• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI LUKISAN DIGITAL GAMBAR MANUSIA

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI LUKISAN DIGITAL GAMBAR MANUSIA "

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI LUKISAN DIGITAL GAMBAR MANUSIA

Oleh:

YULITA AULIA NPM. 13113149

Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah Fakultas : Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

1439 H/2018 M

▸ Baca selengkapnya: gambar lukisan potret patung ukiran

(2)

ii

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI LUKISAN DIGITAL GAMBAR MANUSIA

Diajukan untuk memenuhi Tugas dan Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Ekonomi Syariah (SH)

Oleh:

Yulita Aulia NPM. 13113149

Pembimbing I : Prof. Dr. Enizar, M.Ag.

Pembimbing II : Husnul Fatarib, Ph.D.

Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah Fakultas : Syariah

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

1439 H / 2018 M

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

(6)

vi ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI LUKISAN DIGITAL GAMBAR MANUSIA

OLEH YULITA AULIA

Bergesernya era tradisional menjadi era yang lebih modern mengakibatkan perubahan terasa pada setiap lini kehidupan termasuk dalam transaksi jual beli.

Kecanggihan teknologi yang terus berkembang setiap saat mengakibatkan transaksi jual beli yang terjadi semakin beragam baik dari segi caranya maupun objeknya, misalnya jual beli suatu karya seni. Salah satu transaksi jual beli karya seni yang banyak diminati oleh masyarakat saat ini adalah jual beli lukisan digital gambar manusia. Banyak hadis Rasulullah SAW yang mengisyaratkan pelarangan terhadap lukisan makhluk bernyawa, termasuk dalam hal ini adalah manusia. Melihat pada masa sekarang, lukisan gambar manusia banyak dibuat dan diperjualbelikan dalam bentuk lukisan digital dengan menggunakan teknologi komputer. Berdasarkan paparan tersebut, perlu diteliti tentang jual beli lukisan digital gambar manusia menurut Hukum Islam.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia. Adapun manfaat diadakannya penelitian ini adalah sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan dalam bermuamalah khususnya dalam aspek tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia serta memberikan pemahaman akan pengaruh dari objek akad yang digunakan dalam suatu transaksi khususnya dalam bermuamalah dapat menentukan status hukum transaksi tersebut. Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif. Data diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dokumentasi kemudian semua data-data tersebut dianalisis secara kualitatif dengan alur berpikir deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa lukisan digital gambar manusia adalah halal dan transaksi jual beli lukisan digital ini diperbolehkan menurut Hukum Islam. Hal ini dikarenakan lukisan digital gambar manusia tidaklah sama artinya dengan melukis atau menggambar makhluk bernyawa sebagaimana dilarang di dalam hadist-hadist Rasulullah SAW melainkan hanyalah modifikasi dari sebuah foto dan bukan menciptakan gambar tiruan dari makhluk ciptaan Allah. Selain itu, lukisan ini merupakan lukisan setengah badan (bukan lukisan fisik secara utuh) dan tidak untuk tujuan disembah, diangung-agungkan, atau disakralkan, yang mana dalam hal ini sesuai dengan penjelasan para ulama diperbolehkan. Akan tetapi, apabila lukisan digital yang dibuat dan diperjualbelikan tidak sesuai dengan adab Islam, seperti mengandung unsur pornografi dan penyimpangan seksual, serta membuat manusia keluar dari ajaran tauhid, maka hukumnya adalah haram.

(7)

vii

(8)

viii MOTTO

َرَوُّصلا َن وُعَ نْصَي َنيِذَّلا َل اَق مَّلَسَو ِهْيَلَع َُلَل ىَّلَص َِلَلا َل وُسَر َّنَأ ُه َرَ بْخَأ َرَمُع َنْب َّنَأ ْمُ ْ َلَخ اَ ا وُيْ َأ ْمَُ ُل اَ ُ ي ِ َ اَيِ ْلا َ وَي َن وُب َّذَعُ ي

Artinya: Dari Ibnu Umar yang mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pelukis gambar-gambar ini akan disiksa kelak pada Hari Kiamat seraya dikatakan kepada mereka, Hidupkanlah gambar-gambar yang kalian lukis itu!”2

1Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Dar al-Fikr, 1981), Juz 14, h. 91-92.

2Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim 2, diterjemahkan oleh Masyhari dan Tatam Wijaya, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 343.

(9)

ix PERSEMBAHAN

Dengan rendah hati dan rasa syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan hidayah-Nya, akan saya persembahkan keberhasilan studi ini kepada:

1. Orangtua saya yang tercinta Ibunda Rahpon Utami dan Ayahanda Irsal yang telah senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, perhatian, kesabaran, serta tak pernah lelah mendo’akan untuk keberhasilan anaknya sejak kecil hingga sekarang, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Adik saya tercinta Annisa Arifiana yang selalu memberikan dukungan, motivasi, keceriaan, dan do’a hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Semua dosen Fakultas Syariah yang telah membimbing dan membagi ilmunya untuk saya. Khususnya Ibu Prof. Dr. Hj. Enizar, M.Ag. selaku pembimbing I dan Bapak Husnul Fatarib, Ph.D selaku pembimbing II yang selalu sabar dan ikhlas dalam memberikan bimbingan, arahan, serta semangat di tengah-tengah kesibukannya hingga skripsi ini selesai.

4. Sahabat seperjuangan di IAIN Metro. Terimakasih untuk semua kebersamaan kita selama ini, saling memotivasi, membantu, dan mendoa’akan.

5. Almamater tercinta Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro.

(10)

x

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

NOTA DINAS ... v

ABSTRAK ... vi

HALAMAN ORISINALITAS PENELITIAN ... vii

HALAMAN MOTTO ... viii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

HALAMAN KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Penelitian Relevan ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 10

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 10

2. Sumber Data ... 11

3. Teknik Pengumpulan Data ... 13

4. Teknik Analisis Data ... 13

BAB II JUAL BELI DAN SENI ... 15

A. Konsep Jual Beli di Dalam Islam ... 15

B. Macam-Macam Jual Beli ... 20

C. Batasan-Batasan Jual Beli di Dalam Islam ... 26

D. Islam dan Seni ... 28

1. Pengertian Seni dan Kesenian di Dalam Islam ... 28

2. Etika Berkesenian di Dalam Islam ... 30

(12)

xii

E. Seni Lukis ... 31

1. Lukisan Digital ... 33

2. Media dalam Melukis ... 35

3. Jenis-Jenis Aliran Lukisan dan Karakternya ... 36

BAB III JUAL BELI LUKISAN DIGITAL ... 39

A. Proses Membuat Lukisan Digital ... 39

B. Jenis-Jenis Lukisan Digital ... 48

C. Proses Transaksi Jual Beli Lukisan Digital ... 51

D. Lukisan Digital Gambar Manusia sebagai Objek Jual beli .... 56

E. Tinjauan Hukum Islam terhadap Transaksi Lukisan Digital Gambar Manusia ... 66

BAB IV PENUTUP ... 75

A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

1. Contoh-Contoh Lukisan Digital Gambar Manusia ... 4 2. Langkah-Langkah Membuat Lukisan Digital Menggunakan Corel Draw .. 41 3. Langkah-Langkah Membuat Lukisan Digital Menggunakan Photoshop .... 45 4. Jenis-Jenis Lukisan Digital ... 49

