• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

G. Teknik Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, pengabsahan data merupakan salah satu faktor yang sangat penting, karena tanpa pengabsahan data yang diperoleh dari lapangan maka akan sulit sekali bagi seorang peneliti untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitiannya.

Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber.

Dalam hal pengabsahan data, peneliti menggunakan metode triangulasi yaitu pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono dalam bukunya

Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D (2014:273), yang menyatakan bahwa “Triangulasi dalam pengujian krdibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian dalam penelitian ini digunakan riangulasi sumber, triangulasi teknik pengumpulan data, dan triangulasi waktu dalam menguji keabsahan data.

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber, dengan cara mengecek kembali data yang diperoleh dari informasi dokumen lain dengan sumber informasi dengan tujuan untuk mendapatkan derajat kepercayaan adanya informasi dan kesamaan pandang serta pemikiran sehingga data yang diperoleh langsung dianalisis.

2. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas atau tingkat kepercayaan data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi, dan dokumentasi. Bila dengan tiga teknik pengujian kredibilitas tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana yang dianggap benar. Atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandangnya berbeda- beda.

3. Triangulasi Waktu

Trianggulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di pagi hari pada saat narasumber masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih valid sehingga lebih kredibel atau dapat dipercaya. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya.

Tabel 3.2 Triangulasi Data

Rumusan Masalah Sub Indikator

Elemen Dokum

entasi

Obser vasi

wawa ncara 1. Bagaimana eksistensi

budayaA’dengka Pada dalam acara perkawinan masyarakat Kelara Kabupaten Jeneponto

a. Eksistensi budaya A’dengka Pada

  

b. Acara perkawinan masyarakat kelara kabupaten

Jeneponto

  

2. Bagaimana nilai sosial yang terkandung dalam budayaA’dengka Pada dalam acara perkawinan masyarakat Kelara Kabupaten Jeneponto

a. Nilai sosial A’dengka Pada

  

b. Nilai budaya A’dengka Pada

  

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Letak Geografis

Kabupaten Jeneponto terletak di ujung bagian barat dari wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan merupakan daerah pesisir pantai yang terbentang sepanjang ± 95 di bagian selatan. Secara geografis kabupaten Jeneponto terletak diantara 5ͦ 16’13’’ –5ͦ 39’35’’ LSdan 12ͦ40’19’’ –12ͦ7’51’’

BT. Kabupaten Jeneponto berbatasan dengan Kabupaten Gowa di sebelah Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Takalar, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng. Kabupaten Jeneponto memiliki luas wilayah seluas 74.979 ha atau 749,79 Km2. Secara administrasi Kabupaten Jeneponto terdiri dari 11 Kecamatan.

Keadaan musim di Kabupaten Jeneponto pada umumnya sama dengan keadaan musim di daerah Kabupaten lain dalam Provinsi Sulawesi Selatan yang dikenal dengan dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

Musim hujan terjadi antara bulan November sampai dengan bulan April sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Curah hujan di wilayah Kabupaten Jeneponto pada umumnya tidak merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah basah dan wilayah semi kering. Nilai ekonomi Kabupaten Jeneponto cukup potensial untuk

pengembangan tanaman perkebunan dan pertanian tanaman pangan seperti jagung, padi, kacang tanah, dan ubi kayu.

Industri yang menjadi andalan Kabupaten Jeneponto adalah industri garam rakyat, industri gula merah, dan industri pengeringan dan pengolahan jagung kuning. Kabupaten Jeneponto merupakan penghasil garam terbesar di kawasan timur Indonesia. Kabupaten Jeneponto juga memiliki potensi pohon lontar (Siwalan) yang sangat besar dan tersebar pada semua kecamatan sehingga sangat memungkinkan untuk pengembangan sentra industri gula merah. Saat ini pengolahan gula merah rakyat masih secara tradisional sehingga produksi dan kualitasnya masih rendah. Oleh karena itu diperlukan adanya teknologi modern untuk pengolahan gula merah yang diharapkan dapat menghasilkan gula merah dengan kualitas yang bersaing.

