BAB III Metode Penelitian
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
1) Histori Living Sunnah
Seiring dengan perkembangan zaman, di kalangan antara para ilmuwan ataupun para peneliti hadis baik dari kalangan muslim maupun golongan para peneliti dan sarjana dari dunia barat
terdapat berbagai pertentangan disebabkan timbulnya perbedaan tentang pengertian ataupun definisi terhadap hadis atau sunnah.
Perbedaan antara hadis dan sunnah rupanya menyita perhatian para ulama antara mereka yang menyatakan bahwa keduanya adalah sinonim dan golongan yang menganggap ada perbedaan dalam penggunaan istilah hadis dan sunnah. Bagi mereka yang menganggap antara hadis dan sunnah adalah sinonim, mereka menyatakan, sunnah terkandung dalam hadis sehingga jika diibaratkan dengan jiwa dan raga maka sunnah itu adalah jiwa sedangkan hadis itu adalah raga sehingga di antara keduanya tidak dapat dipisahkan.13
Fenomena ini kemudian menarik perhatian para sarjana barat untuk ikut serta mendalami guna mengkaji sunnah atau hadis sejalan dengan pemahaman dan pola pikir mereka. Sarjana barat yang telah melakukan kajian serius di bidang ini, Ignaz Goldziher (1850-1921 M), yang mengkaji evolusi konsep sunnah dan hadis secara sistematis dan komprehensif. Menurutnya, hadis dan sunnah tidak hanya bersama-sama, tetapi juga memiliki substansi yang sama. Perbedaan antara keduanya hanyalah sebuah hadis semata- mata suatu laporan dan bersifat teoritis, maka sunnah adalah laporan yang sama telah memperoleh kualitas normatif dan menjadi prinsip praktis bagi seorang Muslim. Teori Goldziher
13 Nor Salam, Living Hadis Integrasi Metodologi Kajian ‘Ulumul al-Hadis & Ilmu-Ilmu Sosial, 4.
tentang revolusi sunnah dan hadis diatas diikuti dan dikembangkan oleh orientalis-orientalis sesudahnya, semisal Yoseph Schacht (1902-1969 M), Snouch Hurgronje, Lammens dan D.S.
Margoliouth.14
Kajian-kajian orientalis tentang evolusi konsep sunnah dan hadis mendapat respons dari sarjana-sarjana Muslim (Intelektual Muslim). Di antaranya, Fazlur Rahman (1919-1988 M). Menurut Fazlur Rahman, formulasi sunnah dilakukan ketika telah terjadi perbedaan-perbedaan pendapat dan penafsiran dalam masalah agama. Dari perbedaan-perbedaan pendapat dan penafsiran ini, selanjutnya, orang menjadi terbiasa untuk mempertentangkan sunnah dengan bid'ah yang kemudian muncul secara luas untuk merumuskan.
Dari sinilah awal kemunculan living sunnah atau living hadis, living sunnah muncul sebagai sebuah bentuk hasil dari motivasi mencintai hadis atau sunnah guna menanamkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam artian menghidupkan sunnah dalam diri para orang-orang Islam untuk dipraktikan dan ditanamkan untuk kemasalahatan umat Islam melalui jalan mengamalkan sunnah-sunnah nabi. Karena Setelah Nabi wafat, sunnah Nabi tetap merupakan sebuah ideal yang hendak diikuti oleh para generasi
14 Alfatih Suryadilaga, Living Quran dan Living Hadis (Yogyakarta: TH Press, 2007), 91.
Muslim sesudahnya, dengan menafsirkannya berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan meteri yang baru pula.
Namun demikian, gerakan hadis ini pada hakikatnya menghendaki bahwa hadis-hadis harus selalu ditafsirkan didalam situasi-sitiuasi yang baru untuk menghadapi problema-problema yang baru, baik dalam bidang sosial, moral, dan lain sebagainya.
Fenomena-fenomena kontemporer baik spiritual, politik dan sosial harus diproyeksikan kembali sesuai dengan penafsiran hadis yang dinamis. Inilah barangkali disebut dengan hadis yang hidup.