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

1. Outline

2. Surat Bebas Pustaka 3. SK Pembimbing

4. Kartu Konsultasi Bimbingan Skripsi 5. Catatan Sekretaris Munaqosyah 6. Daftar Riwayat Hidup

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam merupakan sekumpulan peraturan keagamaan yang mengatur perilaku kehidupan kaum muslimin dalam segala aspek. Hukum yang dibawanya mencakup segala persoalan yang berlaku untuk semua individu muslim yang mukallaf dalam kehidupan masyarakat. Hal ini penting, karena manusia sebagai makhluk sosial yang tidak terlepas dari hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia.3 Hubungan dengan sesama manusia inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan fiqh muamalah.

Fiqh muamalah adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang terperinci yang mengatur keperdataan seseorang dengan orang lain dalam hal persoalan ekonomi.4 Objek muamalah dalam Islam mempunyai bidang yang amat luas. Islam pada dasarnya memberikan peluang bagi manusia untuk melakukan inovasi terhadap berbagai bentuk muamalah yang dibutuhkan manusia, dengan syarat bahwa bentuk muamalah hasil inovasi ini tidak keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditentukan oleh Islam. Salah satu kajian muamalah yang tata cara pelaksanaannya diatur dalam Islam adalah masalah jual beli.

3Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 2.

4Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), h. 2.

(16)

Jual beli dalam istilah fiqh disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.5 Sementara Imam Hanafi menyatakan bahwa jual beli adalah tukar-menukar harta atau barang yang dengan cara tertentu atau tukar-menukar sesuatu yang disenangi dengan barang yang setara nilai dan manfaatnya dan membawa manfaat bagi masing- masing pihak.6

Hukum jual beli di dalam Islam adalah boleh, hal ini sesuai dengan Firman Allah SWT:





























































































Artinya: “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulagi, maka mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. al-Baqarah (2): 275).7

5Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 111.

6Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo, 2014), h. 19.

7Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2006), h. 58.

(17)

3

Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, yang mengetahui hakikat dan akibat dari segala sesuatu yang berguna sehingga dibolehkan dan yang berbahaya diharamkan-Nya. Sebab, Allah itu sayang kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya yang masih bayi.8

Bergesernya era tradisional menjadi era yang lebih modern mengakibatkan perubahan terasa pada setiap lini kehidupan termasuk dalam transaksi jual beli. Kecanggihan teknologi yang terus berkembang setiap saat mengakibatkan transaksi jual beli yang terjadi semakin beragam baik dari segi caranya maupun objeknya, misalnya jual beli suatu karya seni.

Perkembangan seni rupa Indonesia kini melaju bersama perkembangan seni rupa lain yang dihasilkan berbagai masyarakat di dunia. Perkembangan ini disebut seni rupa kontemporer yang dianggap sebagai cermin perkembangan dan perubahan masyarakat kontemporer yang bersifat global.9

Salah satu transaksi jual beli karya seni yang banyak diminati oleh masyarakat saat ini adalah jual beli lukisan digital. Lukisan digital adalah bentuk seni yang muncul di mana teknik melukis tradisional seperti cat air, minyak, impasto, dan lain-lain akan diterapkan dengan menggunakan perangkat digital melalui sebuah komputer, sebuah tablet digitalisasi dan stylus, dan perangkat lunak.10

8Ibnu Katsier, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu), h. 539.

9Budi Adi Nugroho dan Willy Himawan, “Visual Tradisi dalam Karya Seni Lukis Kontemporer Sebagai Wujud Artistik Pengaruh Sosial Budaya” dalam Journal of Urban Society’s Arts, (Bandung: Institut Teknologi Bandung), Vol. 1, No. 4/Oktober 2014, h. 100.

10www.handoko.us diunduh pada 9 Juli 2017

(18)

Jual beli lukisan digital ini sangat digemari pada masa sekarang oleh banyak orang, khususnya masyarakat muda. Salah seorang penjual mengaku bahwa dirinya sudah hobi menggambar/melukis sejak lama dan mengubah hobinya itu menjadi sebuah mata pencaharian setelah mengamati banyaknya transaksi jual beli lukisan digital. Pembuatan lukisan ini tidaklah sulit asalkan pelukis menguasai aplikasi yang biasa digunakan untuk membuat gambar/lukisan. Program aplikasi yang paling sering digunakan oleh penjual adalah Adobe Photoshop.11

Lukisan digital biasanya dijual melalui cara pemesanan terhadap objek gambar diri manusia oleh pembeli kepada penjual dan diserahkan ketika barang yang dipesan telah jadi dibuat. Tujuan setiap orang memesan untuk dibuatkan lukisan berbeda-beda, seperti untuk kado wisuda, kado ulang tahun, kado hari jadi, maupun untuk dimiliki sendiri dan dipajang di rumah. Lukisan jenis digital ini tumbuh subur dikarenakan karya seni yang indah dihasilkan dari kecanggihan teknologi dan harga yang terjangkau.12

11Wawancara dengan Linang Kharisma selaku penjual lukisan digital di Kota Metro pada tanggal 19 Juli 2017.

12Wawancara dengan Nur Helma selaku pembeli lukisan digital di Kota Metro pada tanggal 19 Juli 2017.

Gambar 1.1 Contoh-contoh lukisan digital gambar manusia

(19)

5

Proses pembuatan lukisan digital beraneka ragam sesuai dengan digital painting software yang digunakan seperti Corel Painter, Adobe Photoshop, ArtRage, GIMP, dan openCanvas yang akan memberikan seniman lingkungan yang mirip dengan pelukis fisik: sebuah kanvas, alat lukis, pencampuran palet, dan banyak pilihan warna.13

Permasalahan lukisan ini telah banyak disinggung di dalam hadis-hadis Rasulullah salah satunya di dalam hadis berikut:

َيَْيَ اَنَ ث َّدَ َّنََّ ثُمْلا ُنْبا اَنَ ث َّدَ َو ح ٍرِهْسُ ُنْب ِ يِلَع اَنَ ث َّدَ َ َبْ يَش ِبَِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ ُن اَّطَ ْلا َوُهَو ((

ٍْيَُْنُ ُنْبا اَنَ ث َّدَ َو ح َِلَل ا ِدْيَ بُع ْنَع اًعْ يَِجَ )) ُهَل ُ ْ َّللاَو ((

