BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Sebagai suatu upaya menciptakan produk kerja intelektual yang lebih komprehensif dan matang, maka peneliti berusaha menghadirkan beberapa studi terdahulu. Hal ini dilakukan supaya terdapat referensi yang dapat dijadikan sebagai telaah pustaka dan bahan perbandingan. Selain itu, diharapkan teks ini dapat meneruskan gagasan yang pernah ada sebelumnya, sehingga kajian keilmuan mengenai tema pembahasan tidak lantas usai.
Dalam permasalahan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Marital Rape Dalam Undang-Undang Nomor 23/2004 Terkait TPKDRT, serta Undang-Undang Nomor 12/2022 Terkait TPKS Perspektif Maqasid Syari‟ah. ada beberapa hal yang menjadi rujukan penulis, berupa karya-karya ilmiah serta buku-buku yang ada kaitannya dengan penelitian ini, diantaranya:
1. Tesis Karina Martyana “Perkosaan dalam Rumah Tangga (Marital Rape) dalam Perspektif Maqasid Al-Shari‟ah.
Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa marital rape dalam (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) KUHP tidak dapat disebut sebagai pemerkosaan suami terhadap istri, melaikan disebut dengan tindakan penganiayaan. Dalam Maqasid Al-Syariah tindakan marital rape tidak mencerminkan terpenuhinya tujuan syariah dalam perkawinan.
Perbedaannya, penelitian tersebut lebih fokus kepada kajian maqasid secara umum. Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital
Rape Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (TPKDRT), Dan Undang-Undang No.
12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Perspektif Feminisme
2. Nurlaila Isima, “Kebijakan Hukum Pidana Marital Rape Dalam Konsep Pembaharuan Hukum di Indonesia” dalam Jurnal Al Mujahid Vol.1 No.2 Tahun 2021.
Dalam kajian tersebut dijelaskan bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal perkosaan dalam perkawinan.
Marital rape dalam KUHP include kedalam pasal tentang kekerasan seksual, tidak ada yang mengatur secara spesifik terkait kasus tersebut.
Karena Marital rape masih termasuk kasus yang sampai saat ini masih perlu dipastikan lagi keberadaannya mengingat pelanggaran tersebut bernanung dalam wadah hukum yang legal yakni pernikahan.
Perbedaannya penelitian tersebut berfokus pada posisi Marital rape dalam KUHP hingga pada pembaharuan hukum terbaru yaitu RUU PKS.
Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam Undang-Undang Nomor 23/2004 Terkait TPKDRT, serta Undang-Undang Nomor 12/2022 Terkait TPKS Perspektif Feminisme
3. Jurnal Zikri Darussamin, “Marital Rape Sebagai Alasan Perceraian Dalam Kajian Maqasid Syariah”
Dalam kajian tersebut dijelaskan bagaimana marital rape dalam UU Nomor 23/2004 terkait PKDRT dikategorikan kepada kejahatan yang
27
di lakukan dalam berumah tangga. Tapi dalam tatanan secara spesifik marital rape ini adalah suatu hal yang wajar dan tidak jarang dilegitimasi dengan dalih-dalih agama. Perbedaan perspektif tersebut akhirnya mengkerucut pada bagaimana marital rape adalah suatu pelanggaran dalam islam sehingga dapat dijadikan sebagai alasan perceraian.
Perbedaannya, penelitian tersebut lebih berfokus pada upaya menjadikan marital rape sebagai dalih dari adanya perceraian. Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (TPKDRT), Dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Perspektif Feminisme.
4. M.Irfan Syaifuddin, “Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat”
dalam Jurnal Al-Ahkam Vol.3 Nomor 2 Tahun 2018.