Kabupaten Jeneponto juga mempunyai potensi pariwisata budaya dan alam. Obyek pariwisata pantai yang terkenal di Kabupaten Jeneponto adalah kawasan Birtaria Kassi, Pulau Harapan, Tanjung Mallasoro, dan untuk wisata alam pegunungan yang terkenal adalah Pesanggrahan Loka, dan Air Terjun Boro. Sedangkan obyek wisata budaya yang terkenal di Kabupaten Jeneponto adalah Makam Raja-Raja Binamu, Mesjid dan Rumah Adat Tertua Patealla di Kecamatan Kelara, dan Balla Lompoa (Rumah Besar) di Kecamatan Binamu.

Pesona lain yang juga bisa dinikmati di Kabupaten Jeneponto adalah tarian khas Jeneponto seperti tari padekko biasa dilakukan pada pasca panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas hasil panen yang diperoleh.

Selain itu ajang pesta ini dijadikan pula oleh para muda-mudi untuk menarik

simpati lawan jenis. Tarian padekko ini memang sangat menarik untuk disajikan sebagai khasanah keunikan dan keragaman budaya masyarakat Jeneponto.

Kecamatan Kelara merupakan salah satu dari 11 kecamatan di Kabupaten Jeneponto yang berbatasan dengan Kecamatan Rumbia di sebelah utara, Kabupaten Bantaeng di sebelah timur, Kabupaten Gowa di sebelah barat dan Kecamatan Turatea di sebelah selatan.

Kecamatan Kelara terdiri dari 10 desa/kelurahan dengan luas wilayah sekitar 43,95 km2. Untuk lebih jelasnya mengenai luas wilayah Kecamatan Kelara menurut desa/kelurahan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel. 4.1. Luas Wilayah Kecamatan Kelara Menurut Desa/Kelurahan

No Desa/Kelurahan Luas Km2 Persentase

1. Tolo 5,92 13,48

2. Bontolebang 3,19 7,26

3. Samataring 6,04 13,74

4. Gantarang 3,73 8,49

5. Tolo Utara 5,72 13,01

6. Tolo Selatan 3,62 8,24

7. Tolo Timur 6,02 13,79

8. Tolo Barat 2,17 4,94

9. Tombolo 3,75 8,53

10. Bontonompo 3,75 8,53

Jumlah 43,94 100

Sumber: Kantor Desa / Kelurahan

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa Kecamatan Kelara terdiri dari 10 Desa/Kelurahan dengan luas wilayah 43,94 km2. Kelurahan Tolo Timur

memiliki wilayah terluas yaitu 6,02 km2, sedangkan yang paling kecil luas wilayahnya adalah Kelurahan Tolo Barat yaitu 2,17 km2.

Sebanyak 10 desa/kelurahan di Kecamatan Kelara merupakan daerah bukan pantai. Menurut jaraknya, maka letak masing-masing desa/kelurahan ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten sangat bervariasi. Jarak desa/kelurahan ke ibukota kecamatan berkisar 0-11 km sedang ke ibukota kabupaten berkisar antara 13-25 km.

b. Keadaan Penduduk

Kurun waktu tahun 2010-2013 jumlah penduduk Kecamatan Kelara mengalami peningkatan. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah penduduk Kecamatan Kelara dari tahun 2010-2013 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.2: Jumlah Penduduk Kecamatan Kelara Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2010-2013

No. Desa/Kelurahan 2011 2012 2013 2013

1. Tolo 5.820 5.878 5.912 5.962

2. Bontolebang 1.681 1.698 1.708 1.723

3. Samataring 1.464 1.479 1.488 1.500

4. Gantarang 1.773 1.790 1.800 1.815

5. Tolo Utara 3.564 3.600 3.621 3.652

6. Tolo Selatan 3.445 3.480 3.500 3.530

7. Tolo Timur 3.353 3.387 3.407 3.436

8. Tolo Barat 3.048 3.079 3.097 3.123

9. Tombolo 1.258 1.271 1.278 1.289

10. Bontonompo 1.034 1.044 1.050 1.059

Jumlah 26.440 26.706 26.860 27.089

Sumber : BPS Kabupaten Jeneponto

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kecamatan Kelara dari tahun 2010-2013 mengalami peningkatan. Jumlah penduduk pada akhir tahun 2010 sekitar 26.440 jiwa, akhir tahun 2011 sekitar 26.706 jiwa, akhir tahun 2012 sekitar 26.860 jiwa dan terakhir pada tahun 2013 berjumlah 27.089 jiwa.

