• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkungan dan Pembangunan Rendah Karbon

Dalam dokumen Visi Indonesia Emas 2045 pdf (Halaman 102-105)

Indonesia bersama dengan seluruh masyarakat dunia menghadapi tantangan global yang sangat serius yaitu adanya fenomena pemanasan global yang intensitasnya semakin tinggi, baik berupa kejadian cuaca dan iklim ekstrim maupun perubahan iklim dalam jangka panjang.

Perubahan iklim membawa dampak yang luas dalam banyak segi kehidupan manusia. Dampak perubahan iklim dipengaruhi oleh kerentanan suatu sistem (ekosistem, sosial ekonomi, dan kelembagaan).

Sebagai negara kepulauan yang beriklim tropis, Indonesia berada dalam posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Dari aspek lingkungan, permasalahan yang dapat ditimbulkan

diantaranya adalah terganggunya ekosistem pesisir yang berakibat pada hilang dan rusaknya keanekaragaman hayati dan tenggelamnya pulau-pulau kecil, baik yang berpenghuni maupun yang tidak berpenghuni (hutan dan satwa liar).

Dari aspek sosial dan ekonomi, kondisi ini dapat mempengaruhi pendapatan petani dan nelayan yang berada di wilayah tersebut.

Capaian pembangunan lingkungan hidup nasional secara umum masih cenderung stagnan. Meskipun dalam lima tahun terakhir nilai Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) sedikit mengalami peningkatan, namun kualitas air secara absolut semakin buruk, kualitas tutupan lahan dan hutan terus menurun, serta hanya kualitas udara yang menunjukkan sedikit perbaikan.

Indonesia berkomitmen untuk serius dan aktif dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca untuk mengurangi dampak dari pemanasan global yang semakin terasa. Terdapat lima sumber utama penghasil emisi yang diproyeksikan akan terus berkontribusi pada konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, yaitu (i) energi, (ii) lahan, (iii) IPPU, (iv) limbah, dan (v) kelautan/pesisir. Sumber penghasil emisi dari sektor yang berbasis lahan dan energi masih menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Penyebabnya adalah hutan sebagai penyerap gas karbon jumlahnya semakin berkurang karena deforestasi yang masih terus terjadi.

Grafik 4-7 Kecenderungan (Trend) IKLH tahun 2011-2017

Sektor energi juga masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia karena Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil sebagai sumber energi, terutama untuk sektor transportasi dan pembangkitan listrik.

Pada kondisi baseline, penghasil emisi terbesar di Indonesia adalah emisi yang berasal dari penggunaan energi. Kontribusinya mencapai 66 persen dari total keseluruhan emisi gas rumah kaca pada tahun 2045. Diperkirakan di tahun 2045, penggunaan energi akan menghasilkan emisi sebesar 3,3 miliar ton CO2e atau meningkat sekitar 9 kali dibandingkan jumlah emisi dari penggunaan energi di tahun 2000.

Selain energi, penghasil emisi dari sektor berbasis lahan juga memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap meningkatnya emisi gas rumah kaca, mencapai 832 juta ton CO2e di tahun 2045.

Penerapan kebijakan dalam Pembangunan Rendah Karbon menghasilkan penurunan intensitas emisi lebih kurang 33 persen hingga 46 persen pada tahun 2030 dan sekitar 44 persen hingga 51 persen di tahun 2045. Intensitas emisi menunjukkan jumlah emisi yang dihasilkan untuk menghasilkan suatu produk. Semakin rendah angka intensitas emisi berarti untuk menghasilkan suatu produk yang sama akan menghasilkan emisi yang relatif lebih kecil.

Baseline Total Emisi GRK (juta ton/tahun)

0 1250 2500 3750 5000

Perubahan iklim diprediksi menyebabkan temperature permukaan di wilayah Indonesia meingkat secara konsisten. Pada skenario RCP5.51, suhu di Indoensia tahun 2100 di proyeksi meningkat sekitar 1,5oC, sedangkan pada skenario terburuk (RCP 8,52), temperature maksimum diproyeksikan meningkat hingga mencapai sekitar 3,5o. Nilai Proyeksi ini sejalan dengan hasil proyeksi IPCC untuk kenaikan suhu global antara 1.5oC-4oC hingga tahun 2100.

