• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROFIL AL-QURTHUBI DAN KITAB TAFSIRNYA

B. Profil Kitab Tafsir Al-Qurthubî

8. Tehnik Interpretasi

a) Interpretasi Sosio-Historis

Interpretasi ini menekankan pentingnya memahami kondisi aktual ketika Al-Qur`an diturunkan29 hal ini berpijak bahwa pada suatu landasan faktual bahwa terdapat ayat-ayat Al-Qur`a yang diturunkan berkaitan dengan peristiwa- peristiwa atau kasus-kasus tertentu sebagai contoh di sini dapat dikemukakan tentang penginterpretasian kata al- Tahlukah pada QS. Al-Baqarah[2]: 195 ayat berikut:

29 M. Alfatih Suryadilaga , Metodologi Ilmu Tafsir , h. 143





























“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al- Baqarah[2]: 195)

Menjelang turunnya ayat diatas ada suatu kasus di mana seorang sahabat membagi-bagi harta perbekalan perangnya kepada sahabat lainnya hingga habis, dengan demikian maka yang dimaksud dengan al-Tahlukah dalam ayat ini adalah membiarkan diri terpuruk dalam kesengsaraan dan kelaparan.30

b) Interpretasi Kultural

Untuk dapat memahami Al-Qur`an dengan baik harus memanfaatkan konsep pengetahuan yang mapan, penggunaan pengetahuan inilah yang disebut dengan tehnik interpretasi kultural, penggunaan tehnik ini beracu pada asumsi bahwa pengetahuan yang benar tidak bertentangan dengan Al-Qur`an tapi justru dimaksudkan mendukung kebenaran Al-Qur`an.31 Penafsiran Al-Qur`an melalui tehnik ini sesungguhnya dapat ditemukan dalam tradisi akademik para sahabat sebagaimana yang dijelaskan al-Qurthubî dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat berikut :

30 Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 337

31 Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir Sebuah Rekontruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagi Disiplin Ilmu (Orasi pengukuhan Guru Besar IAIN Alauddin, 1999), h. 35

57

...

















“...Janganlah kamu membunuh dirimu 32; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An- Nisâ [4]: 29)

Menurut riwayat yang ditakhrij Abû Dâud, Amrû bin „Ash pernah berdalil dengan ayat ini ketika ia berpendapat tidak wajib mandi junub dengan air yang sangat dingin karena takut membahayakan kehidupan, peristiwa ini terjadi pada perang Zat al-Salasil dan ini pun ditakrirkan oleh Rasulullah SAW.

ketika beliau mendengar laporan kejadian itu, beliau hanya tersenyum sepatah kata pun tidak memberikan komentarnya.33 c) Interpretasi Linguistik (bahasa)

Pada tehnik ini, ayat Al-Qur`an ditafsirkan dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa baik dari segi etimologis, leksikal, maupun gramatikal.34 Penggunaan teknik ini dengan dasar bahwasanya Al-Qur‟an diturunkan dalam berbahasa arab sebagaimana yang dipaparkan dalam Al-Qur`an QS. Al-Ra‟d [13]: 37 :







































32 Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.

33 Al-Qurthubî, al-Jami‟ li Ahkâm Al-Qur`an, h. 137

34 Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir Sebuah Rekontruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagi Disiplin Ilmu, h. 34

Dan Demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab 35. dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, Maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.”

QS. Al-Ra‟d [13]: 37

Al-Qurthubî dalam tafsirnya juga banyak menggunakan tehnik ini sebagai salah satu langkah dalam memahami ayat- ayat Al-Qur`an, seperti ketika beliau menafsirkan QS. Al- Baqarah [2]: 3 berikut :

















(yaitu) Mereka yang beriman 36 kepada yang ghaib 37, yang mendirikan shalat 38, dan menafkahkan sebahagian rezki 39 yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2]: 3)

35 Keistimewaan bahasa Arab itu antara lain Ialah: 1. sejak zaman dahulu kala hingga sekarang bahasa Arab itu merupakan bahasa yang hidup, 2. bahasa Arab adalah bahasa yang lengkap dan Luas untuk menjelaskan tentang ketuhanan dan keakhiratan. 3.

bentuk-bentuk kata dalam bahasa Arab mempunyai tasrif (konjugasi) yang Amat Luas sehingga dapat mencapai 3000 bentuk peubahan, yang demikian tak terdapat dalam bahasa lain.

