• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model 4D (Define, Design, Develop, and Disseminate) .53

Dalam dokumen Landasan Pengembangan Bahan Ajar (Halaman 63-84)

BAB II ANALISIS DESAIN PENGEMBANGAN MODEL

H. Model Pengembangan Intruksional (MPI)

I. Model 4D (Define, Design, Develop, and Disseminate) .53

dikemukakan oleh Thiagarajan, Semmel dan Semmel (1974) yang digunakan untuk alur pengembangan perangkat pembelajaran

(instructional development), pada dasarnya dimaksudkan untuk pelatihan guru (training teacher) untuk anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children), dan penekanannya pada pengembangan bahan ajar (material development). Anak-anak berkebutuhan khusus tersebut adalah anak-anak cacat (handicapped children).

Sivasailam Thiagarajan, Dorothy S. Semmel dan Melvynl.

Semmel ketiganya ketika itu bekerja di pusat inovasi dalam pelatihan anak-anak cacat (Center for Innovation in Training the Handicapped) di Universitas Indiana (Indiana University), Bloomington, Indiana.

Secara umum, tujuan dari penulisan buku sumber tersebut adalah untuk membantu pembaca dalam mendesain (design), mengembangkan (development), dan menyebarkan (dissemination) bahan pembelajaran (instructional materials) yang digunakan untuk pelatihan bagi guru-guru anak-anak berkebutuhan khusus (exceptional children).

Meskipun dalam langkah-langkah penyusunan bahan ajar melibatkan pengembangan perangkat pembelajaran (developing instructional materials), tetapi jika ditinjau dari isi yang terkandung di abstrak, buku sumber (sourcebook) tersebut dimaksudkan untuk mengembangkan bahan ajar bagi pendidik (teacher educator), atau pelatih guru menggunakan desain model 4D (define, design, develop, and disseminate). Juga jika ditinjau dari kegiatan yang terkandung dalam langkah 4D, terutama pada tahap dissemination, disinyalir fokus dari kegiatan adalah mengembangkan bahan ajar untuk pelatihan guru- guru (training teachers) bagi anak- anak berkebutuhan khusus (exceptional children).

Meskipun awalnya model 4D dimaksudkan untuk mengembangkan bahan ajar bagi guru untuk pelatihan guru-guru anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu bagi guru-guru yang mengajar anak-anak cacat, tetapi disinyalir dari kata pengantar (foreword) oleh Maynard C. Reynolds (ketika itu dia sebagai Director Leadership Training Institute/ Special Education University of Minossa), bahwa model 4D tersebut dapat dijadikan sumber ide dan prosedur pengembangan

untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dan penyebarannya (dissemination) pada bidang lainnya.

Dengan demikian model 4D secara umum dapat dipandang sebagai model untuk pengembangan instruksional (a model for instructional development). Pengembangan model 4D didasarkan pada pengembangan instruksional oleh Twelker, Urbach, dan Buck (Thiagarajan, Semmel, dan Semmel, 1974) dengan tahapan: analysis, design, dan evaluation. Awalnya Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974) memodifikasi model ini menjadi empat tahap, yaitu:

analysis, design, evaluation, dan dissemination. Selanjutnya desain ini setelah melalui proses revisi dan pengembangan dalam pelatihan- pelatihan yang dilakukan disebut model 4D yang meliputi empat tahap: define, design, develop, dan disseminate.

Menurut Triyanto, model pengembangan 4D dapat diadaptasikan menjadi 4P, yaitu;

a) Pendefinisian b) Perancangan

c) Pengembangan, dan d) Penyebaran.35

Secara garis besar keempat tahap kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap pengembangan dapat dijelaskan sebagai berikut berikut ini;

35 Trianto, 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.Jakarta:

Prestasi Putaka.

