jasa informal dengan kontribusi pertumbuhan yang rendah. Sektor industri pengolahan, yang memiliki potensi terbesar untuk mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja formal, masih menghadapi tantangan kenaikan upah tenaga kerja yang belum diikuti dengan peningkatan produktivitas yang setara. Terbatasnya kesempatan kerja di dalam negeri menjadikan pangsa pasar kerja luar negeri sebagai alternatif bagi calon pekerja migran Indonesia. Namun, sebagian besar lapangan kerja yang dapat diisi adalah pekerjaan dengan kualifikasi atau keahlian rendah.
Lambatnya transformasi struktural di Indonesia juga berkaitan dengan rendahnya ekspor. Rasio nilai ekspor/PDB Indonesia baru mencapai 19,0 persen, atau jauh di bawah Thailand (69,0 persen), Vietnam (93,0 persen) dan Singapura (172,0 persen). Keunggulan sumber daya alam yang ada di Indonesia juga belum banyak diolah menjadi produk bernilai tambah tinggi, seperti ditunjukkan dengan ekpor produk Indonesia yang didominasi oleh komoditas (lebih dari 50 persen), terutama olahan CPO, logam dasar, karet dan makanan.
Gambar 2.6 Kondisi Ekspor Indonesia Dibandingkan Negara-Negara Lain
Sumber: Bank Dunia, diolah
Sumber: Atlas of Economic Complexity, World Development Indicators (2016), dan Bank Dunia (2018) Gambar 2.7 Persentase Ekspor Industri Berteknologi Tinggi
Indonesia Thailand Vietnam India Brazil Turki
1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
10 5 0 20 15 30 25 35 40
Masalah produktivitas yang rendah ini berkaitan dengan kualitas SDM yang rendah, karena tenaga kerja masih didominasi oleh lulusan SD (40,7 persen), sementera tidak semua tenaga kerja lulusan pendidikan yang lebih tinggi memiliki kesiapan dan kapasitas sesuai kebutuhan dunia kerja. Mismatch keterampilan, kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah, keterbatasan talenta untuk siap dilatih dan bekerja menjadi isu-isu yang perlu ditangani dalam peningkatan produktivitas tenaga kerja.
yang berorientasi ekspor. Investasi juga bergeser dari sektor sekunder ke sektor tersier dalam dua tahun terakhir.
Peningkatan kualitas investasi juga dihadapkan pada tantangan pengelolaan persaingan usaha. Data Global Competitiveness Index (2018) menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi industri di Indonesia—
yang diukur melalui nilai dominasi pasar—masih cukup tinggi, yaitu 4,1. Angka ini menunjukkan bahwa industri hanya didominasi oleh beberapa pelaku usaha. Penumbuhan industri baru melalui investasi, dan kemudahan pengembangan usaha diharapkan dapat meningkatkan persaingan usaha yang sehat, efisiensi, serta pertumbuhan yang inklusif.
Upaya peningkatan investasi dan ekspor, termasuk pariwisata, juga dilakukan melalui diplomasi ekonomi. Namun, pelaksanaannya belum berjalan secara optimal dikarenakan beberapa kendala:
(1) belum terpadunya kebijakan dan koordinasi diplomasi ekonomi, (2) belum adanya mekanisme koordinasi penyelenggaraan investasi ke luar negeri, (3) belum harmonisnya regulasi dalam negeri yang menunjang pelaksanaan perundingan perjanjian dagang, (4) belum optimalnya koordinasi untuk mendukung investor dalam negeri yang berinvestasi ke luar negeri, (5) Belum optimalnya sinergi antara Pemerintah, BUMN, Swasta dan Masyarakat dalam mendorong diplomasi ekonomi, (6) belum optimalnya penetrasi Indonesia ke pasar non tradisional.
Transformasi struktural yang berjalan lambat juga ditunjukkan oleh dominasi usaha skala mikro dalam struktur pelaku usaha nasional (99,0 persen).