36 Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.

37 Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.

38 Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab- adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.

39 Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah

memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.

59

Firman Allah berada dalam bentuk khafd yang

mengikut pada “orang-orang yang bertaqwa” dan boleh rafa‟ untuk memutuskan yang maknanya “mereka orang- orang yang”, dan boleh dalam nasb untuk menunjukkan pujian. Dan Firman Allah artinya orang-orang yang benar, dan berimankepada kebenaran, dan firman Allah sesuatu yang tersembunyi dalam perkatan orang arab: segala sesuatu tersembunyi atasmu. Dan mendirikan shalat dan pelaksanaannya dengan rukun- rukunnya, sunnah-sunnahnya, cara-caranya di dalam waktu- waktunya

C. Keistimewaan Kitab Tafsir Al-Qurthubî

Tafsir Al-Qurthubî dianggap sebagai sebuah ensiklopedi besar yang memuat banyak ilmu. Diantara keistimewaan yang dimilikinya adalah:

1. Memuat hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an Al-Karîm, dengan pembahasan yang luas.

2. Hadist-hadist yang ada di dalamnya di-takhrij-nya dan pada umumnya disandarkan langsung kepada orang yang meriwayatkannya.

3. Al-Qurthubî telah berusaha agar tidak menyebutkan banyak cerita israiliyyat dan hadist maudhû‟ (palsu), tetapi sayangnya ada sejumlah kesalahan kecil (dalam kaitannya dengan penyebutan cerita israiliyyat dan hadist palsu ini) yang telah dilewatinya tanpa memberikan satu komentar pun.

4. Selain itu, ketika menyebutkan sebagian cerita israiliyyat dan hadist maudhû‟ (palsu) yang menodai kesucian para malaikat dan para nabi atau dapat membahayakan akidah seseorang, maka al- Qurthubî akan menyatakan bahwa cerita atau hadist tersebut batil, atau akan menjelaskan bahwa statusnya dha‟îf (lemah).40

40 Al-Qurthubî , Tafsir Al-Qurthubî Terj. Faturrahman dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h. xx-xxi

61 BAB IV

ANALISIS LAFAZ DZANBUN, KHATHÎ’AH, ITSMUN, JUNÂH, DAN JURMUN DALAM TAFSIR AL-QURTHUBÎ

A. Pengertian Dzanbun, Khathî’ah, Itsmun, Junâh, dan Jurmun Dzanbun

Kata dzanbun di dalam Al-Qur`an disebut 39 kali, 11 kali di antaranya disebut dalam bentuk tunggal (mufrad), misalnya di dalam QS. As-Syu‟arâ [26]: 14, QS. Al-Mu`min [40]: 3 dan 55, QS. At-Takwîr [81]: 8-9, QS. Yûsuf 12/29, 32, 91, 97 . Selebihnya, disebutkan dalam bentuk jamak seperti pada QS. Âli Imrân [3]: 11,16,31,93,135, dan 147 serta QS. Al-Mâidah [5]: 18 dan 49, QS. Al-Qashâsh [28]: 8, QS. Al-Hâqqah [69]: 9,37, dan QS. Al-„Alaq [96]: 16, QS. Al-Ahzâb [33]: 5, QS. Al-Ankabût [29]: 12.1

Kata dzanbun berasal dari kata dzanaba ( ) yang pada mulanya berarti 2 :

 Akhir dari sesuatu atau sesuatu yang diikut. Dari kata ini terbentuklah beberapa kata lain yang memiliki arti yang beraneka ragam. Misalnya, ekor binatang disebut dzanaba ( ). Disebut demikian karena ekornya merupakan akhir dari keseluruhan badannya dan selalu ikut kemana saja binatang itu pergi. Seseorang yang mengikuti orang lain disebut al-

1 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Spiritualitas dan Akhlak:

Tafsir Al-Qur`an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2010), Cet. I, h.

