• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

B. Kajian Teori

Kajian Teori ini berisikan tentang pembahasan teori yang dijadikan sebagai persepktif dalam penelitian. Pembahasan teori yang terkait dengan penelitian secara luas dan mendalam akan semakin memperluas wawasan

penelitian penelitian dalam mengkaji permasalahan yang hendak dipecahkan sesuai dengan rumusan dan tujuan penelitian.5

1. Kajian Teori Tazkiyat Al-Nafs a. Pengertian Tazkiyat Al-Nafs

Tazkiyat berarti penyucian, penyucian secara umum atau dalam pengertian moral melalui pemberian sejumlah sedekah melalui sikap kedermawanan. Tazkiyat menurut sufi adalah penyucian batin untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya dengan Tuhan. Melalui berbagai proses yang harus dijalani sesesorang untuk menjadi sufi. Dalam Al- Qur’an Allah berfirman:















“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku.” (Al-Dzariyat: 56) .6

Darinya dapat dipahami bahwa ibadah yang dilakukan dengan benar dan sempurna, serta dilaksanakan setelah memenuhi berbagai syaratnya, merupakan sarana untuk mengenal Allah SWT. Semakin berhasil seseorang membentuk dan membina dirinya, ketakwaan seseorang akan semakin bertambah. Sebesar kegagalan dalam membina dirinya sebesar itu pula ia ditekan kegagalan dalam membina dirinya sebesar itu pula ia ditekan dan dikuasi nafsu amarah. Perlu ditegaskan bahwa pelaksanaan berbagai ibadah amat berpengaruh

5Tim Penyusun IAIN Jember, Pedoman Karya Tulis Ilmiyah (Jember: IAIN Press, 2015), 74.

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: CV Asyifa’, 1999), 854.

terhadap kesucian jiwa manusia.Asalkan ibadah itu dilakukan dengan penuh keikhlasan.7

Jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak, yang menjadi penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan-perbuatan pribadi (personal behavior) dari hewan tingkat tinggi dan manusia.8

Ruh itu kekal tidak akan mati, ia hidup selama-lamanya.

Sebelum diadakan Nabi Adam dan Hawa, ruh itu telah ada. Bahkan ruh terdahulu diadakan Allah dari pada langit dan bumi.9 Maka Allah sudah menciptakan ruh sebelum menciptakan langit dan bumi beserta isinya, dengan demikian ruh telah ada sebelum terciptnya manusia jauh sebelum lainnya.

Dalam kajian fisasafat, pengertian jiwa diklasifikasikan dengan bermacam-macam teori, antara lain:

1) Teori yang menyatakan bahwa jiwa merupakan sebtansi yang berjenis khusus, yang dilawankan dengan subtansi materi, sehingga manusia dipandang memiliki jiwa dan raga.

2) Teori yang memandang bahwa jiwa merupakan suatu jenis kemampuan, yakni semacam pelaku atau pengaruh dalam kegiatan-kegiatan.

3) Teori yang memandang bahwa jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada organisme-organisme tubuh.

7Moh.Toriqqudin, Sekularitas Tasawuf, Membumikan Tasawuf Dalam Dunia Modern (Malang:

UIN Malang Press, 2008), 114.

8Abu Ahmadi, psikologi Umum (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003)., 1.

9 Aboebakar Atjeh, Tarekat Dalam Tasawuf (Bandung: Sega Arsy, 2017), 80.

4) Teori yang menyamakan pengertian jiwa dan pengertian tingkah laku.10

Dalam psikologi, jiwa lebih menghubungkan dengan tingkah laku sehingga yang diselediki oleh psikologi adalah perbuatan- perbuatan yang dipandang sebagai gejala-gejala dari jiwa. Teori-teori psikologi, baik psikonalisis, behaviorisme, maupun humanisme memandang jiwa sebagai sesuatu yang berada dibelakang tigkah laku.

