• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kristus

Dalam dokumen PDF Sekolah Tinggi Teologi SAAT (Halaman 89-98)

kesejahteraan manusia dari dosa.219 Lebih daripada itu, misi Mesias berkaitan erat dengan terwujudnya intensi awal penciptaan sebagaimana mestinya.

Adegan 1: Firman Menjadi Daging

Ekspresi misi Allah paling radikal terwujud melalui inkarnasi Kristus (Yoh.

1:14).220 Terlepas dari penolakan orang-orang pilihan-Nya, firman (Word of God) yang ada sebelum segala sesuatu itu telah memasuki dunia daging (world of flesh).221 Firman itu bahkan berdiam di antara ciptaan-Nya (Yoh. 1:14). Adapun motif

“berdiamnya Allah” dinyatakan malaikat Tuhan dalam mimpi Yusuf akan kelahiran Yesus Kristus. Demi berlangsungnya misi Allah, anak dara Maria (Yesus) akan lahir dan menyertai mereka⎯Imanuel (Mat. 1:20−23).

Naskah drama penebusan lantas menempatkan Yesus Kristus sebagai Mesias yang dijanjikan Allah. Mewakili Israel dan umat manusia, Kristus menjadi pilihan- Nya. Adapun tiga momen dramatis−dinamis yang mewarnai babak ketiga dapat dijelaskan sebagai berikut:

219Natur image of God tidak menjadikan manusia sebagai makhluk superior/penindas seluruh ciptaan Allah. Selayaknya debu tanah, pemilihan bebas Allahlah yang memungkinkan manusia berpartisipasi dalam merepresentasikan kemuliaan Allah di dunia. Demikianlah inkarnasi Kristus mengimplikasikan penebusan dan pemulihan atas seluruh ciptaan-Nya⎯bukan penebusan yang antroposentris. Lihat Joshua M. Moritz, “Deep Incarnation and the Imago Dei: The Cosmic Scope of the Incarnation in Light of the Messiah as the Renewed Adam,” Theology and Science 11, no. 4 (November 2013): 437–38, diakses 29 September 2021, http://doi.org/10.1080/14746700.2013.836893.

220Inkarnasi merupakan istilah yang menerangkan turun dan masuknya Allah (firman/logos) dalam kehidupan manusia yang terbatas (daging). Bagi Ordway, inkarnasi bukan saja ekspresi, melainkan jantung atau inti iman Kristen. Lebih detail lihat Holly Ordway, Apologetics and the Christian Imagination: An Integrated Approach to Defending the Faith, Living Faith (Steubenville:

Emmaus Road, 2017), 97–8.

221Niels Henrik Gregersen, “The Extended Body of Christ: Three Dimensions of Deep Incarnation,” dalam Incarnation: On the Scope and Depth of Christology, ed. Niels Henrik Gregersen (Minneapolis: Fortress, 2015), 229.

In his life, Jesus shows us what salvation looks like: the power of God to heal and make new is vividly present in all his words and action. In his death, Jesus accomplishes that salvation: at the cross he wages war against the powers of evil and defeats them.... In his resurrection, Jesus opens the door to the new creationand then holds that door open and invites us to join him.222 Misi Allah bahwasanya bukan tindak−tutur Allah untuk mencipta sesuatu yang sepenuhnya baru, melainkan pengerjaan ulang atau perbaikan atas ciptaan.223 Jadi, berbeda dari babak-babak sebelumnnya, babak penebusan menyoroti kemenangan Yesus yang mewujudkan dan menggerakkan ciptaan menuju telos penciptaan.

Implikasi eskatologis paling nyata dari inkarnasi ialah keberadaan tubuh fisik sebagai keadaan ciptaan yang disengaja.224 Seperti halnya Kristus menjadi daging, manusia merupakan embodied souls atau ensouled bodies yang berada dalam masa pemulihan.225 Artinya, tubuh fisik/materi/daging secara dramatis turut serta

mewujudkan drama penebusan Allah. Jadi, drama Allah tidak semata-mata dikisahkan (tutur), tetapi terwujud dalam kebiasaan tertentu (tindak) yang membentuk serta dibentuk dalam ibadah, pemerintah, dan moralitas.226 Melalui keterlibatan tubuh, babak akhir drama penebusan akan mencapai penyelesaiannya.

