D. Hasil Penelitian
2. Kelemahan-Kelemahan Yang Ada Dalam Regulasi Perlindungan Hak Narapidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Saat Ini
a. Aspek Substansi Hukum
Pemerintah Indonesia telah berusaha keras mengganti KUHP yang sekarang masih berlaku sebgai KUHP operan dari WvS Belanda dengan dasar hukum Ordonantie sebelum merdeka maupun UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU Nomor 58 Tahun 1973 setelah kita merdeka belum juga kunjung selesai. Belum selesainya penyempurnaan konsep-konsep rancangan undang-undang tersebut memang dapat dimaklumi, karena pekerjaan menyusun pembaharuan undang- undang yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan hukum, menjaga kewibawaan pemerintah, menjamin kepentingan hukum masyarakat, dan berlandaskan asas kemanusiaan Pembaharuan stelsel pidana dan pelaksanaaan pidana, khususnya pidana penjara didalam perundang-undangan, apabila ditinjau dari segi tuntutan modernisasi hukum pidana dan penologi yang sudah tumbuh berkenbang didunia pada dewasa ini bukan lagi masalah baru. Akan tetapi apabila ditinjau dari segi pengaruh modernisasi hukum pidana dan penologi yang masih harus disesuaikan dengan suasana masyarakat Indonesia, hal inilah yang menjadi sebuah pekerjaan baru. Pekerjaan untuk menyesuaikan pengaruh modernisasi terhadap hukum pidana, pidana dan pemidanaan menurut kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat agar dapat menjadi
xxxi
budaya hukum masyarakat Indonesia ternyata banyak mengalami kesulitan untuk mewujudkankanya.
Landasan Yuridis tentang Narapidana di peraturan perundang- undangan terdapat dalam Undang-undang No. 12 tahun 1995 Pasal 14 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan Pasal 14- 16. Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 Pasal 14 tentang Pemasyarakatan
Jadi Selain mempunyai kewajiban di dalam Lembaga Pemasyarakatan, seorang narapidana juga mempunyai hak. Dalam kamus Bahasa Indonesia, hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu.20 Seperti halnya manusia pada umumnya, seorang narapidana tetap mempunyai hak yang sama meskipun sebagian dari hak-haknya sementara dirampas oleh negara.
Namun faktor pendukung dapat terhambat dengan ketidakjelasan narapidana dalam memperoleh hak-hak bersyaratnya, seperti:
1. Kurangnya minat mitra dari luar Lapas untuk menerima narapidana berasimilasi.
2. Kurangnya pemahaman narapidana mengai pengertian asimilasi itu sendiri.
20 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hak. https://kbbi.web.id. Diakses pada 24 Juli 2023
xxxii
3. Adanya prasyarat jaminan dalam pembebasan bersayarat, berupa jaminan keluarga dan jaminan surat tanah yang terkadang sulit dipenuhi narapidana .
4. Adanya prosses pemberian remisi yang cukup memakan waktu;
5. Masih belum jelasnya pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Sebagai contoh; narapidana yang awalnya mendapatkan remisi sesuai PP 28 tahun 2006 harus memenuhi persyaratan baru yang tertuang di PP 99 yakni adanya syarat Justice Colaborator, sehingga yang sebelumnya narapidana tersebut dapat memperoleh remisi tetapi karena tidak adanya Justice Colaboratormaka ia sulit memperoleh remisi tsb.
6. Kurang pahamnya para penegak hukum, terutama pihak kepolisian dan kejaksaan mengenai aturan-aturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
7. Kurang adanya koordinasi antar para penegak hukum mengenai pengajuan Justice Colaborator.
8. Sulitnya pengajuan Justice Colaborator.
9. Adanya permintaan pembayaran subsider Rp.800 juta dalam permohonan Justice Colaborator.
Kelemahan dari aspek substansi hukum masih belum tegas dan jelasnya perlindungan hak narapidana dalam sistem peradilan, apalagi
xxxiii
didalam kompleknya birokrasi yang sering terjadi dalam prakteknya, sehingga dipandang perlunya ada rekonstruksi perundang-undangan.
b. Aspek Struktur Hukum
Dari data lapangan yang ada dapat digambarkan faktor pendukung dalam penerapan hak-hak narapidana diantaranya adalah:
1.Dukungan para petugas Lapas yang dapat membina narapidana dengan tidak menjadikannya sebagai obyek pembalasan, tidak juga sebagai orang yang kurang sosialisasinya.
