• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Penafsiran

BAB III: PROFIL AL-QURTHUBÎ DAN KITAB TAFSIRNYA

B. Profil Kitab Tafsir

3. Sumber Penafsiran

Sebuah karya tafsir selalu memiliki sumber penafsiran. Sumber- sumber tafsir tidak lain adalah sumber-sumber yang dikutip oleh para ahli tafsir dan diletakkannya di dalam penafsiran mereka.22 oleh karena itu, untuk mengetahui sumber tafsir apa yang digunakan al- Qurthubi dalam penafsirannya, maka harus diketahui terlebih dahulu sumber-sumber tafsir tersebut. Adapun sumber-sumber tafsir itu adalah sebagai berikut:

a. Tafsir bi al-ma‟tsûr, yaitu menafsirkan Al-Qur‟an dengan Al- Qur‟an, Al-Qur‟an dengan sunnah Nabi, dan Al-Qur‟an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi‟in. Dinamai dengan tafsir ini karena dengan menafsirkan Al-Qur‟an, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad

21 Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr al-Qurthubî, al-Jamî‟ li Ahkam Al-Qur‟an, h. 8

22 Adian Husaini, Hermeneutika & Tafsir Al-Qur‟an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. 1, h. 75

Saw. Karena banyak mengunakan riwayat, maka tafsir ini dinamai juga dengan tafsir bi al-riwâyah.23

b. Tafsir bi al-ra‟yi, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan kemampuan ijtihad atau pemikiran, tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an atau tafsir Al-Qur‟an dengan hadis dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat ataupun tabi‟in.24

Berdasarkan sumber penafsiran yang telah dijelaskan, kitab al-Jāmi‟ li Ahkām Al-Qur‟ān karya al-Qurthubî ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir yang bersumber tafsir bi al-ma‟sūr. Hal ini dapat dibuktikan bahwa al-Qurthubî setiap menafsirkan Al-Qur‟an beliau lebih dominan memakai ayat lain, hadis, pendapat para sahabat maupun tabi‟in.25 Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

1) Tafsir Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an

Al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an, menggunakan penafsiran Al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an.

adapun contohnya adalah sebagai berikut:

ْتَيِلُت اَذِإَو ْمُهُ بوُلُ ق ْتَلِجَو ُومللا َرِكُذ اَذِإ َنيِذملا َنوُنِمْؤُمْلا اَمنَِّإ ( َنوُلمكَوَ تَ ي ْمِهبَِّر ىَلَعَو اًناَيمِإ ْمُهْ تَداَز ُوُتاَيآ ْمِهْيَلَع ۲

)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfâl [8]:2)

23 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur‟an, (Yoyakarta: Itqan Publishing, 2014), cet.

3, h. 274-275

24 Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur‟an, h. 278

25 Ahmad Zainal Abidin dan Eko Zulfikar, “Epistimologi Tafsir al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an Karya al-Qurthûbî”, dalam Jurnal Kalam, h. 509

Al-Qurthubî menafsirkan ayat tersebut dengan menggunakan ayat lain, yaitu QS. al-Zumar sebagai berikut:

ُدوُلُج ُوْنِم ُّرِعَشْقَ ت َ ِنِاَثَم اًِبِّاَشَتُم اًباَتِك ِثيِدَْلْا َنَسْحَأ َلمزَ ن ُومللا ِومللا ِرْكِذ َلَِإ ْمُهُ بوُلُ قَو ْمُىُدوُلُج ُينِلَت مُثُ ْمُهم بَر َنْوَشَْيَ َنيِذملا َي ْنَم ِوِب يِدْهَ ي ِومللا ىَدُى َكِلَذ ْنِم ُوَل اَمَف ُومللا ِلِلْضُي ْنَمَو ُءاَش

ٍداَى ( ۲۳ )

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang- ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.

Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun” (QS. Al-Zumar [33]:23) Maksudnya, jiwa mereka menjadi tenang karena keyakinan mereka kepada Allah meskipun mereka juga takut kepada-Nya. Inilah kondisi orang-orang yang mengenal Allah dan takut akan sikasaan-Nya. Kondisi mereka ini berbeda dengan kondisi orang-orang bodoh dan orang-orang yang melakukan bid‟ah.26

2) Tafsir Al-Qur‟an dengan hadis

Al-Qurthubî menempatkan posisi hadis sebagai sumber penafsiran untuk memberikan pemahaman akan maksud ayat,

26 Al-Qurthubî, Tafsir al-Qurthubi, h. 924

dimana hadis itu berisi penjelasan mengenai ayat tersebut.27 Sebagaimana contohnya dalam firman Allah SWT:

َنيِذملا منِإ َلَ َكِئَلوُأ ًلًيِلَق اًنََثَ ْمِِنِاَْيمَأَو ِومللا ِدْهَعِب َنوُرَ تْشَي