Dalam kajian tersebut dijelaskan bagaimana literatur fikih munakahat belum banyak dikemukakan pendapat ahli tentang bagaimana konsep dan hukum marital rape. Maka menumbuhkan kesadaran para ahli fikih akan pentingnya konsep marital rape mutlak diperlukan. Untuk menjawab permasalah tersebut sehingga mampu melindungi hak-hak perempuan dalam mencari keadilan. Perbedaanya, penelitian tersebut berfokus pada konsep marital rape secara fiqh dan bagaimana sanksi hukumnya terhadap pelaku dalam fiqh munakahat. Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme
5. Jurnal yang ditulis oleh Aldila Arumita Sari, berjudul “Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri ( Marital Rape ) Dalam Tinjauan Gender di Indonesia dalam Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Vol.1 Nomor 1 Th 2019.
Dalam kajian tersebut dijelaskan bagaimana konsep marital rape dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara ekspilisit tentang marital rape. KUHP hanya mengatur tentang tindakan kekerasan seksual diluar pernikahan. Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur tentang tindak pidana pemerkosaan dalam keluarga, namun tidak dijelaskan secara eksplisit sanksi hukumnya terhadap pelaku. Perbedaannya, penelitian tersebut berfokus pada kebijakan formulasi marital rape di Indonesia dan bagaimana negara-negara lain mengkonsepkan marital rape beserta sanksi hukumnya. Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (TPKDRT), Dan Undang-Undang No.
12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Perspektif Feminisme
6. Titin Samsudin Marital Rape Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Jurnal Al-Ulum Vol 10, Nomor 2, Desember 2010.
Dalam kajian tersebut dijelaskan bagaimana konsep marital rape dalam berbagai literatur dan bagaimana sanksi hukum serta posisi marital rape dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Perbedaannya
29
penelitian tersebut hanya berfokus pada muatan yang ada dalam KUHP sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme.
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami penelitian terdahulu diatas maka peneliti menyusun table penelitian terdahulu yang berisi identititas penulis, judul dan persamaan serta perbedaan dari tiap- tiap penelitian.
Tabel 2.1
Persamaan dan Perbedaan
No Penulis Judul Persamaan Perbedaan 1 Tesis Karina
Martyana
Tesis
“Perkosaan dalam Rumah Tangga (Marital Rape) dalam Perspektif Maqasid Al- Shari‟ah”
Penelitian ini sama-sama
membahas
Tentang konsep dan sanksi hukum terhadap marital rape
Penelitian ini mengkaji marital rape dalam KUHP dan bagaimana sudut pandang maqasid al-Syariah dalam merespon fenomena tersebut.
sedangkan fokus pembahasan peneliti adalah pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme
2 Nurlaila Isima
Jurnal Kebijakan Hukum Pidana
Marital Rape Dalam
Konsep Pembaharuan Hukum di Indonesia
Mendeskripsikan konsep dan sanksi hukum terhadap marital rape
Penelitian tersebut berfokus pada posisi Marital rape dalam
KUHP hingga pada
pembaharuan hukum terbaru yaitu RUU PKS. Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme
3 Zikri
Darussamin
Marital Rape Dijadikan Faktor Cerai
Mendeskripsikan konsep dan sanksi hukum
Penelitian tersebut lebih berfokus pada upaya menjadikan marital rape
Perspektif Maqashid as- Syariah
terhadap marital rape
sebagai dalih dari adanya perceraian. Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme
4 M.Irfan Syaifuddin
Jurnal Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat
Mendeskripsikan konsep dan sanksi hukum terhadap marital rape
Penelitian tersebut berfokus pada konsep marital rape secara fiqh dan bagaimana sanksi hukumnya terhadap pelaku dalam fiqh munakahat.
Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme
5 Aldila Arumita Sari, R.B Sularto
Jurnal Kebijakan Formulasi Kekerasan Seksual Terhadap Istri (Marital Rape) Berbasis Keadilan Gender di Indonesia
Mendeskripsikan konsep dan sanksi hukum terhadap marital rape
Penelitian tersebut berfokus pada kebijakan formulasi marital rape di Indonesia dan bagaimana negara-negara lain mengkonsepkan marital rape beserta sanksi hukumnya.
Sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme 6 Titin
Samsudin Marital Rape Sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam Jurnal Al-Ulum Vol 10, Nomor 2, Desember 2010.
