlīliy (analitis), al- Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan tujuh halaman.117

Metode tafsīr maudhū’iy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al- Qur’ān yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.

Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsīrnya ini dengan metode maudhū’iy, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan

117 Hujair Sanaky, Metode Tafsīr, (Perkembangan Metode Tafsīr Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin), Diakses tanggal 12 Oktober 2017.

tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.118

Tafsīr maudhū’iy mempunyai dua bentuk yaitu tafsīr yang membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.

Menurut M. Quraish Shihab biasanya kandungan pesan suatu surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasul s.a.w.

Ia mencontohkan surah al- Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di dalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan itu.119

Tafsīr maudhū’iy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama tafsīr periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al- Razi. Namun, pada

118 Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsīr Maudhu’i, 36-37.

119. M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ān; Tafsīr Maudhū’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2007), Cetakan ke 9, 88.

masa belakangan beberapa ulama tafsīr lebih menekuninya secara serius.

Tafsīr yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu;

ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsīrkan secara maudhū’iy. Bentuk kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah tafsīr maudhū’iy itu diucapkan.

Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al- Qur’ān. Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan al- Qur’ān mengenai hal tersebut.

Contoh: ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada ayat-ayat di bawah ini:

َُ لاَو

ُ او بَر ْقَت

ُ

َُلا َم

ُِميِتَيْلاُ

ُ َّلاِإُ

ُي ِتَّلاِبُ

َُي ِهُ

ُ

ُ ن َس ْحَ أ

ُ

ُ ى َّت َح

ُ

َُغ لْبَي

ُ

ُ ه َّد شَ أ

ُُۖ

او ف ْوَ أَو

ُ

َُلْي َكْلا

َُناَزيِلْاَوْ ُ

ُ ِط ْس ِقْلاِبُ

ُُۖ

َُ لا

ُ فِ لَك نُ

ُ ا س ْفَن

ُ َّلاِإُ

ُ اَهَع ْس و ا َذِإَوُُۖ

ُ

ُْم تْل ق

ُ او ل ِدْعُاَف

ُ

ُْول َوَ

ُ

َُناَك

ُ ا َذ

ُ

ُ ىَبْر ق

ُِدْهَعِبَوُُۖ

ُِ َّاللُّ

ُ او ف ْوَ

أ

ُُۚ

ُ َ

ُْم كِلذ

ُُ

ُْم كا َّص َو

ُِهِبُ

ُ

ُْم كَّلَعلَ

ُ

َُنو ر َّك َذَت

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan

penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS al- An’ām, 6:152).120

او تآَو

ُ

ُ ى َماَتَيْلا

ُ

ُْم هلاَو ْمَ َ أ

ُُُۖ

َُ لاَو

ُ او ل َّدَبَتَت

َُثيِبَخ ْلاُ

ُِبِ يَّطلاِبُ

ُُۖ

َُ لاَو

ُ او ل كْ

أَت

ُ

ُْم هلاَو ْمَ َ أ

ُ

ُ ىَ ل ِإ

ُِلاَو ْمَُ أ

ُْم ك

ُ هَّن ِإُُۚ

ُ

َُناَك

ُ

ا بو ح

ُا ريِبَكُ Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”. (QS an-Nisā, 4’: 2).121

Kitab-kitab tafsīr yang menggunakan metode maudhu’iy ini adalah: Al- Mar’ah fī al- Qur’ān dan Al- Insān fī al- Qur’ān al- Karīm karya Abbas Mahmud al- Aqqad; Ar-Ribā fī al- Qur’ān al- Karīm karya Abu al- ‘A’la al- Maududiy; Al- Washāyā al- ‘Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut; Tema-tema Pokok al-Qur’ān karya Fazlur Rahman; dan Wawasan al-Qur’ān Tafsīr Maudhū’iy Atas berbagai Persoalan Umat karya M. Quraish Shihab.122

120 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’ān Dan Terjemahan.

121 Ibid.

122Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul Studi Al-Qur’an: al-Fatihah an- Nisa’, (Jakarta: Rajawali 1989), 88.