153-154

2 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur`an: Kajian Kosakata dan Tafsir, (Jakarta:

Yayasan Bimantara, 2002), h. 420-421

madzânib ( ) karena ia datang terakhir dan mengikuti teman-temannya.

 Kata itu juga berarti “saluran air” karena airnya mengikuti saluran air tersebut.

Bisa disimpulkan dari pula bahwa istilah “dosa” disebut dengan dzanbun ( ) karena dosa itu akibat dari suatu perbuatan yang melanggar ajaran agama dan akan mengikuti/menyertai pelakunya hingga hari kiamat.

Ar-Raghîb Al-Ashfahânî, pakar bahasa Al-Qur`an, mendefiniskan dosa (dzanbun) dengan “setiap perbuatan yang mengantar pelakunya menderita karena akibatnya”. Ath- Thabathaba‟i memandang azab atau siksa Tuhan yang ditanggung oleh seseorang yang disebabkan karena dosa-dosanya sebagaimana dalam firman Allah SWT. QS. Al-Anfâl [8]: 52 :



































“(keadaan mereka) Serupa dengan Keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya.

mereka mengingkari ayat-ayat Allah, Maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Amat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfâl [8]: 52)

Akan tetapi, mayoritas ahli tafsir mendefinisikannya sebagai sesuatu yang tidak baik atau jahat, yang diakibatkan oleh perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan Allah.

Al-Qur`an memberi petunjuk bahwa di antara perbuatan- perbuatan yang dapat menimbulkan dosa ialah mengingkari ayat-

63

ayat Allah yang diwahyukan kepada para Nabi dan Rasul-Nya tercantum pada QS. Âli Imrân [3]: 11 :















































“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu 3. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Âli Imrân [3]: 11)

Melakukan perbuatan keji, seperti zina, mencuri, makan riba, dan lain-lain (QS. Âli Imrân [3]: 135), tindakan melampaui batas aturan yang telah ditetapkan Allah (QS. Âli Imrân [3]:147), mencampurkan yang baik dan buruk (QS. At-Taubah [9]: 102), berlaku dzalim terhadap orang lain dan diri sendiri (QS. Al- Mu`min [40]: 2), dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan (QS. Yûsuf [12]: 97).

Al-Qur`an memperingatkan bahwa setiap perbuatan dosa diancam dengan hukuman yang diterima di dunia seperti ditimpakan musibah (QS. Al-Mâidah [5]: 49) dan yang diterima di akhirat seperti azab yang pedih (QS. Al-Anfâl [8]: 54), atau neraka (QS.Âli Imrân [3]: 16). Dosa-dosa yang dilakukan seseorang dapat dihapuskan jika ia menyadari dan bertaubat dan

3 Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

ada juga yang diampuni Allah (QS. Ash-Shaff [61]: 12) karena amal-amal baik yang dilakukannya.4



































“Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar.”(QS. Ash-Shaff [61]: 12)

2. Khathî’ah ( )

Kata Khathî‟ah ( ) diambil dari kata khatha`a- yakhtha`u ( ), berakar dari huruf kha ( ), tha ( ), dan hamzah ( ), yang mengandung makna kesalahan, dan kedurhakaan. Kata Khâthi‟ah digunakan untuk menunjuk kepada seseorang yang telah mengetahui suatu larangan dari Tuhan, namun tetap melakukannya. ia sejak semula bermaksud buruk dan tidak sedikit pun memiliki itikad baik. Pelakunya disebut khâthi` ( ), yang oleh Ahmad Warson Munawwir diterjemahkan sebagai al mudznib ( ), yakni orang yang berbuat dosa.5