222Bartholomew dan Goheen, The Drama of Scripture, 129.

223Pernyataan di atas didasarkan pada pemikiran Middleton. Dalam bukunya, Middleton memaparkan hasil analisisnya untuk memberikan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai keselamatan. Ia memakai beberapa ayat, misalnya Ef. 1:9−10; Kis. 3:19−21; Rm. 8:19−23; dll.

Menurutnya, berdasarkan hasil analisis, penebusan Allah (keselamatan) menunjukkan adanya pola perbaikan dan penyempurnaan atas bumi daripada penciptaan yang sepenuhnya baru dan

nonmateri⎯surga. Penjelasan lebih lengkap lihat Middleton, A New Heaven, 163.

224Ordway, Apologetics, 99–100.

225Ibid., 99.

226Stanley Hauerwas, The Hauerwas Reader, ed. John Berkman dan Michael G. Cartwright (Durham: Duke University Press, 2001), 373.

Adegan 2: Penyaliban

Sentral motif inkarnasi Kristus ialah Injil Kerajaan Allah (Luk. 4:43).

Kerajaan Allah yang disampaikan oleh Kristus disebut sebagai Injil karena natur dari kerajaan ini adalah berita/kabar baik. Lebih lanjut, perihal Kerajaan Allah dikatakan baik karena didasarkan pada isi beritanya yang adalah penggenapan janji Allah.

Sebagaimana Allah Abraham, Ishak, dan Yakub itu setia, Ia akan memerintah atas seluruh ciptaan-Nya. Walau demikian, kegenapannya akan berdiri dengan cara dan tujuan yang baru⎯bertaut pada kehadiran Firman yang menjadi manusia.227

Berbeda dengan orang-orang pilihan sebelumnya, Kerajaan Allah datang dalam dan melalui Kristus.228 Ia bukan pewarta semata, melainkan keseluruhan tindak−tutur-Nya akan menyingkapkan Kerajaan Allah. Secara ringkas, Ladd menerangkan bahwa

[T]he kingdom of God is the redemptive reign of God dynamically active to establish his rule among human beings, and that this Kingdom, which will appear as an apocalyptic act at the end of the age, has already come into human history in the person and mission of Jesus to overcome evil, to deliver people from its power, and to bring them into the blessings of God’s reign.229 Namun, berdirinya Kerajaan Allah juga berarti pemuasan murka Allah atas dosa agar tatanan Eden dapat direstrukturisasi. Jadi, Kristus—dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan-Nya—akan menghadirkan Kerajaan Allah sesuai dengan janji-Nya mengenai pengudusan dan pemulihan seluruh ciptaan.

227Robert W. Yarbrough, “The Kingdom of God in the New Testament: Matthew and Revelation,” dalam The Kingdom of God, ed. Christopher W. Morgan dan Robert A. Peterson, Theology in Community (Wheaton: Crossway, 2012), 110−11.

228Bartholomew dan Goheen, The Drama of Scripture, 131.

229George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, ed. revisi (Grand Rapids: Eerdmans, 1993), 89–90. Penekanan oleh penulis.

Nyatanya, Injil Kerajaan Allah dinilai tidak cocok dengan ekspektasi umum orang Yahudi.230 Klaim Yesus atas kuasa mengampuni dosa, misalnya, dinilai sebagai bentuk penghujatan pada Allah (Mat. 9:1−8). Lebih jauh lagi, mereka bukan hanya menolak otoritas-Nya, mengingat penyaliban-Nya menandakan penolakan total publik atas seluruh keberadaan-Nya. Sebagaimana orang-orang tidak mau mendengar-Nya, Yesus menegaskan bahwa “mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung” (11:16b−17).

