• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS LAFAZ DZANBUN, KHATHÎ’AH, ITSMUN,

B. Klasifikasi Ayat yang Mengandung Lafaz Dzanbun, Khathî’ah,

dalam Tafsir Al-Qurthubî

1. Dzanbun ( )

Adapun ayat-ayat yang mengandung lafaz ini baik bentuk jamak ataupun mufrad memiliki latar belakang persoalan yang sejenis yaitu perbuatan dosa yang merupakan dosa besar seperti pada ayat-ayat di bawah ini:

a. Dusta terhadap ayat-ayat Allah merupakan perbuatan dzanbun dijelaskan pada QS. Ali Imran [3]: 11 : 28





























“(keadaan mereka) Adalah sebagai Keadaan kaum Fir'aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Ali Imran 3/11) Di dalam tafsir al-Qurthubî,

  

dijelaskan bahwa ayat ini menceritakan tentang kebiasaan kaum Fir‟aun.

Maksudnya, kebiasaan orang-orang kafir dan orang-orang yang

28 Toshihiko, Konsep-Konsep Religius dalam Qur`an Terj. Agus Fahri Husein, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 290

75

menentang Nabi SAW. sama seperti kebiasaan yang dilakukan oleh kaum Fir‟aun, yaitu menyulitkan mereka dalam menyampaikan ajaran Allah SWT. Makna yang serupa juga disampaikan oleh Al-Azhari, bahwa makna ayat ini adalah ganjaran bagi mereka yaitu diperangi atau dijadikan tawanan, sebagaimana ganjaran kaum Fir‟aun adalah penenggelaman dan kebinasaan.29

Kemudian firman Allah pada ayat ini :











,

maksudnya ada dua kemungkinan, yang pertama mungkin maksudnya adalah dari ayat-ayat yang dilantunkan. Dan yang kedua, bisa juga maksudnya adalah tanda-tanda yang menunjukkan keesaaan Tuhan.30

Di dalam tafsir al-Misbâh,



adalah pekerjaan yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dan berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan yang berkesinambungan. Dan dijelaskan bahwa ayat ini menceritakan tentang siksa yang menimpa Fir‟aun dan regimnya adalah akibat kedurhakaan yang berulang-ulang dan berkesinambungan. Demikian dengan orang- orang kafir yang hidup sebelum mereka. Mereka semua mendustakan ayat-ayat itu yang bersumber dari Allah SWT.

Adapun orang kafir, karena melakukan pelanggaran lahir dan batin, kedurhakaan dan ketiadaan iman, maka siksa di dunia

29 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 62-63

30 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 64

belum membersihkan batin mereka, sehingga di akhirat nanti mereka masih akan memperoleh siksa berupa pembalasan. 31

Dapat dipahami, bahwa ayat di atas menerangkan tentang kebiasaan kaum Fir‟aun yang selalu menyulitkan Nabi dalam penyampaian ajaran Islam, dan mereka mendustakan ayat atau tanda kekuasaan Allah. Dan ini adalah perbuatan dosa yang konteksnya melawan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka akan mendapatkan azab yang pedih. Dan ini merupakan kebiasaan Fir‟aun dan pengikutnya pada zaman dahulu, yang menjadi gambaran untuk umat-umat selanjutnya supaya mengetahui dampak ketika mendustakan kebenaran dari Allah.

Lafaz dzanbun disini kembali digunakan pada masa lampau, dan bentuknya jamak/banyak yang mengindikasikan bahwa mereka sudah banyak melakukan perbuatan dosa atau melawan Allah dan Rasul-Nya.

b. Berlaku sombong terhadap kebenaran dari Allah, dijelaskan pada QS. Al-Ankabut [29]: 39 32



























“Dan (juga) Qarûn, Fir'aun dan Hâmân. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti- bukti) keterangan-keterangan yang nyata. akan tetapi mereka

31 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Vol. 4, h. 19-20

32 Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Religius dalam Qur`an terj. Agus Fahri Husein,h. 291

77

Berlaku sombong di (muka) bumi, dan Tiadalah mereka orang- orang yang luput (dari kehancuran itu).” (QS. Al-Ankabut [29]:

39)

Ayat di atas menjelaskan tentang Qarûn, Fir‟aun, dan Hâmân yang berlaku sombong terhadap kebenaran yang Allah turunkan melalui Nabi Musa. Kemudian di dalam ayat lain dijelaskan pula terkait ruang lingkup lafaz dzanbun.