َّدَ ))

َّدَ ِبَِأ اَنَ ث َُلَل ىَّلَص َِلَلا َل وُسَر َّنَأ ُه َرَ بْخَأ َرَمُع َنْب َّنَأ ٍعِف َنَ ْنَع َِلَلا ُدْيَ بُع اَنَ ث

اَ ا وُيْ َأ ْمَُ ُل اَ ُ ي ِ َ اَيِ ْلا َ وَي َن وُب َّذَعُ ي َرَوُّصلا َن وُعَ نْصَي َنيِذَّلا َل اَق مَّلَسَو ِهْيَلَع ْمُ ْ َلَخ

14

Artinya: Abu Bakar bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami dari Ali bin Mushir; dalam sanad lain, Ibnu al-Mutsanna menyampaikan kepada kami dari Yahya al-Qathan. Semuanya dari Ubaidullah; dalam sanad lain, Ibnu Numair menyampaikan kepada kami – lafaz miliknya – dari ayahnya, dari Ubaidullah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar yang mengabarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pelukis gambar-gambar ini akan disiksa kelak pada Hari Kiamat seraya dikatakan kepada mereka, Hidupkanlah gambar- gambar yang kalian lukis itu!”15

Para sahabat kami dan ulama lainnya mengatakan, bahwa menggambar makhluk bernyawa adalah sangat diharamkan, dan ini termasuk perbuatan dosa besar, karena pelakunya diancam dengan ancaman keras yang disebutkan di dalam hadits, baik ia membuatnya dengan sesuatu yang dihinakan ataupun lainnya, jadi membuatnya dengan apapun adalah haram, karena perbuatan ini berarti menyerupai ciptaan Allah Ta’ala, baik gambar itu dibuat pada pakaian, hamparan, dinar, dirham (uang logam), uang kertas, bejana (wadah), dinding

13www.handoko.us diunduh pada 15 Agustus 2017.

14Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Dar al-Fikr, 1981), Juz 14, h. 91-92.

15Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim 2, diterjemahkan oleh Masyhari dan Tatam Wijaya, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 343.

(20)

ataupun lainnya. Adapun membuat gambar pepohonan, pelana unta dan sebagainya yang bukan makhluk hidup (bernyawa) maka tidak haram.

Demikian hukum membuat gambar.16

Hadis Rasulullah SAW di atas merupakan salah satu hadis dari banyaknya hadis yang mengisyaratkan pelarangan terhadap lukisan makhluk bernyawa, termasuk dalam hal ini adalah manusia. Jika melukis manusia secara umum saja sudah dilarang, belum lagi apabila yang dilukis adalah untuk sarana penyembahan, seperti gambar Isa al-Masih bagi orang-orang Kristen atau sapi bagi orang-orang Hindu. Di dalam beberapa kasus, terdapat juga lukisan-lukisan wanita yang tampil sensual, telanjang, dan mengumbar aurat. Termasuk juga gambar orang berzina dan melakukan penyimpangan seksual, seperti lesbian dan gay, baik dilukis dalam bentuk tradisional maupun digital.

Melihat pada masa sekarang, lukisan gambar manusia banyak dibuat dan diperjualbelikan dalam bentuk lukisan digital dengan menggunakan teknologi komputer. Berdasarkan paparan tersebut, perlu diteliti tentang jual beli lukisan digital gambar manusia menurut Hukum Islam.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka timbul pertanyaan penelitian bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia?

16Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim (14), diterjemahkan oleh Amir Hamzah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), h. 179.

(21)

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1) Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dalam bermuamalah khususnya dalam aspek tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia.

2) Sebagai bahan acuan dan referensi pada penelitian sejenis yang dilakukan dimasa yang akan datang.

b. Manfaat Praktis

1) Memberikan pemahaman kepada masyarakat umum mengenai tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia agar terhindar dari kesalahpahaman.

2) Memberikan pemahaman akan pengaruh dari objek akad yang digunakan dalam suatu transaksi khususnya dalam bermuamalah dapat menentukan status hukum transaksi tersebut.

D. Penelitian Relevan

Setelah peneliti membaca beberapa buku dan karya tulis lainnya mengenai permasalahan yang peneliti angkat tentang jual beli lukisan digital berbentuk manusia belum ada tulisan yang membahas secara khusus

(22)

permasalahan ini, akan tetapi ada beberapa buku atau tulisan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah lukisan, diantaranya:

1. Skripsi yang ditulis oleh Iffa Yuliani Ainun Najichah (NIM 124211050) dengan judul “Pemahaman Hadis tentang Gambar (Analisis Makna Shurah dalam Hadis.” Hasil penelitian ini menunjukkan gambar atau patung yang dimaksud di dalam hadis-hadis tersebut yaitu gambar makhluk yang bernyawa atau patung tiga dimensi, yang mana adanya gambar atau patung dapat dikhawatirkan menyebabkan masyarakat terjerumus kepada praktik penyembahan berhala. Sehingga muncullah hukum yang mengharamkan pembuatan, pemasangan, maupun memiliki gambar atau patung tersebut.

Dengan ancaman siksaan yang sangat berat nantinya di hari kiamat, serta rumah atau tempat tinggal yang di dalamnya terdapat hal demikian tidak akan masuk ke dalamnya malaikat pembawa rahmat, berkah, dan istighfar.17 2. Skripsi yang ditulis oleh Tofik Mustamir (NIM 09380032) dengan judul

“Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual beli Unsur Gambar dalam Wayang Kulit.” Hasil penelitian ini adalah di dalam wayang yang terdapat unsur gambar, diperbolehkan untuk diperjualbelikan, karena faktor utama tidak diperbolehkan gambar adalah adanya unsur penyembahan selain Allah SWT serta mengagung-agungkan tokoh secara berlebihan. Faktor lainnya yaitu

17Iffa Yuliani Ainun Najichah, NIM 124211050, dalam skripsi berjudul Pemahaman Hadis tentang Gambar (Analisis Makna Shurah dalam Hadis), Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2016.

(23)

9

wayang kulit mempunyai banyak manfaat terutama dalam bidang ekonomi.18

Skripsi yang ditulis oleh Iffa Yuliani Ainun Najichah dengan judul pemahaman hadis tentang gambar (analisis makna shurah dalam hadis) memiliki relevansi yang erat dengan fokus kajian penelitian ini. Perbedaannya dapat dilihat bahwa di dalam skripsi tersebut Iffa Yuliani Ainun Najichah membahas tentang gambar, lukisan, patung, foto, dan sejenisnya. Yang mana semua istilah tersebut dalam hadis-hadis tentang gambar diwakili dengan istilah shurah dan timtsal. Semetara fokus penelitian ini adalah bagaimana jual beli lukisan digital gambar manusia dipandang dari Hukum Islam.