Skandal penyaliban membawa Kristus menempuh jalan penderitaan yang mulia. Bahwasanya penyaliban dinilai sebagai hukuman keji kepada seorang

kriminal.231 Hal ini biasanya diberlakukan pada kasus-kasus ekstrem sebagai bentuk penghukuman yang paling berat. Stott menegaskan bahwa penyaliban “mungkin merupakan metode eksekusi paling kejam yang pernah dipraktikkan, karena

penyaliban dengan sengaja menunda kematian sampai penyiksaan maksimum telah ditimpakan. Si korban dapat menderita selama berhari-hari sebelum meninggal.”232 Tidak hanya penyiksaan fisik, penyaliban menandai adanya penghinaan yang

disengaja melalui penelanjangan fisik dan dosa yang dipertontonkan di muka umum.

Hukuman salib inilah yang dikenakan kepada Yesus atas Injil Kerajaan Allah yang diberitakan-Nya. Bedanya, Yesus menerima penghakiman, penganiayaan, dan

230Ada beberapa peristiwa yang menunjukkan penolakan publik terhadap Injil Kerajaan Allah yang Yesus beritakan, yakni penolakan di Nazaret (Luk. 4:16−30), keheranan dan penolakan ahli-ahli Taurat serta orang Farisi mengenai tindak−tutur Yesus (5:21, 30, 33; 6:2, 7; 7:36−50; 10:25; 11:37−54;

14:1−6; 22:1−2), kebingungan, pengkhianatan, dan penyangkalan para murid (8:22−25; 9:37−48;

22:3−6, 54−62).

231Bartholomew dan Goheen, The Drama of Scripture, 161.

232Stott, Salib Kristus, 27.

penghinaan atas konsekuensi dosa yang tidak diperbuat-Nya.233 Akan tetapi,

penyaliban sekiranya tidak perlu mendidik imajinasi pada kedangkalan⎯rasa iba.234 Penyaliban nyatanya memang dapat memunculkan wajah negatif⎯kekerasan.235 Namun lebih daripada itu, penyaliban dalam ketakbersalahan-Nya menekankan bentuk yang tidak terduga dari kuasa dan kasih Allah.236 Sebagai kurban (sacrifice), Yesus merengkuh salib secara bebas untuk menunjukkan kasih-Nya kepada ciptaan.

Sampai di sini, pertanyaannya adalah “untuk apa salib dan mengapa?” Jika dosa ditempatkan sebagai pemberontakan manusia yang mengacaukan tatanan Allah, pemulihan seperti apa yang sedang dikerjakan melalui salib? Dalam bukunya, Stott menyatakan bahwa “‘hambatan’ primer [pemuasan dosa] ada di dalam diri Allah sendiri. Ia harus ‘memuaskan diri-Nya sendiri’ dalam jalan keselamatan yang dirancang-Nya, Ia tidak dapat menyelamatkan kita dengan mengontradiksi diri- Nya.”237 Sebagaimana dosa mendatangkan kejijikan dan murka, “pemuasan”

233Injil Sinoptik bahkan menunjukkan derita Yesus menjelang penyaliban-Nya. Di hadapan Imam Besar, Yesus menerima penyiksaan fisik⎯pukulan dan ludahan (Mat. 26:67−68). Di hadapan Pilatus, Yesus menerima hinaan melalui kata-kata, ludahan, penelanjangan, dan mahkota duri (27:27−31). Sampai pada penyaliban, Yesus diharuskan memikul salib menuju Golgota⎯tempat tengkorak (27:32−44). Dalam hal ini, Yesus dipertontonkan sebagai konsekuensi ketaksalahan-Nya.

234Pada bagian ini, Vanhoozer memberikan analisis yang menarik pada film The Passion of the Christ yang disutradarai oleh Mel Gibson. Menurut Vanhoozer, narasi, gambar, dan suara dalam film tersebut lebih dominan menyajikan kekerasan sehingga malah de-sentimentalizes penderitaan Kristus. Vanhoozer berkomentar bahwa ceritanya lebih dominan diambil dari hasil interpretasi Gibson daripada narasi penebusan Kristus itu sendiri. Akhirnya, penebusan Kristus membuahkan rasa kasihan alih-alih pengertian yang utuh mengenai salib. Lihat Vanhoozer, Pictures at a Theological, 163–64.