Adapun jumlah penduduk Kecamatan Kelara menurut jenis kelamin, sex rasio, berdasarkan desa/kelurahan tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.3 : Penduduk Kecamatan Kelara Menurut Desa/Kelurahan., Jenis Kelamin, Dan Sex Rasio Tahun 2013

No. Desa/Kelurahan

Jenis Kelamin

Jumlah Sex rasio Laki-laki Perempuan

1. Tolo 2.884 3.078 5.962 94

2. Bontolebang 805 918 1.723 88

3. Samataring 710 790 1.500 90

4. Gantarang 871 944 1.815 92

5. Tolo Utara 1.719 1.933 3.652 89

6. Tolo Selatan 1.668 1.862 3.530 90

7. Tolo Timur 1.575 1.861 3.436 85

8. Tolo Barat 1.528 1.595 3.123 96

9. Tombolo 606 683 1.289 89

10. Bontonompo 528 531 1.059 99

Jumlah 12.894 14.195 27.089 91

Sumber : BPS Kabupaten Jeneponto

Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa penduduk jenis kelamin laki-laki di Kecamatan Kelara pada tahun 2013 sekitar 12.894 jiwa dan perempuan sekitar 14.195 jiwa. Dengan demikian rasio jenis kelamin adalah

sekitar 91 yang berarti setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat sekitar 91 orang penduduk laki-laki.

Tingkat kepadatan penduduk Kecamatan Kelara pada tahun 2013 sekitar 616 jiwa per km2, meningkat bila dibandingkan dengan angka tahun 2012 sekitar 611 jiwa per km2. Untuk lebih jelasnya mengenai kepadatan penduduk Kecamatan Kelara menurut desa/kelurahan dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel 4.4 : Kepadatan Penduduk Kecamatan Kelara Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2013

No. Desa/Kelurahan Luas Km2

Jumlah Penduduk

Kepadatan Km2

1. Tolo 5,92 5,962 1007

2. Bontolebang 3,19 1,723 540

3. Samataring 6,04 1,500 248

4. Gantarang 3,73 1,815 487

5. Tolo Utara 5,72 3,652 638

6. Tolo Selatan 3,62 3,530 975

7. Tolo Timur 6,06 3,436 567

8. Tolo Barat 2,17 3,123 1439

9. Tombolo 3,75 1,289 344

10. Bontonompo 3,75 1,059 282

Jumlah 43,95 27,089 616

Sumber : BPS Kabupaten Jeneponto

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa kepadatan penduduk kecamatan Kelara ialah merupakan penduduk tertinggi adalah di Kelurahan Tolo Barat yaitu 1.439 jiwa per km2, menyusul Kelurahan Tolo sekitar 1.007 jiwa per km2, dan Kelurahan Tolo Selatan sekitar 975 jiwa per km2. Selanjutnya

desa/kelurahan dengan kepadatan penduduk paling rendah adalah di Desa Samataring sekitar 248 jiwa per km2.

Mata pencaharian penduduk Kecamatan Kelara sangat bervariasi, hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang bekerja, sebanyak 6.037 orang adalah petani pangan. Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian antara lain Perdagangan sebanyak 917 orang, Industri 158 orang, Angkutan 258 orang, dan Jasa hanya 144 orang. Adapun penduduk yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ABRI sebanyak 427 orang.