Di dalam tafsir al-Qurthubî, “Akan tetapi mereka berlaku sombong di muka bumi” maksudnya mereka sombong dan tidak mengindahkan kebenaran dari Allah SWT. Dan firman Allah

Dan tiadalah mereka orang-orang yang luput dari kehancuran itu”, maksudnya adalah tidak lolos dari azab Allah. Ada yang mengatakan bahwa mereka tetap dalam kekufuran, padahal telah banyak orang yang kufur sebelum mereka dan mereka semua telah dihancurkan oleh Allah SWT. 33

Dari penafsiran di atas, penulis memahami, bahwa dzanbun merupakan perbuatan dosa besar yang balasannya adalah azab yang pedih. Dan ini yang sering terjadi di zaman dahulu, zaman di mana umat-umatnya banyak yang durhaka dan menentang secara terang-terangan, sehingga akhir dari kehidupan mereka adalah kehancuran dan kebinasaan.

Di dalam tafsir al-Misbâh, dijelaskan bahwa ayat ini menceritakan tentang kesombongan Qârûn dan Fir‟aun kepada Nabi Musa. Dan mereka masuk ke dalam golongan orang-orang yang tidak luput dari kebinasaan dan siksa Allah. Dari sifat angkuh dan sombongnya mereka terhadap kebenaran dari Allah,

33 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 878

sehingga mereka menganiaya diri mereka sendiri sebab perbuatan dosa menentang Allah yang mereka lakukan. 34

c. Balasannya adalah Neraka Jahannam dijelaskan pada QS. Al- Mulk [67]: 10-11: 35























-











“ dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni- penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Al-Mulk [67]: 10- 11)

Di dalam tafsir al-Qurthubî, “Mereka mengakui dosa mereka

yakni pendustaan mereka terhadap para rasul. Dzanbun (dosa) disini mengandung maknanya keseluruhan, sebab ia mengandung makna perbuatan. Dikatakan Kharaja Athaa‟u an-Nâsi (pemberian untuk manusia keluar), yakni pemberian untuk mereka berikan.36

Dari penafsiran al-Qurthubî, dapat dipahami bahwa ayat ini menjelaskan perbuatan dosa besar / dzanb balasannya neraka jahannam. Neraka yang dipenuhi oleh orang-orang kafir, orang- orang yang mendustakan kebenaran dari Allah. Jika manusia

34 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

h. 495- 496

35 Toshihiko, Konsep-Konsep Religius dalam Qur`an terj. Agus Fahri Husein,h.

291

36 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 24

79

kafir kepada Allah, maka itu adalah sikap menentang kebenaran dan tidak beriman, sehingga balasannya ada neraka jahannam.

Dan pada ayat ini, bentuk lafaz dzanb adalah jamak/banyak, dan dapat dipahami bahwa orang-orang kafir ini banyak atau bahkan sering menentang kebenaran yang dari Alla dan rasul- Nya. Karena banyak/sering menentang Allah, maka mereka mendapat balasan neraka. Dan inilah kekafiran orang-orang terdahulu dalam menentang kebenaran dari Allah.

