BAB II KAJIAN PUSTAKA
B. Kajian Teori
Dalam kajian teori ini, penelitian ini akan membahas mengenai teori- teori yang berkaitan dengan (1) Konsep internalisasi, (2) Nilai-nilai dalam kitab At-Tibyan Fii Adabi Hamalat Al-Qur’an, (3) Pembentukan akhlak
1. Konsep internalisasi
Secara etimologis internalisasi merupakan suatu proses dalam kaidah bahasa Indonesia akhiran -isasi mempunyai definisi proses.32 Internalisasi diartikan sebagai penggabungan atau penyaluran sikap penyatuan sikap standar tingkah laku, pendapat, dan seterusnya di dalam kepribadian.33 Oleh karena itu, internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses menanamkan nilai.34 Menurut Reber, sebagaimana dikutip oleh Mulyana
32 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 336
33 J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 256
34 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Surabaya: Rosda, 2012), 34
Internalisasi Nilai-Nilai Pedidikan
Akhlak Santri Putri Asrama X
Hurun Inn
Pondok
Pesantren Darul
‘Ulum Jombang.
Jurnal Pendidikan Islam
penelitian. Sedangkan
penelitian saya memakai metode ceramah dari proses internalisasi.
Dengan memberikan materi-materi pendidikan akhlak dan metode pembentukan akhlak. Selain hal tersebut pembiasaan nilai-nilai pendidikan akhlak juga dilakukan, yang mana dengan dilakukannya hal tersebut dapat menumbuhkan akhlak santri merupaka implementasi dari materi-materi pendidikan akhlak yang diajarkan pendidik kepada santri Asrama X Hurun Inn.
(2) Dengan adanya pembiasaan yang dilakukan para santri inilah yang kemudian menjadi tradisi.
43
mengartikan internalisasi sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan nilai sikap, praktek dan aturan-aturan baku pada diri seseorang.35
Menurut Soekanto sebagaimana dikutip oleh Muhammad Mustari ia menyatakan bahwa proses pemanusiaan sesuai dengan agama sebenarnya adalah proses internalisasi Iman, nilai nilai pengetahuan dan keterampilan dalam konteks mengakui dan mewujudkan nilai-nilai itu ke dalam amal sholeh. Ini merupakan faktor dasar maupun ajaran yang terus-menerus mengadakan interaksi satu dengan yang lain. Proses internalisasi ini baru bisa terjadi jika ada proses interaksi antara kesadaran manusia dengan kehendak tuhan yang dibawa kepada komunikasi sosial. menginternalisasi artinya membatinkan atau merumahkan dalam diri atau mengintensifkan atau menempatkan dalam pemilikan atau menjadi anggota penuh titik jadi, faktor Iman nilai nilai pengetahuan dan keterampilan harus ditempatkan di dalam diri dan menjadi milik sendiri titik sesuatu yang telah meresap menjadi milik sendiri tentu akan dipelihara sebaik-baiknya.36
Menurut Thomas Lickona dalam proses rancangan pendidikan nilai karakter juga ada tiga tahap yaitu sebagai berikut:37
a. Moral Knowing, pada tahap ini terdiri dari enam hal yaitu moral awarenes (kesadaran moral), knowing moralvalues (mengetahui nilai-
35 Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), 21
36 Muhammad Mustari, Nilai-nilai Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Lakbang Pressindo, 2011), 10-11
37 Thomas Lickona, Educating For Carakter How Our School Can Teach Respect And Responbility, (New York, Toronto, Londong , Syney, Aucland: Batam Books, 1991), 51
44
nilai moral), perspective taking (penentuan sudut pandang), moral reasoning (logika moral), decion making (keberanian mengambil sikap), self knowledge (pengenalan diri sendiri).
b. Moral Feeling, disini juga ada enam hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu disarankan oleh orang untuk menjadi manusia yang berkarakter yaitu: conciense (nurani), self esstem (percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control ( mampu mengontrol diri) dan Humanity ( kerendahan hati)
c. Moral Action. Di tahap ini untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam berbuat baik. Maka harus memeperhatikan tiga hal yaitu: competence (kompetensi), will (keinginan) dan habit (kebiasaan).