Gambar 2. 8 Model Pengembangan 4D 1. Define (Pendefinisian)

Kegiatan pada tahap ini dilakukan untuk menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pengembangan. Dalam model lain, tahap ini sering dinamakan analisis kebutuhan. Tiap-tiap produk tentu membutuhkan analisis yang berbeda-beda. Secara umum, dalam pendefinisian ini dilakukan kegiatan analisis kebutuhan pengembangan, syarat-syarat pengembangan produk yang sesuai dengan kebutuhan pengguna serta model penelitian dan pengembangan (model R & D) yang cocok digunakan untuk mengembangkan produk. Analisis bisa dilakukan melalui studi literature atau penelitian pendahuluan. Thiagarajan, menganalisis lima kegiatan yang dilakukan pada tahap define yaitu: analisis ujung depan (front-end analysis), analisis siswa (learner analysis), analisis

tugas (task analysis), analisis konsep (concept analysis) dan perumusan tujuan pembelajaran (specifying instructional objectives)36

a. Front-end analysis (analisis awal dan akhir)

Pada tahap ini, guru melakukan diagnosis awal untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Analisis awal dilakukan untuk mengetahui permasalahan dasar dalam pengembangan. Pada tahap ini dimunculkan fakta-fakta dan alternatif penyelesaian sehingga memudahkan untuk menentukan langkah awal dalam pengembangan.

b. Learneranalysis (analisis siswa)

Analisis peserta didik sangat penting dilakukan pada awal perencanaan. Analisis peserta didik dilakukan dengna cara mengamati karakteristik peserta didik. Analisis ini dilakukan dengan mempertimbangkan ciri, kemampuan, dan pengalaman peserta didik, baik sebagai kelompok maupun individu. Pada tahap ini dipelajari karakteristik peserta didik, misalnya: kemampuan, motivasi belajar, latar belakang pengalaman, dsb.

c. Task analysis (analisis tugas)

Pada tahap ini guru menganalisis tugas-tugas pokok yang harus dikuasai peserta didik agar peserta didik dapat mencapai kompetensi minimal. Analisis tugas terdiri dari analisis terhadap Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) terkait materi yang akan dikembangkan.

d. Concept analysis (analisis konsep/materi)

Analisis konsep bertujuan untuk menentukan isi materi yang akan diajarkan, menyusun langkah-langkah yang akan dilakukan secara rasional. Analisis konsep dibuat dalam peta konsep pembelajaran yang nantinya digunakan sebagai sarana

36 Rochmad, 2012. “Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika”. Jurnal Kreano, ISSN:2086-2334. Vol:3, No:1, Juni. 61.

pencapaian kompetensi tertentu, dengan cara mengidentifikasi dan menyusun secara sistematis bagian- bagian utama materi pembelajaran

e. Specifying instructional objective (tujuan instruksional khusus)

Analisis tujuan pembelajaran dilakukan untuk menentukan indikator pencapaian pembelajaran yang didasarkan atas analisis materi dan analisis kurikulum. Dengan menuliskan tujuan pembelajaran, peneliti dapat mengetahui kajian apa saja yang akan ditampilkan, menentukan kisi-kisi soal, dan akhirnya menentukan seberapa besar tujuan pembelajaran yang tercapai. Menulis tujuan pembelajaran, perubahan perilaku yang diharapkan setelah belajar dengan kata kerja operasional.37

2. Design (Perancangan)

Setelah mendapatkan permasalahan dari tahap pendefinisian, selanjutnya dilakukan tahap perancangan. Tahap perancangan bertujuan untuk merancang perangkat pembelajaran. Thiagarajan (1974) membagi perancangan menjadi empat langkah yang harus dilakukan pada tahap ini, yaitu:

a. Constructing Criterion-Referenced Test (penyusunan tes acuan patokan)

Penyusunan tes acuan patokan merupakan langkah yang menghubungkan antara tahap pendefinisian (define) dengan tahap perancangan (design) (Thiagarajan, 1974: 7). Tes acuan patokan disusun berdasarkan spesifikasi tujuan pembelajaran dan analisis siswa, kemudian selanjutnya disusun kisi-kisi tes hasil belajar. Tes yang dikembangkan disesuaikan dengan jenjang kemampuan kognitif.

