• Tidak ada hasil yang ditemukan

35

dan kosmologi spasial. Menurut Kitab Visuddhimagga, kosmologi temporal merupakan sebuah pembagian keberadaan dunia menjadi empat periode yang berbeda, yakni periode kehancuran (Samvatta), periode diam atau stabil dalam keadaan hancur (Samvattatthayi), periode terbentang, mengembang, atau pembentukan kembali (Vivatta), dan periode kestabilan setelah perkembangan (Vivattatthayi). Sedangkan kosmologi spasial terdiri dari kosmologi vertikal dan kosmologi horizontal. Kosmologi vertikal berkaitan dengan wujud, karakteristik, makanan, jangka hidup, dan keindahan makhluk-makhluk;

sedangkan kosmologi horizontal berkaitan dengan pembagian sistem dunia menjadi lembaran-lembaran yang tidak terbatas.2

Dalam perspektif agama Buddha tata surya atau dalam Bahasa Pali disebut sebagai loka, tidak hanya terbatas pada satu miliar tata surya saja, namun lebih dari itu. Buddhisme meyakini bahwa alam raya sangatlah luas.

Hal ini didasarkan pada jawaban dari Sang Buddha kepada bhikkhu Ananda yang dimuat dalam Anguttara Nikaya, “Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu culanika loka dhatu (tata surya kecil)? …Ananda, sejauh matahari dan bulan berorientasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya, terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu sineru, seribu jambudipa, seribu aparayojana, seribu uttarakuru,

2 Wikipedia, Kosmologi Buddha,” diakses dari

https://id.wikipedia.org/wiki/Kosmologi_Buddha pada 21 Juli 2023.

37

seribu pubbavidehana. …Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (Sahasi culanika lokadhatu).”

Menurut ajaran Buddha, alam semesta adalah ciptaan yang ditimbulkan dari sebab-sebab yang mendahuluinya dan tidak kekal, oleh karenanya dalam Buddha alam semesta disebut juga sebagai sankhata dhama yang bermakna ada, yang tidak mutlak, dan mempunyai corak timbul, lenyap, dan berubah.3 Alam dalam pandangan Buddha memiliki sifat berubah-ubah (Anicca), dinamis, kinetis, dan seimbang.

Konsepsi tentang loka dalam Buddhisme telah ada jauh sebelum para peneliti membahas asal-muasal terjadinya alam semesta, yakni pada Bhayaberava Sutta, “Ketika pikiran terkonsentrasi demikian, murni, cerah, tanpa noda, bebas dari kekotoran batin, lentur, lunak, mantap, & mencapai keadaan tanpa gangguan, saya mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kembali kehidupan lampau saya. Saya mengingat kembali banyak kehidupan lampau saya, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, berkalpa-kalpa kontraksi kosmik, berkalpa-kalpa perluasan kosmik, berkalpa-kalpa kontraksi&perluasan kosmik; 4 Sutta ini hampir selaras dengan bunyi teori big-bang yang dikemukakan oleh kosmolog asal Belgia, Abbe Georges Lemaitre, pada tahun 1927 yang menyatakan

3I Gusti Made Widya Sena, “Konsep Kosmologi dalam Agama Buddha,” Jurnal Vidya Samhita, Vol 1, No 1, (2015), h. 110-124.

4 Samaggi Phala, “Bhayabherava Sutta” diakses dari https://samaggi- phala.or.id/tipitaka/bhayabherava-sutta/ pada 22 Juli 2023.

bahwa jagad raya tercipta dari suatu ketiadaan sebagai hasil dari ledakan satu titik tunggal.5

Selain itu, dalam Buddhisme terdapat 31 alam, yang terbagi atas tiga kelompok (Tiloka) yakni kamaloka, rupaloka, dan arupaloka. Penjelasannya sebagai berikut:6 Pertama, kamaloka. Kehidupan pertama ini meliputi 11 alam di mana merupakan alam yang dipenuhi oleh ketidakbahagiaan, dan kesengsaraan. Alam ini didominasi oleh kehidupan para dewata, manusia, dan makhluk lainnya yang terikat pada nafsu Indria. Kamaloka terdiri dari 4 alam apaya dan 7 alam kamasugati. Alam kehidupan ini terdiri dari 4 unsur di dalamnya, yakni air, tanah, api, dan udara. Kammaloka merupakan gambaran dari kehidupan di bumi.