Agus Mustofa, dalam bukunya menyelam ke samudera jiwa dan Ruh, berpendapat bahwa jiwa sebagai salah satu komponen penysun makhluk hidup, termasuk manusia. Jiwa adalah sosok nonfisik yang berfugsi dan bersemayam didalam tubuh manusia, ia bertanggung jawab terhadap seluruh perbuatan kemanusiaannya. Eksistensi jiwa terbentuk ketika ia bergabung dengan fisiknya. Dan menjadi tidak berfungsi ketika terpisah dari badannya. Jiwa dan fisik adalah dua sisi yang berbeda dalam satu keping mata uang, yang tidak dapat berfungsi sendiri-sendiri. Keduanya dapat berfungsi ketika ada bersama-sama.11

“Bagaimana hakikat perhubungan ruh dengan badan, Allah yang tahu. Siapa mengenal ruhnya atau jiwanya, atau dirinya, berarti ia telah mengenal Allah.”12

10 Istigfarotur Rohmaniyah, Konsep Jiwa Dan Etika Perspektif Ibnu Maskawaih Dalam Kontribusinyadi Bidang Pendidikan (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 9.

11Istigfarotur Rohmaniyah, Konsep Jiwa Dan Etika Perspektif Ibnu Maskawaih Dalam Kontribusinyadi Bidang Pendidikan (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 9.

12 Aboebakar Atjeh, Tarekat Dalam Tasawuf (Bandung: Sega Arsy, 2017), 83.

Imam Al-Ghazali mengatakan an-Nafs (jiwa) adalah dasar tumbuhnya sifat-sifat tercela dan juga kelembutan Rabbaniyah Ruhaniyah. Menurut sebahagian ahli tasawuf, an-Nafs dalam ruh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan ruh dengan jasad menimbulkan pengaruh pada ruh itu sendiri. Sehingga muncullah keinginan-keinginan jasad yang dibangun oleh ruh. Pada saat itu timbullah keinginan-keinginan manusia, diantaranya apa yang terjadi oleh Adam.

Terjadinya berbagai penyakit-penyakit jiwa yang beranak pianak berawal dari nafsu manusia yang tidak terkendali. Maka ia harus di didik dengan baik agar dapat bermakrifat kepada Allah SWT.

Dan membiasakan serta melatih agar benar-benar melaksanakan ibadah kepada Allah. Sebab jiwa manusia memiliki kecendrungan kearah fujur (keburukan) dan taqwa (kebaikan).

Sa’id Hawwa menawarkan terapi penyakit jiwa dengan menentang dorongan hawa nafsu, ketika ia mengajak kepada perbuatan maksiat atau bersantai-santai dalam hal yang diperbolehkan.

Kemungkinan juga ada rintangan dari manusia dalam melakukan ketaatan kepada Allah, serta menentukan pakaian sesuai dengan peraturan-peraturan yang wajib dan yang di As-Sunnahkan.

Untuk itulah titik tolak dari kesehatan jiwa adalah membenci hawa nafsu. Berkata Ibnu Atha’, “sumber dari maksiat adalah nafsu birahi, dan kelalaian adalah kesenangan hawa nafsu. Sedangkan sumber dari ketaatan, keterjagaan, dan pengekangan diri dari hal yang hina adalah membenci hawa nafsu. Bagimu berteman dengan orang bodoh yang membenci hawa nafsunya lebih baik dari pada berteman dengan orang pandai yang menyukai hawa nafsunya”.13

