• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II JUAL BELI DAN SENI

B. Macam-Macam Jual Beli

Salam atau salaf adalah penjualan sesuatu yang akan datang dengan imbalan sesuatu yang sekarang, atau menjual sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan. Maksudnya, modal diberikan di awal dan

42Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 118.

43Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 76.

21

menunda barang hingga tenggat waktu tertentu. Atau dengan kata lain, menyerahkan barang tukaran saat ini dengan imbalan barang yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan hingga jarak waktu tertentu.44 Jadi, salam adalah jual beli atas barang yang baru dijelaskan sifatnya di awal, pembayarannya dilakukan di awal, sedangkan barangnya masih dalam tanggungan waktu tertentu.

Adapun dalil Al-Qur’an yang mensyariatkan akad salam terdapat dalam Surah al-Baqarah ayat 282:





















Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.45

Para ulama sepakat bahwa akad salam dianggap sah jika terpenuhi enam syarat, yaitu jenis barang diketahui, ciri-ciri yang diketahui, ukuran yang diketahui, modal yang diketahui, menyebutkan tempat penyerahan barang jika penyerahan itu membutuhkan tenaga, dan biaya.46 Secara garis besar, akad salam memiliki syarat yang sama seperti jual beli pada umumnya, tetapi lebih memiliki titik tekan pada objek yang diperjualbelikan. Sebab di dalam salam barang masih dalam tanggungan waktu tertentu sehingga harus dijelaskan spesifikasinya (jenis barang, ukuran, kualitas, dan kuantitas) di awal beserta dengan pembayaran di awal.

44Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid 5, h. 240.

45Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), h. 59.

46Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam., h. 241.

2. Istishna’

Istishna’ secara etimologis adalah mashdar dari sitashna ‘asy-sya’i, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada seorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istishna’ secara terminologis adalah transaksi terhadap barang dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu.47

Jual beli istishna’ juga diartikan sebagai akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu di mana materi dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin. Jika materinya berasal dari pihak pemesan berlaku sebagai akad ijarah.48

Jual beli istishna’ ini bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan kabul dari si penerima pesanan. Dalam hal ini, pemesan adalah sebagai pembeli dan penerima pesanan sebagai penjual. Pada dasarnya akad istishna’ sama halnya dengan salam, dimana barang yang menjadi objek akad atau transaksi belum ada. Hanya saja, dalam akad istishna’ tidak disyaratkan memberikan modal atau uang muka kepada penerima pesanan atau penjual. Selain itu, dalam istishna’ tidak ditentukan masa penyerahan barang.49

47Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), h. 124.

48Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 144.

49Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo, 2014), h.

79.

23

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa istishna’ adalah jual beli dengan cara pemesanan dari pihak pembeli kepada pihak penjual yang objeknya merupakan suatu barang tertentu yang dipesan berdasarkan spesifikasi tertentu. Artinya, barang yang menjadi objek jual beli masih dalam tanggungan. Akad istishna’ menyerupai akad salam dimana keduanya tergolong ke dalam jual beli barang yang belum berwujud. Hanya saja perbedaannya jual beli salam mensyaratkan pembayaran di awal saat kontrak sedangkan jual beli istishna’ tidak demikian.

Jual beli istishna’ berdasarkan dalil as-Sunnah, yaitu:

َّنِإ ُهَل َليِ َف ِمَجَعْلا َلَِإ َبُ ْكَي ْنَأ َ اَرَأ َن اَك َِّبَِن َّنأ هنع يض ر ٍسَنَأ ْنَع ِ اَخ ِهْيَلَع ً اَ ِك َّ ِإ َنوُلَ بْ َ ي َ َمَجَعْلا ْنِ اًَتَ اَخ َعَنَطْص اَف .

ٍ َّ ِف َل اَق . ِ نَّأَك :

ُرً ْنَأ ِهِدَي ِفِ ِهِض اَيَ ب َلَ ِإ (

ملس هاور )

Artinya: Dari Anas bahwa ketika Nabiyullah SAW hendak mengirim surat kepada bangsa non-Arab, beliau diberi tahu bahwa mereka tidak mau menerima surat kecuali jika dibubuhi stempel. Sebab itulah, Rasulullah SAW pun memesan sebuah cincin dari perak. Anas berkata, ‘Aku seakan- akan melihat (kemilau) putih cincin itu tangan beliau”.50