Dalam pembahasan yang lain pengaturan ke dalam pikiran atau pribadian, perbuatan nilai-nilai, patokan-patokan ide atau praktek dari orang lain menjadi bagian dari diri sendiri. Dapat disimpulkan bila dikaitkan dengan nilai pendidikan karakter maka internalisasi merupakan suatu proses penanaman pola pembinaan yang mendalam dan menghayati nilai-nilai religius dalam kurung agama yang dipadukan dengan nilai-nilai pendidikan karakter ke dalam kepribadian seseorang secara utuh sehingga nilai tersebut tercermin pada sikap dan perilaku titik proses internalisasi yang diartikan dengan pembinaan karakter peserta didik memiliki tiga tahap yang mewakili proses terjadinya internalisasi.
45
Sebagaimana yang disebutkan oleh Muhaimin dalam bukunya paradigma pendidikan Islam terbagi atas tiga tahap internalisasi yakni sebagai berikut:
a. Transformasi (Pemahaman)
Transformasi, pada tahap ini ustadz sekedar menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik kepada santri yang semata-mata merupakan komunikasi verbal. Pada tahapan ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dengan peserta didik.38 Dalam tahapan ini informasikan nilai-nilai yang baik dan buruk pada peserta didik yang sifatnya hanya sebagai komunikasi dengan menggunakan bahasa verbal. Pada tahap ini peserta didik belum melakukan analisis terhadap informasi yang diperoleh dengan kenyataan dalam kehidupan yang nyata.
Tapi ini oleh Ahmad tafsir disebut dengan metode internalisasi yang fokus pada knocking atau atau mengetahui konsep.39 Dalam hal ini ustadz memiliki peran berupaya agar santri mengetahui suatu konsep.
Pada tahap ini yang diberikan pada ruang lingkup kognitif. Tahap transformasi nilai ini dapat dilakukan melalui beberapa metode yaitu metode ceramah, metode ibrah atau pembelajaran dan atau nasihat yang selanjutnya berdampak pada kepahaman peserta didik.
38 Muhaimin, Paradigma, 167
39 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), 224
46
1) Metode ceramah
Metode ceramah adalah salah satu metode yang paling banyak digunakan oleh ustadz dalam menyampaikan materi pembelajaran metode ini merupakan metode yang sangat baik bagi seseorang yang ingin menyampaikannya.
2) Metode Ibrah atau mengambil pelajaran
Metode mengambil pelajaran yang dimaksud adalah mengambil pelajaran yang bisa dilakukan dari beberapa kisah teladan, fenomena, peristiwa yang terjadi baik masa lampau atau sekarang dengan tujuan peserta didik dalam hal ini adalah santri bisa mengambil hikmah dari kejadian-kejadian tersebut. metode ini juga dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Ketika memberikan pengajaran kepada para sahabatnya dengan cara menceritakan kisah-kisah dan kejadian yang menimpa umat terdahulu. metode seperti ini dianggap lebih mampu memberikan kesan yang baik lebih menarik perhatian lebih mendorong mereka untuk mencurahkan semua tenaga dan perhatian serta lebih merasuk ke dalam hati dan telinga mereka secara maksimal.
Metode ini merupakan model penyampaian materi pendidikan dengan tutur kata yang lemah lembut namun disampaikan dengan tegas dan benar sesuai ilmu yang dimiliki sehingga akan berbekas pada jiwa anak didik. Pada intinya metode ini anak didik tidak dihadapkan pada perintah atau larangan secara langsung melainkan
47
dengan menyampaikan kisah-kisah sukses dan menginspirasi tentang orang lain misalnya. Sehingga mereka bisa mengambil pelajaran, nasihat, keteladanan dan contoh dari orang-orang itu.40
3) Metode Nasehat
Metode nasehat Atau mau itu merupakan salah satu metode dan beberapa metode mengajar rasulullah yang terpenting dan paling menonjol hal ini sesuai dengan perintah Al-Quran surat Adz-Dzariyat ayat ke 55:
َْيِنِمْؤُمْلا ُعَفْ نَ ت ىٰرْكِّذلا َّنِاََ ْرِّكَذَو
“Teruslah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin.”41
Nasehat Abdurrahman an-nahlawi dengan mengutip tafsir Al- Manar menyatakan bahwa nasihat mempunyai beberapa bentuk dan konsep yang penting yaitu pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan orang diberi nasehat akan menjauhi maksiat pemberi nasehat hendaknya mengurai menguraikan nasehat yang dapat menggugah perasaan afeksi dan emosi Dampak yang diharapkan dari metode ini adalah untuk membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa peserta didik dalam hal ini adalah santri membangkitkan keteguhan untuk senantiasa berpegang pada pemikiran ketuhanan.