c. Bidang Pemerintahan

1) Perkembangan Desa/Kelurahan

Untuk tingkat perkembangan desa/kelurahan di Kecamatan Kelara sangat bervariasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.5:Tingkat Perkembangan Desa Di Kecamatan Kelara Tahun 2013 No Desa/Kelurah

an

Cepat Berkemb

ang

Berkemb ang

Lambang Berkemb

ang

Kurang Berkem bang

1 Tolo - 1 - -

2 Bontolebang - 1 - -

3 Samataring - 1 - -

4 Gantarang - 1 - -

5 Tolo Utara - 1 - -

6 Tolo Selatan - 1 - -

7 Tolo Timur - 1 - -

8 Tolo Barat - 1 - -

9 Tombolo - 1 - -

10 Bontonompo - 1 - -

Jumlah - 10 - -

Berdasarkan dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tiap desa/kelurahan mengalami perkembangan. Tidak ada desa/kelurahan yang cepat berkembang dan lambang berkembang maupun kurang berkembang. Semua desa/kelurahan berkembang.

2) Aparat Pemerintah

Kegiatan pemerintahan di Kecamatan Kelara dilaksanakan oleh sejumlah aparat/pegawai negeri yang berasal dari berbagai dinas/instansi pemerintah yang jumlahnya 98 orang, terdiri atas 74 orang laki-laki dan 24 orang perempuan.

3) Lembaga/Organisasi Tingkat Desa

Lembaga dan organisasi tingkat desa/kelurahan yang terbentuk di Kecamatan Kelara dengan sejumlah anggotanya diharapkan dapat menunjang kegiatan pemerintah dan pembangunan. Organisasi PKK masing-masing terdapat 1 unit pada setiap desa/kelurahan. Sedangkan organisasi keagamaan seperti remaja mesjid sekitar 26 kelompok dan pondok pengajian sekitar 45 kelompok.

d) Bidang Sosial 1) Pendidikan

Pada tahun ajaran 2012/2013 jumlah TK di Kecamatan Kelara mengalami penurunan dari 11 menjadi 6 sekolah di tahun 2013, dengan 227 orang murid dan 23 orang guru. Sedangkan Tingkat SD Negeri sebanyak 25 sekolah dengan 3.863 orang murid dan 332 orang guru. Untuk tingkat SLTP sebanyak 4 sekolah dengan 865 orang murid dan 89 orang guru.

Sedangkan untuk tingkat SLTA terdapat 2 sekolah dengan 962 murid dan 64 guru.

2) Kesehatan

Fasilitas kesehatan di Kecamatan Kelara sangat beragam dan cukup memadai, sekalipun belum ada rumah sakit di Kecamatan Kelara namun fasilitas kesehatan lainnya disetiap desa/kelurahan sangat beragam, hal ini terlihat dari adanya puskesmas, pustu, posyandu, toko obat, polindes, dan poskesdes yang hampir terdapat disemua desa/kelurahan di Kecamatan Kelara, dan untuk lebih jelasnya mengenai fasilitas kesehatan yang terdapat di Kecamatan Kelara pada tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.6 : Banyaknya Fasilitas Kesehatan Di Kecamatan Kelara Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2013

No Desa/Kelura han

Ru mah saki

t

Pus kes mas

Pust u

Posya ndu

Tok o obat

poli ndes

Pos kesd

es

1. Tolo - 1 - 5 - - -

2. Bontolebang - - 1 4 - - -

3. Samataring - - 1 3 - - -

4. Gantarang - - 1 5 - - -

5. Tolo Utara - - - 6 - - 1

6. Tolo Selatan - - 1 8 - - -

7. Tolo Timur - - 1 7 - - -

8. Tolo Barat - - - 4 - - 1

9. Tombolo - - - 3 - - 1

10. Tombolo - - - 3 - - 1

Jumlah - 1 5 49 - 1 4

Sumber : Desa/Kelurahan

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah sarana fasilitas kesehatan pada tahun 2013 di Kecamatan Kelara tercatat 1 Puskesmas, 5 Pustu, 49 Posyandu dan 4 Poskesdes.

