• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerangka Teori

Dalam dokumen pemulihan trauma psikososial pada perempuan (Halaman 32-50)

BAB I PENDAHULUAN

G. Kerangka Teori

Pemulihan berasal dari kata pulih, yakni menunjukkan hubungan sosial yang lebih positif walaupun masih

memungkinkan terjadinya gejala-gejala gangguan. Menurut Coleman21 (1999), mengatakan bahwa kemampuan seseorang dalam memelihara kondisi yang stabil sama artinya dengan pulih. Sedangkan pemulihan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses atau cara memulihkan mengembalikan sesuatu (hak, harta benda, dan sebagainya). Pemulihan juga dapat diartikan sebagai proses perjalanan dalam mencapai kesembuhan atau perubahan pada diri seseorang untuk memiliki hidup yang lebih bermakna dan memiliki potensi.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemulihan adalah proses kembali sehat atau sembuh dari gangguan yang dialami baik fisik maupun mental yang dialami oleh individu maupun kelompok, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan dan masyarakat.

Pemulihan dapat dilakukan pada siapa saja yang membutuhkan kesembuhan terhadap gangguan yang diderita termasuk korban kekerasan seksual. Pemulihan pada korban kekerasan seksual sendiri menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 pasal 1 yang menyatakan bahwa

21 James Coleman seorang sosiolog modern asal Amerika yang lahir pada tanggal 12 Mei 1926 di Bedford, Amerika Serikat. Pada tahun 1955 ia menuntut ilmu di Universitas Columbia dan meraih gelar Ph.D. Kemudian ia melanjutkan karier akademis dan terpilih sebagai asisten profesor di Universitas Chicago pada tahun 1973.

pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumahtangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis.22

Adapun bentuk konseling yang sering digunakan dalam menangani kasus kekerasan seksual pada korban, yaitu konseling individu karena bentuk konseling ini dianggap lebih memudahkan dalam proses pemulihan korban kekerasan seksual. Konseling individual sendiri merupakan kunci utama semua kegiatan bimbingan dan konseling. Proses konseling individual merupakan relasi antara konselor dengan klien untuk mencapai suatu tujuan klien yaitu untuk membantu memulihkan kesehatan mental individu melalui pengembangan pribadi dan sosial serta beruasaha untuk menghilangkan efek- efek ketidakharmonisan emosi individu.23 Konseling individual dapat diartikan juga sebagai hubungan timbal balik antara dua individu dimana yang seorang (konselor) berusaha membantu yang lain (klien) untuk mencapai pengertian tentang dirinya sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang

22 Peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan

korban kekerasan dalam rumah tangga, dalam

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/49024/pp-no-4-tahun-2006, diakses tanggal 30 Mei, pukul 15.04.

23 Juli Andriyani, “Konsep Konseling Individual Dalam Proses Penyelesaian Perselisihan Keluarga”, Jurnal At-Taujih‖, Vol. 1, No. 1, (Januari-Juni 2018), hlm 18.

dihadapinya pada masa yang akan datang.24 Fungsi konseling individual adalah membantu individu mencari alternative pemecahan masalah dan membantu mengembangkan potensi diri dalam menghadapi permasalahan.

Adapun prinsip dan tujuan pelaksanaan pelayanan bimbingan konseling individual, yaitu :

a. Bimbingan dan konseling harus diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahan.

b. Dalam proses bimbingan dan konseling keputusan diambil dan akan dilakukan oleh individu hendaknya atas kemauan individu itu sendiri bukan karena kemauan dan desakan dari konselor atau pihak lain.

c. Permasalahn individu harus ditangani oleh tenaga ahli dalam bidang yang relevan dengan permasalahn yang dihadapi.

Pengembangan program layanan bimbingan dan konseling ditempuh melalui pemanfaatan yang maksimal dari hasil pengukuran dan penilaian terhadap individu yang terlibat

24 Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah, (Jakarta:Rineka Cipta, 2002) hlm. 21.

dalam proses pelayanan dan program bimbingan dan konseling itu sendiri.25

2. Trauma

Trauma menurut Shapiro merupakan pengalaman hidup yang mengganggu kasuseimbangan biokimia dari sistem informasi pengolohan psikologi otak. Kasuseimbangan ini menghalang pemprosesan informasi untuk meneruskan proses tersebut dalam mencapai suatu adaptif, sehingga persepsi, emosi, keyakinan dan makna yang diperoleh dari pengalaman tersebut ―terkunci‖ dalam sistem saraf. Menurut Jarnawi menyatakan bahwa trauma merupakan gangguan psikologi yang sangat berbahaya dan mampu merosakkan kasuseimbangan kehidupan manusia. Sedangkan menurut Cavanagh dalam Mental Health Channel menyatakan tentang pengertian trauma adalah suatu peristiwa yang luar biasa yang menimbulkan luka dan perasaan sakit, tetapi juga sering diartikan sebagai suatu luka atau perasaan sakit berat akibat sesuatu kejadian luar biasa yang menimpa seseorang langsung atau tidak langsung baik luka fisik maupun luka psikis atau

25 Gerald corey, teori dan praktek konseling dan psikoterapi (terj. E.Koswara, (Bandung:Eresco, 1995), hlm 25.

kombinasi kedua-duanya.26 Dari definisi para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa Trauma adalah suatu peristiwa yang terjadi hingga menimbulkan luka, perasaan sakit bahkan mengganggu kasuseimbangan psikologi otak dan kehidupan manusia.

