• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Eksistensi BudayaA’dengka Padadalam Acara Perkawinan

Eksistensi menurut kamus besar bahasa Indonesia artinya keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Berkaitan dengan budaya A’dengka Pada berarti keberadaan budaya A’dengka Pada dalam masyarakat yang turun temurun dan masih bertahan hingga sekarang. Budaya A’dengka Pada sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat Kelara dan masih bertahan hingga sekarang, dan masyarakat Kelara melakukannya pada saat menggelar acara besar seperti acara perkawinan maupun acara sunatan.

Budaya A’dengka Padamerupakan budaya yang turun temurun dalam masyarakat Jeneponto khususnya masyarakat di Kecamatan Kelara. Budaya

A’dengka Pada tetap bertahan karena generasi muda melihat, dan mempelajari budaya A’dengka Pada yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Mereka melihat dan belajar, melalui proses belajar itulah transfer nilai-nilai kebudayaan terhadap generasi ke generasi berikutnya dilakukan. Sehingga nilai-nilai kebudayaan terus berkelanjutan dari waktu ke waktu, dari kebudayaan masa lalu menuju kebudayaan masa kini. Generasi muda terus mempelajari budaya tersebut baik hanya sekedar mengenal maupun ikut berpartisipasi dalam melakukan budaya A’dengka Pada. Generasi muda juga tidak gengsi ataupun malu dalam melakukan budaya A’dengka Pada, sehingga hal tersebut yang juga membuat generasi tua untuk terus mengajarkan budaya tersebut sehingga budaya itu tidak musnah dan tetap bertahan. Dan generasi tua juga mengajarkan kepada generasi muda untuk tidak mudah terpengaruh dengan budaya asing. Sehingga hal inilah yang membuat budaya A’dengka Pada tetap bertahan hingga sekarang di masyarakat Kelara.

A’dengka Padadilakukan oleh masyarakat Kelara pada saat menggelar acara perkawinan. A’dengka Pada hampir sama dengan budaya tumbuk lesung di daerah lain, namun yang membedakannya ialah pada masyarakat Kelara melakukan A’dengka Pada atau tumbuk lesung pada saat menggelar acara perkawinan sedangkan di daerah lain melakukannya pada saat merayakan pesta panen. Dahulu yang melakukan budaya A’dengka Pada dalam acara perkawinan hanya kalangan karaeng, namun sekarang kalangan ata termasuk kelompok keluarga yang leluhurnya dulu sering melakukan budaya A’dengka Pada yang juga melakukan budaya A’dengka Pada pada saat menggelar acara

perkawinan. Pada saatA’dengka Pada yang mereka tumbuk ialah sembilan ikat padi. Padi sebagai simbol utama dalamA’dengka Pada.

Hal tersebut di atas berkaitan dengan pemikiran George Herbert Mead (dalam Judistira K. Garna (1996:74) tentang interaksi simbolik yang menurutnya dirangkum oleh tiga konsep yaitu pikiran, diri, dan masyarakat.

Pikiran merupakan interaksi simbolik dengan diri yang terjadi melalui suatu proses yang terjadi dalam masyarakat. Hubungan terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu.

Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. A’dengka Padamerupakan simbol tradisi masyarakat Kelara yang turun temurun dari generasi ke generasi. Hal ini berarti interaksi terjadi antar individu dalam masyarakat dan terus berkembang dan hal itu menjadi tradisi sekaligus simbol dalam masyarakat Kelara. Dalam acaraA’dengka Pada simbol yang selalu ada adalah padi, yang juga sebagai simbol utama dalam A’dengka Pada. Padi merupakan simbol yang memiliki makna bahwa semakin

tinggi kedudukan seseorang maka seseorang itu harus semakin menunduk, dan juga padi dilambangkan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat kepada sang pencipta atas keberhasilan panen yag mereka dapatkan dan juga sebagai permohonan agar dimasa kedepannya dapat memperoleh hasil panen yang lebih baik. Itulah mengapa padi merupakan komponen yang harus selalu ada dalamA’dengka Pada.