Penyucian jiwa dapat dilakukan dengan proses tazkiyat al-nafs yang dalam konsepsi tasawuf didasarkan pada asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, dengan demikian kesucian jiwa merupakan syarat bagi masuknya hakikat dan ilmu makrifat kedalam jiwa.14

b. Metode Tazkiyat Al-Nafs

Seperti diuraikan terdahulu, bahwa esensi ibadah dalam Islam bertujuan peningkatan kualitas rohaniyah secara gradual dan kumulatif. Dalam hal ini masyarakat sufi memiliki pandangan yang khas, dimana mereka memiliki kesadaran yang lebih dalam tentang betapa pentingnya kesucian rohaniyah bagi kehidupan menusia. Oleh karena kesadaran yang demikian, maka dalam upaya “Tazkiyat Al- Nafs” ini, dalam sufisme dikenal berbagai teori dan sistem sesuai

13Dedi Suriansah, “Pemikiran Sa’id Hawwa Tentang Jiwa”, (Tesis, IAIN SumateraUtara, Medan, 2012),61.

14Masyharuddin, Pemberontakan Tasawuf (Surabaya: JP Books, 2007), 238.

dengan aliran dan tujuan masing-masing adalah apa yang disebut dengan takhalli-tahalli dan meningkatkann pada tahap tajalli.15

1) Takhalli

Langkah pertama yang harus ditempuh adalah usaha mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu, karena hawa nafsu itulah yang menjadi penyebab utama dari segala sifat yang tidak baik.16

2) Tahalli

Dengan selesainya proses pembersihan diri dari cengkraman

“Hawa Nafsu”, maka tahap berikutnya adalah pengisian kembali jiwa yang bersih itu dengan sifat-sifat terpuji. Kebiasaan lama yang ditinggalkan, diganti dengan kebiasaan baru yang baik.17 Ini juga tahap seorang untuk memasuki tarekat, yang harus dilakukan yang pertama yaitu Baiat, yang tidak lain adalah sumpah atau pernyataan kesetiaan yang diucapkan oleh seorang murid kepada guru musryid sebagai simbol penyucian serta keabsahan seseorang mengamalkan ilmu tarekat. Jadi baiat semacam upacara sakral yang yang harus

15Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2002), 242.

16 Ibid., 102.

17Ibid., 245.

dilakukan setiap orang yang ingin mengamalkan tarekat.18 Berdizkir adalah melakukan atau membaca bacaan yang suci yang menyebabkan seorang ingat kepada Allah dengan segala kebesaran-Nya.19

Dzikir dalan thariqah, dilakukan dalam waktu-waktu tertentu dan dengan teknik tertentu pula. Dzikir khafi misalnya, didasarkan pada ritme nafas, penghembusan, dan penghirupan.20

Dzikir yang paling digemari dalam tarekat Naqsyabandiyah adalah apa yang mereka sebut Dzikir Lathifah Tujuh. Disebut Lathifah Tujuh karena dzikir ini terdiri dari tujuh macam dan tujuh lapisan, dengan kalimat dzikirnya “Allah”.

Adapun nama ruh itu bukanlah ruh saja, bahkan amat banyak pula, yakni menurut sifat-sifat dari ruh dinamai seperti yang tersebut:

1. Ruh itu dikatakan hati Ruhani.

2. Ruh itu dikatakan hati Nurani 3. Ruh itu dikatakan hati Rabbani 4. Ruh itu dikatakan hati Sanubari 5. Ruh itu dikatakan Akal (fikiran) 6. Ruh itu dikatakan hati yang Batin 7. Ruh itu dikatakan Nyawa (jiwa)

8. Ruh itu dikatakan Nafsu, (nama nafsu 7 macam) 9. Ruh itu dikatakan Sukma

10. Ruh itu dikatakan Rahasia Allah 11. Ruh itu dikatakan Jufi (rongga) 12. Ruh itu dikatakan Sudur (dada) 13. Ruh itu dikatakan Qalbi (hati) 14. Ruh itu dikatakan Fuad 15. Ruh itu dikatakan Syagafa 16. Ruh itu dikatakan Insa

17. Ruh itu dikatakan Sir (rahasia Allah)

18Muhsin Jamil, Tarekat Dan Dinamika Sosial Poitik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 65.

