41
11) Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996);
12) Wajib didaftarkan (Pasal 13 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996);
13) Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti (Pasal 6 Undang- undang Nomor 4 Tahun 1996);
14) Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu (Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996);
Asas-asas Hak Tanggungan menurut H.Salim H.S di atas tanpa penjelasan secara terperinci tentang masing-masing asas tapi lebih banyak dari pendapat-pendapat sebelumnya dan telah dilengkapi dengan dasar hukumnya. Permasalahan muncul pada asas ke tiga dimana ternyata antara asas dan sumber hukumnya tidak sinkron.
Pasal 2 ayat (2) ternyata mengatur ketentuan pengecualian atas ketentuan tidak dapat dibagi-bagi hak tanggungan bukan tentang ketentuan bahwa Hak Tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada.
42
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu”. Definisi tersebut telah menjelaskan bahwa objek Hak Tanggungan adalah ha katas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), baik dengan atau tanpa benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
Permasalahan muncul apa yang dimaksud dengan “hak atas tanah sebagaiman dimaksud dalam UUPA” tersebut? Penjelasan dari pasal tersebut juga tidak memberikan penjelasan lebih jauh. Apabila yang dimaksud hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA tersebut adalah seluruh hak atas tanah yang ada di UUPA tentu tidak tepat dikarenakan tidak semua ha katas tanah dalam UUPA bisa dibebankan hak tanggungan, contohnya pada hak sewa yang termasuk hak atas tanah dalam UUPA namun bukan merupakan objek hak tanggungan
Apabila yang dimaksud dengan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA terebut adalah hak atas tanah yang telah diatur dalam UUPA bisa dibebankan hak tanggungan ternyata tidak tepat juga.
Hal tersebut karena dalam UUPA yang bisa dibebani Hak Tanggungan di atur hanya meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha, sedangkan dalam UUHT juga telah dijelaskan bahwa obyek hak tanggungan bukan hanya mencakup tiga hak atas tanah tersebut tapi juga mencakup hak pakai atas tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Jadi pada intinya kata-kata “hak atas tanah
43
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria” tersebut tidak bisa dipahami apa yang dimaksud, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan apa saja yang menjadi objek dari Hak Tanggungan.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi obyek hak tanggungan, yaitu53:
1) Dapat dinilai dengan uang;
2) Termasuk hak yang terdaftar dalam daftar umum;
3) Dapat berpindah tangan;
4) Ditunjuk oleh undang-undang
Penjelasan umum nomor lima Undang-Undang Hak Tanggungan sebenarnya telah menjelaskan dua unsur mutlak dari Hak atas tanah agar dapat dijadikan objek hak tanggungan yaitu wajib didaftarkan (dalam hal ini pada kantor pertanahan) dan sifatnya dapat dipindah tangankan. Penetapan syarat tersebut berarti bahwa hak atas tanah yang dapat memenuhi syarat tersebut sebenarnya sudah dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Hal yang sama juga berlaku sebaliknya dalam penjelasan umum nomor lima Undang-Undang Hak Tanggungan juga ditentukan bahwa Hak Tanggungan tidak dapat dibebankan pada tanah hak milik yang sudah diwakafkan, dan tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan rumah suci lainnya, karana walapun tanah-tanah tersebut wajib didaftarkan
53 Purwahid Patrik dan Kashadi, Op.cit, hlm.115.
44
akan tetapi tidak dapat dipindahtangankan lagi sehingga tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam beberapa pasalnya (Pasal 25,33,39, dan 57) telah menyebutkan ketentuan-ketentuan tentang Hak Tanggungan54. UUPA selaku perintis keberadaan Hak Tanggungan menyatakan bahwa Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanah hak milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA). UUPA juga menekankan perlunya Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang tersendiri sebagaiman ketentuan dalam Pasal 51 UUPA yang isinya sebagai berikut:
Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasal 25,33, dan 39 diatur dengan undang-undang.
Hak Tanggungan selanjutnya diatur secara lebih terperinci di dalam undang-undang nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah.
Berdasarkan undang-undang ini menurut Mariam Badruzzaman terdapat beberapa obyek Hak Tanggungan yaitu sebagai berikut 55:
1) Hak Milik;
2) Hak Guna Usaha;
54 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid II Hukum Benda Diktat Lengkap, Semarang: Etikad Baik , hlm.244.
