• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mental Hygiene di Sekolah

Dalam dokumen PDF Copy Reading Copy Reading (Halaman 109-114)

PERSPEKTIF MULTIDIMENSIONAL

A. Mental Hygiene di Sekolah

sebagai substitusi keluarga, dan guru berperan sebagai substitusi orang tua. Dari sudut pandang psikologis, guru dapat berperan sebagai: (1) pakar psikologis pendidikan, artinya seseorang yang memahami psikologis pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik; (2) seniman dalam hubungan antar manusia (artis in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan siswa-siswa sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan; (3) pembentuk kelompok, yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitas, aktivitas sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan; (4) catalytic agent atau inovator, yaitu orang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi pembuat suatu hal yang lebih baik; (5) petugas kesehatan mental (mental hygiene worker) artinya, guru bertanggungjawab bagi terciptanya kesehatan mental para siswa.

Menurut Djuwita (Saripah, 2007:4), merebaknya fenomena kekerasan yang dilakukan oleh petugas pendidikan tentu menjadi kontrapoduktif dan bersinggungan dengan isu kualitas pendidikan.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul, merasa takut datang ke sekolah sehingga absensi mereka tinggi, dan ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, serta kesehatan mental dan fisik mereka akan berpengaruh. Dalam jangka panjang, kondisi siswa yang demikian dikhawatirkan akan berdampak terhadap pencapaian mutu hasil pendidikan yang berkualitas.

sedini mungkin. Mereka dapat memahami masalah mental yang dapat diatasi sendiri, dan dapat menentukan mana yang seyogianya dirujuk kepada para ahli yang lebih profesional.

Para guru di SLTP dan SLTA perlu memahami kesehatan mental siswanya yang berada pada masa transisi, karena tidak sedikit siswa yang mengalami kesulitan mengembangkan mentalnya karena terhambat oleh masalah-masalahnya, seperti penyesuaian diri, konflik dengan orang tua atau teman, masalah pribadi, atau masalah akademis yang semuanya dapat menjadi sumber stres.

Ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, bullying, ketidakpercayaan diri, kehamilan di luar nikah, bahkan perilaku bunuh diri karena tidak lulus UN merupakan beberapa indikasi adanya ketidakmampuan pada pribadi siswa dalam menangani masalah pada dirinya, juga merupakan tanda adanya gangguan kesehatan mental, mengingat remaja merupakan fase yang rawan, labil, dan dinamis.

Sebelum melangkah lebih jauh, kesehatan mental pada umumnya tak kalah penting dengan masalah kesehatan jasmani. Apabila pada hal ini mengalami gangguan, maka dapat menimbulkan hal-hal negatif yang tidak diinginkan, layaknya gangguan pada kesehatan jasmani. Adapun yang membedakan dari keduanya adalah bahwa gangguan pada kesehatan mental berakibat pada timbulnya perilaku menyimpang (maladjustment) yang tidak diinginkan, baik oleh diri sendiri maupun lingkungan sekitar. Penyimpangan perilaku ini tidak sepenuhnya disadari sebagai bentuk gangguan pada individu, bahkan tak jarang saat seseorang merasa baik-baik saja dengan dirinya secara tak sadar sedang dalam masalah mental yang mungkin dinilai kritis. Penyimpangan diwujudkan dalam berbagai perilaku yang secara umum dapat diterima di masyarakat maupun yang dipandang sebagai bentuk kelainan. Dengan demikian, maka dibutuhkan adanya pemahaman kesehatan mental dan tidak mengesampingkannya begitu saja, hal ini agar dapat membangun kesadaran untuk hidup secara sehat, baik jasmani maupun mental.

Kesehatan mental dapat dipahami sebagai terwujudnya keharmonisan antara fungsi-fungsi, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi, dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya (Zakiah Darajat, 1975). Sedangkan cakupan kesehatan mental itu berupa (1) bagaimana

READING

COPY

kita memikirkan, merasakan, menjalani, kehidupan sehari-hari; (2) bagaimana memandang diri sendiri dan orang lain; (3) bagaimana kita mengevaluasi berbagai alternatif dan mengambil keputusan (Samsu Yusuf, 2009).

Anak dalam masa perkembangannya akan dihadapkan dalam berbagai lingkungan. Lingkungan yang paling awal dikenal dan terdekat oleh anak adalah lingkungan primer. Lingkungan primer merupakan lingkungan keluarga yang di dalamnya terjadi interaksi yang intens dengan orang tua. Orang tua secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi terbentuknya setiap perilaku dasar pada anak. Anak cenderung melakukan copying terhadap hal-hal yang terjadi disekitarnya, maka orang tua merupakan pihak yang sangat bertanggung jawab terhadap arah perkembangan anak.

Disamping lingkungan primer, anak juga akan dihadapkan pada lingkungan sekunder. Lingkungan kedua ini merupakan lingkungan sekolah. Di lingkungan ini anak tidak hanya belajar pada tataran akademik, tapi anak juga akan turut belajar bagaimana melakukan sosialisasi terhadap orang-orang sekitarnya, terlebih dengan sebayanya.

Pada lingkungan ini anak juga akan terpengaruh pada dinamisasi di dalamnya. Seperti pada lingkungan primer, lingkungan sekunder mempunyai peranan penting dalam mengawal masa transisi anak. Di dalamnya juga tidak lepas dari adanya gangguan-gangguan yang muncul terkait kesehatan mental pada anak dalam masa pembelajarannya di sekolah, atau pada wilayah sekolah yang disebut peserta didik.

