• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MENGENAL TEORI LIVING QUR’AN, SURAH AL-WAQI’AH

A. Living Qur’an

1. Kajian Living Qur’an

Al-Qur’an adalah teks verbatim yang sudah ada sejak belasan abad lalu dan sudah mengalami kompeksitas interaksi antar umat.

Kajian Al-Qur’an tidak lagi berangkat dari eksistensi tekstualnya, melainkan pada fenomena social yang berkembang dalam merespon kehadiran Al-Qur’an dalam wilayah dan waktu tertentu.1 Living Qur’an penelitian yang objeknya yaitu respon masyarakat terhadap Al-Qur’an dalam memperlakukan dan berinteraksi dengan Al-Qur’an di tengah-tengah kehidupan masyarakat.2, Living Qur’an sudah ada sejak masa awal Islam, yaitu sejak masa Rasulullah Saw. Praktek pengamalan Al-Qur’an dengan membaca ayat-ayat atau surah-surah tertentu di dalam Al-Qur’an untuk dijadikan amalan hidup dan

1 Syahrul Rahman, “Living Qur’an: Studi Kasus Pembacaan Al-Ma’surat di Pesantren Khalid Bin Walid Pasir Pengairan Kab. Rokan Hulu,” Syahadah, 4, No. 2 (Oktober 2016), h.

60.

2 Dewi Murni, “Paradigma Umat Beragama Tentang Living Qur’an,” Syahadah, 4, No.

2 (Oktober 2016), h. 85.

30

keberkahan. Living Qur’an dilihat berdasarkan fenomena Al-Qur’an di dalam kehidupan masyarakat.

Living Qur’an dapat dikategorikan sebagai kajian atau penelitian ilmiah dalam berbagai fenomena social yang terkait dengan kehadiran Al-Qur’an di tengah komunitas muslim tertentu atau lain yang berinteraksi dengan Al-Qur’an. Fenomena Living Qur’an juga bisa dikatakan sebagai Qur’anisasi kehidupan, artinya yaitu memasukkan Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an tersebut dipahami kedalam semua aspek kehidupan manusia, atau menjadikan kehidupan manusia sebagai suatu arena untuk mewujudnya Al- Qur’an di bumi.3 Living Qur’an yang dimaksud adalah bagaimana Al-Qur’an disikapi dan direspon oleh masyarakat muslim di dalam realitas kehidupan menurut konteks budaya dan pergaulan social.

Dalam konteks kajian Living Qur’an, manusia memperlakukan dan mempelajari Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berisi petunjuk.4

Secara etimologis kata Living adalah terma yang berasal dari bahasa Inggris “Live” yang bermakna hidup, aktif dan yang hidup.

Kata kerja yang memiliki makna hidup mendapat imbuhan ing di ujungnya dalam gramatika bahasa Inggris disebut present participle atau sebagai gerund. Kata kerja “Live” yang berakhiran ing apabila dipoisikan sebagai bentuk present participal yang berfungsi sebagai ajektif. Akhiran ing yang berfumgsi sebagai ajektif dalam bentuk present participle terjadi pada terma “the living Qur’an” Al-Qur’an yang hidup, namun, apabila akhiran ing difngsikan sebagai gerund,

3 Ahmad Farhan, “Living Al-Qur’an Sebagai Metode Alternatif Dalam Studi Al- Qur’an,” El-Afkar 6, No. 2, (Juli-Desember 2017), h. 88.

4 Ahmad Farhan, “Living Al-Qur’an Sebagai Metode Alternatif Dalam Studi Al- Qur’an,” h. 89.

31

maka bentuknya berubah dari kata kerja menjadi kata benda dalam suatu kalimat, akan tetapi fungsinya masih tetap sebagai kata kerja, karena itulah agar terbebas dari problem waktu dan kata ganti, maka diubah menjadi Living Qur’an. Secara terminolog ilmu Living Qur’an didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang mengkaji tentang praktik Al-Qur’an. Ilmu yang mengkaji tentang Al-Qur’an sebuah realita, bukan dari idea yang muncul dari penafsiran teks Al-Qur’an.5

Living Qur’an mempunyai beberapa devinisi yang beragam dari para peneliti, Syamsudin mengatakan bahwa “Teks Al-Qur’an yang hidup dalam masyrakat itulah yang disebut The Living Qur’an, sementara pelembangan hasil penafsiran tertentu dalam masyarakat dapat disebut the living tafsir”, dalam pengertian ini respon masyarakat adalah bentuk resepsi terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran tertentu. Resepsi social terhadap Al-Qut’an seperti dalam kehidupan sehari-hari yaitu tradisi membaca surat atau ayat ertentu dalam acara dan seremoni social keagamaan tertentu. M. Mansur berpendapat “Pengertian The Living Qur’an sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in Everyday Life, yang tidak lain maknanya yaitu, makna dan fungsi Al-Qur’an yang rill dipahami dan dialami masyarakat muslim”. Maksudnya yaitu, praktik memfungsikan Al- Qur’an dalam kehidupan praksis, diluar kondisi tekstualnya.