Kedua, rupaloka atau alam bentuk atau alam makhluk. Kehidupan ini terdiri dari 16 alam brahma yang dapat dicapai dengan melaksanakan dhamma dan semedi atau bhavana. Alam kedua ini masih dapat berhubungan dengan makhluk-makhluk yang terdapat di alam pertama, sebab masih mempunyai badan halus dan berada di atas hawa nafsu indira. Alam ini didominasi oleh kehidupan para dewa. Alam kedua ini terdiri dari 16 alam brahma yang dapat dicapai melalui praktik bhavana.

Ketiga, arupaloka. Alam ketiga ini merupakan alam terakhir dan bisa disebut sebagai puncak dari triloka. Alam ini didominasi oleh kehidupan para

5 Sukma Perdana Prasetya, “Teori Tentang Terbentuknya Alam Semesta,” diakses dari https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/geofish/file/fec984cf-ff1a- 4ff8-aa5e-f77c48c1fbf2.pdf pada 22 Juli 2023.

6 Sanurdi, “Kosmologi Agama Islam dan Buddha,” Jurnal Tasamuh, Vol 8, No 2 (2016), h.283-314.

39

brahma yang telah mencapai tingkatan keempat dalam bhavana. Alam ini sudah terbebas dari hal-hal duniawi berupa nafsu Indira.

Ketiga tingkatan mengenai kelompok alam (Tiloka) ini dapat dicapai dengan berbuat dhamma dan menghindari nafsu indria selama di dunia.

Sebagai gambaran, jika ada seseorang yang hidup di alam kammaloka, dan terus menerus mengikuti nafsu indria, maka di alam selanjutnya ia akan terlahir kembali di alam kammaloka. Namun, jika selama di alam kammaloka seorang tersebut melaksanakan ajaran dhamma namun masih terikat pada nafsu indria, maka ia dapat terlahir kembali di alam rupaloka. Selanjutnya, apabila seseoang itu berbuat dhamma dan menghindari belenggu nafsu indria, maka ia dapat terlahir kembali di alam arupadatu.

Penggambaran mengenai tiga kelompok alam (Tiloka) ini dapat kita temui pada relief Candi Borobudur yang berlokasi di Magelang, Jawa Tengah.

Pada candi ini terdapat tiga tingkatan kehidupan yang direpresentasikan dalam bentuk relief dan arca Buddha. Tingkatan paling bawah adalah Kammadatu, tingkatan tengah disebut Rupadatu, dan tingkatan paling atas disebut sebagai Arupadatu.

Asal-Usul Penciptaan Bumi & Manusia Menurut Buddhisme

Dalam Buddhisme tidak dikenal istilah penciptaan, melainkan pembentukan kembali. Sebab Buddhisme meyakini bahwa alam raya adalah bentuk yang terus berputar selama miliaran tahun. Sehingga tidak bisa dipastikan siapa yang diciptakan pertama kali.7 Hal ini disinggung pada Aganna Sutta, syair nomor 10-11.

7 Sanurdi, “Kosmologi Agama Islam dan Buddha,” Jurnal Tasamuh, Vol 8, No 2 (2016), h.283-314.

Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan bilamana hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abbassara (Alam Cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya) diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali. Vasettha, terdapat juga suatu saat, cepat atau lambat, setelah selang suatu masa yang lama sekali ketika dunia ini mulai terbentuk kembali. Dan ketika hal ini terjadi, makhluk-makhluk yang mati di Abbhassara (Alam Cahaya) biasanya terlahir kembali di sini sebagai manusia. Mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup secara demikian dalam masa yang lama sekali.”

“Pada waktu itu, senuanya terdiri dari air, gelap gulita. Tidak ada matahari atau bulan yang nampak, tidak ada bintang-bintang maupun konstelasi- konstelasi yang kelihatan; suang maupun malam belum ada, bulan maupun pertengahan bulan belum adam tahun-tahun maupun musim-musim belum ada, laki-laki maupun Wanita belum ada. Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja, Vasettg, cepat atau lambat setelah suatu masa yang lama sekali bagi makhluk-makhluk tersebut, tanah dengan sarinya muncul ke luar dari dalam air. Sama seperti bentuk-bentuk buih di permukaan nasi susu masak yang mendingin, demikianlah munculnya tanah itu. Tanah itu memiliki warna, bau dan rasa. Sama seperti dadih susu atau mentega murni, demikianlah

41

warnanya tanah itu; sama seperti madu tawon murni, demikianlah manisnya tanah itu.”8

Dari khotbah di atas dapat dipahami bahwa kehidupan dalam keyakinan Buddhisme terus berputar selama miliaran tahun, dan terus terbentuk, tidak berhenti. Sesuai keyakinan Buddha, periodesasi kehidupan di ala mini dimulai dari masa kehancuran (Samvatta) di masa sebelumnya, masa ini diyakini memiliki periode waktu yang lama sekali. Setelah itu muncul alam diam dan stabil di masa kehancuran (Samvattatthayi), para makhluk yang sebelumnya hidup di dunia terlahir kembali di alam Abbasara dalam satu ragam karakteristik batiniyah diliputi kebahagiaan, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang- layang di angkasa, serta hidup dalam kemegahan.