Lebih jauh mengenai masalah kesehatan mental di sekolah, Moh.

Surya (1985) mengungkapkan bahwa gangguan tersebut meliputi:

(1) masalah kesulitan belajar; (2) masalah kenakalan remaja; (3) masalah disiplin; dan (4) masalah gangguan mental.

Beberapa masalah seperti disebutkan di atas, cepat atau lambat akan ditemui dalam berbagai tingkat kerumitan masalah, tergantung seberapa kompleks masalah yang ditimbulkan serta lingkungan yang ada. Dalam masa perkembangan peserta didik pada jenjang sekolah menengah (SLTP & SLTA), merupakan masa yang labil dan membutuhkan pendampingan guna mengarahkan pada hal-hal yang bersifat positif, tanpa mengabaikan sisi aktualisasi peserta didik dan sekolah sebagai pihak yang mendapatkan amanah dari orang tua. Pada masa ini peserta didik yang umumnya remaja

READING

COPY

sedang mengalami fase trasinsisi (peralihan) antara sikap bergantung (dependent) menuju sikap bebas (independent) pada usia dewasa.

Pada umunya perhatian akan pentingnya kesadaran dan pemahaman terhadap kesehatan mental di lingkungan sekolah seringkali luput dari perhatian. Padahal kondidi ini perlu perhatian serius dari segenap pihak, khususnya guru pembimbing atau konselor, tak lepas juga dari peranan kepala sekolah, guru mata pelajaran, maupun staf kantor. Kurangnya perhatian terhadap masalah kesehatan mental peserta didik tak jarang berakibat pada timbulnya maladjustment atau tindakan penyimpangan dalam berbagai bentuk yang tentunya bisa sangat merugikan.

Manifestasi dari berbagai gejala gangguan kesehatan mental yang dialami siswa ini, pada akhirnya akan mempengaruhi pencapaian kognitif akademik siswa berupa prestasi belajar, dan berpengaruh terhadap perkembangan psikis yang tidak optimal pada siswa. Pengaruh pada prestasi belajar, umumnya ditandai dengan menurunnya daya tangkap materi yang diajarkan, ketidakmampuan dalam menyelesaikan tugas maupun ujian yang berakibat pada jatuhnya hasil belajar, yang ditandai dengan nilai-nilai yang tidak memenuhi standar. Sedangkan pada perkembangan psikis, hal ini terkait pada masalah kenakalan remaja berupa tingkah laku agresif, pergaulan bebas, tindak asusila dan sebagainya; kedisiplinan berupa menyontek, acuh terhadap tata tertib, ketidakrapian dalam berpakaian dan sebagainya; pada gangguan mental nampak pada sikap yang dingin pada lingkungan, selalu murung, nampak cemas yang belebihan, gejala narkotika, dan sebagainya.

Dari uraian singkat diatas secara umum kita mampu memahami kesehatan mental di lingkungan sekolah. Maka hal yang dapat diupayakan untuk menerapkan prinsip kesehatan mental di lingkungan sekolah, Dr. Muh Surya (1985) mengungkapkan beberapa saran sebagai berikut:

1. Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa betah bagi anak didik, baik secara sosial, fisik, maupun akademis.

2. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi anak didik.

3. Usaha pemahaman anak didik secara menyeluruh baik prestasi belajar, sosial, maupun seluruh aspek pribadinya.

READING

COPY

4. Menggunakan metode dan alat belajar yang dapat memotivasi belajar.

5. Ruangan kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

6. Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat membesarkan motivasi belajar.

7. Menciptakan situasi sosial yang baik dan membantu perkembangan pribadi anak.

8. Peraturan/tata tertib yang jelas dan dipahami oleh siswa.

9. Penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan pribadi anak.

10. Teladan dari para guru dalam segala segi pendidikan.

11. Kerjasama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah.

12. Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan (konseling) yang sebaik- baiknya.

13. Situasi kepemimpinan yang penuh dengan saling pengertian dan tanggung jawab, baik pada murid maupun pada guru.

14. Hubungan yang erat dan penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua murid dan masyarakat.

15. Kerjasama yang baik dengan berbagai instansi yang berhubungan dengan masalah kesehatan.

16. Pelaksanaan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) termasuk usaha kesehatan mental.

17. Penyediaan fasilitas belajar yang memadai.

Masih terkait dengan paparan diatas, bahwa pendekatan yang digunakan pada siswa bukan lagi bersifat kuratif penyembuhan, dimana tindakan muncul ketika siswa baru mengalami masalah, tetapi lebih diarahkan pada perkembangan (developmental approach). Hal ini bersifat edukatif pengembangan dan outreach (Nurihsan, 2009)

Dengan demikian, maka dibutuhkan layanan yang bersifat komprehensif dari tiap-tiap komponen sekolah. Konselor dituntut mampu memberikan layanan konseling serta mampu menyampaikan bimbingan dengan baik. Selain itu, dituntut juga untuk dapat bersinergi dengan guru mata pelajaran, kepala sekolah, dan warga sekolah yang lain, juga ketersediaan fasilitas yang mendukung guna terciptanya kesehatan mental di lingkungan sekolah.

READING

COPY

B. Bentuk-Bentuk Gangguan Kesehatan Mental

Dalam dokumen PDF Copy Reading Copy Reading (Halaman 109-114)