Berdasarkan jawaban dari Untung Sudarwanto bahwa Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang dalam melakukan Lelang Hak Tanggungan sebagaimana yang di atur oleh Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan, maka penulis mencoba untuk mencari tanggapan lain dari beberapa praktisi hukum yang berada di Kota Semarang tentang fakta tersebut bila dihubungakan dengan keberadaan dari Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan, juga tentang keberadaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang apabila dijadikan dasar dari pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 oleh Kantor Pelayaan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang, yang telah Penulis rangkum sebagai berikut:
1. Menurut Nur Muhajir Hati Nurani R.S Advokat dan Konsultan Hukum Amanat Bapak78
Menurut Nur Muhajir Hati Nurani sebagai Advokat beliau sebenarnya walaupun Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang telah memiliki pedoman Permenkeu Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagai landasan tambahan dari kewenangan mereka melaksanakan lelang sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, akan tetapi mereka tetap belum
78 Nur Muhajir Hati Nurani R.S, Advokat dan Konsultan Hukum Amanat Bapak, yang beralamat di jalan Banjardowo Raya 18A – 18 B pada tanggal 20 maret 2023
77
berhak melakukan lelang. Hal ini dikarenakan Peraturan Menteri Keuangan tersebut terlalu jauh tingkat hirarkinya untuk dikatakan sebagai peraturan perundangan yang mengatur tentang Hak Tanggungan secara khusus.
Berdasarkan keterangan Nur Muhajir Hati Nurani R.S di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut beliau sebenarnya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang tidak dapat melaksanakan lelang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dikarenakan belum ada peraturan perundangan khusus yang mengatur tentang lelanh Hak Tanggungan, sehingga ketentuan Pasal 26 Undang- Undang Hak Tanggungan masih berlaku dan harus dipatuhi. Penulis setuju dengan menganggap bahwa Permenkeu Nomor 93/PMK.06/2010 belum bisa dikatakan sebagai peraturan perundangan yang mengatur khusus tentang lelang Hak Tanggungan sebagaimana yang disyaratkan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan, hal ini dikarenakan menurut pandangan Penulis Peraturan Menteri Keuangan tersebut bukan merupakan peraturan perundangan yang “khusus” mengatur tentang lelang Hak Tanggungan, melainkan peraturan perundangan tersebut mengatur secara khusus tentang tata cara pelaksanaan lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dimana didalam salah satu Pasalnya dikatakan bahwa lelang menurut Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan bagian dari Lelang, sehingga syarat dari Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan agar lelang Hak
78
Tanggungan dapat terlaksana sebagaimana mestinya belum bisa terpenuhi.
2. Menurut Notaris Noor Mujahid Ababillyanto SH,M.Kn 79.
Menurut Notaris Noor Mujahid Ababillyanto, sebagai Notaris beliau menyampaikan permasalahan tentang tidak bisa dilaksanakannya parate eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana semestinya parate eksekusi seharusnya masih berlangsung hingga saat ini. Hal ini dikarenakan belum ada peraturan yang secara khusus mengatur tentang eksekusi Hak Tanggungan sehingga peraturan tentang eksekusi Hypotheek masih berlaku hingga saat ini. Salah Satu peraturan tentang eksekusi Hypotheek yang membuat Parate Eksekusi yang dilaksanakan tersebut harus didahului adanya fiat dari Ketua Pengadilan Negeri adalah putusan MARI Nomor 3210 K/Pdt/1984. Menurut putusan tersebut apabila lelang eksekusi hypotheek yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara (saat ini Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) tanpa didahului adanya fiat dari Ketua Pengadilan Negeri maka pelelangannya menjadi tidak sah.
Mengenai keberadaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Ignatius Ridwan Widyadharma berpendapat bahwa peraturan tersebut bukanlah peraturan perundangan yang secara khusus mengatur tentang eksekusi
79Noor Mujahid Ababilyanto, wawancara, Notaris dan PPAT yang beralamat di jalan Kedungdowo, Kec. Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59332 pada tanggal 25 Maret 2023
79
Hak Tanggungan dikarenakan terlalu jauh derajat hierarkinya sehingga Peraturan Menteri Keuangan tidak dapat memvalidkan Undang- Undang, sehingga Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang tersebut tidak dapat memvalidkan Undang-Undang Hak Tanggungan. Selanjutnya isi Pasal yang mengatur tentang kewenangan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang untuk melaksanakan lelang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tersebut tidak jelas, sehingga pengaturannya terkesan ngambang dan lebih baik tidak dipakai sebagai landasan dapatnya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dalam melakukan lelang sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan atau yang lebih dikenal dengan Parate Eksekusi.
