• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Nurul Satria Abdi

Dai Muhammadiyah yang merupakan ujung tombak Mu- hammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As- Sunnah, perlu meningkatkan wawasan hukum positif1, khusus- nya perihal ujaran kebencian (hate speech), sehingga dapat me- minimalisir adanya dai yang bermasalah dengan hukum. Dai Muhammadiyah hendaknya tahu hukum. Dalam hukum, ada istilah fiksi hukum yang artinya, “setiap orang tanpa kecuali di- anggap tahu hukum”. Menjadi sangat naif jika ada mubaligh Muhammadiyah menyatakan tidak mengetahui ada hukum yang berlaku dalam perkara yang menimpanya (ignorante legs est lata culpa).

Pendahuluan

Hakikat penciptaan manusia dalam perspektif Islam dapat dikaji da- lam dua atribut yang saling berkait, sebagai hamba Allah2 maupun khali- fah Allah3 yang keduanya mengarah kepada pemuliaan dan kemuliaan

      

1 Hukum positif dimaknai sebagai norma hukum yang mengatur perilaku orang (perorangan-masyarakat-badan hukum) berlaku dalam suatu wilayah tertentu (nasional-daerah) yang dibentuk oleh negara untuk kepentingan atau tujuan tertentu.

2 QS. Adz-dzariyat (51) ayat 56, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

3 QS. Al_Baqarah (2) ayat 30, “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"”.

manusia di dunia dan akhirat. Sebagai makhluk yang diciptakan sempur- na,4 dalam diri manusia ada dimensi kebebasan juga dimensi ketertiban.

Dua dimensi inilah yang selanjutnya secara bersama-sama mengubah peradaban manusia menjadi lebih baik, harmonis, dan bersinergi pada suatu waktu tertentu (homo homini socius), dan di waktu tertentu lainnya melandai, penuh konflik, permusuhan, bahkan peperangan (homo homi- ni lupus).

Peradaban manusia saat ini sangat jauh berbeda dengan peradaban masa lalu. Tatanan sosial, hukum, ekonomi, teknologi informasi, dan la- innya berubah sangat cepat. Kehendak dan karya yang awalnya diniatkan bernilai positif untuk kebaikan manusia dan lingkungan terkadang tanpa disadari menimbulkan dampak negatif dan berbalik menjadi ancaman bagi manusia itu sendiri dan lingkungan yang sering terlambat atau mungkin lupa diantisipasi.

Perubahan tatanan sosial dari tatanan berbasis keluarga, etnis (kesuku- an) ke dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan yang melintasi suku, agama, dan ras juga berdampak terhadap tatanan hukum yang dianut, hukum berubah dari semula hanya kesepakatan lisan yang tidak tertulis menjadi dan disempurnakan dengan hukum tertulis dalam bentuk per- undangan-undangan bentukan negara.

Jauh sebelum kehadiran konsep dan praktik negara bangsa (nation state) yang dianggap sebagai salah satu bentuk asosiasi besar manusia yang ideal, sesungguhnya Islam telah memberikan pedoman hidup bermasya- rakat yang sempurna5 dan sudah pula diberi contoh praksis oleh Ra- sulullah saw dan para nabi pendahulunya.

Indonesia merupakan salah satu entitas bentukan manusia yang menghendaki adanya kebebasan bagi manusia dan kemerdekaan bagi       

4 QS. At-Tin (95) ayat 4, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

5 QS. Al-Maidah (5) ayat 3, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

bangsa dan negara di mana pun berada. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menyatakan bahwa “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena ti- dak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Bagi bangsa Indo- nesia kebebasan dan/atau kemerdekaan itu tidak hanya dimaknai sebagai ketiadaan penjajahan (belenggu) fisik tetapi lebih luas dari itu juga kebe- basan beragama dan berpendapat.