2. Khathî’ah ( )

Kata Khâthi‟ah digunakan untuk menunjuk kepada seseorang yang telah mengetahui suatu larangan dari Tuhan, namun tetap melakukannya. Ia sejak semula bermaksud buruk dan tidak sedikit pun memiliki itikad baik.

a. QS. Asy-Syu‟âra [26]: 82 :

















“Dan yang Amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat”( QS. Asy-Syu‟âra [26]: 82) 37

Dijelaskan di dalam tafsir al-Qurthubî, lafaz

,

artinya arjû yakni mengharapkan. Ada yang berpendapat itu makna yakin baginya, dan bermakna berharap bagi orang-orang beriman selain Nabi Ibrahim AS. Al-Hasan dan Ibnu Abî Ishâq membacanya: “khathâyâya” dan berkata “Bukan satu kesalahan.”

37 Maksudnya: berhala-berhala mereka tidak dapat memberi pertolongan kepada mereka. hanya Allah yang dapat menolong mereka. tetapi karena mereka menyembah berhala, Maka Allah tidak memberi pertolongan.

An-Nuhâs berkata “Khathî`ah bermakna khathâyâya dan itu terkenal dalam percakapan orang arab.” Ulama sepakat bahwa pada firman-Nya “mereka mengakui dosa-dosa mereka” artinya dosa-dosa mereka. Demikian pula dengan



yang artinya adalah khathâyâya, dosa-dosa.38



kesalahanku”, memiliki makna bahwa permohonan Nabi Ibrahim disini bukanlah dosa besar melainkan kekeliruan- kekeliruan kecil. Karena Nabi Ibrâhîm adalah manusia yang dekat dengan Allah, maka bukan dosa besar yang dimaksudkan melainkan kesalahan kecil yang minta mohon diampunkan untuk di hari pembalasan nanti, karena disana kelaklah nyata pembalasan dosa. 39

b. QS. Al-Baqarah [2]: 58









































“ Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: "Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud 40, dan Katakanlah:

"Bebaskanlah Kami dari dosa", niscaya Kami ampuni kesalahan- kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik". (QS. Al-Baqarah [2]: 58)

38 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 2

39 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

Vol. 10, h. 72

40 Maksudnya menurut sebagian ahli tafsir: menundukkan diri

81

Al-Qurthubî menjelasakan bahwa

,

merupakan kesalahan-kesalahanmu, bentuk kata ini merupakan bentuk jamak muannats, jamak taktsîr dari lafaz khathî‟ah. Dan pada tafsir al-Qurthubî, lafaz ini lebih dibahas dari qirâ`ah-nya.41



, maknanya adalah kesalahan-kesalahan dan dosa- dosa mereka yang disengaja maupun yang tidak disengaja, Allah akan memberikan pengampunannya denga orang-orang yang berbuat kebaikan.42

Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang fasik dari ketaatan dan perintah dari Allah. Perintahnya yaitu diperintahkan untuk masuk ke baitul maqdis dan bersujud kepada Allah, artinya sebagai tanda rasa bersyukur mereka kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan namun, mereka mengabaikan itu. Penulis memahami, bahwa konteks lafaz khathî‟ah merupakan sifat fasik yang bukan masalah yang besar seperti melawan kebenaran.

c. QS. Al-Ankabut [29]: 12





































“Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: "Ikutilah jalan Kami, dan nanti Kami akan memikul dosa-dosamu", dan mereka (sendiri) sedikitpun tidak (sanggup),

41 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 940

42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

Vol. 1, h. 205

memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta.”(QS. Al-Ankabut [29]: 12)

Firman Allah SWT. “Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman, Ikutilah jalan kami”, maksudnya adalah ikutilah agama kami. Dan firman Allah “Dan nanti kami akan memikul dosa-dosamujazm karena adanya kalimat perintah.