19Rizki Joko Sukmono, Psikologi Zikir (Jakarta: Sri Gunting, 2008), 1.

20Muhsin Jamil, Tarekat Dan Dinamika Sosial Poitik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 65.

18. Ruh itu dikatakan Latifah Qalbi, 5000+membaca Allah, Allah, Allah.

19. Ruh itu dikatakan Latifah Ruh, 1000+membaca Allah, Allah, Allah.

20. Ruh itu dikatakan Latifah Sir, 1000+membaca Allah, Allah, Allah.

21. Ruh itu dikatakan Latifah Khafi, 1000+membaca Allah, Allah, Allah.

22. Ruh itu dikatakan Latifah Akhfa, 1000+membaca Allah, Allah, Allah.

23. Ruh itu dikatakan Latifah Nafsu Natiqah, 1000+membaca Allah, Allah, Allah.

24. Ruh itu dikatakan Latifah Kullu Jasad, 1000+membaca Allah, Allah, Allah.

25. Ruh itu dikatakan Latifah Nurullah, Nur Zatullah, Sifatullah, Nur Asma Allah

26. Ruh itu dikatakan Nur Muhammad/Nur Baginda Rasulullah 27. Ruh itu dikatakan Latifah Rabbaniyah Ruh aniyyah.

28. Ruh itu dikatakan tempat tertulis kalimah Allah, Allah, Allah.

29. Ruh itu dikatakan tempat tertulis kalimah La illaha illallah 30. Ruh itu dikatakan seolah-olah cermin Tajalli Nama Allah 31. Ruh itu dikatakan seolah-olah cermin Tajalli ‘af’alullah 32. Ruh itu dikatakan seolah-olah cermin Tajalli sifatullah 33. Ruh itu dikatakan seolah-olah cermin Tajalli Zatullah

34. Ruh itu dikatakan juga Nafsu Muthmainnah atau jiwa-jiwa yang tentram, jiwa yang tenang, jiwa yang bersih, jiwa yang suci.

35. Ruh itu dikatakan Nafsu Ammarah 36. Ruh itu dikatakan Lawwamah.21

Jadi jumlah zikir pada 7 latif (7 tempat) banyaknya 5000+1000+1000+1000+1000+1000+1000 = 11000.

Zikir latif mengerjakan zikir pada 7 tempat, lihat kembali nama ruh dari bilangan 18 hingga 24 yaitu:

a. Lathifah Qalb, dzikir hati nurani yang dilakukan sebnayak 5000 X dalam sehari semalam. Lathifah qalb ini adalah fungsi spiritual jantung, karena itu dzikir disini merupakan iringan denyut jantung. Apabila Lathifah ini telah bersih dari pengaruh

21 Aboebakar Atjeh, Tarekat Dalam Tasawuf (Bandung: Sega Arsy, 2017), 83.

“Nafs al-ammarah”, maka seorang akan dapat menerima ilham dari Allah, bahkan akan dapat melihat Allah melalui “ain al- bashirah” atau mata hati, dan di saat itulah seseorang

“berjumpa” dengan Allah. Oleh karena itu, lathifah ini juga disebut “Lathifah Rabbaniyah”, induk dari semua lathifah.

Apabila seseorang telah berhasil dalam lathifah ini, maka ia akan bisa berhubungan langsung dengan Allah, seperti halnya yang pernah dialami para Nabi, terutama Nabi Musa As.22

b. Lathifah Ruh, tempatnya berada diparu-paru yang dilambangkan sebagai wadah “Nafs al-hayawaniyah” dengan symbol cahaya merah. Tujuan dzikri pada lathifah ini adalah untuk melenyapkan pengaruh nafsu hayawani sehingga manusia ia terbebas dari sifat-sifat kebinatangan. Dzikir lathifah ini sebanyak 1000 X dan disebut sunnah Ibrahim-Nuh.