40 Asep Abdul Aziz, Pengembangan Model Ibrah Mauidzah dalam Pembelajaran PAI untuk Meningkatkan Karakter Siswa, (Metro: Jurnal At-tajdid, 2020), 53
41 Al-Quran Terjemah dan Tajwid Warna, (Bandung: Cordoba, 2019), 523
48
b. Transaksi nilai (Pembiasaan)
Yakni tahap ini terjaid dengan melakukan komunikasi dua arah atau interaksi antara ustadz dengan santri bersifat interaksi timbal balik.
tahap ini transaksi nilai adalah aspek lain yang harus ditanamkan kepada peserta didik yang merupakan sumber energi dari dalam diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. internalisasi nilai akhlak tidak cukup diajarkan Melalui pembelajaran saja akan tetapi bisa diajarkan melalui pembiasaan yang diterapkan di lembaga tersebut seperti dengan membiasakan diri untuk bersifat jujur, tawaduk dan lain sebagainya.
c. Transinternalisasi nilai (Keteladanan)
Yakni tahap ini jauh lebih dalam dari pada tahap transformasi dan transaksi nilai yakni bukan hanya dilakukan komunikasi verbal saja, akan tetapi sudah yang berkaitan dengan sikap mental dan kepribadian yang berperan secara aktif. Dengan demikian hal yang perlu dilakukan untuk menetralisir adanya kecenderungan santri untuk meniru apa yang menjadi sikap mental dan kepribadian dari seorang kiai dan ustadznya.
jadi dalam kata lain tahap ini merupakan tahap inti dari tahap internalisasi yang harus dilakukan oleh seorang kiai dan ustadz kepada santrinya. tahap ini sangat penting karena dalam tahap ini bisa terlihat atau bisa tampak sebagaimana langkah sukses yang ditanamkan atau penanaman nilai-nilai yang dilakukan oleh seorang ustadz kepada santri dalam melaksanakan tujuan-tujuan atau visi misi yang diemban oleh
49
pesantren tersebut melalui tingkah laku nyata dalam kehidupan.42 2. Nilai-nilai dalam Kitab Al-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Quran
Kitab Al-Tibyan Fi Adabi Hamalat Al-Quran adalah salah satu kitab klasik yang fenomenal di bidang akhlak dan adab. Yang ditulis oleh seorang ulama terkenal di bidang fiqih dan hadits yakni Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum'ah bin Hizam Al-Haurani Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i yang lahir di Nawa sebuah desa di Damaskus Suriah.43 Kitab beliau banyak dijadikan bahan kajian di pesantren seperti Arbain Nawawiyah kitab 40 hadits yang sangat terkenal di kalangan pesantren. Namun kitab yang akan peneliti teliti ini juga sangat masyhur di kalangan santri khususnya santri penghafal quran.