Al-Farrâ` dan Az-Zujâj mengatakan bahwa itu merupakan perintah dengan menanggung syarat, atau pengertiannya adalah

“Jika kamu mengikuti ajaran agama kami, maka kami akan menanggung segala dosa dan kesalahan kalian.” Dosa yang mereka lakukan disini, maksudnya mereka menanggung beban orang yang pernah mereka dzalimi.43

maka biarkanlah kami memikul dosa-dosa kamu semua

yakni dosa apapun,yaitu perbuatan dosa-dosa dari orang-orang yang mereka perdayakan atau mengikuti jalan mereka. 44

Dapat dipahami bahwa dosa yang dimaksud adalah perbuatan menyakiti orang lain. Penulis menganalisa bahwa penggunaan lafaz khâthi`ah itu konteksnya kesalahan manusia dengan manusia lainnya, bukan konteks melawan Allah dan Rasul-Nya. Jadi penggunaannya secara horizontal yaitu antara sesama manusia.

d. QS. An-Nisâ [4]: 112

43 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 840- 841

44 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

Vol. 10, h. 454-455

83





























Dan Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. “(QS. An-Nisâ [4]: 112)

Firman Allah

     

, “dan Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah”, ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini dan ayat sebelumnya bermakna sama dan penyebutannya diulangi dengan bentuk lafaz yang berbeda sebagai bentuk penekanan. Ath-Thabarî berkata “Perbedaan antara kesalahan dan dosa adalah, kesalahan itu bisa terjadi karena disengaja atau tidak disengaja, sedangkan dosa terjadi karena disengaja.” Pendapat lain mengatakan bahwa kesalahan itu sesuatu yang tidak disengaja dilakukan seperti Qathlul khatha`

(keliru membunuh), pendapat lain juga mengatakan khâthi`ah (kesalahan) itu artinya dosa kecil, sedangkan itsm adalah dosa besar. Lafaz ini bermakna umum yang meliputi orang yang keliru dan selainnya. 45

Kata khathî‟ah ( ) biasa diartikan kesalahan yang tidak disengaja, tetapi karean ayat tersebut menggunakan yaksib yang berarti melakukan, maka ini mangisyaratkan bahwa kesalahan yang tidak disengaja itu dilakukan karena adanya

45 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 899- 900

kecerobohan atau kurangnya perhatian dan tanggung jawab pelakunya. Pada prinsipnya Allah tidak meminta pertanggungjawaban atas kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan seseorang, kecuali bila kesalahan yang dilakukan itu lahir dari kecerobohan. Inilah yang dimaksud antara lain oleh doa yang diajarkan pada akhir QS. Al-Baqarah [2]: 286 :















Ya Tuhan Kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Ada juga yang memahami bahwa lafaz khathî‟ah ( ) dalam arti dosa yang tidak menyentuh orang lain, seperti meninggalkan kewajiban shalat atau puasa, atau melakukan sesuatu yang haram seperti makan makanan yang terlarang. 46

3. Itsmun ( )

Di dalam Al-Qur`an, lafaz itsmun digunakan dalam konteks yang beragam, salah satunya adalah dalam konteks melawan Allah, Rasul, dan menolak kitab-kitab yang diturunkan Allah.

a. QS. Al-Baqarah [2]: 219































46 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

h. 556-557

85























“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar 47 dan judi.

Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS. Al-Baqarah [2]: 219)

Pada ayat ini, Al-Qurthubî memaparkan bahwa ada beberapa masalah, salah satunya yaitu

  ,

katakanlah pada keduanya” maksudnya yaitu khamr dan judi,

 

terdapat dosa besar”. Dosa yang keluar dari orang yang meminum khamr adalah adanya saling bermusuhan, saling memaki, perkataan keji dan palsu, hilangnya akal dengan akal-lah dia dapat mengetahui apa-apa yang wajib dilakukan terhadap Penciptanya, tidak melaksanakan shalat, tidak melaksanakan shalat, tidak ingat kepada Allah, dan yang lainnya. 48

Khamr dan Maisir merupakan perbuatan yang kesenangan duniawi yang sementara, dan dosa yang diakibatkanya lebih besar dibandingkan manfaatnya, karena manfaat hanya dirasakan oleh segelintir orang duniawi saja, dan merek kelak akan tersiksa di akhirat. Bahkan kerugian besar bagi mereka kalau tidak di dunia maka di akhirat kelak. 49

