BAB III KONSEP MARITAL RAPE DALAM UNDANG-UNDANG
A. Ruang Lingkup Matital Rape dalam Undang-Undang
82
2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (TPKDRT), DAN UNDANG-UNDANG No. 12 TAHUN 2022
TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL (TPKS) PERSPEKTIF FEMINISME
A. Ruang Lingkup Matital Rape dalam Undang-Undang TPKDRT dan
83
Seiring perjalanan KDRT semakin menjadi isu yang santer dibicarakan. Hal tersebut beriringan dengan semakin banyaknya lembaga pemerintah maupun swadaya yang konsen melakukan perannya untuk memberi layanan berupa advokasi serta sosialisasi kepada korban. Sebelum adanya UU TPKDRT kekerasan dalam rumah tangga itu seolah tidak pernah terjadi.162 Memang dianggap tidak pernah ada karena tidak ada legislagi yang mengatur.
Dalam KUHP sebelum adanya UU TPKDR kekerasan tersebut tergolong kepada tindak penganiayaan, padahal fakta yang muncul ditengah masyarakat perbuatan pemaksaan seksual terhadap istri ini variatif, diantaranya: Suami menyiksa fisik dan kekerasan sexual sekaligus ketika memaksakan hasrat seksualnya padahal tidak ada kesiapan dan persetujuan dari seorang istri, lalu suami mengancam sang istri terlebih dahulu sebelum berhubungan, apabila istri menolak suami mengancam akan melakukan kekerasan fisik, kemudian terakhir adalah suami melakukan perbuatan yang sadis terhadap istri saat berhubungan untuk mendapatkan kepuasan seksualnya dengan melihat penderitaan sang istri.163 Sehingga supremasi hukum terhadap perlindungan perempuan saat itu masih terbatas dan minim penanganan.
Oleh karena itu pembaharuan hukum sangat diperlukan mengingat dasar negara yang menekankan bahwa “kemanusiaan adalah yang adil dan beradab” maka kedudukan laki-laki maupun perempuan
162 Ibid., 39
163 M. Irfan Syaifuddin, Konsepsi Marital Rape dalam Fikih Munakahat, 177.
berdasarkan sila tersebut berada di posisi yang sama baik dalam hak serta kewajiban dan perlakuan yang beradab dan adil tanpa bias.
2. Marital rape sebagai Tindak Pidana dalam Undang-Undang TPKS Mengacu pada legislasi yang ada saat ini Undang-Undang TPKS mengkonsep tipe kekerasan sex lebih umum serta luas pada koridor yang lebih bermacam-macam daripada aturan yang sudah ada sebelum itu.
Pada cakupan tersebut marital rape dijelaskan dalam pasal pasal 4 huruf (h). Undang-Undang tersebut secara umum hanya menyebutkan kekerasan seksual dalam rumah tangga.164 Penjelesan tiap-tiap pasal pun dinyatakan cukup jelas sehingga tidak memerlukan penafsiran lebih jauh. Dilanjutkan pada pasal 6 huruf (b) UU TPKS menjelaskan bahwa siapapun yang memaksa berbuat kasar dalam konteks seksual baik secara fisik mengarah pada tubuh, hasrat seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud memposisikan seseorang dibawah tekanannya secara paksa dan bertentangan dengan hukum yang ada, baik di dalam maupun diluar perkawinan, maka ia dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp.
300.000.000, (Tiga ratus juta rupiah).
Atas adanya sanksi tersebut maka di Indonesia pemberdayaan terhadap perempuan atas kekerasan dalam rumah tangga telah terakomodir secara legal dalam konstitusi negara yaitu berupa undang- undang. Para perempuan dianjurkan untuk sadar hukum dan berani
164 UU Nomor. 12/2022 Terkait TPKS Pasal 4 Ayat 2.
85
melayangkan delik aduan baik kepada aparat maupun lembaga layanan pemberdayaan perempuan. Hal itu adalah salah satu fasilitas yang disediakan oleh negara untuk menjamin keamanan seoarang perempuan.
3. Marital rape dalam fiqh munakahat melanggar syariat
Dalam kajian fikih islam marital rape sebenarnya mengalami ambiguitas, keberadaan marital rape antara ada dan dialami oleh seorang istri atau tidak pernah ada karena melakukan hubungan seksual terhadap pasangan yang telah sah dimata hukum dan syariat adalah suatu hak dan kewajiban. Karena ketika dipahami, syariat menjelaskan bahwa pemerkosaan adalah pemaksaan seksual yang dilakukan seseorang terhadap orang lain tanpa adanya pernikahan dan persetujuan salah satu pihak. Maka berlakulah had (hukuman) terhadap pelaku pemerkosaan.
Sehingga dalam konteks ini seorang suami yang memaksakan kehendak seksualnya terhadap istri maka tidak ada had terhadapnya.
Namun jika mengacu pada kepatutan beretika maka islam menganjurkan ummatnya untuk memiliki akhlak yang baik. Dimana dalam hal ini memaksakan kehendak seksual terhadap pasangan adalah suatu perbuatan yang dilarang, terlebih ketika diiringi dengan kekerasan seperti penyiksaan. Perbuatan ini tentunya bertentangan dengan akhlaqul karimah sebagaimana hadits nabi.
يلص للها لوسر لاق ونع هريرى يبا نع انامئ نينمؤملا لمكا : ملسو ويلع للها
هريغو يذمرتلا هاور ...مهئ اسنل مكرايخ مكرايخو , اقلخ مهنسخء
Artinya: Dari Abu Hurairah Rdhiyallahu anhu bahwa Rasulullah S.A.W bersabda “Orang mukmin yang paling baik sempurna imannya
adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah orang yang baik kepada istrinya
Hadits ini menunjukkan bagaimana keutamaan berakhlak baik terhadap sesama, baik berupa sikap maupun perbuatan. Perbuatan baik ini lebih khusus pula ditujukan kepada keluarga dan orang terdekat kita terlebih kepada istri. Maka dari itu sangat patut pula apabila seorang suami menginginkan istri untuk memenuhi keinginan hasratnya, maka mintalah dengan sikap yang baik, dan perlakukan istri dengan baik pula.
Karena menolaknya seorang istri semua ada hal yang mendasari, faktor lelah seharian mengurus rumah tangga, sedang sakit, datang bulan dan lain-lain. Seorang suami pun harus paham bagaimana kondisi sang istri, karena kebanyakan persepsi suami terhadap pekerjaan istri dirumah adalah sesuatu yang sepele, padahal tidak demikian. Istri tidak diwajibkan untuk bekerja dirumah tetapi tugas istri adalah membantu suami membangun rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.
Maka dari itu suami juga harus memperhatikan bagaimana kondisi fisik sang istri bahkan memberikan perawatan yang baik pula terhadap istri agar tubuh mereka selalu dalam kondisi yang baik sehingga secara sukarela serta ridho memenuhi kemauan pasangan mereka.