c. Lathifah Sirr, yang bertempat dihati biologisnya dan merupakan wadah “sifat sabi ‘iyah” atau sifat binatang buas. Oleh karena itu, fungsi dzikir pada lathifah ini adalah untuk melumpuhkan segala sifat yang mirip dengan kekerasan binatang buas, yang diucapkan sebanyak 1000 X dan disimbolkan dengan warna cahaya putih. Manfaat dzikir lathifah ini adalah membukakan jalan untuk dapat merasakan kebersamaan dengan Allah, tidak

22 Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,

2002), 248.

ada lagi yang dilihat dan dirasakan selain Allah. Dzikir ini disebut sebagai sunnah Nabi Musa.

d. Lathifah khafi, yang bertempat pada limpa jasmani dengan lambing warna hitam sebagai symbol sifat-sifat syaithoiyah.

Dengan demikian dzikir ini bertujuan utamanya untuk mengikis habis pengaruh-pengaruh syetan dari diri manusia, dengan mewiridkan dzikir sebanyak 1000 X. apabila dzikir ini berhasil maka menumbuhkan sifat sabar, ridha dan tawakkal. Lathifah ini disebut sebagai sunnah Nabi Isa As.

e. Lathifah Akhfa, yang bertempat yang bertempat di empedu dengan lambing cahaya hijau. Lathifah ini bersarang sifat

“Rabbaniyah”, yakni sifat-sifat yang menyebabkan seseorang berlagak seperti Tuhan, seperti sombong, mau menang sendri, dan lain-lain. Dzikir lathifah ini diarahkan sejumlah 1000 X.

Lathifah ini disebut sebagai sunnah Nabi Muhammad SAW.23 f. Lathifah Nafs An-Natiqah, bertempat di otak dengan lambing

cahaya gilang-gemilang sebagai symbol “nafs al-ammarah” atau

“instink”, yang merupakan penghalang yang amat kuat bagi orang yang ingin mencari keridhaan Ilahi. Nafs ini selalu merangsang orang untuk berbuat jahat, karena itu kearah benak inilah dzikir diarahkan sebanyak 1000 X sampai sifat jahat itu

23 Ibid., 249.

terbakar dan berganti dengan tumbunya ketentraman dan ketenangan pikirian.

g. Lathifah Kullu Jasad, yakni lathifah yang meliputi seluruh tubuh ragawi, dengan lambing cahaya yang indah gemilang. Dalam lathifah ini bersarang sifat “jahil” dan sifat “ghaflat”, sifat kebodohan dan kelalaian. Apabila seseorang mengamalkan dzikir lathifah ini secara terus-menerus, mengalirkan jiwa dzikir pada seluruh tubuhnya, menyelusup keseluruh badannya, menyirami sekujur ragawinya sehingga berbaurlah dzikir itu dengan darah dagingnya, mencair bersama nafasnya. Inilah kebahagiaan yang tiada taranya, karena ia telah berada di

“Hadirat Illahi Rabbi”. Oleh karena itu, dalam bahasa sufisme lathifah ini disebut Sulthan al-azkar, maharajanya dzikir.

Dalam pelaksanaannya bukan berarti harus berturut sesuai dengan nomor urut diatas, kecuali nomor urut di atas, kecuali nomor tujuh memang harus merupakan tahapan terakhir atau dzikir muntahi. Sebab, apabila telah dapat diselesaikan lathifah yang enam, maka lathifah kullu jasad adalah semacam pengintegrasian seluruh lathifah yang dilaksanakan secara simultan.24

24Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 248.

3) Tajalli

Dalam rangka pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan itu disempurnakan pada fase tajalli. Kata ini berarti terungkapnya nur gaib bagi hati.