Menurut Kusmawati Hatta, seseorang yang mengalami trauma memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Seorang penderita trauma akan memiliki ingatan yang menggangu terhadap peristiwa yang membuatnya mengalami trauma tersebut.

b. Kecenderungan seseorang yang menderita trauma akan mengelak membicarakan kejadian-kejadian traumatis.

c. Pola pemikiran yang dialamai seseorang yang menderita trauma cenderung memiliki perasaan yang negatif.

d. Merasa putus asa dengan apapun yang berkaitan dengan kejadia atau peristiwa traumatis.

26 Kusmawati Hatta, ―Trauma dan Pemulihannya Suatu Kajian Berdasarkan Kasus Pasca Konflik dan Tsunami‖, (Dakwah Ar-Raniry Press Jl. Lingkar Kampus Darussalam Banda Aceh, 2016), hlm. 18.

e. Perubahan emosi. Seseorang yang menderita trauma akan memiliki perubahan emosi yang sangat cepat, atau memiliki kecenderungan badai perasaan.27

3. Psikososial

Menurut E.A. Ross dalam buku Social Psychology, mendefinisikan Psikologi Sosial sebagai ―ilmu yang berusaha memahami dan menguraikan keseragaman dalam perasaan, kepercayaan, atau kemauan –juga tindakan- yang diakibatkan oleh interaksi sosial‖.28 Menurut Kauffman, Psikologi Sosial adalah usaha untuk memahami, menjelaskan dan meramalkan bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu dipengaruhi oleh apa yang dianggapnya sebagai pikiran, perasaan, dan tindakan orang lain (yang kehadirannya boleh jadi sebenarnya, dibayangkan atau disiratkan).29 Kemudian menurut Michener & Delamater, psikologi sosial adalah studi alami tentang sebab-sebab dari perilaku sosial manusia.

Sementara menurut Sherif & Musfer, psikologi sosial adalah ilmu tentang pengalaman dan perilaku individu dalam

27 Dini Fitriani, Ifdil, “Peran Konselor Terhadap Klien Yang Mengalami Trauma Melalui Teknik Rational Emotif Behaviour Theraphy (REBT)”, Indonesian Journal of School Counseling‖, Vol. 3, No. 3, (Oktober 2018), hlm 65

28 Nina W. Syam. ―Psikologi Sosial Sebagai Akar Ilmu Komunikasi”, (Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2012), hlm. 11

29 Nina W. Syam. Ibid.

kaitannya dengan situasi stimulus sosial. Dalam definisi ini, stimulus sosial diartikan bukan hanya manusia tetapi juga benda-benda dan hal-hal lain yang diberi makna sosial.30 Berdasrkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa psikologi sosial merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia serta sebab-sebab perilaku manusia.

Menurut teori Erik H. Erikson mengenai psikososial, ia berpendapat bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial dan kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif.

Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson, yaitu :

30 Nina W. syam. Ibid, hlm. 12

a. Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan)

Tahapan ini terjadi dari sejak lahir hingga usia 1 tahun. Perilaku bayi didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang disekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orangtuanya, tetapi orang yang dianggap asing tidak dia percaya. Dia juga tidak hanya tidak percaya kepada orang asing, tetapi juga pada benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya.

b. Autonomy vs Shame, Doubt (Otonomi vs Rasa Male, Ragu- ragu)

Tahap ini terjadi pada usia 1-3 tahun. Pada masa ini sampai batas-batas tertentu, anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh orangtuanya, tetapi pada pihak lain, dia mulai memiliki rasa malu dan keraguan dalam berbuat, sehingga sering meminta pertolongan atau persetujuan dari orangtuanya.

c. Initiative vs Guilt (Inisiatif vs Rasa bersalah)

Tahap ini terjadi pada usia 3-5 tahun. Pada tahap ini anak telah memiliki beberapa kecakapan. Dengan

kecakapan tersebut, dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuannya masih terbatas, adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara wakyu, dia tidak mau berinisiatif atau berbuat.

d. Industry vs Inferiority (Kegigihan/Industri vs Inferioritas) Tahap ini terjadi pada usia 6-11 tahun. Pada masa ini anak sangat aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya sangat besar, tetapi karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya, kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan, bahkan kegagalan, hal ini lah yang membuat anak merasa rendah diri.

