61,7 persen rumah tangga yang menempati hunian tidak layak berdasarkan empat aspek kelayakan dalam ketahanan bangunan, luas lantai per kapita, air minum, dan sanitasi dimana sebagian diantaranya menempati permukiman kumuh. Kondisi tersebut diperparah dengan belum optimalnya pembinaan dan pengawasan mengenai keandalan bangunan dalam pengurangan risiko terhadap bencana, serta tertib bangunan untuk mencegah tumbuhnya permukiman kumuh.
Rendahnya kapasitas daerah, pengelola dan lembaga penyelenggara untuk pengembangan layanan dasar permukiman.
Minimnya alokasi APBD diperkirakan dapat mempengaruhi operasional layanan, serta berkontribusi terhadap pencapaian akses masyarakat terhadap layanan dasar. Alokasi anggaran untuk program perumahan dan permukiman masih sangat sedikit. Laporan Urban Sanitation Development Program tahun 2017 menemukan bahwa di setengah dari 49 kabupaten/kota (di 9 provinsi) hanya kurang dari 2 persen dari total APBD yang
dialokasikan untuk pengembangan sektor sanitasi.
Alokasi APBD kabupaten/kota rata-rata untuk air minum hanya sebesar Rp. 7 Milyar, sementara itu DAK sebagai skema pendanaan alternatif belum mampu dioptimalkan. Keterbatasan kapasitas juga terjadi dari sisi perencanaan dan kelembagaan.
Penanganan perumahan masih diartikan sebatas pada peningkatan kualitas rumah dalam bentuk bedah rumah, padahal fasilitasi penyediaan perumahan juga mencakup perbaikan delivery system dari sisi supply dan demand, dimulai dari pengadaan tanah, perizinan, pembangunan, hingga meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas pembiayaan. Dari sisi kelembagaan, rendahnya kapasitas penyelenggara dan kelembagaan sistem terlihat dari belum optimalnya kinerja penyelenggara layanan dasar. Permasalahan fungsi regulator dan operator layanan dasar juga masih terjadi di daerah.
Sebagai contoh, baru 102 kabupaten/kota yang sudah memiliki Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dan 11 kabupaten/kota yang berbentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terkait pengelolaan layanan air limbah domestik.
Belum optimalnya implementasi kebijakan pemerintah terkait penyediaan layanan dasar permukiman yang terlihat dari masih rendahnya akses masyarakat terhadap layanan dasar.
Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh belum terintegrasinya perencanaan baik antara masing-masing rencana sektoral, antara rencana sektoral dengan rencana pembangunan daerah dan rencana tata ruang. Sinkronisasi perencanaan dan implementasi turut dipersulit oleh banyaknya dokumen perencanaan yang dikeluarkan oleh berbagai instansi, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, dan belum terdapat referensi dokumen perencanaan sektoral tunggal.
Sebagai contoh, terdapat dokumen Rencana Aksi Daerah (RAD), Rencana Induk Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (RISPAM), Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK), dan Kebijakan dan Strategis (Jakstra) untuk perencanaan bidang air minum dan sanitasi. Walaupun 414 kabupaten/
kota sudah menyusun dokumen tersebut, namun belum terlihat adanya peningkatan akses air minum dan sanitasi yang signifikan pada kabupaten/kota
tersebut. Sedangkan untuk bidang perumahan dan permukiman, terdapat Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawsan Permukiman (RP3KP), Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KP-KP), dan Rencana Kawasan Permukiman (RKP). Dokumen perencanaan yang telah disusun perlu disinergikan baik secara program, kegiatan, dan pendanaannya dengan melibatkan sektor dan pemangku kepentingan terkait (pemerintah pusat, daerah, swasta, dan masyarakat).
Belum optimalnya peningkatan akses sanitasi (air limbah) layak dan aman.
Tantangan terbesarnya adalah rendahnya demand masyarakat yang ditunjukkan dengan masih tingginya persentase perilaku buang air besar sembarangan (BABS) di tempat terbuka, yaitu sebesar 9,36 persen atau sekitar 25 juta jiwa, membuat Indonesia berada di peringkat 3 di dunia untuk angka BABS di tempat terbuka terbesar. Selain itu, terdapat idle capacity dalam operasionalisasi Instalasi Pengolahan Air Limbah Skala Kota sebesar 36,3 persen, yang
disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyambung pada sistem pengelolaan air limbah domestik (SPALD) terpusat. Untuk SPALD setempat, implementasi Sistem Pengelolaan Lumpur Tinja masih yang rendah berkontribusi pada lambatnya peningkatan akses aman. Hal ini terlihat dari keberfungsian 272 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang sudah terbangun hingga tahun 2018, hanya delapan IPLT yang teridentifikasi beroperasi secara optimal.
Belum optimalnya peningkatan akses air minum layak dan aman.