Berdasarkan keterangan dari Noor Mujahid Ababilyanto di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya hingga saat ini Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang belum berhak untuk melaksanakan eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Akan tetapi ketidak berwenangan itu hanya sebatas apabila eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan dan Lelang Semarang tersebut tanpa didahului adanya fiat dari Ketua Pengadilan Negeri Semarang. Hal tersebut apabila tetap nekat dilaksanakan (melaksanakan lelang hak tanggungan tanpa didahului
80
adanya fiat dari Ketua Pengadilan Negeri), maka pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang tersebut menjadi tidak sah. Pendapat bahwa Pasal yang berisi pengaturan kewenangan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dalam melaksanakan lelang eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 tidak jelas juga dapat dibenarkan karena isi lengkap dari Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang hanya sebagai berikut:
Lelang Eksekusi termasuk tetapi tidak terbatas pada: Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi Benda Sitaan Pasal 45 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Jaminan Fidusia, Lelang Eksekusi Barang yang Dinyatakan Tidak Dikuasai atau Barang yang Dikuasai Negara-Bea Cukai, Lelang Barang Temuan, Lelang Eksekusi Gadai, Lelang Eksekusi Benda Sitaan Pasal 18 ayat (2) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Melihat isi Pasal di atas memang tidak ada kata-kata bahwa
“Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang berhak melaksanakan lelang yang termasuk tapi tidak terbatas meliputi”. Peraturan Menteri Keuangan Nomor.93/PMK.06/2010 bila diteliti lebih jauh, di dalamnya juga tidak ada Pasal yang mengatur secara khusus kewenangan dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dalam melaksanakan lelang apa saja.
81 3. Menurut Muchamad Tri Setya Budi80
Menurut Muchamad Tri Setya Budi sebagai Advokat dilaksanakannya lelang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang adalah sah-sah saja selama tidak menimbulkan masalah. Jadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang harus pintar memilah-milah mana objek Hak Tanggungan yang dapat dilakukan lelang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dan mana objek Hak Tanggungan yang berpotensi konflik sehingga tidak dapat dilelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang, jadi harus dilelang melalui Pengadilan Negeri. Adanya perbedaan dan pertentangan dari ketentuan Pasal 6 dan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebutlah yang dinamakan Hukum Eksiting. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang pasti mempunyai alasan untuk menerapkan Pasal 6 dengan mengesampingkan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan.
Mengenai keberadaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, Muchamad Tri Setya Budi berpendapat bahwa peraturan tersebut dapat dianggap sebagai peraturan perundangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan. Hal tersebut dikarenakan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tersebut salah
80 Muchamad Tri Setya Budi S.H.,M.H., Advokat dan Kunsultan Hukum yang beralamat di jalan Swadaya blok C.23 Perum Griya Utama Banjardowo Baru (Patung Kuda) pada 26 Maret 2023
82
satu tujuannya tentunya untuk melaksanakan Undang-Undang Hak Tanggungan. Memperhatikan hal tersebut maka tidak ada yang salah kalau seandainya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang menganggap itu sebagai dasar mereka untuk melaksanakan lelang Hak Tanggungan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan.
Keterangan Muchamad Tri Setya Budi di atas cukup menarik untuk di bahas, karena ia memandang permasalahan boleh tidaknya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang melaksanakan lelang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan dengan sudut pandang yang berbeda. Menurut beliau takaran boleh atau tidaknya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang melakukan lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan adalah dari timbul masalah atau tidaknya dikemudian hari setelah lelang tersebut dilaksakan. Jawaban yang menarik karena pada hakekatnya lelang eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut masih dalam ranah perdata.
Dimana dalam perdata win-win solution lebih diutamakan dalam setiap masalah, karena Hukum Perdata berputar dalam permasalahan untung dan rugi. Jadi, walaupun terdengar diplomatis akan tetapi jawaban dari Achmad Sulkan di atas adalah benar adanya, dikarenakan apabila memang pelaksanaan lelang eksekusi menurut Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
83
Semarang tersebut adalah yang terbaik bagi kedua belah pihak sehingga tidak menimbulkan permasalahan dikemudian hari, tentu tidak ada gunanya lagi diperdebatkan apakah pelelangan obyek Hak Tanggungan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang yang dilandasi Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut sah atau tidak.
Mengenai pendapat Muchamad Tri Setya Budi yang mengatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang bisa dianggap merupakan peraturan perundangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 26 Undang- Undang Hak Tanggungan, penulis tidak sependapat, dikarenakan dalam penjelasan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan sudah dijelaskan bahwa peraturan perundangan yang dimaksud adalah peraturan perundangan yang mengatur secara khusus tentang eksekusi Hak Tanggungan, sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang tidak diatur secara khusus tentang eksekusi Hak Tanggungan. Selain itu apabila Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang diperhatikan lebih jauh, maka dapat diketahui bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan bukanlah salah satu dasar hukum dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tersebut. Jadi menurut penulis pendapat yang mengatakan bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor
84
93/PMK.06/2010 adalah peraturan pelaksana dari Undang-Undang Hak Tanggungan adalah tidak tepat.