Kitab monumental ini merupakan kitab klasik yang spesifikasi konten dalam kitab ini untuk para ustadz dan penghafal Al-Quran. Sebagaimana tradisi ulama salaf lainnya dalam menyusun kitab. Imam Nawawi dalam permulaan kitabnya dengan memuji kepada Allah SWT dan bersalawat kepada Rasulullah SAW. Dalam 3 bab awal Imam Nawawi lebih banyak mengutip dari ayat dan hadits sebagai hujjah dalam kitab ini. Imam Nawawi menyebutkan bahwa: “Sesungguhnya para ulama membolehkan mengambil hujjah dari hadits dhaif dalam perkara fadhilah amal agar manusia semangat dalam ibadah, akan tetapi saya mencukupkan dengan mengutip hadit-hadits shahih saja namun hanya di beberapa tempat saja yang mengutip dari hadits
42 Muhaimin, Strategi Belajar Mengajar, (Surabaya: Citra Media, 1996), 153
43 Abu Zakariya Ibn Syaraf Al Din Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Quran, (Surabaya:
Al-Hidayah), v
50
dhaif.”44
Di dalam kitab Al-Tibyan ini berisi nilai-nilai yang sangat penting untuk diketahui oleh pengajar dan penghafal Al-Quran. Karena jika dilihat dari judulnya saja sudah jelas yakni Al-Tibyan fi Adabi Hamalat Al-Quran (Penjelasan tentang Adab penghafal Al-Quran). Maka tak heran jika banyak pesantren tahfizh yang mengajarkan kitab ini kepada para santrinya. Salah satunya adalah nilai keikhlasan yang harus tertanam dalam hati seorang penghafal Al-Quran. Diantara nilai-nilai yang terkandung dalam kitab tersebut adalah: Takwa, ikhlas, sabar, adab kepada ustadz, teman dan Quran, bersungguh-sungguh, tidak mengharap pujian dari orang lain dan tidak tamak terhadap pernak-pernik dunia.
Secara spesifik peneliti hanya akan memfokuskan pada tiga nilai saja dalam penelitian ini. Nilai-nilai yang perlu diinternalisasikan kepada santri yang terdapat di dalam kitab Al-Tibyan Fi Adabi Hamalat Al-Quran adalah nilai ikhlas, nilai sabar dan nilai bersungguh-sungguh. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Nilai ikhlas
Nilai ikhlas adalah salah nilai yang sangat urgen dalam kehidupan.
Khususnya dalam hal ini Imam Nawawi menyebutkan dalam penjelasan awal di bab Adab-adab pengajar dan pembelajar Al-Quran dalam kitab Al-Tibyan Fi Adabi Hamalat Al-Quran yakni dalil-dalil tentang keikhlasan.
44 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 8
51
Syaikh Imam Nawawi menjelaskan panjang lebar tentang pentingnya ikhlas dalam belajar sebagimana dalam kitabnya:
اَمَو : لىاعت للها لاق , لىاعت للها ىضر كلاذب ادصقي نا ئراقلاو ئرقملل ىغبني ام لو ا ۚ
ْوُرِمُا ِد َكِلٰذَو َةوٰكَّزلا اوُتْؤُ يَو َةوٰلَّصلا اوُمْيِقُيَو َءۤاَفَ نُح َنْيِّدلا ُهَل َْيِصِلُْمُ َهٰ للا اوُدُبْعَ يِل َّلَِا ا ۚ ُنْي
ِةَمِّيَقْلا ۚ
Pertama kali yang harus senantiasa dijaga oleh seorang ustadz dan penghafal Al-Quran adalah harus berniat untuk mencari Ridho Allah SWT,45 Sebagimana firman Allah SWT: Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istiqamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).46
Berikut pendapat para ulama salaf yang dikutip Imam Nawawi dalam kitabnya. Al-Ustadz Abul Qasim Al-Qusyairi berkata: Ikhlas adalah Meniatkan dalam hati melakukan segala sesuatu hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharap sesuatu dari manusia, karena sesorang dan mengharap pujian dari seseorang atau tujuan-tujuan lain selain untuk beribadah kepada Allah SWT. Sehingga Ikhlas itu bisa didefinisikan sebagai pemurnian amal karena Allah tanpa harus dilihat oleh manusia.47
Hudzaifah Al-Masy’ari berpendapat bahwa ikhlas adalah Kesesuaian perbuatan seorang hamba dari segi dhahir dan bathin.48 Dzun Nun berkata bahwasanhya ada 3 tanda seseorang itu dikatakan ikhlas: a.