Tantangan penyediaan air minum dari sisi supply adalah masih rendahnya kinerja dan kapasitas penyelenggara SPAM dalam memberikan pelayanan air minum yang ditunjukkan dengan:
(1) masih rendahnya cakupan layanan perpipaan yang saat ini baru mencapai 20,29 persen, dan (2) persentase PDAM yang sehat baru mencapai 59,6 persen. PDAM masih terkendala dengan sistem pengelolaan aset yang belum memadai yang mengakibatkan tingginya tingkat kehilangan air (Non-Revenue Water/NRW) yaitu sebesar 33 persen. Idle capacity dari unit distribusi menuju sambungan rumah tangga masih tergolong tinggi, yaitu sebesar 57 m3/detik. Sementara itu, tarif air minum yang diterapkan saat ini tergolong rendah sehingga masih banyak PDAM yang belum mampu menerapkan tarif Full Cost Recovery (FCR). Hal ini juga mengakibatkan PDAM sulit melakukan pengembangan bisnisnya. Sedangkan tantangan dari sisi demand, adalah kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengakses air minum layak dan aman, rendahnya kesadaran masyarakat untuk mau membayar air (willingness to pay), serta rendahnya penerapan perilaku hemat air oleh masyarakat yang terlihat dari tingginya nilau rata- rata pemakaian air PDAM oleh masyarakat yaitu sekitar 147 L/orang/hari.
Pengelolaan air tanah dan air baku berkelanjutan menghadapi beberapa tantangan, antara lain:
tidak meratanya distribusi ketersediaan air baku antarwilayah; tingginya pertumbuhan penduduk dengan konsentrasi 60 persen penduduk di pulau Jawa; masih dominannya alokasi air untuk irigasi; eksploitasi air tanah yang tinggi; tingginya pencemaran air pada 65 persen wilayah sungai;
serta perkembangan 10 wilayah aglomerasi. Kondisi tersebut menyebabkan adanya water stress karena kebutuhan air baku sangat tinggi dibandingkan dengan penambahan kapasitas penyediaan air baku.
Isu strategis dalam penyediaan air baku pada RPJMN 2020-2024 mencakup beberapa hal yaitu pemenuhan defisit penyediaan air baku, pengendalian ekstrasi air tanah, peningkatan investasi penyediaan air minum melalui peran serta swasta/badan usaha, serta peningkatan efisiensi pengelolaan sumber daya air melalui
pemanfaatan teknologi. Defisit air baku untuk memenuhi target 30 persen perpipaan di tahun 2024 diperkirakan mencapai 90 m3/detik, yang telah mempertimbangkan capaian distribusi air minum PDAM di periode sebelumnya. Di sisi lain, ada potensi pemanfaatan air baku dari 65 bendungan di tahun 2024 yang ditargetkan mencapai 59,3 m3/ detik dengan 57,87 m3/detik terdistribusi di 5 provinsi Pulau Jawa (Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Banten), dan potensi pemanfaatan air irigasi sekitar 5-10 persen untuk air baku atau agroindustri.
Upaya pemanfaatan air baku ini, baik yang berasal dari bendungan maupun alokasi air irigasi perlu didukung oleh peningkatan kinerja PDAM dalam mengurangi tingkat kebocoran air, pemanfaatan idle capacity infrastruktur air baku, dan pengembangan infrastruktur distribusi. Penyediaan air baku dari sumber air permukaan juga diarahkan untuk mengurangi tingkat ekstraksi air tanah yang saat ini masih sebesar 46 persen dari pemenuhan kebutuhan air domestik. Pengendalian praktik pengambilan air tanah juga bertujuan untuk mengurangi terjadinya penurunan tanah di beberapa daerah. Investasi penyediaan infrastruktur air baku juga didukung melalui pengembangan skema kerjasama pemerintah dan swasta sebagai alternatif pembiayaan. Skema KPBU dalam penyediaan infrastruktur telah memfasilitasi pembangunan 8 SPAM (BPPSAM, 2017). Efisiensi penggunaan air tanah terus ditingkatkan melalui penerapan prinsip pemanfaatan kembali air (water reuse and recycle) serta pemanenan air (water harvesting), terutama di pulau kecil terluar dengan potensi curah hujan tinggi.
Pemanfaatan air secara efisien ini juga didukung oleh penerapan teknologi, baik dari sisi pengendalian volume air maupun integrasi pemanfaatan air dari berbagai sumber (conjunctive use).
Gambar 6.1 Bauran Sumber Air untuk Keperluan Domestik
Air Kemasan 4%
PDAM 9% Ledeng
Tanpa Meteran
2%
Air Tanah Mata Air 46%
19%
Sungai/
Danau/
Kolam 9%
Air Hujan 3%
Tidak Ada Data Lain-lain 8%
0%
Pengelolaan Air Tanah dan Air Baku Berkelanjutan Masih Terbatas