3) Agama

Ditinjau dari agama yang dianut, maka sebagian besar penduduk Kecamatan Kelara adalah beragama Islam. Untuk lebih jelasnya mengenai banyaknya penganut agama dan agama yang dianut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.7: Banyaknya Pemeluk Agama Di Kecamatan Kelara Menurut Desa/Kelurahan Dan Agama Yang Dianut Tahun 2013 No Desa/Kelurahan Islam Kath

olik

Protest an

Budh a

Jumlah

1. Tolo 5.960 2 - - 5.962

2. Bontolebang 1.723 - - - 1.723

3. Samataring 1.500 - - - 1.500

4. Gantarang 1.815 - - - 1.815

5. Tolo Utara 3.652 - - - 3.652

6. Tolo Selatan 3.530 - - - 3.530

7. Tolo Timur 3.436 - - - 3.436

8. Tolo Barat 3.123 - - - 3.123

9. Tombolo 1.289 - - - 1.289

10. Bontonompo 1.059 - - - 1.059

Jumlah 27.087 2 - - 27,089

Sumber : Desa/Kelurahan

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa banyaknya penganut agama di Kecamatan Kelara yaitu 27.087 orang atau 99,99 persen, sedangkan 0,01 persen sisanya adalah penganut agama Kristen Katholik. Jumlah tempat

ibadah di Kecamatan Kelara cukup memadai karena terdapat 40 buah Mesjid dan 40 Langgar/Mushallah.

4) Fasilitas dan Tempat Tinggal

Fasilitas dan tempat tinggal penduduk Kecamatan Kelara sebagian besar menggunakan rumah panggung dan rumah bawah. Namun untuk lebih jelasnya mengenai fasilitas dan keadaan rumah penduduk dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.8: Banyaknya Rumah Tempat Tinggal Di Kecamatan Kelara Menurut Desa/Kelurahan Dan Bentuk Bangunan Tahun 2013

No. Desa/Kelurahan

Bentuk Bangunan Atau Rumah

Jumlah Panggung Rumah Bawah

1. Tolo 1349 62 1411

2. Bontolebang 411 23 434

3. Samataring 396 17 413

4. Gantarang 384 20 404

5. Tolo Utara 892 60 952

6. Tolo Selatan 678 34 712

7. Tolo Timur 832 58 890

8. Tolo Barat 792 53 845

9. Tombolo 327 9 336

10. Bontonompo 249 8 257

Jumlah 6310 344 6654

Sumber : Kaurbang Kecamatan Kelara

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa, keadaan tempat tinggal penduduk di Kecamatan Kelara sangat beragam, sebagian menggunakan rumah panggung dan sebagian lainnya menggunakan rumah bawah.

Sebanyak 6310 buah menggunakan rumah panggung dan sebanyak 334 menggunakan rumah bawah.

Untuk sumber penerangan di Kecamatan Kelara, terdapat 2719 rumah tangga menggunakan listrik PLN, petromak 26 rumah tangga dan Pengguna PLN tanpa meteran sebanyak 3834 rumah tangga. Sedangkan untuk sumber air minum, sebagian besar rumah tangga menggunakan sumur pompa yaitu sekitar 4031 rumah tangga atau 62,27 persen, menyusul mata air sekitar 812 rumah tangga atau 12,34 persen, kemudian sumur perigi 1736 rumah tangga atau 26,39 persen.

5) Pertanian

Tanaman pangan yang diusahakan di kecamatan Kelara meliputi padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau dan ubi kayu. Untuk lebih jelasnya mengenai pertanian khususnya produksi tanaman pangan yang diusahakan di Kecamatan Kelara dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.9 : Luas Tanam, Produksi Dan Rata-Rata Produksi Tanaman pangan (bahan makanan) Di Kecamatan Kelara Tahun 2013

No. Jenis Tanaman Pangan

Luas Tanam (Ha)

Produksi (Ton)

Produksi Rata- Rata (Ton/Ha)

1. Padi Sawah 1.504 3.442 5,69

2. Jagung 6.082 19.470 5,09

3. Kacang Tanah 101 94 0,93

4. Kacang Kedele 100 195 1,95

5. Kacang Hijau 27 13 1,3

6. Ubi Kayu 650 10.270 15,8

Sumber : PKK Kecamatan Kelara

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, produksi tertinggi pada tahun 2013 adalah pada tanaman jagung sebesar 19.470 ton dengan rata-rata hasil 5,9 ton/Ha. Menyusul produksi tanaman ubi kayu sekitar 10.270 ton dengan rata-rata hasil per hektar 15,8 ton/Ha, selanjutnya tanaman padi sebesar 3.442 ton dengan rata-rata hasil per hektar 5,69 ton/Ha, sedangkan yang paling rendah adalah tanaman kacang hijau sebesar 13 ton dengan rata-rata hasil 1,3 ton/Ha.

2. Deskripsi Hasil Penelitian

Kebudayaan adalah hasil manusia baik yang bersifat materi, maupun yang nonmateri. Seperti detailnya bahwa kebudayaan itu mempunyai tujuh unsur, yakni sistem mata pencaharian hidup (ekonomi), peralatan hidup (teknologi), ilmu pengetahuan, sistem sosial, bahasa, kesenian, dan sistem religi.

Sistem kebudayaan daerah kabupaten Jeneponto adalah suatu daerah yang memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan daerah lain di Sulawesi Selatan. Kabupaten Jeneponto memiliki dua sistem kebudayaan yang dikenal dengan adat istiadat yaitu karaeng dan ata. Karaeng adalah sebuah nama yang diberikan kepada seseorang yang dianggap kuat dan terpercaya dalam kabupaten Jeneponto. Ata adalah kelompok masyarakat yang derajatnya sangat rendah dibandingkan dengan kalangan karaeng yang tidak memiliki sifat khusus seperti yang dimiliki oleh seorang karaeng pada khususnya. Dari segi adat istiadat yang dianut oleh seorang ata sangat berbeda dengan seorang karaeng, seperti halnya dalam sistem perkawinan.

Dalam prosesi acara perkawinan masyarakat Jeneponto khususnya di Kecamatan Kelara, dalam acara perkawinannya masyarakat melakukan suatu tradisi atau budaya yaitu A’dengka Pada yang merupakan budaya turun temurun dalam masyarakat Kelara. Pada zaman dulu yang melakukan budaya A’dengka Pada dalam acara perkawinan hanya kalangan karaeng namun saat ini kalangan ata pun sudah sering melakukannya dalam acara perkawinan.

Namun dikalangan ata pun tidak semuanya melakukan budayaA’dengka Pada pada saat menggelar acara perkawinan hanya keluarga tertentu yang sering melakukannya. Seperti yang diungkapkan oleh Wati

Iya, nakkeA’dengka Pada rolo’ punna la pa’buntinga atau pasunnaka, kainjo to isse kabiasanna tau toaku riolo. Ri olo karaengnga ji biasa A’dengka Pada mingka anenne rakyat biasa ya A’dengka Pada tonji.

Terutamama tau niaka pattautoannayyaA’dengka Padari olo.

Artinya :

Iya, saya melakukan budayaA’dengka Padakalau saya akan menggelar acara perkawinan maupun acara sunatan, karna itu merupakan kebiasaan orang tua saya dari dulu. Dulu hanya kalangan bangsawan/karaeng yang A’dengka Pada tapi sekarang kalangan ata termasuk orang yang punya leluhur yang dulu melakukan budaya A’dengka Padajuga masih melakukan budayaA’dengka Pada.

(Wawancara 28 Mei 2015)

Hal yang sama juga diungkapkan oleh H. Doro’, yang pada saat diwawancarai mengungkapkan bahwa,

Anjo A’dengka Pada ya kabiasan ta ngaseng ri olo sampe kammanne, karaeng, ata, na lakukan ngaseng punna la pa’gauki, pa’bunting atau pun pasunna.

Artinya :

A’dengka Pada merupakan kebiasaan masyarakat dari dulu hingga sekarang.A’dengka Padadilakukan oleh kaum karaeng (kalangan atas) ataupun kaum ata (masyarakat biasa) semua melakukanA’dengka Pada pada saat akan menggelar acara perkawinan maupun acara sunatan.

(Wawancara 29 Mei 2015)

Berdasarkan penjelasan kedua responden di atas maka dapat disimpulkan bahwa mereka melakukan budaya A’dengka Pada karena itu merupakan kebiasaan mereka sejak dulu dan yang melakukan budaya A’dengka Pada, hanya orang-orang atau keluarga tertentu. Dulu hanya

kalangan karaeng yang melakukan budaya A’dengka Pada namun sekarang kalangan rakyat biasa juga sudah melakukannya, terutama kalangan masyarakat yang leluhur atau orang tuanya dulu sering melakukan budaya A’dengka Pada yang juga masih melakukan budaya A’dengka Pada hingga sekarang. Hal ini dilakukan untuk tetap melestarikan kebudayaan yang dilakukan oleh leluhur atau orang tua mereka sejak dulu. Sama halnya yang diungkapkan oleh Endang, seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak yang orang tuanya sejak dulu melakukan budaya A’dengka Pada pada saat akan menggelar acara perkawinan dan masih terus melakukan budaya A’dengka Pada hingga sekarang, saat diwawancarai beliau mengatakan bahwa:

Nakke ri attungku ca’di biasa I ku cini tau toaku A’dengka Pada, ri attukkung ku pole bunting A’dengka Pada I injo taua selama tallung ngallo. Jari ri attunna ku pa’bunting anakkku A’dengka Padatonga ka tea a tala anggaukangi ka injo to’ isse’ kabiasaanna tau toaku ri olo sampe nenne. Ka biasa ki guppa teguran battu ri pattautoanta punna biasa ki A’dengka Pada na giling tanre’ ni A’dengka Pada punna na sua’ sua’ra’ ki.

Artinya :

Sejak kecil saya sering melihat orang tua saya melakukan budaya A’dengka Padapada saat menggelar acara perkawinan, dan waktu saya menikah keluarga saya masih pun melakukannya, dan pada saat saya menikahkan anak saya, saya pun melakukan hal yang sama yaitu melakukan budayaA’dengka Pada dalam acara perkawinan anak saya, saya melakukannya karena itu kebiasaan orang tua saya sejak dulu hingga sekarang dan saya tidak pernah tidak melakukannya karena saya

sekeluarga biasa mendapat teguran dari keluarga yang lain atau Pattautoangku kalau tidak melakukannya.

(Wawancara 30 Mei 2015)

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh Endang di atas dapat disimpulkan bahwa berarti budaya A’dengka Pada merupakan mekanisme adaptasi suatu masyarakat atau dalam keluarganya yang turun temurun dan sudah sejak lama dilakukan karena sejak masih kecil beliau sering melihat orang tuanya melakukan budaya A’dengka Padadalam acara perkawinan. Pada saat beliau menikah pun keluarganya melakukan budaya A’dengka Pada dan saat beliau menikahkan salah satu anaknya dia pun masih melakukan budaya A’dengka Pada. Dan beliau tidak mau meninggalkan budayanya karena beliau

menghargai budaya dari keluarga atau pun leluhurnya. Sama halnya yang diungkapkan oleh Sitti, saat diwawancarai beliau mengungkapkan bahwa:

Iyee.. iya ngaseng bijangku A’dengka Pada punna pa’bunting atau pasunna ki, mulai ri nene’ ri olo kuji. Anjo nenekku naajari ngasengi anak cucunna A’dengka Pada.

Artinya :

Iya..semua keluarga saya melakukan A’dengka Pada pada saat menggelar acara perkawinan atau sunatan. Mulai dari nenek saya yang paling tua. Nenek saya itu mengajarkan kepada kami anak cucunya untuk melakukan budayaA’dengka Pada.

(Wawancara 12 Mei 2015)

Berdasarkan penjelasan Sitti di atas maka dapat disimpulkan bahwa semua keluarganya melakukan budaya A’dengka Pada dalam acara perkawinan, dan budaya A’dengka Pada sudah turun temurun dalam keluarga beliau dari generasi ke generasi. Dan berdasarkan penjelasan beliau bahwa yang pertama kali melakukan budaya A’dengka Pada ialah mulai dari nenek moyangnya. Nenek moyang beliau mengajarkan kepada anak cucunya untuk

Dokumen terkait