e. Identity vs Identity Confusion (Identitas vs Kebingungan Peran)

Tahap ini terjadi pada usia 12-18 tahun. Pada masa ini, remaja berusaha untuk membentuk dan memperlihatjan identitas diri ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini pada remaja sering sangat ekstrem dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan

identitas diri yang kuat pada satu pihak sering diimbangi oleh rasa setia kawan dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Diantara kelompok sebaya, mereka mengadakan pembagian peran, dan sering mereka sangat patuh terhadap peran yang diberikan kepada tiap-tiap anggota.

f. Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Isolasi)

Tahap ini terjadi antara usia 18-35 tahun. Pada tahap ini disebut juga masa dewasa awal. Jika pada tahap sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok sebaya, pada masa ini ikatan kelompok mulai longgar. Mereka mulai selektif dan hanya membina hubungan intim dengan orang-orang tertentu yang sepaham. Jadi, pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang dengan yang lainnya.

g. Generativity vs Stagnation (Semangat-berbagi vs penyerapan diri)

Tahap ini terjadi pada usia 35-55 tahun. Tahap ini disebut juga masa dewasa (dewasa tengah). Pada tahap ini

individu telah mencapai puncak dari perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup banyak, sehingga perkembangannya pun sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan kecakapan individu sangat luas, dia tidak mungkin dapat menguasai segala macam ilmu dan kecakapan sehingga pengetahuan dan kecakapannya tetap terbatas. Untuk mengerjakan atau mencapai hal-hal tertentu, ia mengalami hambatan.

h. Ego Integrity vs Despair (Integritas Ego vs Rasa Putus Asa)

Pada tahap ini terjadi pada usia 55 tahun lebih.

Tahap ini sering disebut masa hari tua, pada masa ini pribadi yang telah mapan pada satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin, ia masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya, tetapi karena faktor usia, hal itu sulit untuk dapat dicapai.

Dalam situasi ini, individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi masih ada, tetapi pengikisan

kemampuan karena usia sering mematahkan dorongan tersebut, sehingga keputusan seringkali menghantuinya.31

Berdasarkan definisi dan penjelasan mengenai trauma dan psikososial diatas, dapat disimpulkan bahwa trauma psikososial adalah kondisi atau keadaan seseorang yang telah mengalami suatu kejadian yang tidak diinginkan hingga melukai kondisi psikologisnya, sehingga orang tersebut cenderung enggan untuk berbaur atau berinteraksi dengan orang lain.

4. Kekerasan seksual

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut pelaku pelecehan seksual berarti orang yang suka merendahkan atau meremehkan orang lain, berkenaan dengan seks (jenis kelamin) atau berkenaan dengan perkara persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.32 Sedangkan menurut naskah Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual oleh KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,

31 Adang Hambali dan Ujam Jaenudin. ―Psikologi Kepribadian (Lanjutan)”, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 94-98.

32 Tempo.co, ―Pelecehan Seksual Dalam Hukum Kita‖ dalam https://hukum.tempo.co/read/1055000/pelecehan-seksual-dalam-hukum-

kita/full&view=ok, diakses tanggal 22 Januari 2022, pukul 08.20.

menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.33

Menurut Adrina, kekerasan seksual atau pelecehan seksual adalah sebuah bentuk pemberian perhatian seksual, baik secara lisan, tulisan, maupun fisik terhadap perempuan.

Sementara menurut Michael Rubenstein, yang dimaksud pelecehan seksual adalah sifat perilaku seksual yang tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung di penerima. Bentuk pelecehan seksual sendiri bermacam-macam: mulai dari sekedar menyuili perempuan yang sedang berjalan, memandang dengan mata seolah sedang menyelidiki tiap-tiap lekuk tubuh, meraba-raba ke bagian tubuh yang sensitive, memperlihatkan gambar porno, dan sebagainya sampai bentuk tindak kekerasan seksual berupa perkosaan.

Menurut Wignjosoebroto, tindak perkosaan adalah sebuah

33 Nadia Faradiba, ―15 Macam Kekerasan Seksual Yang Perlu Anda Ketahui‖, dalam https://www.kompas.com/sains/read/2021/10/10/080000823/15-macam- kekerasan-seksual-yang-perlu-anda-

ketahui?page=all#:~:text=Menurut%20naskah%20Rancangan%20Undang-

Undang%20tentang%20Penghapusan%20Kekerasan%20Seksual,fungsi%20reproduksi%

2C%20secara%20paksa%2C%20bertentangan%20dengan%20kehendak%20seseorang, diakses tanggal 23 Januari 2022, pukul 14.32.

usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan/atau hukum yang berlaku adalah melanggar.34 Dengan demikian kekerasan seksual tidak hanya terbatas pada hal yang bersift fisik, tetapi juga mencakup banyak perilaku lainnya, misalnya penganiayaan psikologis dan penghinaan.

Kekerasan seksual menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada pasal 8 ayat 1 dan 2 yang menyatakan bahwa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atautujuan tertentu.35

Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 pada pasal 9 bentuk kekerasan seksual diantaranya berupa perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa

34 Bagong Suyanto, “Masalah Sosial Anak”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 262

35 Khusnul Fadilah, Pemulihan…, hlm. 31

atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya.36 Adapun jenis kekerasan seksual yang ditemukan Komnas Perempuan dari hasil pemantauannya selama 15 tahun 1998-2003, yaitu:

a. Perkosaan

b. Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan pemerkosaan

c. Pelecehan seksual d. Eksploitasi seksual

e. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual f. Prostitusi paksa

g. Perbudakan seksual

h. Pemaksaan perkawinan termasuk cerai gantung i. Pemaksaan kehamilan

j. Pemaksaan aborsi

k. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi l. Penyiksaan seksual

m. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual n. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan

dan mendiskriminasi perempuan

36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 diakses pada 22 Januari 2022 dari https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2000_26.pdf

o. Kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.37

Menurut Rahma Sugihartati38, sesungguhnya penderitaan yang harus ditanggung korban perkosaan bukan sekedar kesakitan secara fisik, tetapi campur-aduk antara perasaan terhina, ketakutan secara fisik, tetapi batin yang tak berkesudahan. Banyak kasus membuktikan, bahwa korban perkosaan dalam kehidupannya akan cenderung mengalami penderitaan ―rangkap tiga‖, yaitu pada saat kejadian, diperiksa penyidik, dan menjadi pemberitaan di media massa. Secara medis, setelah memperoleh perawatan fisik, barangkali penderitaan fisik dan trauma fisiologik korban akan dapat disembuhkan. Orang lain pun mungkin sudah lupa pada peristiwa itu dan bahkan mungkin pula tidak mengetahuinya jika si korban pindah tempat tinggal. Namun, di luar semua itu, aib, depresi, dan penderitaan niscaya akan tetap mengetahui korban sepanjang hidupnya. Bagi seorang gadis terutama

37 KOMNAS Perempuan, ―15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan‖ dalam https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi- pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan, diakses tanggal 22 Januari 2022, 13.05.

38 Rahma Sugihartati adalah seorang Professor di Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga.

hilangnya keperawanan, stigma masyarakat, dan perasaan was- was serta tercemar ibaratnya adalah benalu yang selalu kuat melekat dan menghantui perasaan korban. Sehingga banyak korban perkosaan atau kekerasan seksual, setelah kejadian akan menjadi curiga, tidak mudah percaya kepada laki-laki, dan merasa teraliensi dari lingkungan sekitarnya.39

Masyarakt umumnya beranggapan bahwa pemerkosaan atau kekerasan seksual dilakukan oleh orang tak dikenal di tempat gelap dan berbahaya, dan si pelaku sering dikatakan mengidap penyakit jiwa, tidak normal, pendek kata orang yang secara psikologis bermasalah. Padahal kenyatan yang sebenarnya terjadi banyak perkosaan dilakukan oleh orang yang dikenal, orang yang sehat, dan tidak memiliki masalah kejiwaan apapun. Selain itu, perkosaan tidak Cuma terjadi di tempat yang sepi rawan, melainkan sering kali perkosaan terjadi dirumah dan dilakukan dengan perencanaan yang teliti.

Anggapan yang menuduh bahwa perkosaan terjadi karena godaan dari si korban adalah sebuah mitos yang menyesatkan, karena banyak bukti menunjukkan bahwa korban perkosaan tidak selalu perempuan cantik, bertubuh sintal, dan lain

39 Bagong Suyanto, “Masalah…, hlm. 256-258.

sebagainya. Korban perkosaan, seperti kita semua tahu, terkadang nenek-nenek dan bahkan anak-anak yang belum tahu apa-apa, dan bahkan balita.40

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual, yaitu:

a. Kemiskinan yang menyebabkan mereka kurang memiliki kesempatan dalam mengenyam pendidikan seperti biaya tinggi dan adanya diskriminasi dikalangan keluarga untuk memperoleh pendidikan.

b. Adat budaya sering kali merendahkan kaum perempuan (isu gender).

c. Disfungsi peran keluarga misalnya kejadian-kejadian yang tidak patuh perilaku buruk, selingkuh dan kecemburuan.

d. Selain itu rendahnya pemahaman hukum masyarakat.

e. Adanya anggapan bahwa proses hukum oleh negara sangat mahalsehingga kasus kekerasan tidak dilaporkan.41

Dalam dokumen pemulihan trauma psikososial pada perempuan (Halaman 32-50)

Dokumen terkait