Kata Khathî‟ah ( ) ditemukan hanya dalam dua kali didalam Al-Qur`an. Pertama, pada QS. Al-Hâqqah [69]: 9, ayat ini berbicara tentang Fir‟aun dan penduduk negeri yang dijungkirbalikkan oleh Allah karena kesalahan mereka yang

4 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata,(Jakarta: Lentera Hati, 2007), h. 185-186

5 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 471

65

keterlaluan. Kedua, pada QS. Al-„Alaq [96]: 15-16. Ayat ini berbicara tentang Abû Jahl.6

Hamka dalam Tafsir Al-Azhâr, menjelaskan bahwa Fir‟aun ialah gelar panggilan bagi raja-raja dari Mesir di zaman purbakala.

Akan tetapi, yang terkenal diantara mereka ialah Fir‟aun yang dihadapi oleh Nabi Musa dan saudaranya, Nabi Harun. Adalah suatu keberanian luar biasa yang dianugerahkan Tuhan kepada Musa di dalam menghadapi seorang raja zaman purbakala yang mempunyai kepercayaan serta menanamkan kepercayaan itu pula kepada rakyatnya bahwa ia adalah Tuhan. Yang dimaksud dengan (orang-orang yang sebelumnya) pada ayat pertama ialah raja Namruz yang ditantang keras oleh Nabi Ibrahim.

Adapun yang dimaksud dengan “ (penduduk

negeri yang dijungkirbalikkan karena kesalahan yang besar) ialah kaum yang didatangi oleh Nabi Lûth di negeri-negeri Sodom dan Gomoroh, dua negeri berdekatan yang telah dijangkiti oleh suatu penyakit yang amat keji, yaitu laki-laki menyetubuhi sesama laki- laki (homoseksualitas). Negeri-negeri itu dijungkirbalikkan oleh Tuhan karena jiwa penduduknya pun jungkir balik. Mereka lebih menyukai dubur sesama laki-laki daripada farj perempuan. Di dalam hal ini, mereka berbuat khathî‟ah ( ).7

M. Quraish Shihab di dalam tafsirnya, menegaskan bahwa Abu Jahl pada ayat kedua disebut sebagai khâthi` , bahkan khathî‟ah ( ). Ini berimplikasi bahwa abû jahl sejak semula

6 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 471

7 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 472

tidak memiliki itikad baik dan kedurhakaannya telah dilakukan secara berulang-ulang, bahkan telah menjadi kebiasaannya. Inilah yang kemudian merupakan sebab dikeluarkannya ancaman tersebut, sekaligus yang mengakibatkan ia terseret dan tersiksa.8

Menurut Al-Marâghî, di dalam ayat tersebut jelas terkandung ancaman serta peringatan bagi orang yang berbuat dosa, yakni bahwa orang kafir tidak bisa terus-terusan dalam kebodohan, ketakaburan, dan kedzaliman. Allah bersumpah, jika ia tidak berhenti dari kesesatan dan tidak berhenti melarang orang shalat atau mengabdi kepada Allah maka Aku (Allah) akan menghukumnya dengan berbagai siksaan yang pedih, yaitu dengan menarik ubun-ubunnya dan membakarnya sehingga hangus kulitnya. Kedurhakaan dinisbahkan kepada ubun-ubun atau pendurhaka sebagai pemilik ubun-ubun, sebab di dalam ubun-ubun itulah sumber kebohongan dan ketakaburan. Dalam kaitan itu, perlu dikemukakan pendapat M. Quraish Shihab bahwa Allah SWT tidak menjatuhkan hukuman-Nya kepada seseorang yang salah atau keliru yang sebetulnya bermaksud baik bahkan Allah tidak menjatuhkan hukuman-Nya kepada seseorang yang hanya sekali atau dua kali melakukan dosa. 9