Mendeskripsikan konsep dan sanksi hukum terhadap marital rape
Penelitian tersebut hanya berfokus pada muatan yang ada dalam KUHP sedangkan penelitian ini berfokus pada Telaah Marital Rape Dalam UU Nomor 23/2004 terkait TPKDRT, serta UU Nomor 12/2022 terkait TPKS Perspektif Feminisme
31
B. Kajian Teori
1. Pengertian Marital Rape
Marital Rape, ialah kosakata bahasa inggris, marital “Segala bentuk yang berhubungan dengan perkawinan” relating to or connected with thestatus of marriagedan rape “Pemerkosaan.52 Kata rape ini terarah pada mengerjakan ikatan seks baik itu secara vaginal atau anal kepada perempuan atau laki-laki tanpa kehendak laki-laki dan wanita tersebut.
(Sexual intercourse or vaginal or anal with a woman or a not her man without their consent).53 Jadi marital rape ialah pemerkosaan yang terjadi dalam suatu relasi perkawinan. Pemerkosaan yang dilakukan oleh satu pihak ke pihak lain seperti suami kepada istri begitupun sebaliknya.
Namun dalam pengertian yang lebih umum marital rape dipahami sebagai kekerasan yang dialami oleh seorang istri yang diperbuat oleh sang suami.
Sehingga marital rape ialah tindakan kekerasan atau pemaksaan yang dialami seorang istri oleh sang suami tanpa memikirkan kondisi tubuh istri untuk melakukan aktivitas seksual.54
Marital rape juga disebut dengan hbungan sexual dibarengi dengan pemaksaan, pengaancaman, kekerasan disertai dengan maunya sendiri, dan pemakaian beberapa obat yang di larang atau minum minuman yang di larang.55Marital rape cenderung tidak sama dengan perilaku sex yang
52John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia 373 dan 465
53ElizabethA. Martin (ed),OxfordDictionary of Law (Oxford: OxfordUniversityPress,2003), 406
54Andy Dermawan, Marital Rape Dalam PerspektifAl-Quran. Dalam Mochamad Sodik (ed.), 313- 314.
55Nurul Ilmi Idrus, Marital Rape : Kekerasan Seksual Dalam Perkawinan (Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM dan Ford Foundation, 1999), 25–38.
melanggar. Karena seluruh pandangan sexual yang diangankan orang dalam konteks tidak bersifat kelaziman, melanggar pemikiran seksual pada kalangan umum, sepertihalnya lesbian, sex dengan sedarah. Sex dengan hewan. Sodomi, pedofilia, nekrofilia atau sex dengan orang meninggal, oleh karena itu sexual yang melanggar adalah bentuk dari salah satu perbuatan marital rape.56
Marital Rape juga didefinisikan sebagai:57
Extends beyond those legally married to include partners considered married under common law and those who have had an ongoing intimate relationship.
Setiap hubungan seksual atau penetrasi yang tidak diinginkan (vaginal, anal atau oral) yang diperoleh dengan paksaan atau ancaman kekerasan atau ketika wanita tidak mampu memberikan persetujuan.
Dalam definisi tersebut, Raquel jugamenjelaskan baik wanita (istri) yang diserang secara fisik maupun mereka yang tidak terlibat dengan kekuatan fisik.
Marital rape sebagaimana yang dipaparkan oleh Melanie Randall dkk58 ialah:
Marital rape is a gendered form of violence that is perpetrated across the globe. When the law fails to address marital rape effectively, it means that wives are denied their rights to equality, dignity, security of the person and acces to juctice. When the legal treatment of marital rape result in legally condoned violence with the result that women and girls are treated
56Penjelasan huruf b pasal 27 PP No. 61/2014 terkait Kesehatan Reproduksi.
57Raquel Kennedy Bergen, Wife Rape Understanding The Response of Survivors, 17.
58Melanie Randall adalah seorang Profesor di Fakultas Hukum Western University of London, Jennifer Koshan adalah Profesor Di University Calgary, AB dan Patricia Nyaundi adalah seorang CEO di Kenya National Commission on Human Rights.