Skripsi yang ditulis oleh Tofik Mustamir dengan judul tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli unsur gambar dalam wayang kulit juga memiliki relevansi atau bersinggungan dengan fokus penelitian ini. Perbedaanya terletak di dalam skripsi terebut Tofik Mustamir menjabarkan wayang kulit sebagai seni tradisonal Jawa dengan berbagai karakternya yang diceritakan sebagai makhluk hidup memiliki unsur gambar sebagaimana yang dilarang di dalam Islam atau tidak. Tofik Mustamir juga menjelaskan jual beli wayang kulit ditinjau dari Hukum Islam. Sementara, penelitian ini mengkaji bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia yang banyak terjadi pada masa sekarang ini.

18Tofik Mustamir, NIM 09380032, dalam skripsi berjudul Tinjauan Hukum Islam terhadap Jual beli Unsur Gambar dalam Wayang Kulit, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.

(24)

E. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian library research adalah suatu penelitian yang dilakukan di ruang kepustakaan untuk menghimpun dan menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan, baik berupa buku-buku, periodikal-periodikal, seperti majalah-majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala, kisah-kisah sejarah, dokumen-dokumen dan materi perpustakaan lainnya, yang dapat dijadikan sumber rujukan untuk menyusun suatu laporan ilmiah.19

Terkait dengan penelitian ini, maka library research yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah penelitian yang berbasis realita yang ada di masyarakat. Penelitian ini membahas bagaimana kenyataan yang ada di lapangan kemudian diangkat dan dilihat aturan hukumnya menurut Hukum Islam.

b. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.20 Sifat deskriptif pada penelitian ini tampak pada upaya penggambaran kajian penelitian mengenai jual beli lukisan digital gambar manusia tersebut.

19Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian & Tekhnik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 95.

20Ibid, h.76.

(25)

11

Sementara penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, misalnya perilaku, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik.21 Sehingga penelitian ini menjelaskan tentang suatu fenomena yang terjadi pada masyarakat secara khusus mengenai transaksi jual beli dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang menggambarkan jual beli lukisan digital gambar manusia ditinjau dari segi Hukum Islam secara rinci dan jelas sebagai hasil penelitian.

2. Sumber Data

Sumber data adalah subjek darimana data diperoleh. Karena penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, maka sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder, dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

Sumber data sekunder adalah berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan skripsi, tesis, disertasi, dengan peraturan perundang- undangan.22 Sumber data sekunder yang digunakan pada penelitian ini terbagi menjadi tiga bahan hukum, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat.23 Bahan hukum primer merupakan bahan pokok yang diperlukan untuk meneliti

21Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 6.

22Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.106.

23Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: LP3ES), h.116.

(26)

permasalahan yang dibahas. Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu:

1) Al-Qur’an

2) Ibnu Katsier, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu) 3) Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, (Dar

al-Fikr, 1981)

4) Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim 2, diterjemahkan oleh Masyhari dan Tatam Wijaya, (Jakarta: Almahira, 2012)

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.24 Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini mencakup buku-buku di antaranya:

1) Kitab Fiqh Empat Madzhab 2) Fiqh Muamalah

3) Fiqh Ekonomi Syariah c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bakan hukum primer dan sekunder seperti kamus ensiklopedia dan media internet.25 Adapun yang menjadi sumber penunjang dalam penelitian ini adalah sesuatu yang ada kaitannya dengan

24Ibid.

25Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 32.

(27)

13

permasalahan tersebut, diantaranya seperti: kamus, ensiklopedia Hukum Islam, internet, dan jurnal.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi.

Dokumentasi berarti mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan atau transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya.26 Dengan kata lain dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk memperoleh informasi dari sumber tertulis atau dokumen-dokumen.

Sebagian besar kegiatan ini dilakukan dengan membaca. Karena itu, sumber bacaan merupakan bagian utama penelitian yang essensial. Dengan kata lain proses pengumpulan data yang digunakan adalah membaca dan mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian menetapkan data mana yang akan digunakan.

4. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dapat dipelajari serta memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.27

26Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 247.

27Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Ramaja Rosda Karya, 2012), h. 6.

(28)

Terkait dengan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis data kualitatif. Pada umumnya analisis data kualitatif menganalisis isinya, yang disebut analisis isi (content analysis). Content analysis yaitu membahas secara mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak.28

Analisis data merupakan kegiatan yang sangat penting, sebab data- data yang telah terkumpul bila tidak dianalisis menjadi tidak berarti, oleh karena itu data harus dianalisis. Data tersebut dianalisis melalui alur berpikir deduktif, yaitu menggali dan mengkaji tentang aktivitas jual beli secara umum yang kemudian akan ditarik pada kesimpulan khusus tentang tinjauan Hukum Islam terhadap jual beli lukisan digital gambar manusia.

28Moh. Kasiram, Metodologi Penelitian Kualitatif-Kuantitatif, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), h. 379.

(29)

BAB II

JUAL BELI DAN SENI

A. Konsep Jual Beli di Dalam Islam 1. Pengertian Jual Beli

Jual beli (al-bai’) secara etimologis atau bahasa adalah pertukaran barang dengan barang (barter). Jual beli merupakan istilah yang dapat digunakan untuk menyebut dari dua sisi transaksi yang terjadi sekaligus, yaitu menjual dan membeli.29 Jual beli dalam istilah fiqh berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.30

Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang dikemukakan ulama fiqh, sekalipun substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama. Ulama Hanafiyah mendefinisikannya dengan saling menukar harta dengan harta melalui cara tertentu atau tukar-menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat.31

Definisi lain dikemukakan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Menurut mereka, jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Dalam hal ini mereka melakukan penekanan kepada kata “milik dan pemilikan”, karena ada juga

29Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, 2014), h. 19.

30Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), h. 101.

31Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 111.

(30)

tukar-menukar harta yang sifatnya tidak harus dimiliki, seperti sewa- menyewa (ijarah).32

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa jual beli adalah proses saling menukar harta dalam bentuk barang dengan uang secara suka sama suka di antara kedua belah pihak dan berujung pada pemindahan kepemilikan.

2. Dasar Hukum Jual Beli

Jual beli disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’, yakni:

a. Al-Qur’an, Surah an-Nisa’ ayat 29

















































Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S. an-Nisa’ (4): 29).33

Berdasarkan ayat di atas Allah melarang umat Islam yang beriman memakan harta orang lain secara batil (tidak benar) kecuali dalam jalan perniagaan atau jual beli yang berlaku karena adanya kerelaan antara kedua belah pihak atau suka sama suka tanpa ada pihak yang dirugikan. Memakan harta orang lain dalam ayat ini juga memiliki

32Ibid., h. 112.

33Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 108.

