• Tidak ada hasil yang ditemukan

Marital Rape dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

BAB III KONSEP MARITAL RAPE DALAM UNDANG-UNDANG

A. Marital Rape dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004

Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga (TPKDRT)

Undang-Undang No. 23 tahun 2004 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak lahir begitu saja, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lahirnya undang-undang tersebut diantaranya landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.

1. Landasan Filosofis

Lahirnya UU PKDRT adalah bentuk dari tonggak sejarah dalam upaya memberi perlindungan terhadap para korban kekerasan yang notabene terjadi dalam lingkungan rumah tangga khususnya para perempuan dan anak sebagai kumpulan yang rentan atas perilaku kekerasan. kemudian undang-undang ini juga mengelola tentang hal-hal untuk mengantisipasi munculnya kekerasan baru serta terbentuknya kepastian berupa sanksi yang tegas bagi pelaku kekerasan. 122

Diundangkannya tentang kekerasan dalam rumah tangga merupakan upaya pemerintah dalam mengamalkan sila sila yang termaktub dalam pancasila terkhusus sila ke 2 “Kemanusiaan yang adil

122 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender (Rekonstruksi Teologis, Yuridis, dan Sosiologis), (Purwokerto: Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Purwokerto, 2006), 80.

61

dan beradab” dan sila ke 5 yakni “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.123 Dalam penjelasan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dipaparkan bahwa perubahan hukum yang pro terhadap anggota yang rentan atau subordinasi, khususnya perempuan, memang begitu diperlukan mengingat banyaknya kasus kekerasan, terkhusus dalam rumah tangga.124

Pembaharuan hukum diperlukan karena Undang-undang sebelumnya masih kurang memadai dan tidak selaras lagi dengan problematika sosial yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu, didorong dengan adanya suatu keharusan, karena prevalensi kekerasan cukup tinggi yang dilakukan oleh suami, terhadap anggota keluarganya, dalam lingkungan rumah tangga. Walaupun telah nampak dalam pengaturan Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai penganiayaan dan perbuatan asusila serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.

Namun, hal ini tidak seluruhnya dapat tertangani berkenaan kasus-kasus yang terjadi dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan undang- undang khusus (Lex Speciallis).125 Yang dapat menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban untuk mendapatkan perlindungan hukum serta mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya.

123 Ninik rahayu, Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual Di Indonesia, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2021), 202.

124 Moerti Hadiarti Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis- Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 89.

125 M. Darin Arif Muallifin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, 2003, 5.

2. Landasan Sosiologis

Lahirnya undang-undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU TPKDRT) dilatarbelakangi oleh perkembangan dewasa ini yang menunjukkan bahwa TPKDRT pada kenyataannya sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual maupun penelantaran rumah tangga.126

Gagasan yang disampaikan Komnas Perempuan tentang pentingnya sebuah undang-undang yang mengatur masalah kekerasan dalam rumah tangga masih belum terwujud meski rancangannya sudah disampaikan ke Senayan waktu itu. Ironisnya prevalensi kekerasan dalam rumah tangga terus meningkat. Sepanjang tahun 2002 dari 118 aduan hanya terdapat 2 persen yang masuk ke lembaga bantuan hukum Jakarta dilaporkan ke pihak kepolisian. Sepanjang 2003 lebih ironis lagi, karena tercatat hanya satu orang yang mau melaporkan kasusnya ke polisi.127

Gambaran dari catatan kasus diatas lingkupnya masih terbilang sempit, banyak kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga yang belum tercatatkan karena memang tidak adanya aduan dari korban dengan berbagai alasan sebagaimana yang telah peneliti paparkan diatas. Dan kasus tersebut ibarat fenomen gunung es dimana kasus-kasus yang berhasil ditangani atau diproses secara hukum masih jauh lebih sedikit

126 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung : Refika Aditama, 2012), 16.

127 www.lbh-apik.or.id

63

dibandingkan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat.128 Pemahaman dan informasi yang terbatas, tidak adanya kepedulian sosial dari lingkungan sekitar, budaya patriarki, lemahnya penegakan hukum, dan segudang masalah lainnya inilah yang menjadikan tindak pidana KDRT Sebagai fenomena gunung es.129

Penyebab minimnya pengaduan ke polisi memang beragam.