Jika mengacu pada tradisi Rasulullah SAW. yang sekarang oleh ulama' hadis telah dijadikan sebagai suatu terverbalkan sehingga memunculkan istilah living hadis berbeda dengan istilah sunnah. Fazlur Rahman berpendapat bahwa istilah hadis muncul setelah sunnah karena hadis adalah sebuah produk dari sunnah yang sudah terverbalkan, Dari sisni jelas bahwa sunnah merupakan proses kreatif yang terjadi terns menerus sedangkan hadis adalah pembakuan secara kaku.
Berbeda dengan pemikiran Fazlur Rahman, Jalaluddin Rakhmat memiliki pandangan sebaliknya dengan apa yang dinyatakan Rahman. Rahmat menolak jika yang pertama kali berkembang adalah sunnah, menurutnya justru hadis yang pertama berkembang dalam kehidupan muslim awal. Bukti yang diajukan oleh Rahmat adalah fakta bahwa para sahabat juga memiliki gairah
dalam menghafal ucapan-ucapan Nabi serta menyampaikan apa yang dilakukan olehnya.15
Maka, seperti dinyatakan Jalaluddin Rahmat, sekalipun harus disepakati bahwa yang harus diikuti adalah sunnah nabi bukan hadis Nabi, tetapi tidak mungkin dapat memahami sunnah yang dimaksudkan tanpa melalui kajian terhadap hadis, sehingga pemahaman terhadap matan hadis dapat dinilai sebagai upaya untuk menyimpulkan sunnah yang terkandung di dalamnya.
Sehingga dengan demikian, lanjut Rahmat teks hadis menjadi penting untuk dipelajari untuk sampai kepada pemahaman terhadap sunnah yang terkandung di dalam hadis.16
2) Pengertian Living Sunnah
Secara bahasa living adalah dari kosa kata bahasa inggris yang berarti hidup. sedangkan sunnah sama dengan hadis dimana sunnah yaitu segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat dan perilaku beliau sebelum ataupun sesudah menjadi Rasul. Jika dua kosa kata digabungkan menjadi living sunnah maka akan menjadi suatu metode yang baru dalam memahami sunnah dalam masyarakat.17 Living sunnah adalah suatu studi hadis yang baru, yang merupakan
15 Nor Salam, Living Hadis Integrasi Metodologi Kajian ‘Ulumul al-Hadis & Ilmu-Ilmu Sosial, 5
16 Nor Salam, Living Hadis Integrasi Metodologi Kajian ‘Ulumul al-Hadis & Ilmu-Ilmu Sosial, 7
17 Alfatih Suryadilaga, Living Quran dan Living Hadis, 88.
pendekatan pemahaman ataupun mempraktikkan hadis atau sunnah Rasulullah pada masa sekarang.
Living hadis adalah sebuah kajian yang berupaya untuk memperoleh pengetahuan dari suatu budaya, praktik, tradisi, ritual atau perilaku hidup masyarakat yang diinspirasi oleh hadis Nabi.
Living hadis dapat dimaknai juga sebagai gejala yang nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad SAW. Pola-pola perilaku di sini merupakan bagian dari respon umat Islam dalam interaksi mereka dengan hadis-hadis Nabi.18
Sebagai uswatun hasanah ketika Nabi bersabda tidak lepas dari situasi dan kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu, sehingga sangat mustahil jika Nabi bersabda tanpa adanya problem atau masalah yang mendasari beliau besabda. Jadi hal ini memiliki keterkaitan dengan problem sosio-historis dan kultural pada waktu itu.19
3) Konsep Implementasi Living Sunnah
Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) dan to give
18 Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis dalam Sahiron Syamsuddin Ed., Metodologi Penelitian Living Quran dan Hadis, (TH Press: Yogyakarta, 2005), 107.
19 Abdul Mustaqim, dkk., paradigma interaksi dan interkonesi dalam memahami hadits (yogyakarta : sukses offset, 2008), 5
practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).20
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa Undang–Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan dan Kebijakan yang dibuat oleh Lembaga–Lembaga Pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Pengertian implementasi yang dikemukakan diatas, dapat dikatakan bahwa implementasi adalah tindakan–tindakan yang dilakukan oleh pihak–pihak yang berwenang dan berkepentingan, baik pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mewujudkan cita–cita serta tujuan yang telah ditetapkan. Implementasi berkaitan dengan berbagai tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan dan merealisasikan program yang telah disusun demi tercapainya tujuan dari program yang telah direncanakan, karena pada dasarnya setiap rencana yang ditetapkan memiliki tujuan atau target yang hendak dicapai.