(31)

17

arti yakni tentang hak milik, sebagaimana Islam mengakui adanya hak pribadi yang berhak mendapatkan perlindungan.

b. Sunnah

ْنَع َِّلَلا ُل ْوُس َر َلِئُس -

َ َل ِ َ َل ْ ِه َو َ َل َ ُّ أ - َلل ْا ْ ِ ْ َأ َ ُ َأ

ُلَ ْف َأ ْو َ

َلا

":

َ َ َّرلا َل ُ ِل َ ِ ِ َو ُ ِه َ ْ َل َ ٍ ْ ُر ْو ر "

34

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda ketika ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan yang paling baik: Rasulullah ketika itu menjawab: pekerjaan yang dilakukan dengan tangan seseorang sendiri dan setiap jual beli yang diberkati (jual beli yang jujur tanpa diiringi kecurangan)”.35

Diriwayatkan dari Rafi’ bahwa Rasulullah telah ditanya orang tentang amal usaha yang paling baik. Jawaban beliau seperti hadits di atas.36 Hadits tesebut menunjukkan bahwa pekerjaan yang terbaik adalah pekerjaan yang diusahakan oleh tangan sendiri, dalam hal ini seseorang wajib untuk melakukan sesuatu baik untuk urusan dirinya, keluarga dan masyarakat pada umumnya.

c. Ijma’

Ijma’ ulama dari berbagai kalangan madzhab telah bersepakat akan disyariatkannya dan dihalalkannya jual beli. Jual beli sebagai muamalah melalui sistem barter telah ada sejak zaman dahulu. Islam datang memberi legitimasi dan memberi batasan dan aturan agar dalam

34Abdullah bin Abdurrahman Alu Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, diterjemahkan oleh Kathur Suhardi dari judul asli Taisirul-Allam Syarh Umdatul-Ahkam, (Jakarta: Darul Falah, 2002), h. 676.

35Ibid., h. 676.

36Ibnu Hamzah Al Husaini Al Hanafi AD Damsyiqi, Asbabul Wurud 1, diterjemahkan oleh Suwarta Wijaya dan Zafruallah Salim, (Jakarta : Kalam Mulia, 2009), cet VII, h. 206.

(32)

pelaksanaannya tidak terjadi kedzaliman atau tindakan yang dapat merugikan salah satu pihak.37

Berdasarkan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an, Hadits Rasulullah SAW serta ijma ulama, maka dapat dipahami bahwa hukum jual beli adalah boleh, bahkan pada situasi-situasi tertentu hukum jual beli berubah menjadi wajib, apabila jual beli tersebut dilakukan untuk memepertahankan kelangsungan hidup seseorang agar terpenuhi segala kebutuhan hidupnya.

3. Rukun dan Syarat Jual Beli

Pada hakikatnya jual beli sebagai suatu transaksi yang diperbolehkan di dalam Islam harus dilaksanakan berdasarkan Syariat Islam. Jual beli merupakan suatu transaksi yang akan dipandang sah dan mengikat apabila telah memenuhi beberapa hal yang disebut rukun dan syarat jual beli.

Jumhur Ulama menetapkan empat rukun jual beli, yaitu: para pihak yang bertransaksi (penjual dan pembeli), sigat (lafal ijab dan qabul), barang yang diperjualbelikan dan nilai tukar pengganti barang.38 Sementara itu, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, rukun jual beli terdiri atas pihak-pihak, objek, dan kesepakatan.39

Berdasarkan perbedaan di atas mengenai rukun jual beli, peneliti dapat menarik benang merah bahwa rukun jual beli ialah akad (ijab dan kabul), para pihak (penjual dan pembeli), dan barang yang diperjual belikan (objek akad), serta nilai tukar barang, yaitu uang.

37Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, 2014), h. 22.

38Ibid., h. 23.

39Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 30.

(33)

19

a. Syarat orang yang berakad

Syarat yang berhubungan dengan dua orang yang berakad (aqidain), yaitu penjual dan pembeli):

1) Mumayyiz, balig dan berakal. Maka tidak sah akadnya orang gila orang yang mabuk, begitu juga akadnya anak kecil, kecuali terdapat izin dari walinya sebagaimana pendapat jumhur ulama.

2) Tidak terlarang membelanjakan harta, baik terlarang itu hak dirinya atau yang lainnya.

3) Tidak dalam keadaan terpaksa ketika melakukan akad. Karena adanya kerelaan dari kedua belah pihak merupakan salah satu rukun jual beli.40

b. Syarat yang terkait dengan sighat (ijab dan kabul) Syarat yang terkait ijab dan qabul ada tiga, yaitu:

1) Ijab dan qabul harus dilakukan oleh orang yang cakap hukum.

2) Kesesuaian antara qabul dan ijab, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.

3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, sekiranya para pihak yang melakukan transaksi hadir dalam satu tempat secara bersamaan, atau berada dalam suatu tempat yang berbeda, namun keduanya saling mengetahui.41

c. Syarat yang terkait dengan objek jual beli

Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang di perjual belikan adalah :

1) Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesangupannya untuk mengadakan barang itu. Misalnya, di sebuah toko, karena tidak mungkin memajang barang dagangan semuanya, maka sebagiannya diletakkan pedagang di gudang atau masih di pabrik, tetapi secara meyakinkan barang itu boleh dihadirkan sesuai dengan persetujuan pembeli dan penjual. Barang di gudang dan proses di pabrik ini dihukumkan sebagai barang yang ada.

2) Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual beli, karena dalam pandangan syara’ benda-benda seperti itu tidak bermanfaat bagi muslim.

40Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015), h. 18.

41Imam Mustofa, Fiqih Mu’amalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, 2014), h. 24.

(34)

3) Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan seperti memperjualbelikan ikan di laut atau emas dalam tanah, karena ikan dan emas itu belum dimiliki penjual.

4) Boleh diserahkan saat akad berlangsung, atau pada waktu disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.42

d. Syarat nilai tukar (harga barang)

Terkait dengan masalah nilai tukar ini para ulama fiqh membedakan al-tsaman dengan al-si’r. Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-tengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai). Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antara pedagang dan konsumen (harga jual di pasar). Oleh sebab itu, harga yang dapat dipermainkan oleh para pedagang adalah al-tsaman.

Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat al-tsaman sebagai berikut:

1) Harga yang disepakati kedua belah pihak, harus jelas jumlahnya.

2) Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum, seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga dibayar kemudian (berutang) maka waktu pembayarannya harus jelas.

3) Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah) maka barang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’, seperti babi dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.43

Syarat-syarat tersebut yang akan menentukan sah tidaknya akad jual beli. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut, maka jual beli dengan sendirinya menjadi tidak sah.

B. Macam-Macam Jual Beli 1. Salam

Salam atau salaf adalah penjualan sesuatu yang akan datang dengan imbalan sesuatu yang sekarang, atau menjual sesuatu yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan. Maksudnya, modal diberikan di awal dan

42Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 118.

43Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 76.