Mulai dari perasaan malu, awam hukum, tidak adanya jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban, hingga kekhawatiran vonis pengadilan terhadap pelaku kelak akan rendah. Tetapi, persepsi yang dimiliki polisi bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan internal pasangan bersangkutan juga turut andil dalam persoalan tersebut.

padahal sudah ada 19 Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian tingkat kabupaten dan propinsi.130

Sehingga dengan keadaan sosial yang terjadi pada masa itu maka diaturlah undang-undang yang lebih khusus untuk melindungi kaum- kaum rentan dari tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga agar mampu memberikan perlindungan hukum yang baik dan lingkungan sosial yang baik.

3. Landasan Yuridis

Dilihat dari segi yuridis, di hapusnya kekerasan di rumah tangga adalah suatu aplikasi dari hak manusia untuk di lindungi pada pasal 20,

128 Bantarto Bandoro, Eddie Siregar, M. Yogiyanto, Kampus Biru Menggugah : Bunga Rampai Tulisan Alumnus Fisipol UGM, (Yogyakarta : Kafispol Ga ma), 149.

129 Dewi Lestari, Perempuan Di Rantai Kekerasan : Kumpulan KISAH, Kontes, Inspirasi dan Harapan Esensi, (Jakarta : Gelora Aksara Pratama, 2007), 118.

130 www.hukumonline.com/berita/a/kasus/kekerasan/dalam/rumah-tangga-meningkat-hol9392

kemudian 28A, 28B, ayat 2, 28D ayat 1, 28G ayat 1 serta ayat 2, pasal 28H ayat 1 dan 2, pasal 281 ayat 1,2,4 serta 5..

Berbagai bentuk perlindungan terhadap HAM dan perlindungan secara Undang-Undang sudah di berikan melewati beberpa aturan, tanpa terkecuali melalui HAM yang sudah dilegalisasi yang di jadikan hukum Negara secara umum.131 Adanya kebijakan tersebut tentunya mewajibkan bagi negara itu sendiri untuk menjalankan Undang-Undang atau aturan yang sudah dilegalkan, wujudnya adalah memberi lindungan dari berbagai macam ketidakadilan, ancaman serta kekerasan.132 Terutama kejahatan dalam sex, karena kekerasan jenis ini tidak hanya bertentangan dengan falsafah bangsa tetapi juga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup para korban, baik secara fisik, psikis dan keamanan mereka kedepannya.

Pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape diatur dalam pasal 5 Huruf (c) undang-undang No. 23 Tahun 2003 Tentang TPKDRT yang berbunyi:133

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara:

a. Kekerasan fisik b. Kekerasan psikis c. Kekerasan seksual, atau d. Penelantaran rumah tangga

Adapun penjelasan lebih mendalam terkait pasal 5 huruf (c) tersebut ialah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap

131 Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

132 Naskah Akademik RUU TPKS, 110 .

133 Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga, Pasal 5 Huruf c.

65

orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga; kemudian pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan / atau tujuan tertentu.134

Maka berdasarkan konsep diatas kajian tentang marital rape dalam undang-undang tersebut secara eksplisit dapat ditarik sebuah konklusi bahwa pemerkosaan suami terhadap istri belum dijelaskan secara eksplisit dalam pasal tersebut. Pasal tersebut menjelaskan secara umum tentang siapa saja yang berada dalam lingkup rumah tangga.

Diantaranya, istri, anak, orang tua dan kerabat yang tinggal dalam suatu rumah, termasuk seorang asisten rumah tangga (ART). Namun ketika seorang suami memaksakan hak seksualitasnya terhadap istri, apakah merupakan suatu hal yang keliru? Sementara diantara keduanya telah terjalin hak dan kewajiban baik secara lahir maupun batin.

Kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga selain kepada istri memang adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum karena tidak ada yang menghalalkan percampuran tersebut terjadi diluar perkawinan, sebagaimana ketentuan pasal dalam KUHP bahwa pemaksaan apabila dikaitkan dengan pemenuhan hak seksualitas seseorang tanpa persetujuan salah satu pihak di luar perkawinan adalah suatu pemerkosaan.135

134 Undang-Undang No 23 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga,

Pasal 8 Huruf (a dan b).

135 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 285.

Sehingga pemenuhan hak seksualitas seorang suami menjadi tanggung jawab seorang istri. Namun walaupun demikian, tidak patut pula seorang istri mengalami pemaksaan, diperlakukan dengan cara yang tidak ma’ruf bahkan berdampak pula pada kesehatan fisik dan psikis seorang istri. Karena istri dilindungi haknya oleh negara dalam pasal 8 huruf (a) UU TPKDRT. Dan sanksi hukum atas perbuatan tersebut ialah pidana penjara paling lama 12 tahun, atau denda paling banyak Rp.

36.000.000,- (Tiga puluh enam juta rupiah.

B. Marital Rape dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang