BAB I: PENDAHULUAN
C. Macam-macam Qirâ’ât
23 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, 32
24 Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, ter. Mudzakir, h. 248
25 Ahmad Fathoni. Kaidah Qirâ‟ât Tujuh, ,(Tangerang: Yayasan Bengkel Metode Maisura, 2016), h.6
Para ulama telah menetapkan beberapa syarat-syarat yang mereka pakai untuk menerima suatu qirâ‟ât, syarat-syarat yang dimaksud adalah:
1) Sesuai dengan salah satu rasm mushaf „Utsmani. Hal tersebut karena diyakini, dalam penulisan mushaf-mushaf tersebut para sahabat bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (pola penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qirâât yang mereka ketahui.26 Misalnya mereka akan menuliskan
ََطا ََر َِّصلا
dalam surah al-Fatihah ayat 6 dengan shâd sebagai ganti dari sîn. Mereka tidak menuliskan sîn yang merupakan asal dari lafazh tersebut, agar lafazh tersebut dapat pula dibaca dengan sîn yakniََطا ََر َِّسلا
. Meskipun dalam satu sisi berbeda dengan rasm, namun qirâ‟ât dengan sîn pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafazh tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Pada lafazh tersebut dimungkinkan pula membacanya dengan isymâm.272) Sesuai dengan tata bahasa Arab, yaitu kesesuaian, walaupun hanya dalam satu segi, terhadap salah satu kaidah nahwu yang berkembang.
Sebab dalam kaitan ini, kadang ditemukan suatu qirâ‟ât Mutawâtirah dinilai oleh satu kelompok dianggap tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sehingga meletakkan kedudukan qirâ‟ât tidak shahih, namun oleh kelompok lain dinalai sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
Hal ini tidak boleh terjadi, sebab qirâ‟ât bukanlah sastra yang bebas diubah oleh sembarang orang, namun qirâ‟ât merupakan suatu nash yang harus dipatuhi.28
26 M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, h. 313
27 Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, ter. Mudzakir, h. 254
28 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 36
3) Qirâ‟ât itu harus shahih sanadnya, keshahihan sanad adalah inti uatama sebuah qirâ‟ât, karena qirâ‟ât dasarnya tauqifi bukan ra‟yu.
Jika suatu qirâ‟ât mempunyai sanad yang shahih, maka boleh diterima. Terhadap keshahihan sanad ini, sebagian ulama mensyaratkan periwayatan qirâ‟ât harus mutawatir, karena dimungkinkan suatu qirâ‟ât mempunyai sanad yang shahih tetapi tidak mutawatir, sebagaimana halnya qirâ‟ât ahad yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat Nabi.29
Dengan demikian, jika ketiga periwayatan di atas terpenuhi maka qirâ‟ât tersebut adalah qirâ‟ât yang shahih. Akan tetapi, jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka qirâ‟ât tersebut dinamakan qirâ‟ât yang lemah, syadz, atau bathil.30
Pembagian qirâ‟ât didasarkan pada dua kategori yaitu, kualitas keabsahan qirâ‟ât dan kuantitas jumlah perawi. Berikut penjelasan lengkapnya mengenai klasifikasi qirâ‟ât ini:
1. Klasifikasi Berdasarkan Kualitas Keabsahan Qirâ‟ât
a. Qirâ‟ât Mutawâtirah, yaitu qirâ‟ât yang sanadnya mutawatir.