47 Segala minuman yang memabukkan.

48 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 122

49 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

Vol. 1, h. 466-467

b. QS. Al-Baqarah [2]: 206

























“ Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam.

dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk- buruknya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 206)

Ini adalah sifat orang kafir dan munafik yang membawa diri dalam kebathilan dan tidak senang mendapatkan kesulitan dari orang-orang yang beriman. Abdullâh berkata “Cukup seseorang dinilai berdosa bila saudaranya berkata kepadanya, „Bertakwalah engkau kepada Allah, lalu ia menjawab „Uruslah dirimu. Orang sepertimu menasehatiku?.” Ada yang berpendapat bahwa makna ayat ini adalah keengganan dan kerasnya kepribadian. Yakni, mereka sombong dalam dirinya, dan kesombongan itu menjerumuskannya dalam kubangan dosa saat kesombongan itu menguasai dan mengikat dirinya dalam perbuatan dosa itu.50

Qatâdah berkata “makna dari ayat ini adalah, jika dikatakan kepada mereka tunggu sebentar, mereka semakin maju pada kemaksiatan. Maknanya adalah kesombongan itu mendorong mereka kepada dosa.” Menurut satu pendapat huruf ba` pada firman Allah

,

mengandung makna lam, yakni bangkitlah kesombongan dan keenggananya untuk menerima nasihat karena dosa yang ada dalam hatinya, yaitu kemunafikan.51

50 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 41

51 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 42-43

87

Firman Allah



, yakni sikap lupa diri setelah menerima kekaguman, bertindak sewenang-wenangnya, dan merasa diri selalu benar, sehingga tidak bersedia menerima saran apalagi teguran. Ini terjadi bukan hanya kepada penguasa-penguasa besar, melainkan mereka yang merasa kuat dan berkuasa. Allah mengecam mereka dengan singkat bahwa cukup bagi mereka siksa neraka jahannam.52

Penulis menganalisa bahwa lafaz itsmun disini mengacu kepada perbuatan dosa yang menyombongkan diri dan menolak kebenaran yang membawa mereka kepada siksaanya yang pedih di tempat yang paling buruk yaitu neraka jahannam. Neraka jahannam adalah tempat tinggal bagi orang-orang kafir.53

c. QS. An-Nisâ [4]: 111-112



















































“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”“Dan Barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata ”(QS. An-Nisâ [4]: 111-112)

52 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

Vol. 1, h. 447

53 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 44

Firman Allah SWT :

  

Barangsiapa yang mengerjakan itsm”, maksudnya:

 ,

maka sesungguhnya ia mengerjakan kemudharatan untuk dirinya sendiri.” Maksudnya balasannya akan kembali ke dirinya.

Dan adapun firman Allah SWT.

 

  ,

dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan dan dosa

pendapat lain menyatakan bahwa ayat ini dan ayat sebelumnya bermakna sama dan penyebutannya diulangi dengan bentuk lafaz yang berbeda sebagai penekanan. Perbedaan antara kesalahan dan dosa adalah : Kesalahan itu bisa terjadi karena disengaja atau tidak disengaja, sedangkan dosa terjadi karena disengaja.

Pendapat lain juga menyebutkan bahwa kesalahan itu sesuatu yang tidak disengaja dilakukan saja seperti Qatlul khata` (keliru membunuh), pendapat lain juga mengatakan khâthi`ah atau kesalahan, itu artinya dosa kecil sedangkan itsmun adalah dosa besar. Ayat ini lafaznya bermakna umum yang meliputi orang yang keliru dan selainnya.54

Ayat ini merupakan anjuran untuk bertaubat, karena siapapun yang melakukan perbuatan dosa maka sesungguhnya ia melakukan kemudharatan atas dirinya sendiri, yakni Allah akan menjatuhkan sanksi atas pelakunya, dia tidak dapat melemparkan kesalahan kepada orang lain, tidak juga dapat mengalihkannya kepada orang lain, sebagaimana orang lain tidak dapat memikul dosanya kepada orang lain. Ada ulama yang memahami

mengerjakan kejahatan” dalam arti melakukan pelanggaran dan

54 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 899- 900

89

dosa secara umum, sedangkan “menganiaya dirinya” dalam arti dosa khusus yang sangat besar 55. Sedangkan kata itsmun dipahami dalam arti dosa yang berdampak terhadap orang lain, seperti membunuh dan mencuri.56

4. Junâh

a. QS. Al-Maidâh [5]: 93

















































Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka Makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS.

Al-Mâidah [5]: 93)

Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa pengharaman khamr dan adalah salah seorang sahabat yang bertanya tentang bagaimana nasib orang yang sudah meninngal dan di dalam perutnya ada khamr. Lalu dijelaskan di dalam tafsir al- Qurthubî barang siapa melakukan perbutan yang dibolehkan baginya sampai akhirnya ia mati dalam keadaan itu, maka ia

55 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

Vol. 2, h. 556

56 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur`an,

Vol. 2, h. 557

tidak mendapatkan apa-apa, juga tidak dikenai tuntutan apapun, tidak berdosa, tidak mendapat siksa, tidak dicela, tidak diberi pahala dan tidak mendapat pujian apa-apa. Karena menurut syara‟, perbuatan mubâh (yang dibolehkan) itu berada di tengah-tengah antara dua ujung. Berdasarkan hal ini maka tidak selayaknya dikhawatirkan atau ditanyakan mengenai keadaan orang yang sudah meninggal dan dalam perutnya terdapat khamr yang ia minum ketika masih diperbolehkan. Pada ayat ini diajak untuk bertakwa agar tidak terjerumus dalam dosa besar, atau bertakwalah terhadap dosa- dosa kecil dan berbuat kebaikan dengan cara melakukan ibadah sunnah.57

Tanpa mengetahui asbâb al-nuzûl akan terjadi salah pemahaman karena redaksinya seolah-olah mentolerir makanan dan minuman terlarang selama yang memakan dan meminumnya adalah orang yang beriman dan bertakwa.

bukanlah itu makna yang dimaksud. Melainkan tidak adanya dosa terhadap apa yang telah dimakan dan diminum. Hal ini menunjukkan masa lampau. 58

b. QS. An-Nisâ [4]: 101

57 Fathurrohman Ahmad dan Nashirul Haq, Terjemah Tafsir Al-Qurthubî, h. 698- 699

58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-

Qur`an,vol. 3, h. 199-200

91















































“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar59 sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisâ [4]: 101)

Diceritakan dari Imam Syafi‟î dan Abû Said al-Farwî al- Malikî, bahwa yang benar dalam mazhab maliki adalah bahwasannya para musafir itu diberi kebebasan memilih antara itmâm atau qashar.

Al-Qurthubî berpendapat, bahwa ini yang maksud dari firman Allah tersebut, hanya saja Imam Malik lebih menyenangi Qashar, dan ian juga berpendapat, jika seseorang shalat dengan itmâm (menyempurnakan), maka ia disunnahkan untuk mengulangnya jika masih ada waktu shalat.

Dari penjelasan al-Qurthubî, bisa dipahami bahwa penggunaan lafaz junâh memang memaparkan dua pilihan.

Pada ayat di atas pilihannya adalah bagi musafir boleh

59 Menurut Pendapat jumhur arti qashar di sini Ialah: sembahyang yang empat rakaat dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2, Yaitu di waktu bepergian dalam Keadaan aman dan ada kalanya dengan meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, Yaitu di waktu dalam perjalanan dalam Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam Keadaan khauf di waktu hadhar.

Dokumen terkait