3. Itsmun ( )

Kata ini tersusun dari huruf alif, sa‟, dan mim menunjukkan makna (asal) dan (lambat, lama, dan akhir). Oleh sebab itu itsmun bisa berarti jauh atau lambat dari kebaikan atau

8 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 472

9 M. Quraish Shihab, Ensiklopedi Al Qur`an : Kajian Kosakata, h. 472

67

mengakhirkan kebaikan.10 Dalam kamus Lisân al-„Arab dinyatakan bahwa itsmun adalah melakukan sesuatu yang tidak halal. Sedangkan bentuk turunan dari kata ini adalah yang berati bertaubat dari dosa dan beristighfar, bermakna jatuh dalam dosa; berarti balasan dari dosa yakni siksa. 11

Menurut Ar-Raghîb al-Ashfihânî, itsmun adalah nama perbuatan-perbuatan yang menghambat tercapainya pahala.

Dengan kata lain, itsmun adalah sebutan bagi tindakan yang menghambat terwujudnya kebaikan.12 Itsmun secara bahasa juga bermakna at-taqsîr (memendekkan). Oleh sebab itu mengapa khamr disebut sebagai itsmun, karena sedikitnya minum khamr akal bisa hilang (memendekkan kerja akal). 13 Sehingga tidak heran jika sejumlah kata itsmun di dalam Al-Qur`an terlihat digunakan untuk menyebutkan pelanggaran yang memiliki efek negatif dalam kehidupan seseorang atau masyarakat.14

Dari definisi bahasa ini ditemukan cakupan wilayah makna kata itsmun yakni perbuatan yang jauh dari pahala, menghambat datangnya kebaikan dan memiliki efek negatif. Lafaz itsmun dihubungkan dengan sesuatu yang menggelisahkan hati, malu dilihat orang lain dan memiliki efek negatif.

10 Abû al-Husain Ahmad Ibn Fâris Zakariyya, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah (Kairo:

Dar al Hadîs, 2001), h. 288

11 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arab, (Kairo: Dâr al-Hadis, 2001), juz 1, h. 79

12 Ar-Raghîb Al-Ashfihâni, Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, (Beirut: Dâr al- Fikr, t.th), h. 151-152

13 Abî Hilal Al-„Askarî, Mu‟jam al-Furûq al-Lugawiyyah, (Kairo: Dar al-Hadîs, 1990), h. 48

14 Ar-Raghîb Al-Ashfihâni, Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, h. 23

Kata ini di dalam Al-Qur`an disebut sebanyak 48 kali dengan ragam bentuk turunan. Bentuk yang paling sering disebut adalah itsmun ( ) yakni sebanyak 35 kali. Sisanya dalam bentuk ( ), ( ) ,( ) ,( ) . Ada 37 ayat yang memuat lafaz itsmun termasuk dalam surah Madaniyyah, sisanya 11 ayat termasuk dalam surah Makkiyah 15 lebih banyak terjadi di Madinah di mana saat itu Islam sudah berkembang dan menghadapi berbagai problem hukum. Kata ini selalu dipakai dalam bentuk tunggal.

Seandainya hadir dalam bentuk jamak pun, ia hadir dalam ism fâ‟il, yakni âsimin ( ), tidak sebagai ism atau kata benda.

Tampaknya hal ini menunjukkan bahwa itsmun jenis dosa yang jelas dan tunggal untuk setiap ayatnya.