Implementasi living sunnah merupakan tindakan dalam kehidupan sehari-hari berpedoman dengan hadits Nabi yang
20 Abdul Wahab Solichin, Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijakan Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), 64.
bertujuan agar mempunyai karakter yang baik, sebagaimana Rasulullah menjadi suri tauladan bagi umat muslim. Untuk implementasi hadits Nabi sebagaimana living sunnah dapat dilihat berbagai tradisi, diantaranya tradisi tulis, tradisi lisan dan tradisi praktik.
4) Model-Model Living Sunnah.
Dalam living hadis terdapat 3 model, yaitu tulis, lisan, dan praktek. Kebiasaan umat Islam memiliki lebih banyak gejala maka uraian tersebut sudah mulai menunjukkan bahwa ada berbagai bentuk yang biasa diimplementasikan dari satu ranah ke ranah lainnya. Adapun tiga model living hadis, sebagai berikut:
1. Tradisi Tulis
Dalam perkembangan living hadis, tradisi tulis ini sangat penting. Tradisi tulis menulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering dipajang di tempat-tempat strategis seperti bus, masjid, sekolah, pondok pesantren dan fasilitas umum lainnya. Ada juga tradisi yang kuat dalam khazanah khas Indonesia dari hadits Nabi Muhammad saw. sebagaimana terpampang dalam berbagai tempat tersebut.
Sebagai contoh tulisan “
ناميلإا نم ةف اظنلأ
kebersihan sebagian dari iman”. Pandangan masyarakat indonesia tulisan tersebut adalah hadits Nabi, akan tetapi setelah melakukan sebuah penelitian pernyataa tersebut bukanlah
hadits. Hal ini memiliki tujuan agar dapat menciptakan suasana yang nyaman dalam lingkungan.21
2. Tradisi Lisan
Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik-praktik yang dipraktikkan oleh umat Islam, seperti pembacaan dalam shalat shubuh pada hari Jumat.
Pelaksanaan shalat shubuh pada hari jum'at di kalangan pesantren yang kiainya penghafal al-Qur'an menjadi relatif lebih lama karena shalatnya membaca dua ayat yang panjang, yaitu ha mim al-sajadah dan al-insan. Demikian juga pada saat salat Jumat, Imam terkadang membacakan surat al-Jumu' ah dan al- Munafiqun. Namun, untuk kedua surat itu, hanya tiga kalimat terakhir dari setiap surat yang kadang-kadang dibaca. Pembacaan surat-surat ini berdasarkan hadits.22
3. Tradisi Praktek
Tradisi praktik dalam living hadis ini banyak dilakukan oleh umat Islam. Hal ini berdasarkan ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Misalnya, ada tradisi khitan perempuan, dalam kasus ditemukan jauh sebelum datangnya Islam. Berdasarkan penelitian etnolog menunjukkkan bahwa tradisi khitan perempuan sudah pernah dilakukan masyarakat
21 M. Al-Fatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits (dari teks ke konteks), (Yogyakarta: Teras, 2009), hal. 184.
22 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Al-Quran dan Hadis, 121
pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit (Yahudi dan Arab).23
2. Pembentukan Karakter 1) Pengertian Karakter
Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan, dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, yang dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan mengungkapkan secara implisit hal-hal yang tersembunyi.24
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika.25
Dengan demikian orang yang berkarakter adalah seseorang yang memiliki kepribadian, perilaku, sifat, atau watak tertentu, dan watak tersebut yang membedakan dirinya dengan orang lain.
Pembentukan karakter merupakan salah satu fungsi dan tujuan pendidikan pesantren. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18
23 M. Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks Ke Konteks, 195.
24 Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, 27.
25 Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2014), 41-42.
Tahun 2019 Tentang Pesantren, bahwa “Membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang, dan moderat; Membentuk pemaharnan agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama;
dan Meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang berdaya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan warga negara dan kesejahteraan sosial masyarakat”.26
Karakter berupa kualitas kepribadian ini bukan barang jadi, tapi melalui proses pendidikan yang diajarkan secara serius, sungguh-sungguh, konsisten, dan kreatif, yang dimulai dari unit terkecil dalam keluarga, kemudian masyarakat, dan lembaga pendidikan secara umum.27
Jauh sebelum pemerintah memberlakukan program wajib belajar dengan mewujudkan karakter yang cerdas dan berakhlak sejak berabad-abad yang lalu. Rasulullah saw telah mendidik umat manusia agar berkarakter, beriman kepada Allah swt, berakhlak mulia, berakal, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi manusia yang demokratis serta bertanggung jawab.