Perubahan iklim juga menyebabkan perubahan curah hujan bulanan Indoensia. Dalam Skenario RCP4.5, penurunan curah hujan periode 2020- 2035 diproyeksikan mencapai 2mm/hari pada bulan Januari di pulau Sumatera, Jawa-Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua serta pada bulan Mei hingga Juli di pulau Jawa hingga Nusa Tenggara Timur. Sebaliknya, sebagian besar wilayah Indonesia juga akan mengalami peningkatan curah hujan yang berkisar antara 1-2.5 mm/hari pada bulan Agustus dan September.

Temperatur permukaan laut diproyeksikan naik 1oC dan 2oC dibandingkan dengan tahun 2000 dan 1961. Sementara itu, salinitas permukaan terus menurun dari 33.2psu pada tahun 2000 menjadi 32.1psu pada tahun 2040. Kondisi lautan yang semakin panas dan asam memicu timbulnya berbagai gangguan terhadap organisme laut, khususnya pemutihan terumbu karang.

Diperkirakan luas terumbu karang akan berkurang sebesar 70-90% hingga tahun 2030-2045 bila terdapat kenaikan 1.5 C (IPCC, 2018)

Selain meningkatkan peristiwa cuaca ekstrem, perubahan suhu permukaan laut juga

menyebabkan peningkatan tinggi gelombang laut, terutama pada Laut Banda, Laut Sulawesi, Selatan Jawa, Barat Sumatera dan bagian telatan, Kenaikan luasan wilayah yang memiliki tinggi gelombang rata-rata di atas 1 meter per tahun akan mengurangi daya jelajah atau wilayah tangkap ikan nelayan dan membahayakan keselamatan pelayaran dengan ukuran kapal di bawah 10 GT.

Peningkatan tinggi gelombang akan mendorong perubahan kemiringan lereng pantai dan lingkungan pantai akibat banjir dan perubahan suplai sedimen. Tinggi muka air laut pada ahun 2040 juga di proyeksikan akan mengalami kenaikan hingga 50cm dibandingkan tahun 2000.

Kondisi ini meningkatkan panjang pantai rentan terhadap dampak perubahan iklim menjadi 1,820 KM di tahun 2045.

Bahaya lain yang ditimbulkan oleh perubahan suhu dan curah hujan secara elstrem meliputi perubahan neraca air yang mempengaruhi anlisis dalam memproyeksikan bahaya banjir, ketersediaan air, dan kekeringan air; hingga meningkatkan perkembangbiakan vector penyakit DBD dan potensi heat-stress di wilayah perkotaan. Kondisi tersebut turut andil terhadap meningkatnya risiko kejadian bencana di Indonesia.

Penggunaan sumberdaya alam yang semakin meningkat. Semua indikator penggunaan sumberdaya alam meningkat secara absolut, walaupun intensitasnya dalam banyak kasus menurun (misalnya karena adanya efisiensi), diukur baik dalam pemanfaatan sumber daya per orang dan sumber daya secara ekonomi (per dollar). Penggunaan air meningkat baik secara absolut maupun intensitasnya.

Indonesia sebagai salah satu negara

megadiverse country (ke-3). Pada peta sebaran potensi keanekaragaman hayati (kehati) dunia, Indonesia digambarkan dengan dua (2) gradasi warna, mulai dari hijau pekat dan satu gradasi turunannya. Warna hijau gelap menggambarkan wilayah dengan nilai konservasi yang tinggi, yang berarti juga memiliki nilai kehati yang tinggi (Gambar 4-2).

Manfaat kehati, mulai dari tingkat ekosistem, spesies, genetik sampai dengan tingkat mikrobanya memiliki nilai ekonomi yang tidak sedikit. Belum lagi nilai lain yang terkandung didalamnya seperti nilai konsumsi, nilai produksi, nilai jasa lingkungan, nilai pilihan, dan nilai eksistensi.

Gambar 4-1 Peta Potensi Keanekaragaman Hayati Dunia Tahun 2008 Keanekaragaman hayati (kehati) memiliki banyak manfaat.

Dalam dokumen Visi Indonesia Emas 2045 pdf (Halaman 102-105)