4. Menurut Achmad Cahya Setiawan81
Menurut Achmad Cahya Setiawan sebagai advokat beliau hanya akan mempermasalahkan keabsahan lelang eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang yang dilakukan oleh kreditor (sebagai pemegang Hak Tanggungan juga penjual obyek lelang) bank swasta.
Hal ini dikarenakan menurut pengalaman, apabila gugatan dilakukan terhadap bank pemerintah yang melakukan lelang eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan yang dilakukan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang maka pasti akan berakhir dengan kekalahan. Jadi gugatan tersebut hanya akan menjadi sia-sia. Hal ini dikarenakan adanya Undang-Undang khusus yang mengatur tentang piutang Negara yaitu Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960.
Pendapat Achmad Cahya Setiawan di atas memang benar apabila mengacu pada ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 Tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Pasal 4 dari Undang- Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 memberikan kewenangan pada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) untuk mengurus piutang Negara yang telah diserahkan pengurusannya kepadanya, bahkan
81 Achmad Cahya Setiawan, Wawancara, Advokat dan Konsultan Hukum, Pada 30 Maret 2023
85
Panitia Urusan Piutang Negara mempunyai hak untuk mengambil alih penngurusannya apabila piutang Negara tersebut tidak segera diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara. Hanya saja kewenangan dari Panitia Urusan Piutang Negara sebagaimana ketentuan Pasal 4 Undang-Undang nomor 49 prp Tahun 1960 tidak berlaku lagi bagi piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD. Hal ini dikarenakan adanya keputusan Mahkamah Kontitusi atas perkara Nomor 77/PUU-IX/2011 tertanggal 25 September 2012. Dalam amar putusannya Mahkamah Kontitusi menyatakan mengabulkan permohonan dari Pemohon untuk sebagian, sehingga82 :
a. Frasa “Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 49 Tahun 1960 tentang PUPN adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Frasa “atau Badandimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) UU 49 Tahun 1960 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
c. Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) Undang- Undang Nomor 49 Tahun 1960, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
82 Oktavia Ester Pangaribuan, Pengurusan Piutang Negara Pasca Terbitnya Putusan Mahkamah Kontitusi.
86
d. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” bertentangan dengan UUD 1945.
e. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8, UU No.49/1960, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
f. Frasa “dan Badan-badan Negara dalam Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960, bertentangan dengan UUD 1945.
g. Frasa “dan Badan-badan Negara dalam Pasal 12 ayat (1) UU 49/1960 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 77/PUU-IX/2011 tersebut di atas maka 83:
a. PUPN tidak berwenang lagi melaksanakan tugas pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD;
dan
b. Karena sudah tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus maka PUPN seharusnya:
1) Tidak lagi menerima pengurusan piutang Badan Usaha Milik Negara, piutang Badan Usaha Milik Daerah, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD;
83 Ibid
87
2) Mengembalikan pengurusan piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD yang telah diserahkan kepada PUPN. Pengembalian pengurusan piutang tersebut ditujukan agar badan-badan usaha sebagai pemilik piutang tersebut tetap dapat melanjutkan upaya penagihan atas piutangnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka piutang Bank Pemerintah dalam hal ini yang berbentuk BUMN atau BUMD tidak dalam pengurusan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) lagi. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang menindaklanjuti putusan dari Mahkamah Kontitusi tersebut.
5. Menurut Muhammad Faizin84
Menurut Muhammad Faizin sama sekali tidak ada permasalahan antara penerapan Pasal 26 dengan penerapan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan. Itu dikarenakan Pasal 26 Undang-undang Hak Tanggungan mengatur masih berlakunya peraturan eksekusi hypotheek hanya terbatas pada eksekusi Hak Tanggungan dalam Pasal 14 Undang- Undang Hak Tanggungan yang berisi tentang ketentuan eksekusi berdasarkan titel eksekutorial. Luhut Sagala atas permintaan kliennya juga pernah mengajukan gugatan pembatalan lelang karena lelang tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
84 Muhammad Faizin, wawancara, Advokat dan Konsultan Hukum pada 10 April 2023
88
Hak Tanggungan, gugatan pembatalan lelang diajukan pada Pengadillan Negeri Semarang dengan dasar gugatan ketentuan Pasal 26 Undang- Undang Hak Tanggungan membuat eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tidak dapat dilaksanakan. Hasil dari putusannya adalah Pengadilan Negeri Semarang menolak gugatan Penggugat tersebut, dengan alasan eksekusi obyek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan tidak melanggar ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan. Berlandaskan hal tersebut Luhut Sagala berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang dengan melakukan lelang Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, karena pada dasarnya ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut hanya berlaku untuk Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan yang mengatur tentang Titel Eksekutorial Hak Tanggungan, akan tetapi tidak dapat dibenarkan bila ada yang mengatakan bahwa tindakan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang dalam melakukan lelang eksekusi berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan adalah benar karena atas dasar adanya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang memberikan wewenang bagi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang untuk melaksanakan Lelang.