(35)

21

menunda barang hingga tenggat waktu tertentu. Atau dengan kata lain, menyerahkan barang tukaran saat ini dengan imbalan barang yang dijelaskan sifatnya dalam tanggungan hingga jarak waktu tertentu.44 Jadi, salam adalah jual beli atas barang yang baru dijelaskan sifatnya di awal, pembayarannya dilakukan di awal, sedangkan barangnya masih dalam tanggungan waktu tertentu.

Adapun dalil Al-Qur’an yang mensyariatkan akad salam terdapat dalam Surah al-Baqarah ayat 282:





















Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.45

Para ulama sepakat bahwa akad salam dianggap sah jika terpenuhi enam syarat, yaitu jenis barang diketahui, ciri-ciri yang diketahui, ukuran yang diketahui, modal yang diketahui, menyebutkan tempat penyerahan barang jika penyerahan itu membutuhkan tenaga, dan biaya.46 Secara garis besar, akad salam memiliki syarat yang sama seperti jual beli pada umumnya, tetapi lebih memiliki titik tekan pada objek yang diperjualbelikan. Sebab di dalam salam barang masih dalam tanggungan waktu tertentu sehingga harus dijelaskan spesifikasinya (jenis barang, ukuran, kualitas, dan kuantitas) di awal beserta dengan pembayaran di awal.

44Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid 5, h. 240.

45Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), h. 59.

46Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam., h. 241.

(36)

2. Istishna’

Istishna’ secara etimologis adalah mashdar dari sitashna ‘asy-sya’i, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada seorang pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Adapun istishna’ secara terminologis adalah transaksi terhadap barang dagangan dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah barang yang harus dikerjakan dan pekerjaan pembuatan barang itu.47

Jual beli istishna’ juga diartikan sebagai akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu di mana materi dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin. Jika materinya berasal dari pihak pemesan berlaku sebagai akad ijarah.48

Jual beli istishna’ ini bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan kabul dari si penerima pesanan. Dalam hal ini, pemesan adalah sebagai pembeli dan penerima pesanan sebagai penjual. Pada dasarnya akad istishna’ sama halnya dengan salam, dimana barang yang menjadi objek akad atau transaksi belum ada. Hanya saja, dalam akad istishna’ tidak disyaratkan memberikan modal atau uang muka kepada penerima pesanan atau penjual. Selain itu, dalam istishna’ tidak ditentukan masa penyerahan barang.49

47Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), h. 124.

48Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 144.

49Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Metro: STAIN Jurai Siwo, 2014), h.

79.

(37)

23

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa istishna’ adalah jual beli dengan cara pemesanan dari pihak pembeli kepada pihak penjual yang objeknya merupakan suatu barang tertentu yang dipesan berdasarkan spesifikasi tertentu. Artinya, barang yang menjadi objek jual beli masih dalam tanggungan. Akad istishna’ menyerupai akad salam dimana keduanya tergolong ke dalam jual beli barang yang belum berwujud. Hanya saja perbedaannya jual beli salam mensyaratkan pembayaran di awal saat kontrak sedangkan jual beli istishna’ tidak demikian.

Jual beli istishna’ berdasarkan dalil as-Sunnah, yaitu:

َّنِإ ُهَل َليِ َف ِمَجَعْلا َلَِإ َبُ ْكَي ْنَأ َ اَرَأ َن اَك َِّبَِن َّنأ هنع يض ر ٍسَنَأ ْنَع ِ اَخ ِهْيَلَع ً اَ ِك َّ ِإ َنوُلَ بْ َ ي َ َمَجَعْلا ْنِ اًَتَ اَخ َعَنَطْص اَف .

ٍ َّ ِف َل اَق . ِ نَّأَك :

ُرً ْنَأ ِهِدَي ِفِ ِهِض اَيَ ب َلَ ِإ (

ملس هاور )

Artinya: Dari Anas bahwa ketika Nabiyullah SAW hendak mengirim surat kepada bangsa non-Arab, beliau diberi tahu bahwa mereka tidak mau menerima surat kecuali jika dibubuhi stempel. Sebab itulah, Rasulullah SAW pun memesan sebuah cincin dari perak. Anas berkata, ‘Aku seakan- akan melihat (kemilau) putih cincin itu tangan beliau”.50

Dalam menentukan hukum akad istishna’ ulama fiqh berbeda pendapat. Di kalangan Ulama Hanafi terdapat dua pendapat. Sebagian berpendapat bahwa, jika akad ini didasarkan pada dalil qiyas (analogi) kepada jual beli, maka akad istishna’ dianggap tidak sah, sebab objek jual belinya belum ada. Hal ini masuk dalam kategori jual beli ma’dum (jual beli yang objeknya belum ada) yang dilarang oleh Rasulullah. Namun sebagian ulama Hanafi melihat bahwa istishna’ didasarkan pada dalil istihsan

50Muslim bin al-Hajjaj al-Qursyairi an-Naisaburi, Ensiklopedia Hadits 4; Shahih Muslim 2, diterjemahkan oleh Masyhari dan Tatam Wijaya, dari judul asli Shahih Muslim, (Jakarta: Almahira, 2012), h. 334.

(38)

(berpaling dari kehendak qiyas, karena ada kemaslahatan yang kuat yang menjadi alasan pemalingan ini). Maka untuk kemaslahatan orang banyak akad ini dibolehkan. Hal yang sama juga terjadi di kalangan Ulama Syafi’iyah.51

Sedangkan ahli fiqh kontemporer berpendapat bahwa bai’ al- istishna’ hukumnya sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah. Mereka berpendapat bahwa akad istishna’ termasuk jual beli biasa, dimana penjual memiliki kemampuan menyediakan barang saat penyerahan.52

Melihat pendapat para ulama di atas, dapat dipahami bahwa istishna’

merupakan akad jual beli yang dibolehkan berdasarkan ijma’. Hal ini dikarenakan jual beli istishna’ dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan sudah menjadi kebiasaan yang berlaku di masyarakat, sehingga jual beli istishna’ ini dapat memberikan kemaslahatan. Banyak orang seringkali memerlukan barang tetapi tidak tersedia di pasar sehingga mereka memerlukan orang lain yang dapat membuatkan barang sesuai selera mereka.

Rukun jual beli istishna’ adalah pemesan (mustasni’), penjual atau pembuat barang (sani’), barang atau objek akad (masnu’), dan sighat (ijab dan kabul). Ketentuan atau syarat-syarat yang terkait dengan para pihak yang berakad (mustasni’ dan sani’) sama dengan ketentuan yang berlaku dalam jual beli. Berkaitan dengan syarat istishna’ kalangan Hanafiyah mensyaratkan tiga hal agar istishna’ sah, yaitu:

51Yazid Afandi, Fiqh Muamalah., h. 170.

52Ibid., h. 171.