Pemfungsian Al-Qur’an muncul dikarenakan praktek pemaknaan Al- Qur’an yang tidak mengacu pada pemahaman atau pesan tekstualnya, akan tetapi berdasarkan anggapan terdapat fadilat dari unit-unit tetentu teks Al-Qur’an, untuk kepentingan praksis kehidupan

5 Farah Lu’luil M dan Ahmad Zainuddin, “Tradisi Pembacaan Surat Al-Waqi’ah (Kajian Living Qur’an di Pondok Pesantren Al-Hidayah II, Pasuruan).” Muhadasah, h. 69.

32

keseharian umat.6 Muhammad Yusuf, mengatakan “Respons social (realitas) terhadap Al-Qur’an dapat dikatakan Living Qur’an, baik Al-Qur’an dilihat masyarakat sebagai ilmu (science) dalam wilayah profane (tidak keramat) di satu sisi dan sebagai buku petunjuk (hudā) dalam yang bernilai sakral (sacred) di sisi yang lain. Living Qur’an ialah studi mengenai Al-Qur’an tetapi tidak bertumpu pada eksistensi tekstualnya. Melainkan studi tentang fenomena social ang lahir dan terkait dengan kehadiran Al-Qur’an dalam wilayah geografi tertentu dan juga mungkin dalam masa tertentu.7

Menurut Bruce Lawrence, Living Qur’an hakekatnya telah dipraktikkan sejak masa nabi Muhammad Saw seperti adanya pembacaan surat-surat pilihan dalam Al-Qur’an, prakik ini kemudian mengalami transmisi dan transformasi yang dipengaruhi oleh kondisi serta situasi komunitas baru dari masa kemasa di mana Al-Qur’an hadir.8 Kajian Living Qur’an bermanfaat untuk mengungkap dan mengupas makna, juga nilai-nilai esenssial dari sebuah fenomena, terutama dalam hal tradisi pembacaan surah Al-Waqi’ah dalam instansi perusahaan. Kajian Living Qur’an yang berangkat dari fenomena Al-Qur’an dalam kehidupuan sehari-hari, memiliki makna dan fungsi Al-Qur’an yang dihubungkan dengan tatanan realita. Al- Qur’an difungsikan pada kehidupan praktis di luar tekstualnya.

Terdapat dua fungsi dalam mengkaji Al-Qu’an, yaitu fungsi informative dan fungsi performatif. Fungsi informative menjadikan

6 Heddy Shri Ahimsa dan Putra, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi.” Walisongo 20, No. 1, (Mei 2012): h. 238.

7 Heddy Shri Ahimsa dan Putra, “The Living Al-Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi.” h. 239.

8 Saepul Rahman dan Wely Dozan, “The Living Qur’an: Tradisi Free Lunch Setelah Shalat Jumat Di Mesjid Jogokariyah Yogyakarta,” Revelatia 2, No. 2, (November 2021), h.

197-198.

33

Al-Qur’an sebagai basis informasi berupa pengetahuan yang terdapat dalam sebuah problema suatu agama. Al-Qur’an yang dikenal sebagai kitab suci yang shalih li kulli zaman wa makan, telah memberi sumber informasi yang dapat menuntun para pengkajinya ke jalan yang benar. Fungsi informative merupakan kitab suci sebagai materi yang dibaca, dipahami dan diamalkan. Fungsi performatif adalah bagaimana masyarakat memperlakukan kitab sucinya atau mengungkap sisi lain di luar teks Al-Qur’an.9

Secara garis besar Living Qur’an adalah respon masyarakat terhadap Al-Qur’an dan penerapannya di kehidupan sehari-hari pada individu atau di dalam suatu kelompok atau juga lingkungan masyarakat. Dengan mengamalkan ayat atau surah tertentu di dalam Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari yang diharapkan mendapatkan keutamaan dari ayat atau surah tertentu yang diamalkan secara rutin. Living Qur’an merupakan praktek rutinitas ajaran Al- Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, dengan berbagai fenomena yang lahir terkait pada keberadaan Al-Qur’an dalam sebuah kelompok tertentu. Dengan adanya kajian Living Qur’an yang melihat proses interaksi terhadap Al-Qur’an, bertujuan untuk mengungkap atau menemukan makna dan nilai yang terdapat pada sebuah fenomena.