4. Junâh ( )

Junâh merupakan salah satu di antara kata-kata lainnya di dalam Al-Qur`an yang diterjemahkan sebagai dosa. Makna asli satu yaitu (condong/cenderung/berbelok/miring) dan

(permusuhan). Jadi jika ada kata bermakna

(cenderung ke). Kata Junâh dimaknai sebagai dosa karena berbalik dari yang hak. Sedangkan kata Junâh itu merupakan bagian dari anggota tubuh burung yaitu sayap. Dikatakan Junâh karena kedua sayapnya itu miring.16 Kata Junâh dalam

dimaknai sebagai al-jinayah (hukum tindak

15 Muhammad Fu`ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al- Karîm, (Kairo: Dâr al Hadis, 2001), h. 288

16 Abû al-Husain Ahmad Ibn Fâris Zakariyya, Mu‟jam Maqâyis al-Lughah, Juz 2 h.

208

69

kriminal) dan al- jurm (perbuatan dosa). Kalau ada kata lâ junâha biasanya dimaknai lâ isma „alaikum (tidak ada dosa bagimu).17

Ar-Raghîb al-Ishfahânî memberikan pernyataan menarik bahwa setiap itsmun itu merupakan junâh.18 Hal senada juga diungkapkan oleh „Abd al-Raûf al-Misrî bahwa kata junâh di dalam Al-Qur`an memiliki banyak makna di antaranya adalah al- itsm, al-kharaj (keluar), al-mani‟ (larangan) dan al-tib‟ah (akibat/

tanggungjawab). Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah [2]: 236 dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 10 :



















































“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 236)

Kebanyakan kata ini digunakan dalam konteks berpasangan (ada dua pilihan), terkadang digunakan untuk menunjukkan mana salah satu yang baik (dari dua itu), menjelaskan hukum (dua hal) dan ini merupakan bagian dari cara tasyri‟ Al-Qur`an. Janâha

17 Ibnu Manzûr, Lisân al-„Arab, Juz 2, h. 225

18 Muhammad Fu`ad „Abd al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâz Al-Qur`an Al- Karîm, h. 98

bermakna miring atau condong, maka ada ungkapan janâhat al- safînah izâ malat ilâ ahadi jânibihâ (perahu condong atau miring pada salah satu pinggirnya). 19

Dalam kitab al-Wujûh wa al Nazhâ‟ir: Alfâzh Kitâbullâh al- Azîz dinyatakan bahwa kata junâh dalam Al-Qur`an memiliki dua makna, yaitu : al-kharaj (keluar), sebagaimana dalam QS. Al- Baqarah [2]: 198, 234, dan 236 :





















































Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam.20 dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.” (QS.. Al- Baqarah [2]: 198)

Dari pengertian bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah makna lafaz junâh berada pada sesuatu yang “cenderung kepada dosa dan permusuhan. Beberapa dalam ayat Al-Qur`an menunjukkan bahwa lafaz junâh digunakan untuk menunjukkan perbuatan yang dulunya dianggap tidak pantas dan cenderung dosa atau bertentangan dengan agama Islam, padahal perbuatan

19 Ar-Raghîb Al-Ashfihani, Mu‟jam Mufradât Alfâzh Al-Qur`an, h. 169

20Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.

71

tersebut tidaklah merupakan dosa. Sebagaimana terdapat pada QS.

Al-Baqarah [2]: 158 yang berbunyi :

















































“ Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah 21. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya22 mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri23 kebaikan lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 158)

Al-Qur`an mengungkapkan dengan perkataan (falâ junâha) tidak ada dosa sebab sebagian sahabat merasa keberatan mengerjakan sa‟i disana, karena tempat itu bekas berhala dan di masa jahiliyyah pun tempat itu digunakan tempat sa‟i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini. Jadi dulu sa‟i di Shafa dan Marwah dianggap kurang pantas atau cenderung dosa, padahal sebenarnya hal tersebut tidak cenderung ke dosa.

21Syi'ar-syi'ar Allah: tanda-tanda atau tempat beribadah kepada Allah

22 Tuhan mengungkapkan dengan Perkataan tidak ada dosa sebab sebahagian sahabat merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. dan di masa jahiliyahpun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i. untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini

23 Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.

Dokumen terkait