55 Mariam Daruz Badrulzaman, Op.cit, hlm.30-36
45 3) Hak Guna Bangunan;
4) Hak Pakai Atas Tanah Negara;
5) Hak atas tanah berikut bangunan yang tertancap di atasnya dan kepemilikannya berada dalam satu tangan;
6) Benda yang melekat diatas tanah yang bukan milik pemegang/pemilik tanah
Beberapa obyek hak tanggungan yang disebutkan tersebut sebenarnya sudah hampir serupa dengan apa yang dimaksud obyek Hak Tanggungan menurut UUHT, hanya saja obyek tanggungan nomor empat dan lima di atas dirasa kurang tepat dikarenakan Mariam Daruz Badrulzaman mengunakan istilah “berikut bangunan yang tertancap di atasnya” pada obyek Hak Tanggungan nomor lima dan istilah “yang melekat di atas tanah” pada obyek Hak Tanggungan nomor lima enam. Berdasarkan UUHT obyek Hak Tanggungan nomor lima diatas sebenarnya tidak hanya dapat berupa hak atas tanah berikut bangunan saja, karena juga dapat berupa tanaman dan hasil karya baik yang telah ada atau yang akan ada. Selain itu penggunan kata “tertancap di atasnya” menurut penulis kurang tepat karena UUHT mengamanatkan obyek Hak Tanggungan bukan hanya mencangkup segala yang tertancap di atas tanah tersebut tetapi juga mencakup keseluruhan yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang hak atas tanahnya di bebankan Hak Tanggungan. Hal yang sama juga berlaku pada kata “yang melakat diatas tanah” pada obyek Hak Tanggungan nomor enam. Menurut penulis lebih tepat sebenarnya bila digunakan kata “yang merupakan satu kesatuan dengan tanah”.
46
Objek Hak Tanggungan yang lain bila ditelusuri ternyata dapat ditemukan pada ketentuan peraturan perundang-undangan di luar undang-undang Hak Tanggungan PP nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah mengamanatkan bahwa Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan juga dapat dibebankan Hak Tanggungan Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 53 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1996 tersebut yang isinya menyatakan bahwa “Hak Pakai atas tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan”. Ketentuan tersebut baru bisa dibenarkan apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan memenuhi syarat agar bisa dijadikan hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan yaitu wajib didaftarkan dan sifatnya dapat dipindah tangankan
Pasal 43 ayat (1) PP nomor 40 Tahun 1996 telah mewajibkan dilakukannya pendaftaran Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan di Kantor Pertanahan, selanjutnya Pasal 52 PP nomor 40 Tahun 1996 juga telah menyatakan bahwa Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat dipindah tangankan. Terdapatnya ketentuan wajib di daftarkan dan dapat dipindahtangankannya Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan sebagaimana isi Pasal di atas berarti juga telah terpenuhinya syarat agar Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat menjadi Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan, sehingga Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat dikatakan
47
menjadi salah satu dari obyek Hak Tanggungan walaupun ketentuannya di atur di dalam PP.
Objek Hak Tanggungan selanjutnya yang diatur di luar Undang-undang Hak Tanggungan adalah Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun. Ketentuan dapatnya sertifikat hak milik satuan rumah susun dibebani hak tanggungan tersebut terdapat dalam Pasal 47 ayat (5) Undang-Undang nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, hanya saja ketentuan Hak Tanggungan dapat membebani sertifikat hak milik satuan rumah susun yang dijadikan jaminan sudah di isyaratkan dalam Pasal 27 UUHT. Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang perbankan (Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan) selanjutnya juga mengatur tentang dibolehkannya Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat dijadikan jaminan yang dibebankan Hak Tanggungan. Akan tetapi, untuk pemberian Hak Tanggungannya dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan56. Tujuan ketentuan tersebut dapat dimaknai sebagai dorongan kepada masayarakat umum untuk mensertifikatkan tanahnya yang masih berlandaskan hukum adat.
56 Sutardja Sudrajat, “Pemberian, Pendaftaran dan Peralihan Hak Tanggungan”, dalam Lembaga Kajian Hukum Bisnis Fakultas Hukum USU, Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di
Lingkungan Perbankan , Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 26
48
Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan terdapat beberapa objek hak tanggungan yang telah berlaku saat ini yaitu :
1) Hak Milik atas Tanah (Pasal 4 ayat (1) UUHT);
2) Hak Guna Usaha atas Tanah (Pasal 4 ayat (1) UUHT);
3) Hak Guna Bangunan atas Tanah (Pasal 4 ayat (1) UUHT);
4) Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (2) UUHT);
5) Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya lainnya yang telah atau akan ada, merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik pemegang hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat (4) UUHT);
6) Bangunan tanaman, dan hasil karya lainnya (sebagaimana dimaksud obyek Hak Tanggungan nomor lima di atas) yang bukan merupakan milik dari pemegang hak atas tanah (Pasal 4 ayat (5) UUHT):
7) Hak Pakai atas Tanah Hak Pengelolaan (Pasal 53 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah);
8) Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (Pasal 47 ayat (5) Undang-Undang nomor 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun jo. Pasal 27 UUHT), dan;
49
9) Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Jo. Pasal 10 ayat (3) UUHT).
C. Tinjauan Umum Lelang