Para ulama memasukkam qirâ‟ât sab‟ah ke dalam kelompok ini. Menurut KH. Ahmad Fathoni, para ulama Al-Qur‟an dan hukum Islam sepakat bahwa qirâ‟ât mutawâtir ini adalah sah dan resmi sebagai Al-Qur‟an. Qirâ‟ât ini juga sah bila dibaca di dalam dan di luar shalat serta dapat dijadikan sumber dan hujjah dalam pengambilan hukum.31
b. Qirâ‟ât Masyhûr, yaitu qirâ‟ât yang memiliki kualitas sanad shahih yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan
29 Romlah Widayati, dkk. Ilmu Qirâ‟ât 1, h. 17
30 Abdul Wahid dan Muhammad Zaini, Pengantar „Ulumul Qur‟an dan „Ulumul Hadis, h. 79
31 Amroeni Drajat, Ulumul Qur‟an Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Depok:
Kencana, 2017), cet. 1, h. 109
dhabit, serta sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm mushaf „Utsmâni. Jenis qirâ‟ât ini cukup masyhur di kalangan ahli qirâât dan sama sekali tidak mengandung unsur kekeliruan maupun syâdz. Akan tetapi jumlah perawi yang meriwayatkannya tidak sampai derajat mutawâtir.32 Di antara kitab yang masyhur menyangkut qirâ‟ât ini ialah kitab al- Taisir karya al-Dani, al-Syathibiyah karya al-Syathibi, dan Thayyibah al-Nasyr fi al- Qirâ‟âh al-„Asyr karya Ibnu al- Jazari. Menurut al-Zarqâni dan Shubni al-Shâlih, kedua tingkatan di atas sah bacaannya dan harus diyakini serta tidak boleh diingkari sedikit pun.33
c. Qirâ‟ât Ahad, yaitu qirâ‟ât yang shahih sanadnya, akan tetapi tidak sesuai dengan rasm mushaf „Utsmani dan kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qirâ‟ât masyhûr yang telah disebutkan. Qirâ‟ât ini tidak termasuk qirâ‟ât yang dapat diamalkan bacaannya. Di antara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca
َىَلَعََيِئِكَّتُم
ََفَراَ
ََف ِر
ََبَعَوَ ٍرْضُخ َ
ٍَناَسِحَ ٍّيِرَق ا
(QS. Al-Rahman : 76), dan yangdiriwayatkan Ibn „Abbas bahwa ia membaca
َ ْنِمَ ٌلوُسَرَْمُكَءاَجَْدَقَل
ََفْ نَأ
َْمُكِس
(QS. Al-Taubah : 128), dengan membaca fathah huruffa.34
d. Qirâ‟ât Syadz, yaitu qirâ‟ât yang jalur sanadnya dipandang dhaif (lemah) sehingga ia tidak bisa dijadikan pegangan dalam membaca Al-Qur‟an. Qirâ‟ât ini juga tidak dibenarkan dipakai
32 Romlah Widayati, dkk. Ilmu Qirâ‟ât 1, h. 19
33 Amroeni Drajat, Ulumul Qur‟an Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, h. 110
34 Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, ter. Mudzakir, h. 256
di dalam shalat maupun di luar shalat, karena pada hakikatnya dia bukan Al-Qur‟an. menurut para ulama, selain qirâ‟ât yang sepuluh di atas maka termasuk ke dalam qirâ‟ât syadz, seperti qirâ‟ât al-Yazidy, al-Hasan, al-A‟masy, Ibn Jubair, dan lain- lain.35 Contoh qirâ‟ât syadz seperti QS. al-Fâtihah ayat keempat yang dibaca
َِنْيِّدلاََمْوَ يَ َكَلَم
yaituََكَلَم
dibaca dengan fi‟il mâdhî danََمْوَ ي
dibaca nashab serta ayat kelima yang dibacaَ َكاَّيِإ
َُدُبْعُ ن
yaitu dengan fi‟il mabni lil majhul.
36e. Qirâ‟ât Maudhu‟, yaitu qirâ‟ât yang dibuat-buat dan disandarkan pada seseorang tanpa dasar atau qirâ‟ât yang tidak bersumber dari Rasulullah Saw. contohnya adalah qirâ‟ât Abû al-Fadhl Muhammad ibn Ja‟far al-Khuza‟i pada QS. Fathir : 28
َُءاَمَلُعْلاَِهِداَبِعَْنِمََوَّللاَىَشَْيََاََّنَِّإ
Dibaca
َُوَّللاَىَشَْيََاََّنَِّإ
ََءاَمَلُعْلاَِهِداَبِعَْنِم َ
Yakni lafazh
َُللها
dibaca dhammah sehingga menjadi fa‟il sedangkan lafazhََءاَمَلُعلا
dibaca fathah sehingga menjadi maf‟ul.37 Pada ayat di atas sebenarnya lafazhللها
berharakat
35 Abdul Wahid dan Muhammad Zaini, Pengantar „Ulumul Qur‟an dan „Ulumul Hadis, h. 78
36 Rofiatul Khairiah Nasution, “Pengaruh Perbedaan Qirâ‟ât Mutawâtir Terhadap Penafsiran Ayat-Ayat Gender (Studi Kitab Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwîr Karya Ibn
„Âsyûr),” Skripsi, Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, 2018, h. 26. tidak diterbitkan
37 M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, (Tangerang: Yayasan Mesjid al- Taqwa, 2018), cet. 1, h. 315
fathah dan lafazh
َُءاَمَلُعلا
berharakat dhammah. Lafazhءاَمَلُعلا
seharusnya menjadi fa‟il bukan maf‟ul.