33
as a form of property, it reinforces women‟s inequality in society and in other areas of the law.59
Menurut Melanie Pemerkosaan dalam pernikahan adalah bentuk kekerasan gender yang terjadi di seluruh dunia. Ketika undang-undang gagal menangani pemerkosaan dalam perkawinan secara efektif, hal tersebut menandakan bahwa para istri ditolak haknya atas kesetaraan, martabat, keamanan pribadi, dan akses ke pengadilan. Ketika pelakuan hukum terhadap hal tersebut dibenarkan secara hukum dan mengakibatkan perempuan sertaseoarang anak perempuan diperlakukan sebagai suatu barang atau objek, maka hal itu semakin memperkuat ketidaksetaraan perempuan di masyarakat dan di bidang hukum lainnya.
Hirsch berpendapat Marital rape perlu dianalisis lebih dalam lagi mengingat faktor budaya dan bagaimana peran laki-laki (suami) yang memang lebih mendominasi dalam hal kekerasan interpersonal. Banyak perempuan (istri) diberbagai negara mengalami marital rape, bahkan lebih jauh pelanggaran tersebut dialami dan dipahami berbeda pula antara negara satu dengan negara lainnya. Sehingga upaya penanganan dari lembaga perlindungan perempuan pun mengalami kesulitan dalam pengumpulan data dan informasi dikarenakan kedua belah pihak (Suami- istri) berkompromi atau menyangkal pengalaman mereka tentang pelanggaran seksual. Sehingga hal tersebut menyulitkan lembaga
59Melanie Randall dkk, The Right to Say No Marital Rape and Law Reform in Canada, Ghana, 3.
perlindungan perempuan dalam mendekonstruksi pelanggaran yang tersirat dalam marital rape dan peran gender.60
Banyak faktor yang melatarbelakangi bungkamnya salah satu pihak. Satu sisi karena salah satu pihak mengintimidasi pihak lainnya, salah satu pihak merasa terancam jiwanya, atau kedua belah pihak merasa malu ketika hal tersebut disampaikan kepada orang lain mengingat hal tersebut adalah sesuatu yang bersifat intimacy.
Marital rape jika dikategorikan dalam konsep yang dipaparkan oleh Mulyana W.K tergolong kedalam Exploitation Rape. Dimana pada jenis perkosaan ini pelaku memanfaatkan posisi yang ada padanya sebagai orang yang dibutuhkan dari segi ekonomi maupun status sosial yang ada pada diri pelaku. Sehingga pelaku dapat memanfaatkan korban karena hierarki tersebut.61
Kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa istri yang notabene secara finansial dan sosial bergantung terhadap suami selaku kepala keluarga dalam rumah tangga,rawan untuk di eksploitasi dengan dalih kekuasaan yang dipikul oleh suami dan kebiasaan yang terjadi dalam suatu keluarga.Selama ini marital rape dalam payung UU TPKDRT digolongkan sebagai bagian dari kekerasan dalam rumah tangga, bukan sebagai pemerkosaan suami terhadap istri sebagaimana definisi dari KDRT ialah tindak kekerasan yang terjadi dalam ruang lingkup pribadi
60Perspektif Hirsch dalam Kersti Yllo , M. Gabriela Torres Marital Rape Consent, Marriage, and Social Change in Global Context, (USA: Oxford University Press, 2016), 14.
61Nurlaila Isima Kebijakan Hukum Pidana Marital Rape Dalam Konsep Pembaharuan Hukum di Indonesia dalam Jurnal Al Mujahid Vol.1 No.(2) Tahun 2021, 128.