Negara Indonesia adalah negara hukum” pernyataan tersebut ditemu- kan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik In- donesia Tahun 1945. Beberapa konsekuensi pemilihan negara hukum itu ialah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, pemerintahan berdasarkan konstitusi, kesetaraan di hadapan hukum, ke- bebasan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan lain sebagainya.

Kebebasan beragama dan kebebasan menyatakan pendapat sebagai ba- gian dari hak asasi manusia tidak berarti tanpa batas, kedua kebebasan ini sejatinya juga dibatasi oleh kebebasan orang lain, sebagaimana diatur da- lam Pasal 28 J ayat (1) dan ayat (2) “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” dan “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan un- dang-undang dengan maksud semata--mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Fenomena penyampaian pendapat yang berisi ujaran kebencian (hate speech) jamak ditemukan. Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam nuansa politik, tetapi juga merambah ke dalam kehidupan yang bernuansa aga- ma, dalam kalangan umat beragama, antaragama, juga intraagama.

Tirto.id (2018) menemukan tema ujaran kebencian di media sosial di

mana tema keagamaan masuk di posisi kedua paling besar persentasenya setelah ujaran kebencian dengan tema politik, selengkapnya adalah:

a. politik: 40 % b. agama: 35 % c. personal: 20 % d. lain-lain: 5 %

Kebebasan Beragama dan Berpendapat

Manusia diciptakan dengan fitrah butuh kehadiran Tuhan (homo divine), bagi umat Islam, tuhan yang dimaksud semata-mata hanya Allah swt, Tuhan yang Maha Esa yang dari-Nya tercipta segala sesuatu. Kebu- tuhan manusia tentang Tuhan ini melahirkan agama yang dijadikan seba- gai pemandu hidup menuju ketenangan batin dan keamanan diri. Kon- sep perlindungan hak dasar (fitrah) manusia ini kemudian dikenal de- ngan hak asasi manusia (human right) yang mulai dikembangkan pada abad ke-12 sebagai bagian dari gerakan pemikiran, walaupun sebagai ge- rakan praksis telah ada dari masa para nabi, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Musa untuk berbeda agama dengan agamanya raja Namrud dan raja Fir’aun yang zalim dan menginginkan keseragaman agama serta penuhanan diri mereka.

Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa”, adalah sebagai bagian dari falsafah bangsa Indonesia dan Pasal 29 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai norma hukum dasar sangat terang menyatakan penyelenggaraan negara Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara agama. Cita dasar pembentukan negara Indonesia yang berdasar ketuhanan merupa- kan keluhuran para pendiri bangsa (founding fathers) untuk mendesain arah dan tujuan bangsa agar sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut dan diyakini benar oleh para penganutnya.

Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidi- kan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memi-

lih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” dan dikuatkan pula oleh Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi “Nega- ra menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan- nya itu.”6

Manusia sebagai makhluk sosial hidupnya tidak mungkin sempurna tanpa kehadiran manusia lainnya. Dalam hadirnya orang lain tersebut, manusia melakukan komunikasi, menyampaikan pandangan, pemikiran, dan pendapatnya. Seringkali pada saat manusia berkomunikasi dengan manusia lainnya itu muncul masalah yang berpotensi menyinggung keya- kinan agama, politik, suku, dan lainnya. Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Sementara, pada sisi yang lain, dakwah merupakah bagian lain dari komunikasi dalam artian luas, kewajiban7 sekaligus menjadi ruh jihad8 yang harus tetap digelorakan dalam diri setiap Muslim dalam artian khu- sus. Problematika dakwah kontemporer berhadap-hadapan dengan peru- bahan zaman dan kompleksitas permasalahan dakwah itu sendiri. Salah satu problematika dakwah kontemporer tersebut adalah wawasan dai da- lam hukum nasional yang selalu berkembang seperti fenomena ujaran ke- bencian (hate speech).