(39)

25

a) Barang yang menjadi objek istishna’ harus jelas, baik jenis, macam, kadar, dan sifatnya. Apabila salah satu unsur ini tidak jelas, maka akad istishna’ rusak. Kerena barang tersebut pada dasarnya adalah objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan suatu barang, harus dijelaskan spesifikasinya: bahan, jenis, model, ukuran, bentuk, sifat, kualitasnya, serta hal-hal yang terkait dengan barang tersebut.

Jangan sampai ada hal yang tidak jelas, karena hal tersebut dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak yang bertransaksi.

b) Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk keperluan dan sudah umum digunakan, seperti pakaian, parabotan rumah, furnitur, dan sebagainya.

c) Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu untuk menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan telah ditetapkan, maka dikategorikan sebagai akad salam.53

Demikian tidak sah melakukan jual beli istishna’ jika spesifikasi barang tidak disebutkan dengan jelas. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi pihak penjual atau penerima pesanan dalam membuatkan barang pesanan pembeli sehingga dapat berujung pada perselisihan.

3. Sharf (Jual Beli Uang)

Secara bahasa sharf berarti tambahan. Secara istilah, sharf adalah bentuk jual beli naqdain baik sejenis maupun tidak, yaitu jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, atau emas dengan perak, baik berbentuk perhiasan maupun mata uang.54

Transaksi sharf ini dibolehkan, karena Nabi SAW membolehkan jual beli komoditas ribawi satu sama lainnya ketika jenisnya sama dan ada kesamaan ukuran, atau jenisnya berbeda walaupun ada ketidaksamaan ukuran dengan syarat diserahterimakan dari tangan ke tangan.

53Ibid., h. 81.

54Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam., h. 279.

(40)

4. Jizaf (Jual Beli dengan Taksiran)

Maksud kata jizaf adalah transaksi atas sesuatu tanpa ditakar, ditimbang, atau dihitung secara satuan, tetapi hanya dikira-kira dan ditaksir setelah menyaksikan atau melihat barangnya. Syaukani mengartikan jenis transaksi ini dengan pembelian apa saja yang tidak diketahui kadarnya secara rinci.55

C. Batasan-Batasan Jual Beli di Dalam Islam

Jual beli dipandang sah dan tidak sah dapat dilihat dari empat aspek, yaitu pelaku akad, shighat, ma’quud alaih atau objek transaksi, dan pengaitan akad dengan sifat, syarat, atau larangan syara.56

1. Batasan Jual Beli Berdasarkan Pelaku Akad

Adapun orang-orang yang tidak sah jual belinya adalah:

a. Orang gila b. Anak kecil c. Orang buta

d. Orang yang dipaksa e. Fudhuli

f. Orang yang dilarang membelanjakan harta (mahjur ‘alaih) karena kebodohan (idiot), bangkrut, atau sakit,

g. Mulja (orang yang terpaksa menjual barangnya guna menyelamatkan hartanya dari orang yang lalim.

2. Batasan Jual Beli Berdasarkan Shighat

Jual beli tidak sah dalam beberapa hal karena shighatnya, di antaranya:

a. Jual beli mu’athah

b. Jual beli dengan tulisan jika kabulnya terjadi di luar tempat transaksi c. Jual beli dengan orang yang tidak hadir di tempat akad

d. Jual beli dengan tidak adanya kesesuaian antara ijab dan qabul

e. Jual beli tidak sempurna (jual beli yang dikaitkan pada syarat atau disandarkan pada waktu yang akan datang.

55Ibid., h. 290.

56Ibid., h. 162.

(41)

27

3. Batasan Jual Beli Berdasarkan Ma’quud alaih (Objek)

Para fuqaha sepakat bahwa jual beli sah jika ma’quud alaih-nya berbentuk harta yang bernilai, tertentu, ada, dapat diserahkan, bisa diketahui oleh kedua pelaku akad, tidak berkaitan dengan hak orang lain, dan tidak dilarang oleh syara. Adapun jual beli yang dilarang karena objeknya antara lain:

a. Jual beli barang yang tidak ada atau berisiko hilang, seperti madhaamiin (sperma dari pejantan) dan malaaqiih (sel telur dari betina).

b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang terbang di udara, ikan yang ada dalam air.

c. Jual beli utang dengan nasiah (tidak tunai).

d. Jual beli yang mengandung unsur penipuan (gharar) e. Jual beli sesuatu yang najis dan terkena najis

f. Jual beli air

g. Jual beli sesuatu yang tidak diketahui

h. Jual beli sesuatu yang tidak ada dalam tempat transaksi atau tidak terlihat i. Jual beli sesuatu sebelum ada serah terima

j. Jual beli buah-buahan atau tanaman jika terjadi sebelum tercipta.

4. Batasan Jual Beli Berdasarkan Sifat, Syarat, dan Larangan Syara a. Jual beli arbun

b. Jual beli ‘inah c. Jual beli riba

d. Jual beli dengan barang yang diharamkan, seperti khamar, bangkai, babi, dan patung

e. Bay’ haadhir li baadin (jual beli orang yang tinggal di perkampungan dari orang yang tinggal di pedalaman yang tidak mengetahui harga-harga f. Talaqqi ar-rukbaan (menemui orang-orang yang membawa barang

dagangan g. Jual beli najasy

h. Jual beli ketika azan sholat Jumat

i. Menjual anggur kepada pembuat khamar.

Demikian jual beli yang dilarang di dalam Islam jumlahnya banyak.

Dengan mengetahui batasan-batasan apa saja jual beli yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolekan, hal ini dapat menghindari para pelaku transaksi dari transaksi jual beli yang sesuangguhnya tidak boleh dilakukan dan tidak sah dalam pandangan Islam.

(42)

D. Islam dan Seni

1. Pengertian Seni dan Kesenian di Dalam Islam

Seni oleh W. J. S Poerwadarminta diartikan sebagai sesuatu karya yang dibuat (diciptakan) dengan kecakapan luar biasa seperti sajak, lukisan, ukir-ukiran, dan sebagainya. Dalam konteks yang lain ia juga bisa diartikan sebagai kecakapan membuat (menciptakan) sesuatu yang elok dan indah.

Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, seni didefinisikan sebagai penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa orang, dilahirkan dengan perantaraan alat-alat komunikasi ke dalam bentukan yang ditangkap oleh indra pendengar (seni suara), pengelihat (seni lukis) atau dilahirkan dalam perantaraan gerak (seni tari, drama, teater).57

Jadi, seni adalah ungkapan perasaan manusia yang disampaikan dengan kemampuan yang luar biasa kepada orang lain dalam bentuk karya- karya yang indah.

Ada beberapa petunjuk Al-quran tentang kesenian, antara lain : a. Islam adalah agama fitrah, agama yang sesuai dengan fitrah manusia

(Q.S.30:30). Kesenian bagi manusia adalah termasuk fitrahnya.