f. Qirâ‟ât Mudraj, yaitu qirâ‟ât yang di dalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya dijadikan penafsiran dari ayat Al-Qur‟an, seperti qirâ‟ât Sa‟d bin Abi Waqqash.
Misalnya:
ٍَّمَُأَ َْنَِمَ ٌَتَْخَُأَ َْوََأَ ٌَخََأَ َُوََلََو
dengan tambahanٍَّمَُأَ َْنَِم.
Jugaqirâât:
َِّجََْْاََِمَِساََوََمََِفََِْمَُكَِّبََرََْنَِمََ لَْضََفَاَْوَُغََ تَْبََ تََْنََأٌََحاََنَُجََْمَُكَْيََلََعَََسَْيََل
dengantambahan kalimat
َِّج ََْْا َ َِم اَِس ََمَََو َِفِ .
Kedua qirâ‟ât terakhir ini jelas bukan Al-Qur‟an dan tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan.38
2. Kualifikasi Qirâ‟ât berdasarkan Kuantitas Perawi
Berdasarkan jumlah perawi, ulama membagi qirâ‟ât dalam tiga kategori yaitu:
a. Qirâ‟ât Sab‟ah
Qirâ‟ât sab‟ah adalah qirâ‟ât yang diriwayatkan oleh tujuh orang Imam qirâ‟ât, yang masing-masing imam tersebut memiliki dua orang perawi. Mereka adalah:
1) Imam Nâfi‟ bin Abî Nu‟aim, nama lengkap Imam Nâfi‟ adalah Abu Ruwaim Nâfi‟ bin „Abd al-Rahman bin Abî Nu‟aim al- Laitsi39, biasa dipanggil Abû Nu‟aim atau Abû Ruwaim.40 Ia berasal dari Ishfahan kemudian menetap di Madinah dan meninggal di kota ini sekitar tahun 169 H/785 M. Dikabarkan
38 Amroeni Drajat, Ulumul Qur‟an Pengantar Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, h.110
39 Muhammad Salim Muhsin, al-Irsyâdât al-Jaliyyah fî Qirâ‟ât al-Sab‟ min Thariq al-Syâthibiyyah, (Beirut: Dârul Jîl, 1997), Juz. 1, h. 9
40 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Ibrahim s/d Surah al-Kahfi Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Qalun, h. 27
setiap kali ia membaca Al-Qur‟an keluar bau harum dari mulutnya.41
Ibnu Mujahid berkata: “Setelah masa generasi Tabi‟in, pakar dalam bidang ilmu Qirâ‟ât di Madinah adalah Imam Nâfi‟.