      

6 Hak beragama adalah salah satu hak yang tidak bisa dibatasi dan dikurangi dalam keadaan apapun, dalam kajian HAM hak ini dikenal dengan non-derigible right

7 QS. Ali Imran (3) ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

8 HR. Muslim “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah dengan tangan (kekuasaan atau kekerasan), jika ia tidak sanggup dengan demikian (sebab tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan), maka dengan lisannya, dan jika mampu dengan (dengan lisannya) yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.

Dakwah dalam pemaknaan hakikat dapat dikelompokkan ke dalam beberapa bagian:9

a. Dakwah sebagai agen perubahan;

b. Dakwah sebagai jalan menuju petunjuk;

c. Dakwah sebagai jihad; dan

d. Dakwah sebagai karekteristik Islam.

Allah Swt berfirman, bahwa ucapan yang lebih baik adalah ucapan orang yang berdakwah (QS. Fushshilat (41): 33), “Dan siapakah yang le- bih baik ucapannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah dan beramal shalih serta mengatakan; ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang Muslim.”

Ujaran Kebencian

Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Nomor SE/6/X/2015 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian10 yang lebih dikenal dengan

“SE Ujaran Kebencian”

Unsur-unsur ujaran kebencian:11

a. Segala tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung.

b. Yang didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, dan orientasi seksual.

c. Yang merupakan hasutan terhadap individu maupun kelompok agar terjadi diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/

atau konflik sosial.

d. Yang dilakukan melalui berbagai saran

SE Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian ang- ka 2 huruf (f) mendefinisikan bentuk-bentuk ujaran kebencian yang dia-       

9 Anhar Anshari, Kuliah Fiqih Dakwah, Cet. I (Yogyakarta: LPSI UAD), tt., hlm. 23-29.

10 Surat Edaran ini ditandatangani Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015.

11 Komnas HAM, Buku Saku Penangan Ujaran Kebencian (hate speech), hlm.

9.

tur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentu- an pidana lainnya di luar KUHP, antara lain:

a. Penghinaan: menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.

b. Pencemaran Nama Baik: pencemaran nama baik (defamation) ia- lah tindakan mencemarkan nama baik atau kehormatan seseo- rang melalui cara menyatakan sesuatu baik secara lisan maupun tulisan.

c. Penistaan: perkataan, perilaku, tulisan, atau pun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekeras- an dan sikap prasangka.

d. Perbuatan Tidak Menyenangkan: perlakuan yang menyinggung perasaan orang lain.

e. Provokasi: membangkitkan kemarahan dengan cara menghasut, memancing amarah, kejengkelan, dan membuat orang yang ter- hasut mempunyai pikiran negatif dan emosi.

f. Hasutan: mendorong, mengajak, membangkitkan, atau memba- kar semangat orang supaya berbuat sesuatu

g. Menyebarkan Berita Bohong (Hoaks)

Semua tindakan di atas memiliki tujuan atau dapat berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.

Selanjutnya pada angka 2 huruf g disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas, bertujuan untuk menghasut dan menyu- lut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek suku, agama, aliran keaga- maan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel (cacat), dan orientasi seksual.

Pada angka 2 huruf h disebutkan bahwa ujaran kebencian (hate speech) sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti dalam orasi kegiatan kampanye, spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), cera- mah keagamaan, media masa cetak maupun elektronik, dan pamflet.

Setiap perilaku hate speech dapat dilaporkan ke pihak terkait sesuai peraturan yang berlaku. Misalnya saja untuk penghinaan terhadap seseo- rang dapat digunakan yang tertera pada Buku I KUHP Bab XVI Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 dan Pasal 318 KUHP. Tentu pene- rapan pasal ini memiliki konsekuensi hukum berupa ancaman pidana.