Masyarakat Kelara masih tetap melakukan dan mempertahankan keberadaan budaya A’dengka Pada hingga kini ialah agar budaya ini tetap

bertahan dan bisa dinikmati oleh kalangan anak muda, walaupun banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang mengakibatkan pudar atau bahkan hilangnya suatu budaya, maka masyarakat harus mampu mempertahankan budayanya karena suatu budaya akan tetap bertahan apabila pelaku budaya atau masyarakat tetap mempertahankan eksistensi kebudayaan mereka, dan tidak mudah terpengaruh oleh globalisasi.

2. Nilai Sosial yang Terkandung dalam BudayaA’dengka Pada

Menurut Horton dan Hunt (dalam J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, (2011: 55), mengemukakan bahwa; “nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut perbuatan atau tindakan. Nilai menjadikan manusia terdorong untuk melakukan tindakan. A’dengka Pada merupakan suatu tindakan budaya yang dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat sebagai pelaku budaya menerima segala nilai-nilai sosial budaya yang terkandung dalam kebudayaan tersebut. Dalam budaya A’dengka Pada terkandung nilai- nilai sosial yang bersifat positif dan negatif. Nilai-nilai sosial yang bersifat positif dan negatif yang terkandung dalam budaya A’dengka Pada adalah sebagai berikut:

a. Sebagai adat istiadat masyarakat Kelara yang turun temurun.

Adat istiadat merupakan kebiasaan atau kesukaan masyarakat setempat ketika melaksanakan pesta, berkesenian, hiburan, berpakaian, olahraga, dan

sebagainya. Adat istiadat sebagai tata kelakuan yang kekal dan turun temurun dari generasi satu ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola perilaku masyarakat. Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama ada dalam masyarakat dengan maksud mengatur tata tertib. Ada pula yang menganggap adat istiadat sebagai peraturan sopan santun yang turun temurun. Pada umumnya adat istiadat merupakan tradisi. Adat bersumber pada sesuatu yang suci (sakral) dan berhubungan dengan tradisi rakyat yang telah turun temurun, sedangkan kebiasaan tidak merupakan tradisi rakyat. A’dengka Pada memang merupakan suatu adat istiadat masyarakat Kelara yang turun termurun dari generasi ke generasi. Hal ini terlihat dari eksistensi atau keberadaan budaya A’dengka Pada yang masih bertahan hingga sekarang dan masih terus dilakukan oleh masyarakat Kelara. A’dengka Pada sebagai adat istiadat harus tetap dijaga, dilakukan, dan dipelihara oleh generasi tua agar budaya A’dengka Padatersebut bisa tetap dinikmati oleh generasi muda masa kini dan generasi muda yang akan datang. Oleh karena itu, masyarakat harus membiasakan diri mengenal kebudayaan dan adat istiadatnya sejak kecil dan bersosialisasi dengan lingkungan pada saat beranjak dewasa. Sehingga budaya dan adat istiadatnya tidak sampai punah termakan zaman.

b. Sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta.

A’dengka Pada merupakan simbol ungkapan rasa syukur atas limpahan rahmat dari yang maha kuasa. Atas karunia berupa limpahan rezeki, keselamatan, kesehatan, dan lain sebagainya. Bahkan musibah yang terjadi

perlu disyukuri, sebab dibaliknya terkandung hikmah positif yang dapat dipetik. Sebenarnya ada banyak cara untuk mengungkapkan rasa syukur.

Salah satunya dengan melakukan budaya A’dengka Pada sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kepada yang maha kuasa atas keberhasilan panen yang mereka dapatkan.A’dengka Padadilakukan pada saat menggelar acara perkawinan. Masyarakat Kelara mengatakan bahwa A’dengka Pada ini sebagai ungkapan rasa syukurnya kepada sang pencipta setelah panen padi.

Karena biasanya setelah panen padi masyarakat banyak yang menggelar acara perkawinan, sehingga dalam acara perkawinan itulah kemudian masyarakat mengungkapkan rasa syukurnya karena mereka mampu menggelar sebuah acara. Dan mereka berharap agar panen berikutnya bisa mendapatkan hasil panen yang lebih baik lagi dan mereka berharap agar acara yang mereka selenggarakan bisa berjalan lancar tanpa ada hambatan apapun. DalamA’dengka Padamasyarakat menggunakan padi sebagai salah satu komponen yang ditumbuk saat A’dengka Pada. Karena padi juga merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Kelara.

c. Sebagai hiburan.

A’dengka Pada selain sebagai budaya dan adat istiadat masyarakat Kelara juga sebagai salah satu hiburan yang disuguhkan kepada keluarga atau kerabat. A’dengka Padadilakukan pada sore hari selama tiga hari berturut- turut. Dalam acaraA’dengka Padapara gadis-gadis akan berdandan secantik mungkin dan memakai pakaian baju bodo. Mereka memakai baju bodo karena baju bodo merupakan pakaian khas suku makassar. Salah satu yang

membuat menarik dalam A’dengka Pada para gadis-gadis akan melakukan gerakan assoe (mengayungkan tangan kebelakang). Dalam gerakan itu gadis-gadis memperlihatkan keluwesan tangan mereka dalam melakukan gerakan assoe (mengayungkan tangan kebelakang), dan ini menjadi salah satu hiburan tersendiri yang disuguhkan kepada masyarakat ataupun kerabat yang datang pada sore hari.

d. Sebagai ajang silaturahim antar keluarga ataupun kerabat.

Silaturahmi artinya hubungan kekerabatan. Syariat agama Islam memerintahkan kita untuk menjaga silaturahmi dan melarang untuk memutuskan tali silaturahmi. Sebagai makhluk sosial juga tentunya tidak terlepas dari silaturahmi karena sesama makhluk sosial saling membutuhkan satu sama lain. Masyarakat tidak bisa hidup tanpa adanya hubungan yang baik dengan manusia lain. Oleh karena itu salah satu cara masyarakat Kelara menjaga hubungan silaturahminya dengan melakukan budaya A’dengka Pada. Dalam acaraA’dengka Padasemua keluarga dan kerabat dekat saling berkumpul untuk melaksanakan ataupun untuk menyaksikan acaraA’dengka Pada. Biasanya kerabat atau keluarga yang sudah lama tidak bertemu akan bertemu pada saat dilakukannya acaraA’dengka Pada. Sehingga ini menjadi sebagai salah satu tempat untuk saling memupuk dan menjaga hubungan silaturahim antar keluarga dan kerabat. Makna silaturahim dalam acara A’dengka Padatersebut merupakan salah satu nilai positif yang terkandung dalam budaya A’dengka pada yang harus tetap dipertahankan dan dijaga oleh masyarakat.

e. Meningkatkan rasa kebersamaan dan gotong royong.

A’dengka Pada merupakan salah satu cara untuk memupuk rasa kebersamaan dan gotong royong antar masyarakat Kelara, sebelum acara A’dengka Pada dimulai, keluarga dan para kerabat dekat akan saling bergotong royong menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam A’dengka Padaseperti lesung panjang, tiga batang alat penumbuk misalnya bambu ataupun kayu keras, serta memanggil gadis-gadis muda untuk melakukanA’dengka Pada. Gotong rotong dan kebersamaan sangat terlihat sebelum acara A’dengka Pada dimulai karena terlebih dahulu masing- masing bekerja sama menyiapkan peralatan dan bahan-bahan yang akan digunakan saat A’dengka Pada. Sikap gotong royong merupakan salah satu budaya dan ciri masyarakat Kelara. Namun dibalik adanya rasa gotong royong dan kebersamaan, seringkali dalam A’dengka Pada menyebabkan adanya rasa persaingan antar keluarga yang A’dengka Pada, misalnya keluarga yang satu lebih ramai dibandingkan dengan keluarga yang lain.

Akan tetapi masyarakat Kelara tetap menjujung tinggi rasa gotong royong, karena menurut mereka gotong royong merupakan suatu konsep yang erat sangkut pautnya dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Kelara pada khususnya sebagai masyarakat agraris, oleh karena itu gotong royong bagi masyarakat Kelara sangat bernilai tinggi.

Nilai gotong royong merupakan latar belakang dari segala aktivitas tolong menolong antar masyarakat. Aktivitas tersebut tampak dalam antar tetangga, antar kerabat dan terjadi secara spontan tanpa ada permintaan atau

pamrih bila ada sesama yang sedang kesusahan. Dalam sistem nilai budaya Indonesia, gotong royong mengandung 4 konsep : Pertama, manusia tidak hidup sendiri di dunia ini, tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Kedua, dalam segala aspek kehidupan manusia pada hakekatnya tergantung terhadap sesamanya.

Ketiga, memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama-rata sama-rasa. Keempat, selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya.

Seluruh konsep tersebut memberikan sifat ketergantungan kepada sesama, dimana hal tersebut menciptakan satu rasa keamanan nurani yang sangat dalam. Gotong royong merupakan kunci budaya kontemporer Indonesia, yang menggambarkan masyarakat didalamnya dan semua kebijakan yang diambil dalam kehidupan bermasyarakat harus berdasarkan konsep gotong royong. Sikap gotong royong dan rasa kebersamaan masyarakat terlihat dari sebelum acara A’dengka Padadimulai masyarakat sekitar akan saling bergotong royong mempersiapkan semua alat dan bahan yang akan digunakan dalam acaraA’dengka Pada.

Hal tersebut di atas sejalan dengan pemikiran Max Weber (dalam I.B.

Wirawan 2012: 134), yang mengemukakan konsep verstehen lebih mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai atau in order to motive yang sebelumnya mengalami proses intersubjektif berupa hubungan tatap muka, atau face to face relationship antar person yang bersifat unik. Tindakan rasional semacam itu adalah suatu tindakan

yang bertujuan atas dasar rasional nilai yang berlaku dan bersifat afektual, yaitu tindakan yang terkait dengan kemampuan intelektual dan emosi, serta berdasar atas pemahaman makna subjektif dari aktor itu sendiri. Pemahaman makna tindakan dengan pendekatan verstehen mendapat koreksi dari Alfred Schutz. Menurut Schurtz, tindakan subjektif para aktor tidak muncul begitu saja, tetapi ia ada melalui suatu proses panjang untuk dievaluasi dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan norma etika agama atas dasar tingkat kemampuan pemahaman sendiri sebelum tindakan itu dilakukan. Menurut Weber, dalam memahami sosiobudaya maka diperlukan beberapa metode khusus dalam rangka memahami tindakan orang lain. Metode verstehen itu mengarah pada suatu tindakan bermotif pada tujuan yang hendak dicapai atau in order to motive. Dalam kehidupan sehari-hari manusia akan berhadapan dengan realitas makna bersama. Pada puncaknya, seluruh pengalaman tersebut dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bentuk bahasa dan tindakan.

Pemikiran Max Weber ini sejalan dengan budaya masyarakat Kelara yang saling bergotong royong dalam acara A’dengka Pada. Masyarakat saling bergotong royong karena sama-sama memiliki tujuan bersama yang hendak dicapai. Dan mereka mengaplikasinnya dalam bentuk tindakan yaitu budayaA’dengka Pada.

Pelestarian budaya memang menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai generasi penerus para leluhur. A’dengka Pada membutuhkan partisipasi dari masyarakat, dari generasi tua sampai dengan generasi muda.

Tidak hanya sebagai adat istiadat, dan sebagai ungkapan rasa syukur tetapi juga sebagai penjalin silaturahmi dan persaudaraan. Makna menyambung tali silaturahmi berada di budaya A’dengka Pada. Suasana yang tercipta dalam terselenggaranya budaya A’dengka Pada memberikan nilai kebersamaan dan gotong royong. A’dengka Pada sebagai budaya lokal harus tetap diayomi sebagai langkah untuk menanamkan nilai-nilai di dalamnya.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan di lapangan selama kurang lebih satu bulan, serta informasi dan keterangan responden mengenai eksistensi budaya A’dengka Pada dalam acara perkawinan masyarakat Kelara maka berikut adalah beberapa kesimpulan-kesimpulan berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh di lapangan, sebagai berikut:

1. Eksistensi atau keberadaan budayaA’dengka Padadalam acara perkawinan masih tetap bertahan dan masih dilakukan hingga sekarang khususya pada masyarakat Kelara Kabupaten Jeneponto. Budaya A’dengka Pada sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat Kelara Kabupaten Jeneponto dan sudah turun temurun dari generasi ke generasi dan masih bertahan hingga sekarang.

2. Nilai-nilai sosial budaya yang terkandung dalam budaya A’dengka Pada ialah sebagai:

a. Adat istiadat masyarakat Kelara yang sudah turun temurun dalam masyarakat dari generasi ke generasi.

b. Ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta atas keberhasilan masyarakat setelah panen padi. Hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan syukur setelah panen dan sebagai permohonan agar dimasa kedepannya dapat memperoleh hasil tani yang lebih baik.

c. Menumbuhkan rasa kebersamaan dan gotong royong. Gotong royong masyarakat terlihat dari sebelum acara A’dengka Pada dimulai masyarakat bergotong royong menyiapkan segala peralatan yang akan digunakan dalam acaraA’dengka Pada.

d. Sebagai hiburan yang disuguhkan kepada keluarga dan kerabat pada sore hari selama tiga hari berturut-turut.

e. Silaturahmi, A’dengka Pada sebagai ajang silaturahmi antar keluarga yang berjauhan.

f. Persaingan antar keluarga yang A’dengka Pada, apabila keluarga yang A’dengka Padalebih ramai.

B. Saran

Berangkat dari simpulan mengenai Eksistensi Nilai Sosial Budaya A’dengka Pada Dalam Acara Perkawinan Masyarakat Kelara Kabupaten Jeneponto maka peneliti mengemukakan saran-saran sebagai berikut ;

1. Semoga masyarakat tetap bisa mempertahankan budaya A’dengka Pada agar budayaA’dengka Padabisa dinikmati oleh kalangan anak muda yang akan datang oleh karena itu kalangan orang tua harus bisa mempertahankan, dan tetap melakukan budayaA’dengka Pada.

2. Semoga masyarakat tetap bisa mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya A’dengka Pada dan masyarakat bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Anshary MK, M. 2010. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Eoh, O.S. 2001. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta:

PT. Raja Grafindo.

Garna, K. Judistira. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi. Bandung:

Program Pascasarjana Universitas Padjdjaran.

Herimanto dan Winarno. 2013. Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Narwoko, J. Dwi. 2011. Sosiologi Teks dan Terapan. Jakarta: Kencana.

Nasution, S. 2003. Metode Research ( Penelitian Ilmiah ). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Shadily, Hassan. 1999. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Tahir, Muh. 2013. Metodologi Penelitian. FKIP. Universitas Muhammadiyah Makassar.

Tim Kreatif ( Ed.). 2010. Sosiologi Tuntunan Ke Universitas. Jakarta: Graha Pustaka Jakarta.

Tim Penyusun FKIP Unismuh. 2013. Pedoman Penulisan Skripsi. Makassar:

Panrita Press Unismuh Makassar

Tumanggor, Rusmin dan Kholis Ridho. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.

Jakarta: Kencana.

Wahyu, Ramdani. 2012. Ilmu Budaya Dasar. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Wirawan, I.B 2011. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, Dan Pelaku Sosial). Surabaya: PT Kharisma Utama.

Sumber Online

Admin_brow. 2014. Hubungan Antara Budaya Agama dan Adat istiadat (Online)(http://www.rangkumanmakalah.com/hubungan-antara-budaya- agama-adatistiadat, diakses 03 September 2015).

April’s Blog. 2012. Perbedaan SertaPersamaan Tradisi dan Kebudayaan (Online), (http: aprilliamanansal.blogspot.com, diakses 22 Mei 2015).

Bloginfo. 2013. Definisi Perkawinan Menurut Hukum Islam (Online), (http:

bloginfo.heck.in/definisi-perkawinan-hukum-islam, diakses 03 September 2015).

Hanydina. 2013. Cara Menjaga Budaya Lokal (Online)(http//Cara-menjaga- budaya-lokal.html diakses 31 Oktober 2015).

Maftuh, Kholil. 2008. Bid’ah, Budaya (tradisi), dan Sunnah (Online), (https://

Suara al ikhwan.wordpress.com, diakses 22 Mei 2015).

Muhlis, Ade. 2013. Upacara Seren Taun Adat Sunda Budaya Indonesia (Online), (http:// www.Budayaindonesia.net,/upacara-seren-taun-sunda, diakses 23 Mei 2015).

Norhidayah, Fauza. 2013. Konsep Teori Eksistensialisme (Online), (http:/

/Kompasiana, diakses 25 Januari 2015).

Nur, Chaerani. 2012. Mappadendang (Online), (http://Nur Chaerani.blogspot.com.

Budaya Suku Bugis, diakses 25 Januari 2015).