َمْوَ ي ْمِهْيَلِإ ُرُظْنَ ي َلََو ُومللا ُمُهُمهلَكُي َلََو ِةَرِخ ْلْا ِفِ ْمَُلَ َق َلًَخ ِهيهكَزُ ي َلََو ِةَماَيِقْلا ( ٌميِلَأ ٌباَذَع ْمَُلََو ْم

۷۷ )

“Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. Âli

„Imrân [3]:77)

Al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat ini memberi penjelasan dengan mengutip hadis nabi sebagai berikut:

: َلاَق َمملَسَو ِوْيَلَع ُللها ىملَص ِللها َلوُسَر منَأ ،َةَماَمُأ ِبَِأ ْنَع ِنَم «

،َرامنلا ُوَل ُللها َبَجْوَأ ْدَقَ ف ،ِوِنيِمَيِب ٍمِلْسُم ٍئِرْما مقَح َعَطَتْ قا َةمنَْلْا ِوْيَلَع َممرَحَو اَي اًيرِسَي اًئْيَش َناَك ْنِإَو :ٌلُجَر ُوَل َلاَقَ ف »

: َلاَق ؟ِللها َلوُسَر ٍكاَرَأ ْنِم اًبيِضَق ْنِإَو «

28

»

“Dari Abî ‟Umâmah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda:

siapa saja yang mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan neraka atas dirinya dan dan menharamkan surga baginya. Seseorang berkata kepada beliau, “Bagaimana halnya jika (yang diambil) hanyalah sesuatu yang sederhana (tidak berharga)?”beliau menjawab,

„meski hanya sepotong kayu arak.”

27 Ahmad Zainal Abidin dan Eko Zulfikar, “Epistimologi Tafsir al-Jami‟ li Ahkam Al-Qur‟an Karya al-Qurthûbî”, dalam Jurnal Kalam, h. 510

28 Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyair al-Naisaburi, Shahih Muslim, juz.

1, h. 122

3) Tafsir Al-Qur‟an dengan pendapat sahabat atau tabi‟in

Al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat Al-Qur‟an juga menggunakan pendapat sahabat atau tabi‟in. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

ْمُكَل ٌّلِح َباَتِكْلا اوُتوُأ َنيِذملا ُماَعَطَو ُتاَبهيمطلا ُمُكَل ملِحُأ َمْوَ يْلا َنِم ُتاَنَصْحُمْلاَو ْمَُلَ ٌّلِح ْمُكُماَعَطَو َنِم ُتاَنَصْحُمْلاَو ِتاَنِمْؤُمْلا

َينِنِصُْمُ منُىَروُجُأ منُىوُمُتْيَ تآ اَذِإ ْمُكِلْبَ ق ْنِم َباَتِكْلا اوُتوُأ َنيِذملا ْدَقَ ف ِناَيمِْلْاِب ْرُفْكَي ْنَمَو ٍناَدْخَأ يِذِخمتُم َلََو َينِحِفاَسُم َرْ يَغ ِفِ َوُىَو ُوُلَمَع َطِبَح َنِم ِةَرِخ ْلْا

َنيِرِساَْلْا )

٥ )

\

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita- wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Mâidah [5]:5)

Dalam menafsirkan ayat tersebut al-Qurthubî menukil beberapa pendapat ulama seperti Ibnu „Abbâs, „Atha‟, al-Qâsim bin Mukhaimarah, dan lain-lain. Ibnu „Abbâs berkata mengenai firman Allah SWT

ْمُكَل ٌّلِح َباَتِكْلا اوُتوُأ َنيِذملا ُماَعَطَو

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu” yaitu sembelihan orang-orang Yahudi dan Nasrani, meskipun orang-orang Nasrani itu menyebutkan demi nama „Isa

ketika menyembelih, dan orang-orang Yahudi mengucapkan demi nama Uzair. Itu lantaran mereka menyembelih berdasarkan agama. „Atha‟ berkata, “Makanlah sembelihan orang-orang Nasrani meskipun mereka mengatakan: demi nama „Isa. Sebab Allah telah membolehkan (untuk memakan) sembelihan mereka, sementara apa yang mereka katakan pun sudah diketahui.”

Selanjutnya al-Qâsim bin Mukhaimarah berkata “Makanlah sembelihannya (orang-orang Nasrani), meskipun merea mengatakan demi nama Sarjis (nama gereja mereka).”29

Namun sekelompok orang berkata, “Jika engkau mendengar Ahlul Kitab menyebut selain nama Allah (ketika menyembelih) maka jananlah engkau memakan sembelihannya.” Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok sahabat yaitu „Ali, „Âisyah, dan Ibnu „Umar. Pendapat ini jua dikemukakan oleh Thawus dan al- Hasan, yang mana keduanya berpegang pada Firman Allah:

لََو

ٌقْسِفَل ُومنِإَو ِوْيَلَع ِومللا ُمْسا ِرَكْذُي َْلَ امِمِ اوُلُكْأَت

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan.”30 (QS. Al-An‟âm [7]:121)

Dokumen terkait