Subjek perbuatan hate speech dapat diarahkan dilakukan kepada peme- rintah, organisasi atau kelompok tertentu, pasal yang digunakan:

a. Pasal 142 dan Pasal 143 KUHP (penghinaan terhadap kepala ne- gara asing);

b. Pasal 156 dan Pasal 157 (penghinaan pada golongan penduduk atau kelompok atau organisasi);

c. Pasal 177 KUHP (penghinaan pada pegawai agama atau pemuka agama); dan

d. Pasal 207 dan Pasal 208 KUHP (penghinaan pada kekuasaan yang ada di Indonesia).

Penggunaan pasal-pasal di atas adalah bahwa penghinaan hanya dapat dituntut jika ada pengaduan dari individu atau kelompok yang terkena dampak penghinaan. Artinya, tuntutan akan bernilai sah jika yang me- nuntut adalah pihak yang secara langsung merasa dirugikan. Dalam bebe- rapa kasus di Indonesia, proses penegakan hukum atas pelanggaran terha- dap pasal-pasal di atas sering bias karena subjek pengadu bukan mereka yang dirugikan secara langsung.

Manusia makhluk mulia, sudah seharusnya manusia memuliakan diri- nya dan manusia lainnya. Ujaran kebencian yang diungkapkan oleh indi- vidu maupun kelompok, baik lisan maupun tulisan, dengan mengguna- kan berbagai media merupakan upaya degradasi kemuliaan manusia itu dan sangat membahayakan. Beberapa alasan perlawanan terhadap ujaran kebencian: 12

      

12 Komnas HAM, ibid, hlm. 4.

a. Merendahkan manusia lain

Manusia adalah ciptaan Tuhan dan tidak ada seorang pun yang berhak merendahkan manusia dan kemanusiaan seorang pun yang merupakan ciptaan Tuhan.

b. Menimbulkan kerugian material dan korban manusia

Data penelitian menunjukkan jumlah kerugian material dan kor- ban kekerasan berbasis identitas lebih besar daripada kekerasan lainnya.

c. Berdampak pada konflik

Hasutan untuk memusuhi orang atau kelompok dapat menim- bulkan konflik. Konflik ini dapat antar individu dan meluas men- jadi konflik komunal atau antar kelompok

d. Berdampak pada pemusnahan kelompok (genosida)

Hasutan kebencian ini dapat membuat streotyping/pelabelan, stig- ma, pengucilan, diskriminasi, kekerasan. Pada tingkat yang pa- ling mengerikan dapat menimbulkan kebencian kolektif pem- bantaian etnis, pembakaran kampung, pengusiran, pembumiha- ngusan kampung atau pemusnahan (genosida) terhadap kelom- pok yang menjadi sasaran ujaran kebencian.

Penutup

Dai Muhammadiyah yang merupakan ujung tombak Muhammadi- yah sebagai gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid, yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah perlu meningkatkan wawasan hukum positif13, khususnya perihal ujaran kebencian (hate speech) sehingga dapat meminimalisir adanya dai yang bermasalah dengan hukum. Dai Muhammadiyah hendaknya tahu hukum, di dalam hukum ada istilah fiksi hukum yang artinya “setiap orang tanpa kecuali dianggap tahu hukum”. Menjadi sangat naif kemudian jika ada mubaligh Muham-       

13 Hukum positif dimaknai sebagai norma hukum yang mengatur perilaku orang (perorangan-masyarakat-badan hukum) berlaku dalam suatu wilayah tertentu (nasional-daerah) yang dibentuk oleh negara untuk kepentingan atau tujuan tertentu.

madiyah menyatakan tidak mengetahui ada hukum yang berlaku dalam perkara yang menimpanya (ignorante legs est lata culpa).

Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya dengan transliterasi, Departemen Agama RI.

Anhar Anshari. 2016. Kuliah Fiqih Dakwah (Cet. 1), Yogyakarta: LPSI UAD.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 2015. Buku Saku Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Jakarta: Komnas HAM.

Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor:

SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

OPTIMASI PLATFORM DIGITAL DALAM MEREALISASIKAN