89
Berdasarkan keterangan dari Muhammad Faizin di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ia berpendapat tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang dalam melakukan lelang berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan, hal itu karena Pasal 26 Undang- Undang Hak Tanggungan hanya berlaku pada eksekusi yang dilandaskan pada titel eksekutorial Hak Tanggungan. Pendapat tersebut menurut penulis kurang tepat dikarenakan Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan jelas-jelas mengatakan bahwa “peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, juga berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan”, selanjutnya pada penjelasan pasal tersebut juga disampaikan bahwa selama masa peralihan (selama belum ada peraturan perundangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan) tersebut, ketentuan hukum acara di atas (ketentuan tentang eksekusi hypotheek berdasarkan Pasal 224 HIR/258 R.Bg), “berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan”
dengan penyerahan sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya. Melihat isi Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan dan penjelasannya di atas, maka tidak tepat apabila Luhut Sagala berpendapat bahwa Undang-Undang Hak Tanggungan hanya berlaku bagi eksekusi yang berlandaskan titel eksekutorial sebagaimana yang disampaikan dalam Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan,
90
melainkan Pasal 26 mengatur bahwa ketentuan Pasal tersebut berlaku untuk seluruh eksekusi Hak Tanggungan.
Berdasarkan dari beberapa pendapat praktisi hukum di atas penulis berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Semarang dengan melakukan parate lelang terhadap obyek Hak Tanggungan selayaknya yang diatur dalam Pasal 6 Undang- Undang Hak Tanggungan adalah tidak sah. Hal tersebut dikarenakan belum adanya peraturan perundangan yang mengatur secara khusus tentang parate lelang Hak Tanggungan, jadi ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan harus dikedepankan sehingga ketentuan parate lelang Hak Tanggungan dalam Pasal 6 Undang-Undang Hak Tanggungan untuk sementara tidak dapat dilaksanakan sampai adanya peraturan perundangan yang mengatur secara khusus tentang parate lelang Hak Tanggungan. Mengenai pendapat bahwa parate lelang tetap bisa dilaksanakan asalkan ada fiat dari Ketua Pengadilan Negeri menurut penulis juga kurang tepat. Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan dan penjelasannya sudah jelas mengatakan bahwa selama belum ada peraturan perundangan yang mengatur secara khusus tentang lelang Hak Tanggungan maka setiap lelang Hak Tanggungan tetap dilaksanakan sebagaimana ketetuan dalam Pasal 224 HIR/258 R.Bg. Isi dari ketentuan Pasal 224 HIR tersebut adalah sebagai berikut :
Grosse akta Hipotek dan grosse surat hutang yang dibuat di hadapan Notaris di Indonesia, dan yang kepalanya memakai perkataan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, diberi kekuatan yang sama dengan Putusan Hakim. Hal menjalankannya jika tidak
91
dilaksanakan secara sukarela, maka pelaksanaannya dijalankan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri di dalam wilayah dimana debitor berdiam, atau tinggal atau bertempattinggal yang dipilihnya, dengan cara seperti yang tercantum dalam Pasal-Pasal permulaan bagian ini, kecuali mengenai sandera.
Jika hal pelaksanaan harus dilakukan di luar wilayah hukum Pengadilan Negeri yang Ketuanya memerintahkan itu, maka berlaku Pasal 195 ayat (2) dan seterusnya.
Permohonan pembatalan lelang tersebut hanya saja pada prakteknya akan tidak mudah untuk dikabulkan oleh Hakim. Hal tersebut karena Hakim Pengadilan Negeri tentunya tetap akan berpatokan pada Buku II Pedoman Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang hanya mengharuskan adanya fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri bila ingin melaksanakan parate eksekusi85. Jadi minimal selama syarat tersebut terpenuhi tentunya menurut Hakim parate eksekusi Hak Tanggungan tersebut tetap bisa dilaksanakan. Belum lagi ada beberapa Hakim yang berpendapat kalau eksekusi Hak Tanggungan berlandaskan Pasal 6 Undang Undang Hak Tanggungan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 26 Undang-Undang Hak Tanggungan.
C. Penentuan Harga Limit Lelang Eksekusi Objek Hak Tanggungan