235Konteks penulisan buku ini ialah kritik yang dikenakan kepada Ioanes Rakhmat. Namun, penulis setidaknya memberikan beberapa pandangan klasik yang ringkas dan jelas terkait dengan pendamaian salib serta wajah negatif salib⎯kekerasan (divine child abuse) yang dilematis. Dalam bukunya, penulis pun memunculkan beberapa diskusi yang berusaha menunjukkan pendamaian salib dari perspektif non-kekerasan. Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Joas Adiprasetya, Berdamai dengan Salib: Membedah Ioanes Rakhmat dan Menyapa Umat (Jakarta: Grafika KreasIndo, 2010), 26–74.

236Vanhoozer, Pictures at a Theological, 165.

237Tentu perlu diperhatikan bahwa pemuasan itu tidak menunjukkan bahwa Allah kurang

menghasilkan pendamaian.238 Salib karenanya “memuaskan” murka Allah atas dosa manusia sehingga keselamatan dimungkinkan.

Lebih jauh, salib merupakan suatu keniscayaan karena manusia “selalu berada dalam situasi defisit dan terjerat dalam hutang yang beranak pinak.”239 Dengan perkataan lain, manusia hidup dalam belenggu dosa dan tidak mampu mengerjakan apa yang baik (Rm. 3:10). Anselmus menyatakan: “[I]f only God can make this satisfaction and only a man ought to make it: it is necessary that a God-man make it.”240 Tepat dikatakan bahwa salib adalah suatu keniscayaan karena manusia tidak berkapasitas untuk menuntaskan murka Allah. Namun jika hukuman dosa mutlak harus dibayar oleh manusia, pendamaian hanya dimungkinkan oleh Allah yang penuh kasih dan sukarela menghendaki diri-Nya menjadi daging demi membayar dosa.

Pencapaian salib, akibatnya, mengekspos kemuliaan Allah tatkala Kristus bertakhta atas seluruh ciptaan. Kristus yang tersalib telah menebus manusia dari belenggu dosa sehingga hak kepemilikan atas seluruh ciptaan beralih kepada-Nya.241 Calvin pun mengatakan bahwa “For there is no tribunal so magnificent, no throne so stately, no show of triumph so distinguished, no chariot so elevated, as is the gibbet

pemuasan tersebut telah ditemukan di dalam diri-Nya. Penjelasan lebih lanjut lihat Stott, Salib Kristus, 140−62. Penekanan oleh penulis.

238Dalam Perjanjian Lama, liturgi pendamaian dosa Israel menunjukkan adanya tuntutan untuk

“memuaskan” murka Allah melalui persembahan korban (Kel. 29:14; Im. 4:22; Bil. 15:22−31).

Korban-korban dipersembahkan sebagai ganti manusia yang harusnya mendapat hukuman atas dosa yang dilakukannya. Akhirnya, korban tersebut akan menghapus dosa sehingga ciptaan dapat diperdamaikan kembali dengan Allah.

239Adiprasetya, Berdamai dengan Salib, 33.

240Anselm, Complete Philosophical and Theological Treatises of Anselm of Canterbury, terj.

Jasper Hopkins dan Herbert Warren Richardson (Minneapolis: A. J. Banning, 2000), 354. Penekanan oleh penulis.

241Stott, Salib Kristus, 226–27.

on which Christ has subdued death and the devil, the prince of death….242 Kendati sebelumnya salib tampak seperti kekalahan, dalam Firman yang menjadi manusia, dosa ditundukkan dan kematian telah dikalahkan. Dengan demikian, dalam

penyaliban sebagai kejahatan terbesarlah bangkit Kerajaan Allah sebagai kebaikan terbesar.243

Terlebih pada waktu kebangkitan-Nya, salib Kristus mengekspresikan secara total kemuliaan, kuasa, dan tujuan Allah. Kematian-Nya merupakan tahap awal pemahkotaan, tetapi kebangkitan menyelesaikannya.244 Artinya, salib menjelang kematian-Nya memang memahkotai Yesus sebagai penjahat yang berdosa. Akan tetapi, kebangkitan-Nya telah memahkotai Yesus sebagai Raja yang benar dan

berkuasa atas seluruh ciptaan. Dalam hal ini, kebangkitan-Nya meresmikan berdirinya takhta Allah di dunia.