35
yakni rumah tangga, antara pasangan atau anggota keluarga. KDRT terjadi ketika seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain dalam rangka untuk menunjukkan penguasaan dalam suatu keluarga, umumnya dalam bentuk kekerasan yang terkait dengan identitas gender seperti kekerasan seksual, perkosaan, dan intimidasi dengan fisik atau verbal.62 2. Marital Rape dalam Perspektif Islam
Dalam istilah Arab, marital rape di namakan dengan al-igtishab az- zauji. Pada mu’jam lugah al-fuqaha’ serta al-mawrid dijelaskan bahwasannya al-igtishab adalah penafsiran dari pada rape yang secara bahasa Indonesia memiliki makna memperkosa atau memaksa berhubungan seksual terhadap seorang wanita, atau berzina dengannya secara paksa. Sedangkan az-zauji adalah wujud dari makna suami atau istri atau juga bisa pasangan, akan tetapi lebih di kenal dengan martial atau sebuah pernikahan.63
Sulit untuk mendapatkan nomenklatur al-igtishab az-zauji beserta pengertian pada beberapa litareatur Arab, tidak terkecuali dalam tulisan- tulisan modern. Terlebih pada kumpulan beberapa kitab fiqh tempo dulu, karena memang dari dasarnya kata ini bersifat impor serta bertentangan dengan kondisi sosial serta cara berfikir bangsa Timur secara menyeluruh.
Akan tetapi beriring berkembangnya ide-ide, bahasan yang berhubungan dengan igtishab az-zauji sudah dikaji dengan beberapa penulis modern.
62M.Irfan Syaifuddin, Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat, Vol. 3 No. 2 Tahun 2018.
63Muhammad Ruwās Qal‟ajiand Hamid Sadiq Qunaibi, al-igtishab, Mu‘jam Lugah al-Fuqahā ( Yordania: Dāral- Nafa‟is, 1988). Dalam Jurnal Zikri Darusamin & Armansyah, Marital Rape Menjadi Faktor Perceraian Dalam Kajian Maqasid Syariah, Jurnal Al-Ahwal Vol 12 No. (1) Tahun 2019, 84.
Sufyan„Abdali, mendefinisikan al-ightishāb al-zauji sebagai ketika berhubungan suami istir atau dalam cara apa saja yang dikerjakan orang dengan pasangannya, tanpa di sertai dengan kesetujuan darinya.64 Sedang Grandsyech di Universitas al-Azhar, memaknai hal tersebut dengan suatu paksaan hubungan suami istri yang dilakukan sang suami terhadap sang istri.
Kemudian marital rape adalah perilaku yang menyimpang dari syari‟ah karena tidak selaras dengan maslahah yang menjadi tujuan syari‟ah. Marital rape merupakan perilaku yang bertentangan dengan maslahah dlaluriyah, dimana yang dilanggar oleh pelaku adalah timbulnya dampak berupa kekerasan fisik yang mengakibatkan berbagai jenis penyakit seperti penyakit kelamin dan hal tersebut berdampak pada produktifitas dalam membentuk keturunan akan menjadi rusak atau fasad.65 Berdasarkan uraian tersebut maka telah terdeskripsikan secara gamblang bahwa perbuatan marital rape tidak mencerminkan suatu hifzu nasl66 dan selain mengakibatkan cedera terhadap fisik hal tersebut juga berpengaruh pada kondisi psikis sehingga memperngaruhi kesehatan jiwa seorang istri, dan apabila terus terjadi secara berulang-ulang maka akan mempengaruhi keselamat nyawa seorang istri.
64Zain al-Din Muhammad Al-Razi, Muhtar as-Ṣihāh ( Beirut: al-Maktabah al-‟Ashriyyah, 1999) ,138. Dalam Jurnal Zikri Darussamin dan Armansyah, Marital Rape Sebagai Alasan Perceraian Dalam Kajian Maqasid Syariah, Jurnal Al-Ahwal Vol 12 No. (1) Tahun 2019, 86.
65 Tri Purwanto, Analisis Al-Istiqra’ Al Ma’nawi Terhadap Ketentuan Pencegahan Marital Rape dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT, (Tesis IAIN Ponorogo, 2021), 70.
66 Memelihara keturunan
37
Bukan tidak mungkin ketika seorang istri mengalami kekerasan seksual secara berulang-ulang, mereka akan merasa muak karena kenyamanan dan kebahagiaan dalam berumah tangga tidak dapat mereka rasakan karena cenderung mengalami penyiksaan sehingga mengakibatkan mereka terpikirkan untuk mengakhiri hidup. Walaupun tidak sampai ke tahap itu seorang istri juga bisa mengalami tekanan batin dan mental hingga menyebabkan menurunnya kesehatan yang cukup fatal dan menyebabkan kematian.