Turwanto, Tewe. 2013. Budaya Nusantara Sulawesi Selatan (Kebudayaan Bugis, Kebudayaan Makassar, Kebudayaan Mandar, Kebudayaan Toraja) (Online). (https://Prezi.com Budaya-nusantara, diakses 22 Mei 2015).

Nama : Sari

Umur : 65 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Bungung Lompoa, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Nama : Hj. Dana

Umur : 69 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Sarroanging, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Nama : Tati

Umur : 57 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Bungung Lompoa, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Nama : Endang

Umur : 49 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Bungung Lompoa, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Nama : Wati

Umur : 47 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Bungung Lompoa, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Umur : 55 Tahun Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan :Ibu Rumah Tangga

Alamat : Bungung Lompoa, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Nama : Tija

Umur : 69 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Sarroanging, KelurahanTolo’, Kecamatan Kelara

Nama : Rinang

Umur : 69 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Sarroanging, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Nama : H.Doro’

Umur : 71 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani

Alamat : Sarroanging, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

Nama : Liwang

Umur : 63 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani

Alamat : Sarroanging, Kelurahan Tolo’, Kecamatan Kelara

IDENTITAS RESPONDEN

NAMA :

ALAMAT :

PEKERJAAN :

1. Apakah anda sering melakukan budaya A’dengka Pada dalam acara perkawinan?

2. Siapa yang pertama kali melakukanA’dengka Padadalam keluarga anda?

3. Apakah semua keluarga atau kerabat-kerabat anda melakukan budaya A’dengka Padapada saat menggelar acara perkawinan?

4. Mengapa anda melakukan budaya A’dengka Padapada saat menggelar acara perkawinan?

5. Apa yang anda persiapkan sebelumA’dengka Pada.?

6. Mengapa yang masukA’dengka Padaharus gadis-gadis muda?

7. Mengapa padi yang anda tumbuk pada saatA’dengka Pada.?

8. Berapa banyak padi yang anda tumbuk pada saat melakukan budaya A’dengka Pada?

9. Berapa biaya yang anda keluarkan pada saat melakukan budaya A’dengka Pada?

10. Apa manfaat yang anda peroleh dalam melakukan budayaA’dengka Pada?

No. Nama informan Umur Pekerjaan Keterangan

1. Wati 47 IRT Iya, nakke A’dengka Pada rolo’ punna la pa’buntinga atau pasunnaka, kainjo to isse kabiasanna tau toaku riolo. Ri olo karaeng biasaA’dengka Pada mingka anenne rakyat biasa ya A’dengka Pada tonji. tau niaka pattautoannayyaA’dengka Padari olo.

Artinya :

Iya, saya melakukan budayaA’dengka Pada kalau saya akan menggelar acara perkawinan maupun acara sunatan, karna itu merupakan kebiasaan orang tua saya dari

dulu. Dulu hanya kalangan

bangsawan/karaeng yang A’dengka Pada tapi sekarang kalangan ata termasuk orang yang punya leluhur yang dulu melakukan budaya A’dengka Pada juga masih melakukan budayaA’dengka Pada.

2. Endang 49 IRT Nakke ri attungku ca’di biasa I ku cini tau toaku A’dengka Pada, ri attukkung ku pole bunting A’dengka Pada I injo taua selama tallung ngallo. Jari ri attunna ku pa’bunting anakkkuA’dengka Pada tonga ka tea a tala anggaukangi ka injo to’ isse’ kabiasaanna tau toaku ri olo sampe nenne. Ka biasa ki guppa teguran battu ri pattautoanta punna biasa ki A’dengka Pada na giling tanre’ ni A’dengka Pada punna na sua’ sua’ra’ ki.

Artinya :

Sejak kecil saya sering melihat orang tua saya melakukan budaya A’dengka Pada pada saat menggelar acara perkawinan, dan waktu saya menikah keluarga saya masih pun melakukannya, dan pada saat saya menikahkan anak saya, saya pun melakukan hal yang sama yaitu melakukan budaya A’dengka Pada dalam acara perkawinan anak saya, saya melakukannya karena itu kebiasaan orang tua saya sejak dulu hingga sekarang dan saya tidak pernah tidak melakukannya karena saya sekeluarga biasa

Dokumen terkait