26 Lembaran Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Sistem Pendidikan Pesantren, pasal 3.
27 Jamal Ma’mur Asmani, Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah , 30.
Oleh karena itu, jika ingin mengingat untuk menemukan orang yang paling layak diteladani, maka tidak ada alasan lain selain kembali pada sosok Nabi Muhammad SAW yang tanpa tercela, dengan keteladanannya yang begitu melekat dalam dirinya Sebagaimana yang dijelaskan Allah SWT. dalam QS al Ahzab/33:21.
َرِخّْٰلْا َمْوَ يْلاَو َهّٰ للا اوُجْرَ ي َناَك ْنَمِّل ٌةَنَسَح ٌةَوْسُا ِهّٰ للا ِلْوُسَر ْيِف ْمُكَل َناَك ْدَقَل اًرْ يِثَك َهّٰ للا َرَكَذَو
ۗ .
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.28
2) Nilai-Nilai Karakter
Berdasarkan kajian berbagai nilai agama, norma sosial, peraturan atau hukum, etika akademik, dan prinsip-prinsip HAM, telah teridentifikasi butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, Iingkungan, dan kebangsaan. Adapun nilai-nilai pendidikan karakter yang di deskripsikan adalah sebagai berikut:
28 Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahan, 420.
a) Nilai Karakter daiam Hubungannya dengan Tuhan
Nilai ini bersifat religius. Dengan kata lain, pikiran, perkataan, dan rindakan seseorang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan ajaran agama.
b) Nilai Karakter Hubungannya dengan Diri Sendiri
Ada beberapa nilai karakrer yang berhubungan dengan diri sendiri. Berikut beberapa nilai tersebut.
1. Jujur
Jujur atau kejujuran merupakan perilaku yang dida-sarkan pada upaya menjadikan diri sebagai orang yang dapat dirercaya. Hal ini diwujudkan dalam hal perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri sendiri maupun pada pihak lain. Kejujuran merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan diri sebagai orang yang selalu dapat dipercaya, baik terhadap diri sendiri maupun pihak lain.
2. Bertanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas clan kewajibannya, sebagaimana yang seharusnya ia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Bergaya Hidup Sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang balk dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
6. Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapan-nya.
7. Percaya diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapan-nya.
8. Berjiwa Wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
9. Berpikir Logis, Kritis, Kreatif, dan Inovatif Berpikir dan melakukan sesuatu secara nyata atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan mutakhir dari sesuatu yang telah dimiliki.
10. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
11. Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar.
12. Cinta Ilmu
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan,
c) Nilai Karakter Hubungannya dengan Sesama
1. Sadar Hak dan Kewajiban Diri dan Orang Lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan sesuatu yang menjadi milik atau hak diri sendiri dan orang lain, serta tugas atau kewajiban diri sendiri dan orang lain.
2. Patuh pada Aturan-Aturan Sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
3. Menghargai Karya dan Prestasi Orang Lain
Menghargai karya dan prestasi orang lain merupa-kan sikap dan tindakan yang mendorong diri untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat. Serta, mengakui dan menghorrnati keberhasilan orang lain.
4. Santun
Santun merupakan sifat yang lulus dan balk dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya kepada semua orang.
5. Demokratis
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban diri sendiri dan orang lain.
d) Nilai Karakter Hubungan dengan Lingkungan
Hal ini berkenaan dengan kepedulian terhadap sosial dan lingkungan Nilai karakter tersebut berupa sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya. Selain itu, mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
e) Nilai Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompok.