Baik dipuji ataupun dihina sama saja sikapnya, b. Tidak ingin amalnya
45 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 23
46 QS. Al-Bayyinah: 5
47 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 24
48 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 24
52
dilihat oleh orang lain, c. Mengharap pahala amalnya di akhirat kelak.49 Karena perkara ikhlas adalah perkara paling asas dalam sebuah amal. Lebih-lebih dalam menghafal Al-Quran tanpa keikhlasan maka akan sia-sia dia dalam menghafal Al-Quran. Perkara hati merupakan perkara yang mendasar yang harus ditata agar supaya tetap mengharap ridho Allah SWT. Takutnya jika salah dari niat awal menghafal Al- Qurannya menjadi tidak bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
b. Sabar
Nilai sabar adalah nilai bisa tampak dari sikap seseorang saat ditimpa sebuah musibah yang dialami dalam hidupnya. Dalam pasal pertama dari bab 4 kitab ini Imam Nawawi menyebutkan bahwa:
ىغبنيو نا ملعملل ب قلختي
ا درو تىلا نسالمح ديملحا للَلخا و ابه عرًلا
ة يًلا و , ةيضرلما م
اهيلإ للها هدشرأ تىلا نم
و اهلهأب و ابه ةلَابلما مدع و ,اهنم للقتلا و ايندلا فى ةداهزلا
و ةعلَلخا دح لىإ جورخ يرغ نم هجولا ةقلَط و ,قلَخلْا مراكم و دولجا و ءاخسلا تلا و برصلا و مللحا .باستكلإا ءنيد نع هزن
Bagi Guru penghafal Al-Quran seyogyannya memiliki akhlak mulia sebagaimana yang telah disyariatkan oleh agama, perangai yang terpuji, sikap yang diridhai sesuai dengan tuntunan Allah SWT., seperti sifat zuhud, tidak terlalu pragmatis, dermawan, wajah ceria yang mana (wajah ceria itu) tidak keluar dari batas wajar, lembut, sabar dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak pantas.50
Dari sahabat Abdullah Ibnu Mas'ud radhiallahu Anhu berkata bahwasanya sepantasnya dan selayaknya bagi penghafal Al-Quran agar dia memperhatikan dengan malam-malamnya disaat orang lain itu tidur
49 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 24-25
50 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 29
53
pulas, dengan siang hari saat orang lain itu dalam keadaan sibuk dengan pekerjaannya, dan dengan kesedihannya saat orang lain itu bersenang- senang, dan dengan tangisannya saat orang lain itu tertawa terbahak- bahak, dan dengan diamnya saat orang lain itu itu berada dalam kesia- sian, dan dengan kekhusyuannnya sedangkan orang lain itu berada dalam tipu dayanya.51
Hasan Al-bashri berkata: sesungguhnya generasi sebelum kalian itu memandang bahwasanya Al-Quran adalah surat-surat cinta yang datang dari Allah SWT. Sesungguhnya para sahabat Nabi SAW merenungkan isi Al-Quran di malam harinya dan mereka mengamalkan isinya pada siang hari.52
Inilah nilai-nilai sabar yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi di dalam kitabnya. Karena, sesungguhnya kegiatan hafalan Al-Quran adalah ibadah kepada Allah yang harus benar-benar sabar dalam melaksanakannya. Sesungguhnya dengan kesabaran yang tinggi pada diri seorang santri, maka hal itulah yang membantunya dalam perjuangan lelah menghafal Al-Quran.
Jalan menghafal Al-Quran adalah jalan yang tidak banyak dilalui orang. Dalam melalui perjalanan menghafal Al-Quran diperlukan kesabaran yang kuat aga tidak tergiur dengan pernak-pernik duniawi yang menyilaukan. Akan tetapi tidak pula terlalu berlebihan meninggalkan perkara duniawi namun urusan akhirat harus lebih
51 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 43
52 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 44
54
diutamakan. Sehingga nilai sabar dalam menjalankan ibadah sangat diperlukan bagi santri penghafal Quran.
c. Nilai bersungguh-sungguh
Bersungguh-sungguh adalah nilai urgen yang harus tumbuh dalam diri seorang ustadz dan santri. Tanpa kesungguhan dan pengorbanan yang besar dalam menuntut ilmu khususnya menghafal Al-Quran tidak akan bisa diraih apa yang akan diinginkannya.