Kesanggupan berseni pulalah yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya.

b. Allah itu mempunyai sifat-sifat yang baik (Q.S. 7: 180), seperti Jamal (Maha Indah), Jalal (Maha Agung), dan Kamal (Maha Sempurna), manusia mengemban misi sebagai wakil Tuhan, yang harus

57Vania Santoso, “Perancangan Galeri Seni Lukis Ivan Hariyanto di Surabaya” dalam INTRA, (Surabaya: Universitas Kristen Petra), Vol. 2, No. 2/2014, h. 14.

(43)

29

merealisasikan sifat-sifat Tuhan, sebatas kemampuannya. Di sini manusia bertemu dengan kesenian.

Dengan berpegang pada dua prinsip di atas, kesenian pada dasarnya (menurut Hukum Islam) adalah mubah dan jaiz. Seni pada dasarnya netral.

Karena netral, maka seni bisa dijadikan sebagai sarana untuk mencapai kebaikan (amal salih), sekaligus bisa pula diarahkan kepada kerusakan.

Islam memandang kesenian sebagai ibadah, jika dilakukan dalam kerangka etika.58

Di dalam Islam, dapat ditemukan gejala-gejala kesenian. Bahkan Al-quran sebagai sumber ajaran Islam, mengandung nilai sastra yang kalau diukur dari sudut kesenian, sangat sempurna. Tiap orang yang paham akan bahasa Arab, apakah dia muslim atau bukan, akan mengakui ketinggian sastra Alquran, meskipun ia bukan merupakan karya seni yang dibuat oleh Muhammad SAW. (Q.S., 36:69). Namun seandainya kita menyebut Allah sebagai Pencipta seni, maka Al-quran adalah karya seni pertama dalam Islam yang merupakan standar keindahan bagi seni umat Islam. Aspek inilah yang disebut oleh kaum muslimin sebagai (i’jaz) atau kekuatan yang melumpuhkan. Alquran telah menantang para pendengarnya, orang-orang Arab dengan ketinggian sastra mereka, untuk menghasilkan sesuatu yang serupa dengan Alquran. (Q.S., 2: 23-24), tetapi tidak ada seorang pun yang mampu menandingi Alquran (Q.S., 10:38).59

58Muhammad Asy’ari, “Islam dan Seni” dalam HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, (Palu: STAIN Datokarama), Vol. 4, No. 2/Juni 2007, h. 170.

59Ibid., h. 171.

(44)

Maka tidak ada salahnya jika manusia memiliki seni dalam hidupnya asalkan tidak melanggar aturan islam dan sesuai dengan kebutuhan dalam batasan-batasan yang seimbang.

2. Etika Berkesenian di Dalam Islam

Ada beberapa norma yang harus dipegang dalam berkesenian menurut Islam, yaitu:

a. Dilarang melukis lukisan yang bersifat pornografi, serta melukis hal-hal yang bernyawa.

b. Dilarang menciptakan hikayat yang menceritakan dewa-dewa, kebiasaan pengarang yang mengkritik Tuhan.

c. Dilarang menyanyikan lagu-lagu yang berisikan kata-kata yang tidak sopan atau cabul.

d. Dilarang memainkan musik yang merangsang kepada gerakan-gerakan sensual.

e. Dilarang berpeluk-pelukan antara laki-laki dan perempuan atas nama tarian.

f. Dilarang menampilkan drama dan film yang melukiskan kekerasan, kebencian dan kekejaman.

g. Dilarang memakai pakaian yang memamerkan aurat.60

Bersadarkan poin a penjelasan norma berkesenian di atas, maka hal ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur bahwa melukis atau menggambar sebagai bagian dari seni dan keindahan adalah boleh asalkan tidak

60Ibid., h. 172.

(45)

31

mengandung unsur pornografi dan yang dilukis bukan makhluk bernyawa.

Sehingga melukis gambar manusia dan hewan (makhluk bernyawa) tidak diperbolehkan sedangkan melukis dari yang selain itu tidak masalah, seperti pepohonan pemandangan alam, dan benda-benda mati lainnya. Terlebih lagi apabila lukisan manusia tersebut bersifat pornografi dan penyimpangan seksual.

Dengan demikian, kesenian yang melanggar norma-norma yang telah dipaparkan di atas dilarang di dalam Islam. Islam membolehkan umatnya untuk berkreasi menciptakan suatu kesenian yang indah sebab sudah menjadi fitrah manusia untuk menyukai keindahan dan mencari kebahagiaan. Akan tetapi, seni yang dihasilkan oleh manusia haruslah berada pada jalur yang dibolehkan di dalam Islam sehingga manusia mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.

E. Seni Lukis

Seni di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa pengertian, diantaranya:

1. Keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya)

2. Karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran; seniman tari sering juga menciptakan – susastra yang indah.

(46)

3. Kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi (luar biasa)61

Menurut Ensiklopedia Indonesia, seni meliputi penciptaan dari segala hal atau benda yang karena keindahan bentuknya, orang senang melihatnya atau mendengarnya. Banyak ahli mendefinisikan pengertian seni di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Menurut Achdiat Karta Mihardja, seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas dalam suatu karya yang berkat bentuk dan isinya, mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam rohani penerimanya.

2. Plato berpendapat bahwa seni adalah peniruan terhadap alam sehingga karya seni merupakan tiruan bentuk alam seperti manusia, binatang, dan tumbuhan.62

Dari pemaparan di atas dapat dikatakan bahwa seni adalah kesanggupan untuk menciptakan sesuatu yang indah dan bernilai. Sesuatu yang indah itu berarti suatu karya yang dapat dinikmati seperti, lukisan, ukiran, tarian, nyanyian, drama, dan lain sebagainya yang dapat menggugah perasaan penikmatnya.

Sedangkan “lukis” berarti membuat gambar dengan menggunakan pensil, pulpen, kuas, dan sebagainya baik dengan warna maupun tidak. Lukisan sendiri dapat diartikan sebagai hasil melukis; gambaran yang indah-indah.63

61Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 1037-1038.

62Sugiyanto, Seni Budaya untuk SMA/MA Kelas X, (Jakarta: Erlangga, 2013), h. 6.

63Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar., h. 687.

Gambar

Gambar 1.1 Contoh-contoh lukisan digital gambar manusia
Gambar 2.1 Langkah pertama memasukkan gambar ke Corel Draw
Gambar 2.2 Langkah kedua mengunci objek
Gambar 2.4 Langkah keempat tracing
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut konstruktivisme, identitas negara membentuk konsep kepentingan nasional mereka. Pan- Arabisme dan Pan-Islamisme, keduanya, memiliki kepentingan untuk mengalahkan Israel

CONCLUSIONS From the results of this study should the teachers especially English teacher teachers can apply the technique "English Area" in an effort to improve the ability to speak