Apabila jiwa telah terisi dengan butir-butit mutiara akhlak dan organ-organ tubuh sudah terbiasa melakukan perbuatan- perbuatan yang luhur, maka agar hasil yang telah di peroleh itu tidak berkurang, perlu penghayatan rasa keTuhanan. Satu kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran yang optimum dan rasa kecintaan yang mendalam, akan menumbuhkan rasa rindu kepadanya. Para sufi sependapat bahwa untuk mencapai tingkatan ksempurnaan kesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini, barulah akan terbuka jalan untuk mencapai Tuhan. Tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan itu dan perbuatan yang dilakukan tidak dianggap perbuatan yang baik.Untuk memperluas dan memperdalam rasa ke-Tuhan-an dalam jiwa seseorang.25

2. Kajian Teori Ketenangan Jiwa

Jiwa muthmainah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang diterangi oleh cahaya hati nurani, sehingga bersih dari sifat-sifat yang tercela, dan stabil dalam kesempurnaan. Jiwa ini merupakan awal mula (starting ponit) untuk tingkat kesempurnaan, maka apabila

25Ibid., 105.

seorang salik telah memiliki jiwa ini, maka berarti ia telah menginjakkan tingkatan tarekat menuju kepada tingkatan hakikat.26 Jiwa yang tenang ini meruapakan tahap sempurna yang dicapai melalui penyucian dan pembinaan diri. Manusia yang mencapai tahap ini dapat mengendalikan kecenderungan dirinya. Akal dan imannya menjadi sangat kuat sehingga kecenderungan dalam diri tak mampu melawan dirinya.

Inilah tahap ketengan yang menguasai alam dunia. Alam dunia sendiri dengan samudera luasnya tak mampu menundukkan badai gelombang besar dalam dirinya. Inilah kedudukan para nabi, kekasih Allah, dan orang orang yang mengikuti mereka. Mereka mendapat pelajaran iman dan takwa dimadrasah ilahiah, melakukan penyucian diri dan jihad akbar hingga mencapai tahap akhir ini.

Kata “Muthma’innah” mengisyaratkan pada ketenangan yang dicapai melalui keimanan. Firman Allah: Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.

Jiwa seperti itu memiliki keyakinan akan janji Allah dan jalan yang ditempuhnya. Ia tenang hidup didunia dan ketika meninggalkan dunia.

Tenang dalam menghadapi berbagai cobaan, musibah dan ujian dunia.

Pada hari kiamat pun meski kejadiannya lebih mencekamkan dan menakutkan dari pada itu ia merasa tenang.

26Istigfarotur Rohmaniyah, Konsep Jiwa Dan Etika Perspektif Ibnu Maskawaih Dalam Kontribusinyadi Bidang Pendidikan (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), 21.

Dalam akidah, maksud kembali kepada Allah ialah kembali pada (menerima) pahala dan rahmat-Nya. Tetapi makna yang lebih baik untuk

“kembali kepada-Nya” ialah mencapai kedudukan qurb (dekat dengan) Allah, kembali secara ruhani dan spiritual, bukan secara jasmani dan bersifat tempat yang dicapai.

Maksud “radhiyah” (hati yang puas) ialah karena baginya semua janji pahala Allah lebih dari sekedar janji yang pasti ditepati. Jiwa itu melihat janji Allah dekat dan nyata. Ia diliputi karunia dan rahmat yang membuat dirinya rida dan bahagia. Kata “mardhiyah” (diridai Allah) ialah karena ia telah menerima dan mendapatkan keridaan sang kekasih.