Beliau adalah orang yang sangat tahu tentang ragam bacaan Al-Qur‟an dan juga termasuk orang yang selalu mengikuti jejak para ulama terdahulu di Madinah.” Qâlûn, salah satu murid Imam Nâfi‟ berkata tentang gurunya: “Imam Nâfi‟
adalah orang yang paling suci akhlaknya, termasuk yang paling bagus bacaannya, zuhud, pemurah, menjadi Imam shalat di Mesjid Nabi di Madinah selama 60 tahun.” Dilihat dari kemontar para tokoh seangkatannya, seperti imam Malik bin Anas, dan komentar muridnya seperti Qâlûn, maka terpilihnya imam Nâfi‟ sebagai salah satu imam tujuh yang dipilih oleh Ibn Mujahid dan yang lainnya, betul-betul tepat, karena kepakarannya, keistiqamahannya, dan mudawamah di dalam mengajar yang demikian lama, peranannya di dalam mengimami shalat Nabawi, dan akhlaknya yang tinggi.42 Imam Nâfi‟ berguru kepada beberapa ulama ahli Al- Qur‟an di zamannya. Ia pernah berkata: “Aku berguru kepada 70 tabi‟in.” di antara guru-gurun Imam Nâfi‟ sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibn al-Jazari dalam kitabnya
“Ghayah al-Nihayah” adalah43 „Abdurrahman bin Hurmuz al- A‟raj, Abu Ja‟far bin Yazid al-Qa‟qa‟, Syaibah bin Nishâh,
41 Romlah Widayati, Implikasi Qira‟at Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 41
42 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Al-Baqarah s/d Surah Ali Imran Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Qalun, (Tangerang: IIQ Jakarta Press, 2018), cet.3, h. 28
43 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Al-Baqarah s/d Surah Ali Imran Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Qalun, h. 29
Yazîd bin Rumân, Muslim bin Jundub, Shâlih bin Khawwât, Al-Ashbugh bin „Abdul „Aziz al-Nahwy, „Abdurrahman bin al-Qâsim bin Muhammad bin Abî Bakar al-Shiddîq, Al-Zuhriy dan lain-lain.
Sementara itu imam Nâfi‟ juga mempunyai banyak sekali murid, mengingat lamanya beliau dalam mengajar Al-Qur‟an.
murid-murid beliau berasal dari Madinah, Mesir, Yaman, Syam, dan lainnya. Di antara murid beliau yang berasal dari Madinah adalah Ismâ‟il bin Ja‟far, „Isâ bin Wardan, Sulaiman bin Muslim bin Jammâz, Mâlik bin Anas, „Îsâ bin Mînâ (Qâlun). Adapun murid-muridnya yang berasal dari Mesir antara lain adalah „Utsmân bin Sa‟id (Warsy), „Abdullâh bin Wahb, Muhammad bin „Abdullah bin Wahb, Al-Laits bin Sa‟d dan lain-lain.44
Menurut Ibn Nadîm, dua perawi Imam Nâfi‟ yang terkenal adalah „Isa ibn Mîna ibn Wardan Abu Musa atau lebih populer dengan nama Qâlûn dan „Utsmân ibn Sa‟îd ibn
„Abdillah al-Mishri atau lebih populer dengan nama Warsy.45 2) Ibnu Katsîr, nama lengkapnya adalah „Abdullah bin Katsîr al- Makki al-Dâry.46 Beliau lahir di Makkah pada tahun 45 H/
665 M pada masa khalifah Mu‟âwiyah, dan wafat di Makkah pada tahun 120 H/ 738 M pada masa kerajaan Hisyam bin
„Abdul Malik.47
44 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Ibrahim s/d Surah al-Kahfi Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Warsy, h. 4
45 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 41
46 Abû Ja‟far Ahmad bin „Alî bin Ahmad bin Khalaf al-Anshârî, al-Iqna‟ fi al- Qirâ‟ât al-Sab‟, (Damaskus: Dâr al-Fikri, t.t.), juz. 1, h. 77
47 Abu Ja‟far Ahmad bin „Alî bin Ahmad bin Khalaf al-Anshârî, al-Iqna‟ fi al- Qirâ‟ât al-Sab‟, h. 78
Ibnu Katsîr memiliki nama belakang al-Dâry, nama tersebut berhubungan dengan nama seorang yaitu Tamîm al- Dâry. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Katsir pernah menjadi budak „Umar bin „alqamah al-Kinânî sebagai keturunan Persia yang dikirimkan menuju Yaman melalui laut ketika penguasa Habasyah mengusirnya.48
Meski hanya seorang budak, Ibnu Katsir merupakan tabi‟in yang memiliki kualifikasi keilmuan yang cukup tinggi.