Dalam menentukan hukum akad istishna’ ulama fiqh berbeda pendapat. Di kalangan Ulama Hanafi terdapat dua pendapat. Sebagian berpendapat bahwa, jika akad ini didasarkan pada dalil qiyas (analogi) kepada jual beli, maka akad istishna’ dianggap tidak sah, sebab objek jual belinya belum ada. Hal ini masuk dalam kategori jual beli ma’dum (jual beli yang objeknya belum ada) yang dilarang oleh Rasulullah. Namun sebagian ulama Hanafi melihat bahwa istishna’ didasarkan pada dalil istihsan

50Muslim bin al-Hajjaj al-Qursyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4; Shahih Muslim 2, diterjemahkan oleh Masyhari dan Tatam Wijaya, dari judul asli Shahih Muslim, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 334.

(berpaling dari kehendak qiyas, karena ada kemaslahatan yang kuat yang menjadi alasan pemalingan ini). Maka untuk kemaslahatan orang banyak akad ini dibolehkan. Hal yang sama juga terjadi di kalangan Ulama Syafi’iyah.51

Sedangkan ahli fiqh kontemporer berpendapat bahwa bai’ al- istishna’ hukumnya sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah. Mereka berpendapat bahwa akad istishna’ termasuk jual beli biasa, dimana penjual memiliki kemampuan menyediakan barang saat penyerahan.52

Melihat pendapat para ulama di atas, dapat dipahami bahwa istishna’

merupakan akad jual beli yang dibolehkan berdasarkan ijma’. Hal ini dikarenakan jual beli istishna’ dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan sudah menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat, sehingga jual beli istishna’ ini dapat memberikan kemaslahatan. Banyak orang seringkali memerlukan barang tetapi tidak tersedia di pasar sehingga mereka memerlukan orang lain yang dapat membuatkan barang sesuai selera mereka.

Rukun jual beli istishna’ adalah pemesan (mustasni’), penjual atau pembuat barang (sani’), barang atau objek akad (masnu’), dan sighat (ijab dan kabul). Ketentuan atau syarat-syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad (mustasni’ dan sani’) sama dengan ketentuan yang berlaku dalam jual beli. Berkaitan dengan syarat istishna’ kalangan Hanafiyah mensyaratkan tiga hal agar istishna’ sah, yaitu:

51Yazid Afandi, Fiqh Muamalah., h. 170.

52Ibid., h. 171.

25

a) Barang yang menjadi objek istishna’ harus jelas, baik jenis, macam, kadar, dan sifatnya. Apabila salah satu unsur ini tidak jelas, maka akad istishna’ rusak. Kerena barang tersebut pada dasarnya adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan suatu barang, harus dijelaskan spesifikasinya: bahan, jenis, model, ukuran, bentuk, sifat, kualitasnya, serta hal-hal yang terkait dengan barang tersebut.

Jangan sampai ada hal yang tidak jelas, karena hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak yang bertransaksi.

b) Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum digunakan, seperti pakaian, parabotan rumah, furnitur, dan sebagainya.

c) Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan, maka dikategorikan sebagai akad salam.53

Demikian tidak sah melakukan jual beli istishna’ jika spesifikasi barang tidak disebutkan dengan jelas. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi pihak penjual atau penerima pesanan dalam membuatkan barang pesanan pembeli sehingga dapat berujung pada perselisihan.

3. Sharf (Jual Beli Uang)

Secara bahasa sharf berarti tambahan. Secara istilah, sharf adalah bentuk jual beli naqdain baik sejenis maupun tidak, yaitu jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, atau emas dengan perak, baik berbentuk perhiasan maupun mata uang.54

Transaksi sharf ini dibolehkan, karena Nabi SAW membolehkan jual beli komoditas ribawi satu sama lainnya ketika jenisnya sama dan ada kesamaan ukuran, atau jenisnya berbeda walaupun ada ketidaksamaan ukuran dengan syarat diserahterimakan dari tangan ke tangan.

53Ibid., h. 81.

54Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam., h. 279.

4. Jizaf (Jual Beli dengan Taksiran)

Maksud kata jizaf adalah transaksi atas sesuatu tanpa ditakar, ditimbang, atau dihitung secara satuan, tetapi hanya dikira-kira dan ditaksir setelah menyaksikan atau melihat barangnya. Syaukani mengartikan jenis transaksi ini dengan pembelian apa saja yang tidak diketahui kadarnya secara rinci.55

Dokumen terkait