Kondisi ini menunjukkan adanya hollow middle yang menjadikan kapasitas dunia usaha untuk membangun keterkaitan hulu-hilir menjadi terbatas.
Upaya untuk meningkatkan skala usaha UMKM saat ini belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Di sisi lain, percepatan transformasi struktural masih dapat dilaksanakan dengan meningkatkan Rasio ekspor yang rendah dan dominasi ekspor
komoditas menggambarkan tiga isu dalam struktur industri nasional yang perlu ditangani ke depan.
Pertama, adanya disharmoni antara sektor hulu dan hilir menyebabkan kerentanan dalam rantai pasok/
nilai industri nasional sehingga daya saing industri nasional rendah. Kedua, kapasitas inovasi di Indonesia rendah seperti yang ditunjukkan ekspor produk industri berkandungan teknologi tinggi asal Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara yang setara.
Ketiga, kualitas investasi rendah dimana investasi belum sepenuhnya berorientasi ekspor dan menjalankan transfer teknologi dan pengetahuan, khususnya untuk Penanaman Modal Asing (PMA).
Harapan adanya transfer teknologi dan pengetahuan dari masuknya PMA yang dapat mendorong inovasi dan diversifikasi produk ekspor belum sepenuhnya terwujud. Sebagian besar investasi masih menyasar pasar dalam negeri yang besar, dan belum banyak Gambar 2.8. Keterkaitan Hulu-Hilir yang Menurun dalam 15 Tahun Terakhir
Sumber: Analisis Bappenas
Gambar 2.9. Pergeseran Investasi ke Sektor Tersier
Sektor Sekunder Sektor Tersier Sektor Primer
2015 2016 2017 2018 43,3
17,4 14,5 18,0 18,3 39,3
54,8
39,6 30,8 50,9 42,4 30,7
Sumber: BKPM, diolah
Pada tahun 2018, Pemerintah telah meluncurkan gerakan Making Indonesia 4.0. Gerakan ini sejalan dengan era digitalisasi yang memfasilitasi pengintegrasian informasi untuk tujuan peningkatan produktivitas, efisiensi, dan kualitas layanan.
Pemanfaatan ekonomi digital ke depan memiliki potensi yang besar untuk tujuan peningkatan nilai tambah ekonomi. Sebagai contoh, pemanfaatan Industry 4.0 sepanjang rantai nilai dapat meningkatkan efisiensi hulu-hilir serta kontribusi nilai tambah industri pengolahan secara agregat dalam perekonomian.
Namun tantangan yang dihadapi Indonesia dalam era digitalisasi juga cukup besar. Dari sisi kesiapan inovasi untuk menghadapi revolusi digital seperti yang ditunjukkan oleh Network Readiness Index, Indonesia berada pada peringkat 73 dari 139 negara. Sementara negara-negara yang setara memiliki kesiapan yang lebih baik, seperti Malaysia (peringkat 31), Turki (48), China (59), Thailand (62).
Indonesia memiliki keunggulan dalam harga, namun jauh tertinggal dalam infrastruktur dan pemanfaatan oleh masyarakat.
Kesiapan Indonesia untuk mengadopsi dan mengeksplorasi teknologi digital yang mampu mendorong transformasi dalam pemerintahan, model usaha dan pola hidup masyarakat juga dianggap kurang. Hal ini ditunjukkan oleh data World Digital Competitiveness Ranking tahun 2017 dimana Indonesia berada pada peringkat ke 59 dari 63 negara.
Cara beradaptasi, integrasi informasi teknologi, dan kerangka peraturan menjadi isu-isu yang perlu diperbaiki agar Indonesia dapat memanfaatkan kemajuan teknologi digital bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup.
Sumber: Global Information Technology Report, World Economic Forum (2016)
Gambar 2.10. Network Readiness Index Negara-negara di Asia