Ia juga merupakansyaikh, qâdhî (hakim) dan ulama besar dalam bidang ilmu ilmu qirâ‟ât di Makkah. Abu „Amr bin al-
„A‟la menyatakan, di tengah banyaknya sosok yang ahli dalam bidang qirâ‟ât, Ibnu Katsir sanggup tampil sebagai pemimpin para qâri‟ di Makkah. Hal ini dikarenakan beliau hidup semasa dengan banyak tokoh yang mengonsentrasikan diri pada ilmu qirâ‟ât. Di antara nama-nama tokoh itu adalah Muhammad bin
„Abdurrahman bin Muhaishin al-Sahmi, salah seorang dari empat belas pakar qirâ‟ât di Makkah. 49
Pengetahuan qirâ‟ât Ibnu Katsir dimulai dengan talaqqi kepada „Abdullah ibn al-Sâ‟îb al-Makhzumi, Mujahid ibn Jabr al-Makki, dan Dirbas. Abdullah ibn al-Sâ‟îb belajar dari Ubay bin Ka‟ab dan „Umar bin Khattâb, Mujahid belajar kepada
„Abdullah ibn al-Sâ‟îb dan Abdullah ibn „Abbas, sedangkan Dirbas belajar kepada Ibnu „Abbas, Para sahabat tersebut („Umar bin al-Khattâb, Ubay bin Ka‟ab, dan Ibn „Abbas) berguru langsung kepada Nabi.50
48 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis 99 Maqra‟ Qirâ‟ât Ibnu Katsir, h. 6
49 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis 99 Maqra‟ Qirâ‟ât Ibnu Katsir, h. 7
50 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 42
Ibnu Katsîr adalah ulama besar dalam bidang bacaan Al- Qur‟an. banyak ulama-ulama terkenal yang belajar ilmu qirâ‟ât kepadanya, seperti Abû „Amr al-A‟la, al-Khalîl bin Ahmad, Imam Syafi‟i, Ismâ‟îl bin Muslim, Hammad bin Salamah, Syibl bin „Abbâd, Sulaiman bin Mughîrah, dan lain- lain. Pada perkembangan selanjutnya, buah dari keilmuan tinggi dan pengakuan banyak orang, tak sedikit yang berguru kepada Ibnu Katsir. Tak heran jika di kemudian hari, madrasah dan metode qirâ‟âtnya berhasil melahirkan dua muridnya yang terkenal, yaitu al-Bazzy dan Qunbul.51
3) Abû „Amr, nama lengkapnya adalah Abû „Amr bin al-„Ala‟
bin „Ammâr bin al-Uryan Bin „Abdullah bin al-Husain bin al- Harits bin Julham. Pendapat lain menyebutnya dengan nama Zabbân, „Uryan, Yahya, Uyainah, Sufyân, Humaid, Junaid, Hammâd dan lain-lain.52 Beliau lahir di Makkah pada tahun 70 H, tumbuh hingga dewasa di Basrah dan wafat di Kufah pada tahun 154 H pada masa pemerintahan al-Mansur.53
Abû „Amr adalah orang yang paling pandai (pada zamannya) di bidang Al-Qur‟an, bahasa Arab, dan Syair, serta ulama yang bersifat jujur, tsiqah, amanah dan zuhud. Ibnu Katsir mengatakan dalam kitabnya “al-Bidayah wa al- Nihayah” bahwa Abu „Amr termasuk ulama besar di zamannya dalam bidang qirâ‟ât, nahwu, dan fiqh. Adapun Abu „Ubaidah berkata tentang Abu „Amr, bahwa ia adalah orang yang sangat pandai di bidang qirâât, bahasa Arab, dan
51 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis 99 Maqra‟ Qirâ‟ât Ibnu Katsir, h. 8
52 Abu Ja‟far Ahmad bin „Alî bin Ahmad bin Khalaf al-Anshârî, al-Iqna‟ fi al- Qirâ‟ât al-Sab‟, h. 92
53 M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, h. 118
sya‟ir. Buku-buku Abu „Amr memenuhi rumahnya sampai ke atap. Ia menghabiskan waktunya dengan beribadah dan mewajibkan dirinya untuk mengkhatamkan Al-Qur‟an setiap tiga malam.54
Menurut sejarah, Abu „Amr belajar qirâ‟ât kepada sejumlah guru di Makkah, Madinah, Kufah, dan Bashrah..