3. Marital Rape dalam UU TPKDRT
Marital rape dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak mengatur secara eksplisit terkait pemerkosaan suami terhadap istri.
Dalam undang-undang tersebut menegaskan larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana bunyi pasal 5 huruf (c) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 TPKDRT dalam ranah seksual.67 Namun perlu dipahami lingkup dari rumah tangga bersifat umum.
Anggota yang ada dalam suatu rumah tangga terdiri dari suami, istri, dan anak. Kemudian orang-orang yang mempunyai hubungan dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) baik hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap
67 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, Pasal 5 Huruf (c)
dalam rumah tangga. Termasuk seorang pembantu dalam rumah tangga.68
Berdasarkan pasal tersebut cakupan dari penjelasan pasal masih bersifat umum. Tidak ada peraturan secara eksplisit terkait pemerkosaan suami terhadap istri. Yang tertera dalam pasal itu ialah kekerasan seksual dalam rumah tangga dimana masih perlu dikaji dan di analisis lebih dalam lagi.
Walaupun tidak dijelaskan secara eksplisit namun dalam sebuah putusan Nomor 899/Pid.Sus/2014/PN Dps Undang-Undang tersebut dijadikan dasar putusan hakim Pengadilan Negeri Denpasar dalam mendakwa suami memperkosa istri yang tengah sakit jantung dengan sanksi ditahannya terdakwa selama 5 bulan atas pelanggaran pasal 8 Huruf a dan Pasal 46 UU No. 23 Tahun 2004.69
4. Pembentukan Undang-Undang No.12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
Sebelum menjadi sebuah Undang-Undang, aturan ini lebih dulu tersusun dalam sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU). Rancangan Undang-Undang adalah: A Proposed Law Presented To A Legislative Body For Consideration,70 Ialah suatu undang-undang yang diusulkan untuk dipertimbangkan menjadi undang-undang sampai disahkan oleh legislatif dan dalam banyak kasus disetujui oleh eksekutif.Adapun visi yang ingin dicapai dari suatu Rancangan Undang-Undang adalah sebagai
68 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004, Pasal 2 Huruf (a)
69 Putusan Nomor 899/Pid.Sus/2014/PN Dps
70Perspektif Bill dalam Goverment Course Topic House Of Representative (USA) 2022.
39
payung hukum bagi para korban-korban yang berhak mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum.
Undang-undang No.12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual digagas atas dasar tingginya prevalensi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.71 Adapun data ini dapat dilihat dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan United Nations
Population Fund (UNFPA). Dari sekitar 9.000 responden, berusia 15-64
tahun, ditemukan bahwa seperempat wanita yang sudah menikah pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh suami.72 Kemudian Dalam catatan tahunan yang dipaparkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), marital rape mencapai 172 kasus di penghujung tahun 2017 dan 195 kasus pada tahun 2019.73
Serta terbatasnya perlindungan hukum terhadap mereka (para korban) seperti ketika yang menjadi pelaku pelecehan adalah seorang tokoh terhormat, masyarakat acapkali menjadi barikade bagi aparat untuk menghalangi tugas mereka, sebagaimana kasus yang terjadi pada suatu
pesantren di Jombang. Pengasuh yang notabene seorang kyai menghalagi
aparat untuk menangkap putranya dengan dalih hal tersebut adalah suatu fitnah dan menggiring opini masyarakat untuk tak percaya sehingga
71Ninik Rahayu, Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia, (Jakarta : Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2021), 9.
72https://www.femina.co.id/sex-relationship/marital-rape-sebuah-fenomena-gunung-es
73 https://www.idntimes.com/health/sex/nena-zakiah-1/apa-itu-marital-rape-dan-efeknya-bagi- korban, diakses pada 13 Oktober 2022, 11:23