Setelah mewati periode kedua itu, terjadilah pembentukan kembali dan perkembangan alam semesta (Vivatta) dalam periode yang sangat lama. Pada periode ini, makhluk-makhluk yang berada di Abhassara terlahir kembali di alam semesta sebagai manusia. Kelahiran kembali ini didasarkan atas kamma di masa lalu. Apabila memiliki kamma baik, dapat mencapai Nibbanna, namun jika kamma di masa lalu masih belum baik, maka akan terlahir kembali. Setelah melewati periode ketiga ini, kemudian terdapat periode terakhir yakni masa stabil setelah perkembangan (vivattaatthayi).

8 Samaggi phala, Aganna Sutta” diakses dari https://samaggi- phala.or.id/tipitaka/aganna-sutta/ pada 23 Juli 2023.

B. Nilai-Nilai Ekologis dalam Agama Buddha 1. Kesadaran

Buddha berasal dari Bahasa Pali, Buddh yang bermakna sadar. Begitu pula ajaran-ajaran suci yang diwariskan oleh Siddharta Gautama, bermuara pada kesadaran penuh. Dhamma yang dikenal manusia hingga abad sekarang merupakan bagian dari ajaran tentang kesadaran mutlak manusia. Dalam kaitannya dengan ekologi, dhamma bermakna kesadaran pikiran, ucapan, maupun perbuatan yang berkaitan dengan lingkungan.

Sang Buddha pernah memberi nasihat kepada Rahula anaknya pasca ia ditahbiskan menjadi Samanera, Sang Buddha memberi analogi bagai sebuah cermin. “Bagaimana pendapatmu, Rahula? Apakah tujuan cermin?,”,

“Untuk tujuan refleksi, Bhante”, “Demikian juga, Rahula, suatu tindakan melalui tubuh seharusnya dilakukan setelah refleksi berulang kali; tindakan melalui ucapan seharusnya dilakukan setelah refleksi berulang kali; tindakan melalui pikiran seharusnya dilakukan dengan refleksi berulang kali.” 9

Dari nasihat Sang Buddha tersebut dapat dipahami bahwa ajaran Buddha menitikberatkan pada aspek refleksi dan kesadaran. Segala tindakan yang akan dilakukan harus melalui refleksi mendalam apakah tindakan tersebut bisa merugikan dirinya sendiri, orang lain, atau keduanya.10 Kerugian yang dimaksud dapat berupa kerugian materil maupun imateril, karena konsekuensi atas tindakan setiap orang bisa beragam.

9 Upa, Sasansasena Seng Hansen, Riwayat Hidup Rahula – Pewaris Dhamma, (Yogyakarta: Vidyasena, 2019), h. 21-22.

10 Upa, Sasansasena Seng Hansen, Riwayat Hidup Rahula – Pewaris Dhamma, (Yogyakarta: Vidyasena, 2019), h. 21-22

43

Untuk mencapai kesadaran, Sang Buddha mengajarkan dengan beberapa cara. Salah satu cara yang paling populer adalah melalui jalur meditasi di bawah pohon Bodhi. Pohon Bodhi merupakan salah satu pohon yang disakralkan oleh umat Buddha. Sebab dahulu kala, Sang Buddha sebelum mencapai pencerahan sempurna, melakukan meditasi bertahun-tahun lamanya di akar pohon Bodhi yang rindang. Selain itu, pohon bodhi menyimpan banyak manfaat bagi Kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.

Kesadaran dapat diimplementasikan sebagai dasar fundamental dari berbagai tindakan manusia di muka bumi, termasuk bagaimana manusia harus bersikap terhadap alam yang bukan hanya menjadi tempat bernaung bagi manusia saja, melainkan juga bagi makhluk-makhluk baik biotik maupun abiotic, baik yang kasatmata maupun yang tidak kasatmata. Sang Buddha mengajarkan kepada para Bhikkhu untuk sadar, yang artinya juga sadar untuk merawat alam semesta.

2. Kitab Suci

Agama Buddha merupakan agama yang sangat dekat dengan alam, hal itu dibuktikan dengan kedekatan Siddharta Gautama terhadap pohon melalui ritual meditasi. Selain itu dalam teologi Buddha, terdapat ajaran Metta atau cinta kasih. Di mana cakupan ajaran Metta tidak terbatas sebagai cinta kasih dengan sesama Buddha saja, melainkan juga kepada sesama manusia dan seluruh makhluk hidup tak terkecuali juga untuk alam. Bukti kedekatan Sang

Buddha dengan alam banyak dituangkan dalam ajaran-ajaran sucinya seperti pada ajaran Metta.

Metta (dalam Bahasa Pali) memiliki beragam makna, bukan hanya cinta kasih saja, melainkan juga sikap bersahabat, itikad baik, kemurahan hati, persaudaraan, toleransi, dan sikap tanpa kekerasan.11 Dalam kehidupan sehari-hari, Metta menjadi landasan utama bagi masyarakat Buddhis dalam bersosialisasi terhadap lingkungan sekitar. Tidak hanya kepada sesama manusia, Metta juga dapat dipraktikkan terhadap makhluk hidup lain, baik tumbuhan maupun hewan. Dalam syair Karaniya Metta Sutta (Sutta Nipata 143-52) bait ketiga dan keempat disebut: “Ia juga harus menghindari setiap Tindakan yang dapat dicela oleh para bijaksana, (dan batinnya dipenuhi harapan). Semoga semua selamat sejahtera, semoga semua makhluk berbahagia! Makhluk apapun tanpa terkecuali; yang kuat atau yang lemah;

panjang, tinggi, atau sedang; yang pendek, kecil atau besar.”12

Dari penggalan syair di atas dapat dipahami bahwa Metta memiliki cakupan yang luas, kepada makhluk apapun tanpa terkecuali. Sehingga penerapan Metta di kalangan Buddhis tak terbatas. Dengan ajaran kebajikan Metta, diharapkan manusia terbebas dari kesengsaraan di dunia yang kemudian membawanya ke alam kelahiran kembali atau tumimbal lahir.

11 Asadhananda, Metta, (Jakarta: Karaniya, 2020), h. 5.

12 Asadhananda, Metta, (Jakarta: Karaniya, 2020), h. 15.

45

Jika dikaitkan dengan permasalahan ekologi, Metta bisa dimaknai sebagai bentuk cinta kasih terhadap alam yang praktiknya bisa dengan perlakuan baik atau perawatan terhadap alam sekitar, termasuk dengan tidak menebang pohon sembarangan, serta tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara terus menerus sehingga dapat merugikan alam itu sendiri dan makhluk hidup lain yang menggantungkan kesehariannya pada ekosistem alam, misalnya manusia.

Tipitaka merupakan sekumpulan perkataan Buddha yang penuh dengan tafsir, ia tidak bisa dipahami secara tekstual melainkan harus kontekstual, sebagaimana halnya Al-Qur’an. Pada tiap-tiap bait syair dalam Tipitaka memiliki kisah-kisah terkait yang juga harus dipahami secara utuh dan mendalam, sehingga antara teks dan konteks dapat dimaknai selaras.

Sayangnya, Tipitaka beserta kisah-kisah pengantarnya belum semua terbit dalam Bahasa Indonesia. Sebagian besar masih dalam Bahasa Pali, sebagian kecil sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, namun sangat minim teks dalam Bahasa Indonesia. Hal tersebut terjadi lantaran kurangnya sumber daya penerjemah Bahasa Pali ke Bahasa Indonesia. Kurangnya penerjemahan ini juga mengakibatkan sulitnya bagi umat awam Buddhis untuk dapat memahami teks dan konteks dari kitab sucinya sendiri.

Dalam syair Dhammapada ke-222 seperti yang telah disebutkan pada bab pertama, sekilas syair ini membahas mengenai amarah, akan tetapi kisah yang terkandung di dalam syair adalah mengenai pelarangan menebang

pohon. Sebab pada saat itu diyakini setiap pohon di hutan menjadi tempat tinggal bagi para dewa dan keluarganya. Sehingga jika pohon dirusak atau ditebang, maka akan mengakibatkan hilangnya rumah dan kemarahan para dewa.

Pada syair ke-49 Dhammapada tertulis: “Seperti seekor lebah yang menghisap madu dari setangkai bunga, tanpa menimbulkan kerusakan pada bunga, warna, dan bau harumnya, lalu terbang meninggalkannya, demikianlah laku seorang pertapa/bhikkhu dalam pengembaraannya di desa- desa.” 13

Syair ini sering dikutip sebagai sebuah perumpamaan untuk upaya timbal balik (simbiosis mutualisme) hubungan antara manusia dengan alam, akan tetapi konteks kisah yang melatarbelakangi syair ini tidak berbicara mengenai hal itu. Syair ini mengisahkan tentang Kosiya, orang kaya yang sangat kikir.

Bahkan ia sangat perhitungan ketika berdana roti kepada bhikkhu, ia hanya ingin berdana sedikit adonan roti saja. Tetapi adonan roti itu ketika dipanggang terus mengembang menjadi besar dan akhirnya dapat menjadi santapan bagi sang Buddha dan lima ratus bhikkhu lainnya.14

Ayat di atas bermakna bahwa sebagai manusia, kita dilarang untuk tidak berlaku serakah, baik terhadap sesama manusia, tumbuhan, hewan, dan

13 LPPKBI, Tipitaka Kitab Suci Agama Buddha: Dhammapada, (Jakarta: LPPKBI, 2005), h.

22.

14 Tim Penerjemah Vidyasena, Dhammapada Atthakatha, (Yogyakarta: Vidyasena, 2021), h. 80-81.

47

lingkungan sekitar. Keserakahan merupakan tanda keangkuhan dan di dalam ajaran Buddha, sifat tersebut amat dijauhi dan tercela karena akan membawa para Bhikkhu pada kesengsaraan.

Dalam kitab suci Tipitaka terdapat larangan untuk merusak atau bahkan memotong/menebang pohon, hal itu diatur dalam 227 aturan untuk Bhikkhu, yakni dalam Sappanavagga atau aturan mengenai makhluk hidup dan makhluk tak hidup, tepatnya pada poin pertama yang berbunyi, “Jika seorang Bhikkhu membunuh dengan sengaja membunuh makhluk hidup apapun, maka ia melanggar Pacittya.15

Pacittya yang dimaksud dalam aturan ini adalah salah satu sanksi yang dikenakan oleh Sangha terhadap seorang Bhikkhu yang melanggar. Sanksi sendiri dalam Buddha terdapat beberapa tingkatan, mulai dari yang ringan, hingga sanksi berat. Sanksi ringan biasanya dilakukan dengan secara sadar mengakui dan memohon maaf terhadap kesalahannya kepada Vihara, Sangha, dan umat. Sedangkan sanksi berat biasanya diakukan dengan mengasingkan Bhikkhu yang melakukan pelanggaran, mendiamkannya, dan mengeluarkannya dari Sangha.16 Bhikkhu yang telah dikeluarkan dari Sangha tidak bisa menjadi Bhikkhu kembali meskipun telah berpindah ke Sangha lain.

Aturan tentang larangan membunuh makhluk hidup berlaku sangat luas, baik kepada sesama manusia maupun kepada makhluk hidup lainnya. Akan

15 Vajiranavarorasa, 227 Sila Kebhikkhuan, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1989), h. 20.

16 Wawancara dengan Bhantte Cittagutto Mahathera, Jakarta 18 Januari 2023.

tetapi berkaitan dengan alam, dalam aturan yang sama Buddha melarang para Bhikkhu untuk memetik bagian apapun dari pohon, bunyinya: “Jika seorang Bhikkhu memetik bagian manapun dari suatu tumbuh-tumbuhan hingga lepas dari tempat tumbuhnya, maka ia melakukan Pacittya,” 17

Dari aturan ini dapat dipahami bahwa seorang bhikkhu tidak boleh memetik, menebang, dan merusak tumbuhan. Sebab hal tersebut merupakan bagian dari pelanggaran terhadap aturan-aturan kebhikkhuan. Dalam sangha Theravada, seorang Bhikkhu tidak diperkenankan memetik bagian apapun dari pohon, untuk menghormati ajaran Siddharta Gautama, akan tetapi diperbolehkan mengkonsumsi apa yang disediakan oleh pohon tersebut dengan catatan merupakan pemberian dari umat.18