Dengan kiteria-kriteria itu, hamba yang rida dan pasrah total kepada Allah mencapai hakikat penghambaan bahwa segala sesuatu yang dilaluinya adalah di jalan Allah sang ma’bud. Ia melangkah sebagaimana jalan para kekasih Alllah. Jelas tempat yang layak baginya hanyalah surga.27

Dalam rangka upaya menjadikan dzikir sebagai kebutuhan hidup dan kehidupan dan pembinaan suasana yang kondusif untuk mengabdikan

“ Nafs Muthmainnah” dalam diri, maka diperlukan sikap disiplin dan istiqamah dalam lima hal, yakni

a. Mu’ahadat, yakni selalui ingat dan sadar akan janji yang telah diikrarkan kepada Allah. Setiap muslim berulang kali mengucapkan janji dirinya pribadi kepada Allah atas berbagai hal. Sejak dialam

27Said Husain Husaini, Bertuhan Dalam Pusaran Zaman: 100 Pelajaran Penting Akhlak Dan Moralitas (Jakarta: Penerbit Citra, 2013),292.

arwah, manusia telah mengikat janji bahwa ia akan taat dan setia kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara, sebagai satu-satunya Tuhan yang layak dan wajib disembuh.

b. Muhasabah, memikirkan, menganalisis dan memperhitungkan secara teliti dan jujur segala apa yang sudah dan akan dilakukan. Muhasabah diperlukan dalam kehidupan, karena apa saja yang dilakukan semasa hidup akan dipertanggung jawabkan di hari akhir kelak. Keberanian melakukan muhasabah akan menuntun seseorang untuk lebih berhati- hati dalam segala aspek kehidupan, teliti dalam mengambil sikap dan tindakan yang akan datang. Apabila ditemui kesalahan, segera dilakukan perbaikan dan penggantian, apabila terdapat kekurangan segeralah ditambah. Membiasakan diri dengan sikap teliti, menilai diri, menimbang dan mengukur apa yang dilakukan, adalah sikap yang akan menghindarkan orang dari kelalaian akan hak dan tanggung jawabnya.

Sesungguhnya muhasabah nafs merupakan perkara yang besar dan kedudukannya penting. Oleh karena itu, muhasabah nafs dapat dibagi menjadi dua bagian yang penting;

Pertama: Muhasabah Nafs sebelum beramal.Kedudukannya berada ketika pertama kali berkehendak dan berkeinginan, dan berkeinginan, dan tidak bersegera beramal, sehingga jelas baginya kejelasannya atas meninggalkannya.

Kedua: muhasabah nafs setelah beramal. Hasan Basri ra berkata:

manusia yang peling mudah dihisab pada hari kiamat adalah orang- orang yang dahulunya di dunia telah mengadakan muhasabah terhadap dirinya, maka mereka berdiri pada keinginan dan amal-amalnya. Maka jika ia berkehendak karena Allah dia laksanakan, dan jika kehendaknya atasnya mereka mencegahnya. Hanya orang yang berat hisabnya adalah orang yang meremehkan perkara-perkara, maka mereka mendapatkan Allah SWT. Menghitung atasnya walaupun sebiji sawi.28

c. Mu’aqabah, pemberian sanksi kepada diri sendiri apabila kenyataan hasil muhasabah menunjukkan nilai kurang walau sekecil apa pun.

Tujuan pemberian sanksi kepada diri sendiri agar lebih sadar diri akan adanya sanksi yang lebih berat di akhirat nanti. Keberanian menghukum diri sendiri, tidak cukup dengan taubat atau penyesalan diri, tetapi harus dalam bentuk nyata misalnya saja, seorang yang sudah berpuasa senin dan kamis satu hari terlupa karena keasyikan duniawi, maka ia harus mengganti kelalaiannya itu dengan berpuasa seminggu penuh.

d. Muraqabah, adalah kesadaran rohaniah tentang “kebersamaan” dengan Allah dalam segala suasana. Artinya di mana saja berbeda, dalam suasana dan kondisi yang bagaimanapun, “kebersamaan” dengan Allah harus dihidupkan dalam hati. Kesadaran spiritual yang demikian akan menutup hasrat-hasrat yang menyimpang, tetapi akan memperkuat

28Abdul Barro’ Saad Bin Muhammad Ath-Thakhisi, Tazkiyatun Nafs (Surakarta: Cv. Pustaka Mantiq, 1997), 218.

Dokumen terkait