tidak satupun di antara imam qirâ‟ât tujuh yang mempunyai guru sebanyak Abu „Amr.guru-gururnya tersebut antara lain adalah Hasan al-Bashri, Abu Ja‟far Ibnu Nashah, Nafi‟ ibn Abi Nu‟aim, Abdullah ibn Katsir, „Ashim ibn Abi al-Najûd, Abu al-„Aliyah,55 Yazîd ibn Rûman, Humaid ibn Qays al-A‟raj al- Makkî, Mujâhid ibn Jabr, „Abdullah ibn Abî Ishâq al- Hadhrami, Nashr ibn „Âshim, Yahya ibn Ya‟mar, „Atha‟ ibn Rabâh, „Ikrimah ibn Khâlid al-Makhzûmi, „Ikrimah maula Ibnu „Abbâs, dan Muhammad ibn Muhaishin.56
Para ulama terkenal banyak yang belajar ilmu qirâ‟ât kepada Abu „Amr, sperti Abu Yazîd Sa‟îd bin Aus, Sallâam bin Sulaimân al-Thawîl, Sahl bin Yûsuf, Syuja‟ bin Abî Nashr,
„Abbâs bin al-Fadhl, „Abdullâh bin al-Mubârak, Yahyâ bin al- Mubârak al-Yazîdî, Sibawaih, dan Yûnus bin Hubaib. Selain ilmu qirâ‟ât, ada juga apara ulama yang beajar ilmu nahwu kepada Abu „Amr seperti Yûnus bin Hubaib, Khalîl bin Ahmad, dan Yahyâ al-Yazîdî. Dua orang perawi qirâ‟ât Abu
„Amr adalah al-Dûry dan al-Sûsy, mereka tidak meriwayatkan
54 Ahmad Fathoni, Tuntunan Praktis 101 Qirâ‟ât Mujawwad & ةيشرفلا ةملكلا Abu
„Amr Riwayat al-Dûry & al-Sûsy Dalam Thariq al-Syathibiyyah Jilid 1, (Tangerang : IIQ Jakarta, 2016), cet. 1, h. 4
55 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 5
56 Ahmad Fathoni, Tuntunan Praktis 101 Qirâ‟ât Mujawwad & ةيشرفلا ةملكلا Abu
„Amr Riwayat al-Dûry & al-Sûsy Dalam Thariq al-Syathibiyyah Jilid 1, h. 5
secara langsung dari beliau, akan tetapi melalui perantara Yahyâ bin al-Mubârak al-Yazîdî.57
4) Ibnu „Âmir, nama lengkapnya adalah „Abdullâh ibn „Âmir ibn Yazîd ibn Tamîm ibn Rabi‟ah ibn „Âmir ibn „Âbdillah ibn al- Yahsubi.58 Yahsub diambil dari nama salah satu suku di kota Himyar.59 Beliau diberi gelar Abû „Imrân. Beliau termasuk golongan tabi‟in dan juga merupakan seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walîd ibn Abdul Mâlik.
Lahir pada tahun 21 H dan wafat di Damaskus pada hari
„Asyura bulan Muharram tahun 118 H pada masa pemerintahan Hisyâm ibn „Abdul Mâlik60
Menurut Yahya ibn al-Hârits al-Dzimari, Ibnu „Âmir belajar qirâ‟ât kepada khalifah „Utsman ibn „Affan. Artinya, beliau merupakan generasi pertama tabi‟in di Damaskus.
Kemudian dua perawi dua perawi yang meriwayatkan qirâ‟ât beliau adalah Ammar ibn Nushair ibn Maisarah, yang biasa disebut dengan nama Hisyam dan „Âbdullah Ahmad ibn Basyir ibn Dzakwan al-Qurasyi al-Dimasyqi, yang biasa disebut dengan nama ibn Dzakwan. Kedua perawi ini tidak belajar langsung kepada Ibnu „Âmir, melainkan melalui perantara. Hisyam mempelajari qirâât dari „Arrak al-Muni dan Ayyub ibn al-Tamîm, mereka belajar kepada Yahya al- Dzimari, yang mana Yahya al-Dzimari belajar langsung
57 Ahmad Fathoni, Tuntunan Praktis 101 Qirâ‟ât Mujawwad & ةيشرفلا ةملكلا Abu
„Amr Riwayat al-Dûry & al-Sûsy Dalam Thariq al-Syathibiyyah Jilid 1, h. 6
58 Abu Ja‟far Ahmad bin „Alî bin Ahmad bin Khalaf al-Anshârî, al-Iqna‟ fi al- Qirâ‟ât al-Sab‟, h. 103
59 Abu Ja‟far Ahmad bin „Alî bin Ahmad bin Khalaf al-Anshârî, al-Iqna‟ fi al- Qirâ‟ât al-Sab‟, h. 104
60 M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, h.319
kepada Ibnu „Âmir. Sedangkan Ibnu Dzakwan belajar kepada Ayyub ibn al-Tamîm.61
5) Imam „Âshim, nama lengkapnya adalah Abu Bakar „Âshim ibn Abi al-Najûd.62 Ibunya bernama Bahladah, oleh karena itu ia disebut „Âshim ibn Bahladah. Merupakan seorang tabi‟in yang mulia.63 „Berbagai pujian dan sanjungan banyak ditujukan kepadanya, sehinggga berhasil meraih posisi terhormat di kalangan para ulama ahli qirâ‟ât. Di antara pujian datang dari Abu Ishâq al-Suba‟iy (w. 132 H/ 749 M), beliau mengganggap Imam „Âshim sebagai ulama yang paling ahli dalam bidang qirâ‟ât Al-Qur‟an.64
Menurut Syamr bin „Athiyyah, Imam „Âshim adalah orang yang paling menguasai qirâ‟ât Zaid bin Tsabit.
„Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dikabarkan juga pernah bertanya kepada ayahnya mengenai Imam „Âshim, maka ayahnya menjawab bahwa Imam „Âshim adalah seorang laki- laki shalih yang tsiqah. Lalu „Abdullah bertanya kepada ayahnya tentang qirâ‟ât apa yang paling ia senangi, Ahmad bin Hanbal menjawab kalau dirinya sangat menyenangi qirâ‟ât penduduk Madinah. Namun kalau tidak ada, maka qirâ‟ât yang paling ia senangi adalah qirâ‟ât „Âshim.65
„Âshim bin Bahladah bukan hanya seorang ulama yang ahli dalam bidang ilmu qirâ‟ât, namun juga termasuk jajaran tokoh ahli hadis. Banyak sekali hadis Rasulullah yang telah
61 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 44
62 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 44
63 M. Zaenal Arifin, Khazanah Ilmu Al-Qur‟an, h. 319
64 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Al-Baqarah s/d Surah Ali Imran Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Qalun, h.15
65 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Al-Baqarah s/d Surah Ali Imran Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Qalun, h.16
diriwayatkan. Bahkan riwayat-riwayat hadisnya juga tercantum dalam kitab Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim.
Selain itu Imam „Âshim juga termasuk ulama yang menguasai ilmu bahasa dengan sangat baik, sehingga beliau disebut sebagai seorang ahli nahwu yang memiliki logat bahasa yang fashih.66
Imam „Âshim meninggal dunia di Kufah pada tahun 127 H/ 744 M.67 Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Imam „Âshim sedang menghadapi sakarat al-maut, Abû Bakar Syu‟bah bin „Ayyâsy sedang menjenguknya. Ketika itulah ia menjumpai Imam „Âshim sedang membaca ayat ke 62 dari surah al-An‟am.68
Imam „Âshim belajar ilmu qirâ‟ât kepada Abu
„Abdurrahman „Abdullah ibn Hubaib al-Sulami, Abu „Amr al- Sulami, dan Zirr ibn Hubaisy. Adapun „Abdurrahman sendiri belajar dari „Utsman ibn „Affan, Ali ibn Abi Thalib, Ubay ibn Ka‟ab, Abdullah ibn Mas‟ud, dan Zaid bin Tsabit, yang semuanya itu belajar kepada Rasulullah Saw.69
Jumlah perawi yang belajar kepada Imam „Âshim bisa dibilang cukup banyak. Namun di antara sekian banyak perawinya itu, hanya dua rawi saja yang paling terkenal yaitu Abu Bakar Syu‟bah bin „Abbas bin Sâlim al-Kûfi dan Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al-Bazzar al-Kûfi.70
66 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Al-Baqarah s/d Surah Ali Imran Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Qalun, h.17
67 Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun 128 H/
745 M
68 Ahmad Fathoni. Tuntunan Praktis Plus Surah Al-Baqarah s/d Surah Ali Imran Qirâ‟ât Nafi‟ Riwayat Qalun, h. 18
69 Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Hukum Islam, h. 45
70 Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, ter. Mudzakir, h. 260