و غارفلا تقو فِ ليصحتلا فِ داهتجلَاب هسفن ذخأي نأ يغبنيو ، ندبلا ةوقو ، طاًنلا
يرمأ لاق دقَ . ةلزنلما عافتراو ةلاطبلا ضراوع لبق تلَغاًلا ةلقو ، رطالخا ةهابنو فِ اودهتجا هانعم : اودوست نأ لبق اوهقفت : هنع للها يضر باطلخا نب رمع ينمؤلما تما يعوبتم ةداس تمرص اذإ مكنإَ ، ةداس اويرصت نأ لبق عابتأ متنأو مكتيلهأ لامك متعن
للها يضر يعَاًلا ماملإا لوق نىعم اذهو . مكلغش ةريكو مكتلزنم عافترلَ ملعتلا نم هقفتلا لىإ ليبس لََ تسأر اذإَ ، سأرت نأ لبق هقفت :هنع
Seyogyanya bagi penghafal Quran harus tertanam pada dirinya sifat bersungguh-sungguh saat menggunakan waktu luang, dan dengan mengandalkan kekuatan fisik, insting yang kuat, dan tidak banyak menyibukkan diri dengan hal yang sia-sia serta obsesi untuk meraih pangkat yang tinggi. Amirul Mukminin Umar ibn al-Khattab berkata,
"Jadilah orang yang berilmu sebelum kamu menjadi pemimpin: itu berarti bekerja keraslah untuk menpribadi yang memiliki keahlian yang bagus. Maka, sesungguhnya kamu adalah bawahan sebelum nanti menjadi pemimpin sesungguhnya. Jika kamu menjadi pemimpin yang diikuti, maka kamu akan menahan diri dari belajar karena status tinggi dan pekerjaan yang menyibukkanmu dari belajar. "Inilah arti dari pernyataan Imam Syafi'i, semoga Allah memberkahinya: Jadilah orang yang faqih sebelum engkau memimpin, dan jika engkau sudah menjadi pemimpin maka tidak ada waktu untuk menjadi faqih lagi.53
Bersungguh-sungguh adalah akhlak terpuji yang harus dimiliki
53 Al-Nawawi, Al-Tibyan fi Adabi, 41
55
seorang santri karena dengannya ia akan mampu mencapai cita-cita yang diinginkannya. Karena jika rasa malas tetap ada dalam penghafal Al- Quran maka ia tidak akan bisa memenuhi cita-cita luhur sebagai penghafal Al-Quran. Terutama di masa muda sebelum banyak tugas dan amanah yang diembannya maka belajar disini lebih diutamakan khususnya memperdalam Al-Quran dengan cara menghafalnya dengan sungguh-sungguh.
3. Pembentukan Akhlak
a. Pengertian Pembentukan Akhlak
Secara etimologis, kata akhlak berasal dari bahasa arab yakni (khalaq dan khuluq) ia memiliki makna yang semisal dengan istilah karakter, adab, perangai dan etika.54 Dalam hal ini lebih spesifik lagi akhlak seorang penghafal Al-Quran yang akan dikaji lebih mendalam melalui proses penelitian yang sedang peneliti laksanakan.
Secara terminologis, akhlak memiliki banyak pengertian dari berbagai ahli, anatara lain sebagai berikut:
Ibnu Miskawih memandang akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.55 Sedangkan Al-Ghazali berpendapat bahwa Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah,
54 Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2007), 2-3
55 Ibn Miskawaih, Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A‟raq, (Mesir:al-Mathba‟ah al-Mishriyah, 1934), cet. 1, 40.
56
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.56
Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, dalam Mu’jam al-Wasith, Ibrahim Anis mendefinisikan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.57 Selanjutnya di dalam Kitab Dairatul Ma’arif, secara singkat akhlak memiliki makna sifat-sifat manusia yang terdidik.58
Berbicara masalah pembentukan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Misalkan pendapat Muhammad Athiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan pendidikan Islam.59 Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap Muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.60
Menurut sebagian ahli akhlak tidak perlu dibentuk, karena akhlak adalah instinct (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Bagi golongan ini bahwa masalah akhlak adalah pembawaan dari manusia sendiri, yaitu
56 Imam al-Ghazali, Ihya’Ulum al-Din , Jilid III, (Beirut:Dar al-Fikr, t. t. ), 56.
57Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir:Dar al-arif, 1972), 2002
58Abd al-Hamid, Dairah al-Ma’arif, II (Kairo:Asy-Sya‟b, t. t. ), 436.
59 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet, IV, V
60 Ahmad D Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma‟arif, 1980), cet IV.
48-49