• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menolak Relokasi

Dalam dokumen BAB 1 (Halaman 65-69)

65

dan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2005 tentang ketertiban umum, kebersihan, dan keindahan lingkungan Kota Tanjungpinang.

Maka aparat pemerintah kota yaitu satuan polisi pamong praja (Satpol PP) sebagai penegak perda dan menjada ketertiban serta kenyamanan kota bagi masyarakat kerap melakukan operasi terhadap pedagang kaki lima yang berjualan pada lokasi yang illegal dan memang menggangu kenyaman publik. Maka dari hal itu muncul berupa konflik serta perlawanan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima baik itu secara tersembunyi dan terang-terangan atau terbuka.

Adapun perlawanan terbuka yang kerap dilakukan berdasarkan hasil penelitian pada lokasi laman boenda yaitu :

Ini juga terjadi pada lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti.

Munculnya para pedagang kaki lima yang memanfaatkan taman kota milik sebagai tempat fasilitas umum dan tempat berwisata memberikan dampak pada arus lalu lintas dan kawasan menjadi semerawut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menata keberadaan pedagang kaki lima adalah dengan melakukan relokasi. Relokasi yang dilakukan terhadap pedagang kaki lima untuk melakukan pemindahan lokasi berdagang dari suatu tempat ke tempat yang lain dari lokasi ini salah satu upaya pemerintah untuk menertibkan pedagang kaki lima.

Namun, upaya melakukan relokasi yang dilakukan pemerintah ternyata tidak sepenuhnya mendapatkan tanggapan yang positif dari pedagang kaki lima karena tidak semua pedagang kaki lima bersedia untuk menempatkan lokasi relokasi yang ada. Hal ini masih terlihat banyaknya pedagang kaki lima yang tetap berjualan di daerah larangan untuk berdagang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pedagang kaki lima Bu Winarsih, yaitu :

“dulu kan sempat direlokasi cuman ya lokasinya itu lah nggak bagus masa mau di relokasi ke MS yang depan ADB ya kan nggak cocok sama lokasinya itu pun gelap”. (wawancaara 12 November 2021)

Hal serupa juga di ungkapkan oleh pak Mahmud yaitu :

“Dulu sempat disuruh jualan di lokasi MS sama anjung cahya disuruh pindah ke sana. cuman nggak sebandinglah kalau jualan

67

disana sama disini lagian kan butuh penyesuaian juga lagi di sana.

Tempat yang di lokasi itu kan yang kelolah BUMD jadi pasti ada uang lapaknya disana. lagian juga kalo mau direlokasi itu lihat-lihat tempatlah inikan nggak sesuai jadinya udahlah sepi, nyari pelanggan itu yang susah”. (wawancara 16 November 2021)

Sama halnya seperti hasil wawancara yang didapatkan oleh kedua informasi sebelumnya hal yang serupa juga di diucapkan oleh pak M. Soleh, yaitu :

“dulukan sempat jualan di anjung cahaya sama MS. kalau di sana itu bayar karena dikelola sama BUMD. Terus saya pindah ke sini, eh tak lama disuruh lagi relokasi ke sana, di sana juga kan sepi pelanggan jadi saya milih netap jualan disinilah sampai sekarang”.

(wawancara 15 November 2021)

Dari hasil penelitian yang dilakukan, bahwa pedagang kaki lima sempat direlokasi ke daerah anjung cahaya dan melayu square.

Namun karena lokasi yang disediakan dianggap sangat tidak menguntungkan bagi pedagang kaki lima serta lokasi yang juga dianggap tidak strategis oleh pedagang kaki lima dan membutuhkan penyesuaian kembali terhadap lokasi yang baru, sehingga ketika dipindahkan para pedagang kaki lima akan kehilangan pelanggannya dan tidak mendapatkan penghasilan yang memadai dari sebelumnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh dari bu Mahyar, yaitu:

“yang awak lakukan ya ini balik lagi jualan kesini tanpa basa- basi. Kan mereka sering tu patroli mantau lokasi yaudah awak cuekin aja pura-pura bodohlah. Tapi kami sebelum kesini lagi, ya main cantik satu-satu dulu yang pergi”. (wawancara 12 November 2021)

Hasil wawancara yang dilakukan dengan pak Nashrul, yaitu:

“ya mau tak mau balik lagi kesini, lagian siapa yang tahan jualan disana. Mau dilihat petugas atau engga biarin aja kita butuh makan kok. Kan kami pas pindah ya satu-satu dulu pindahnya kira-kira aman barulah ikut”. (wawancara 15 November 2021)

Dari informan ketiga pak M. Soleh didapatkan informasi, berupa:

“kita terang-terangan kok balik kesini lagi tapi seorang dulu baru yang lain ikutan, buktinya sampai sekarang masih jualan aman- aman aja kok. Lagian kalau lokasi sesuai pasti kita netap, ini kasih lokasi yang tak pas kan buat capek jadinya”. (wawancara 16 November 2021)

Dari bu Sumiati didapatkan informasi, berupa:

“kami juga biasa aja kok balik kesini lagi, tapi satu-satu dulu.

Inipun masih aman-aman aja kok”. (wawancara 16 November 2021) Sebagaimana hasil informasi yang didapatkan. Kembalinya para pedagang ke tempat asal secara terang-terangan dan tanpa adanya negoisasi kembali terhadap pemerintah, menandakan bahwa adanya rasa kecewa yang dialami pedagang dengan lokasi yang diberikan oleh pemerintah. Disamping rasa kecawa yang dialami para pedagang, hal ini menandakan bahwa kerap terjadinya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah yang berkenan dengan penataan pedagang kaki lima tidak mampu memenuhi bahkan sama sekali tidak megakomodasi kepentingan pedagang itu sendiri (Sudarmo, 2015).

Dapat disimpulkan selain adanya rasa kekecewaan yang dialami oleh pedagang kaki lima pasca terjadinya relokasi yang memutuskan

69

mereka untuk kembali berjualan ke lokasi awal. Dalam praktiknya bahwa kembalinya pedagang kaki lima melalui wawancara yang dilakukan, sangat selaras dengan perlawanan secara terbuka yang diungkapkan oleh James Scott hal ini terlihat para pedagang kaki lima dalam menolak relokasi sangat terorganisir untuk kembali berjualan ke lokasi awal dengan cara satu persatu para pedagang meninggalkan lokasi yang baru. Selain itu juga kembalinya pedagang juga memiliki prinsip bahwa lokasi yang sebelumnya akan jauh lebih menguntungkan dibandingkan yang saat ini.

Dalam dokumen BAB 1 (Halaman 65-69)

Dokumen terkait