Adapun demikian, kebangkitan Yesus tidak meniadakan kematian fisik manusia pada saat itu juga. Penyataan “tidak lagi hidup dalam kuasa maut”

menunjukkan kuasa kebangkitan-Nya yang memampukan manusia "melampaui”

kematian fisiknya. Morris menegaskan bahwa “the moment we put our trust in Jesus we begin to experience that life of the age to come which cannot be touched by death.”245 Tepatnya, kematian fisik menjadi pintu masuk kepada kehidupan dan

242Calvin, John. Commentaries on the Epistles to the Philippians, Colossians, and Thessalonians, terj. John Pringle (Grand Rapids: Christian Classics Ethereal Library), diakses 30 September 2021, https://ccel.org/ccel/calvin/calcom42/calcom42.v.iii.iv.html.

243Dauphinais dan Levering, Holy People, Holy Land, 163.

244Ibid.

245Pernyataan tersebut didasari oleh penafsiran Morris terhadap Yohanes 11. Dalam peristiwa kebangkitan Lazarus, Yesus menyatakan bahwa Dialah kebangkitan dan hidup (11:25). Morris

berpendapat bahwa Dialah kebangkitan yang dimaksudkan oleh Yesus bukan seperti ekspektasi Yahudi saja⎯kebangkitan tubuh setelah kematian fisik (masa depan). Kebangkitan merujuk pada kehidupan

persekutuan dengan Allah (Yoh. 10:10).246 Telos penciptaan karenanya bukan keabadian, melainkan kediaman Allah bersama umat-Nya⎯Eden.

Implikasi pokok dari kebangkitan-Nya ialah iman pada Kristus sebagai satu- satunya jalan keselamatan. Hal ini pernah dinyatakan-Nya kepada Marta demikian,

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada sorang pun yang datang kepada Bapa, bahwa tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6). Secara spesifik, klaim Yesus atas identitas-Nya sebagai kebenaran menuntut adanya keputusan untuk memiliki relasi personal dengan-Nya. Oleh karena itu, kebangkitan bukan saja memulihkan relasi manusia yang terasing dari Allah. Sebaliknya, “Yesus mengundang kita untuk menemukan hidup yang berkualitas bersama-Nya, hidup yang tidak dapat ditemukan di tempat lain….”247

Dalam terang pemulihan ciptaan, babak penebusan memaknai salib sebagai kemenangan Allah yang dicapai oleh Firman yang menjadi manusia. Dengan

berdasarkan kasih dan kebenaran, penebusan-Nya menyebabkan Kerajaan Allah dapat berdiri sehingga ciptaan dilepaskan dari tawanan dosa dan kematian. Keseluruhan eksistensi-Nya juga tidak mengulang tragedi, tetapi secara progresif−dinamis menuju komedi. Walau patut diakui, karya salib belum menyatakan kesempurnaan atau pemulihan total seluruh ciptaan-Nya. Akan tetapi, penebusan Kristus memampukan

kekal yang dianugerahkan-Nya bagi orang-orang yang percaya kepada Kristus saat itu juga. Hal ini dipertegas oleh pertanyaan Yesus kepada Marta tentang iman percayanya (11:26). Lihat Leon Morris, The Gospel According to John, ed. revisi, New International Commentary on the New Testament (Grand Rapids: Eerdmans, 1995), 550.

246Ibid.

247Robert M. Bowman Jr. dan J. Ed Komoszewski, Menempatkan Yesus di Takhta-Nya:

Pembuktian Atas Keilahian Kristus, terj. Timotius Lo (Malang: Literatur SAAT, 2015), 249.

semua orang yang percaya kepada-Nya menerima anugerah hidup kekal dan panggilan pemberitaan Injil yang dimeteraikan oleh Roh Kudus. 248

Dalam dokumen PDF Sekolah Tinggi Teologi SAAT (Halaman 89-98)

Dokumen terkait