2.Dukungan meningkatkan spiritual dan moralitas dalam sifat dan sikap narapidana juga menjadi pendukung penerapan hak-hak narapidana, yakni tidak adanya lagi sifat egoisme yang dapat memicu gangguan keamanan dalam Lapas.
3.Penerapan hak-hak narapidana di Lapas juga didukung dengan sarana dan prasarana yang ada walaupun tidak dipungkiri bahwa masih ada beberapa sarana dan prasarana yang menjadi penghambat penerapan hak-hak narapidana, seperti kelebihan kapasitas, dan hak atas kesehatan serta hak atas pendidikan yang terhambat pasca kerusuhan dan pembakaran.
Kelemahan dari aspek struktur hukum bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana, yakni terdiri dari 4 (empat)
xxxiv
sub-sistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan.
Sehingga dibutuhkan sinergitas antara aparat dalam system peradilan pidana.
c. Aspek Budaya Hukum
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan tersebut di atas melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran Lembaga Pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila Petugas Pemasyarakatan yang melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Undang-undang ini ditetapkan sebagai Pejabat Fungsional Penegak Hukum.
Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam sistem pemasyarakatan, Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, atau Klien
xxxv
Pemasyarakatan berhak mendapat pembinaan rohani dan jasmani serta dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya, berhubungan dengan pihak luar baik keluarga maupun pihak lain, memperoleh informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, memperoleh pendidikan yang layak dan lain sebagainya.
Untuk melaksanakan sistem pemasyarakat tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah selesai menjalani pidananya. Selanjutnya untuk menjamin terselenggaranya hak-hak tersebut, selain diadakan Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang secara langsung melaksanakan pembinaan, diadakan pula Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang memberi saran dan pertimbangan kepada Menteri mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan yang memberi saran mengenai program pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan di setiap Unit Pelaksana Teknis dan berbagai sarana penunjang lainnya. Untuk menggantikan ketentuan-ketentuan lama dan peraturan perundang-undangan yang masih mendasarkan pada sistem kepenjaraan dan untuk mengatur hal-hal baru yang dinilai lebih sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka dibentuklah Undang-undang tentang Pemasyarakatan ini.
xxxvi
Pelaksanaan fungsi pemidanaan sebagai tempat atau sarana pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan Lembaga Pemayarakatan, maka sistem penjara Indonesia yang sebelumnya dikenal penuh penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur- angsur mulai ditinggalkan melalui pemberian bimbingan dan pengayoman kepada narapidana. Hal ini dimaksudkan agar narapidana kelak dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang lebih baik. Pemasyarakatan pada hakekatnya adalah salah satu perwujudan dari pelembagaan reaksi formal masyarakat terhadap kejahatan. Reaksi masyarakat ini pada awalnya hanya menitikberatkan pada unsur pemberian derita pada pelanggar hukum. Sejalan dengan perkembangan masyarakat, maka unsur pemberian derita tersebut telah pula diimbangi dengan perlakuan yang manusiawi dengan memperhatikan hak- hak asasi pelanggar hukum sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial. Sebab itu, pemasyarakatan telah juga difungsikan sebagai tempat rehabilitasi para narapidana dengan berbagai macam kegiatan pembinaan.21
Lembaga pemasyarakatan yang menjunjung tinggi hak-hak asasi pelaku kejahatan, tentunya hal ini bukan saja merupakan tugas institusi pemasyarakatan, melainkan juga merupakan tugas pemerintah dan masyarakat.
Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
21 Dwidja Priyatno, 2013, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, hlm. 43
xxxvii
Pemasyarakatan menentukan bahwa: Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.22
Kelemahan dari aspek budaya hukum bahwa di dalam Sistem kepenjaraan merupakan sistem yang sangat menekankan pada berbagai unsur-unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga
“Rumah Penjara”. Sistem kepenjaraan tidak digunakan lagi karena memandang dan memperlakukan orang terpidana tidak sebagai anggota masyarakat tetapi merupakan suatu pembalasan dendam masyarakat.
Sehingga seringkali tidak sesuai lagi dengan tingkat peradaban serta martabat bangsa Indonesia yang telah merdeka yang berfalsafahkan Pancasila.
3. Rekonstruksi Regulasi Perlindungan Hak Narapidana Dalam Sistem