Selain mengenai aturan, ada juga tiga tipologi kebhikkhuan yang bisa dikategorikan sesuai dengan tempatnya bermukim, yakni Bhikkhu hutan, Bhikkhu goa, dan Bhikkhu kota. Sayangnya untuk di Indonesia, Bhikkhu hanya diperbolehkan bermukim di Vihara Wisma yang telah dibangun untuk tempat peribadatan resmi umat Buddha. Meski demikian, tradisi Bhikkhu hutan masih dilestarikan oleh umat Theravada di negara-negara lain seperti di Thailand. Misalnya tradisi Kammatthana, sebuah praktik meditasi di hutan

17 Vajiranavarorasa, 227 Sila Kebhikkhuan, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1989), h. 12.

18 Wawancara dengan Bhantte Cittagutto Mahathera, Jakarta 18 Januari 2023.

49

yang didirikan oleh Bhikkhu Phra Ajaan Sao Kantasilo dan Bhikhhu Phra Ajaan Mun Bhuridatto.19

Aturan mengenai pelestarian alam juga terdapat pada Gihi Patipatti, yakni kumpulan praktik-praktik bagi umat awam (Upasaka-Upasika). Dalam Catukka (kelompok empat) terdapat aturan mengenai empat macam Kammakilesa atau perbuatan-perbuatan buruk, di antaranya Panatipata atau menyebabkan kematian makhluk-makhluk hidup20.

Adapun makhluk hidup yang dimaksud dalam aturan ini tidak terbatas pada manusia atau hewan saja, melainkan juga terhadap lingkungan dan tumbuh-tumbuhan. Cara pembunuhan yang dimaksud bisa berupa segaja seperti melakukannya sendiri, melempar, menggunakan alat perantara, menggunakan ilmu sihir, menggunakan kekuatan batin, maupun dengan memerintah orang lain untuk melakukan pembunuhan.21

Dalam Samyutta Nikaya, Vanaropa (1.47) disebutkan bahwa mereka yang membangun kebun (aramaropa) atau hutan (vanaropa) adalah orang- orang yang jasanya selalu meningkat pada siang dan malam hari, “Siapakah yang jasanya selalu meningkat, pada siang dan malam hari? Siapakah orang- orang yang menuju ke surga, mantap dalam Dhamma, memiliki moralitas?

mereka yang membangun taman atau hutan, orang-orang yang membangun

19 Encyclopedia of Buddhism, “Thai Forest Tradition diakses dari https://encyclopediaofbuddhism.org/wiki/Thai_Forest_Tradition pada 31 Januari 2023.

20 Vajiranavarorasa, 227 Sila Kebhikkhuan, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1989), h. 32.

21 Bhikkhu Thanissaro, The Buddhist Monastic Code 1, terjemahan oleh Bhikkhu Uttamadhammo, (Batam: Pa Auk Tawya Vipassana Dhura Hermitage, 2013), h. 560.

jembatan; tempat minum dan sumur, mereka yang memberikan tempat tinggal. Pada mereka jasa selalu meningkat, Pada siang dan malam hari;

mereka adalah orang-orang yang menuju ke surga, mantap dalam Dhamma, memiliki moralitas.22

3. Paticcasamuppada

Secara harfiah, Paticcasamuppada berasal dari Bahasa Pali Paticca yang bermakna “disyaratkan” dan samuppada yang bermakna “muncul bersamaan.” Sehingga, patticasamuppada dapat dimaknai sebagai sesuatu kemunculan bersama karena syarat berantai atau yang kerap disebut sebagai hukum yang saling bersinggungan atau saling berkaitan.23

Konsep Paticcasamuppada diwujudkan ke dalam 4 rumusan, sebagaimana tertera dalam Khuddhaka Nikaya, Udana 40, “Dengan adanya ini, terjadilah itu. Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu. Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu.” 24

Hukum ini memang tidak berkaitan secara langsung dengan fenomena kerusakan alam, akan tetapi dapat digunakan sebagai salah satu analis perspektif religi dalam melihat suatu kasus lingkungan. Misanya, ketika terjadi kebakaran hutan, umat Buddha bisa menganalisis berdasarkan

22 Sariputta, Samyutta Nikaya, diakses dari https://www.sariputta.com/sutta- pitaka/233-vanaropa/indonesia pada 1 Februari 2023.

23 Ita Purnama, dkk “Degradasi Lingkungan dan Eco-Dhamma: Solusi Menurut Agama Buddha,” Jurnal Pencerahan, Vol 15, No 01, (2022), h. 32.

24 Sariputta, “Paticcasamuppada,” diakses dari https://www.sariputta.com/artikel/ajaran- dasar/konten/paticcasamuppada/1412 pada 23 July 2023.

Dokumen terkait