1. Nasionalis
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menun-jukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonorni, dan politik bangsanya,
2. Menghargai Keberagaman
Sikap menghargai atau menghormati terhadap hal-hal yang berbeda, baik fisik, watak, adat istiadat, budaya, suku maupun agama.29
3) Metode Pembentukan Karakter
Metode merupakan alat atau cara yang digunakan untuk memberikan materi kepada peserta didik. Kedudukan metode dalam pembentukan karakter sangat penting, karena tanpa metode yang tepat, tujuan dari pembentukan tidak akan efektif. Pembentukan karakter harus dilakukan pada anak sejak usia dini, karena anak dengan penanaman nilai-niai karakter yang baik akan mampu menempatkan diri, mengendalikan diri, serta melindungi diri dari perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang pernah diterimanya dari berbagai hal negatif yang ada dalam lingkungannya. Berikut penjelasan pengertian metode-metode pengajaran yang ada di pondok pesantren, antara lain:
29 Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan Karakter di Sekolah, 36-41
a) Metode Sorogan
Metode sorogan adalah suatu metode di mana santri yang pandai mengajukan sebuh kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapan kiai tersebut. Kalau dalam membaca dan memahami terdapat kesalahan maka kesalahan tersebut langsung akan dibenarkan oleh kiai.
Dalam pengembangan dan aplikasi dari metode ini akan menuntut adanya kesabaran, kerajinan, ketelatenan dan disiplin para santri. Sehingga dengan demikian metode ini dapat efektif dalam pelaksanaannya yang memungkinkan para kiai mengawasi, menilai dan membimbing santrinya dengan maksimal. Di samping pelakasanaan metode sorogan ini bisa juga dijadikan sebagai tolak ukur dari keberhasilan pendidikan pengajaran yang ada di pondok pesantren.
b) Metode Wetonan
Selain metode pengajaran dalam bentuk sorogan di pondok pesantren juga terdapat metode wetonan dalam pengajarannya.
Metode wetonan adalah kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu dan santri membawa kitab yang sama, kemudian santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai tersebut.
Dalam metode pengajaran tersebut (wetonan) tidak ada ikatan yang mengikat kepada santri untuk harus mengikuti hal tersebut, artinya santri diberi kebebasan untuk datang dan mengikutinya atau bahkan santri diberi kebebasan untuk tidak datang ataupun tidak
mengikutinya. Oleh karena itu dalam metode ini tidak ada penilaian terhadap santri dari para kiai tentang tingkat kepandaian dan tidak ada bentuk kenaikan kelas, akan tetapi santri yang telah melaksanakan atau menyelesaikan kitab yang dipelajarinya dapat melanjutnya ke jenjang kitab yang lebih tinggi tingkatnya. Sehingga secara tidak langsung metode ini seolah-olah mempunyai tujuan untuk membentuk seorang santri untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuannya.
c) Metode Mudzakarah/Diskusi
Seorang santri yang dituntut untuk mampu mengembangkan ilmu pengetahuan keagamaannya yang sampai saat ini dapat dibilang tradisional, maka agar tidak ketinggalan dengan ilmu pengetahuan lainnya yang perkembangannya pesat sekali, oleh karena itu pertemuan-pertemuan ilmiah yang membahas dan memecahkan suatu permasalahan sering dilakukan dalam kegiatan di Pondok Pesantren. Metode mudzakarah/diskusi ini merupakan pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah, seperti ibadah (ritual), aqidah (teologi) serta masalah agama pada umumnya.
Metode mudzakarah/diskusi ini menurut Imron Arifin dibagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Mudzakarah yang diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan mendetail. Para santri
agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia.
2. Mudzakarah yang dipimpin oleh kiai, di mana hasil dari mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar.
Berdasarkan keterangan di atas tersebut, jelas sekali bahwa metode ini bertujuan dan berfungsi untuk menambah wawasan dan cakrawala berpikir keagamaan para santri serta sekaligus untuk meningkatkan daya intelektualitas para santri agar siap pakai nantinya bila terjun dalam kehidupan bermasyarakat.
d) Metode Majelis Ta’lim
Majelis Ta’lim adalah suatu media penyampaian ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Perjama’ah terdiri dari dari berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan yang bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian semacam ini hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja.
Dalam pelaksanaannya, metode ini dilaksanakan biasanya hanya satu minggu satu kali dengan materi yang bersifat umum serta berisi nesehat-nasehat atau wejangan-wejangan keagamaan amar ma’ruf nahi munkar yang mana hal tersebut diambil dari kitab-kitab tertentu. Jadi metode majelis ta’lim ini boleh diikuti oleh masyarakat