37 Ibit. Hal. 61.

b. Media Selection (pemilihan media)

Pemilihan media dilakukan untuk mengidentifikasi media pembelajaran yang relevan dengan karakteristik materi. Lebih dari itu, media dipilih untuk menyesuaikan dengan analisis konsep dan analisis tugas, karakteristik target pengguna, serta rencana penyebaran dengan atribut yang bervariasi dari media yang berbeda-beda. Hal ini berguna untuk membantu siswa dalam pencapaian kompetensi dasar.

c. Format Selection (pemilihan format)

Pemilihan format dalam pengembangan perangkat pembelajaran ini dimaksudkan untuk mendesain atau merancang isi pembelajaran, pemilihan strategi, pendekatan, metode pembelajaran, dan sumber belajar. Format yang dipilih adalah yang memenuhi kriteria menarik, memudahkan dan membantu dalam pembelajaran.

d. Initial Design (rancangan awal)

Rancangan awal yang dimaksud adalah rancangan seluruh perangkat pembelajaran yang harus dikerjakan sebelum ujicoba dilaksanakan. Hal ini juga meliputi berbagai aktivitas pembelajaran yang terstruktur seperti membaca teks, wawancara, dan praktek kemampuan pembelajaran yang berbeda melalui praktek mengajar.38

Dalam tahap perancangan, peneliti sudah membuat produk awal (prototype) atau rancangan produk. Pada konteks pengembangan bahan ajar, tahap ini dilakukan untuk membuat modul atau buku ajar sesuai dengan kerangka isi hasil analisis kurikulum dan materi. Dalam konteks pengembangan model pembelajaran, tahap ini diisi dengan kegiatan menyiapkan kerangka konseptual model dan perangkat pembelajaran (materi, media, alat evaluasi) dan mensimulasikan penggunaan model dan perangkat pembelajaran tersebut dalam

38 Rochmad, 2012. “Desain Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika”. Jurnal Kreano, ISSN:2086-2334. Vol:3, No:1, Juni. 63.

lingkup kecil. Sebelum rancangan (design) produk dilanjutkan ke tahap berikutnya, maka rancangan produk (model, buku ajar, dsb) tersebut perlu divalidasi. Validasi rancangan produk dilakukan oleh teman sejawat seperti dosen atau guru dari bidang studi/bidang keahlian yang sama. Berdasarkan hasil validasi teman sejawat tersebut, ada kemungkinan rancangan produk masih perlu diperbaiki sesuai dengan saran validator.

3. Develop (Pengembangan)

Tahap pengembangan terbagi atas dua kegiatan yaitu: expert appraisal (penilaian ahli) dan developmental testing (uji pengembangan).39 Expert appraisal merupakan teknik untuk memvalidasi atau menilai kelayakan rancangan produk. Dalam kegiatan ini dilakukan evaluasi oleh ahli dalam bidangnya. Saran-saran yang diberikan digunakan untuk memperbaiki materi dan rancangan pembelajaran yang telah disusun. Developmental testing merupakan kegiatan uji coba rancangan produk pada sasaran subjek yang sesungguhnya. Pada saat uji coba ini dicari data respon, reaksi atau komentar dari sasaran penggunakan produk. Hasil uji coba digunakan memperbaiki produk. Setelah produk diperbaiki kemudian diujikan kembali sampai memperoleh hasil yang efektif.

Pada kegiatan pengembangan bahan ajar (buku atau modul), tahap pengembangan dilakukan dengan cara menguji isi dan keterbacaan modul atau buku ajar tersebut kepada pakar yang terlibat pada saat validasi rancangan dan peserta didik yang akan menggunakan modul atau buku ajar tersebut. Hasil pengujian kemudian digunakan untuk revisi sehingga modul atau buku ajar tersebut benar-benar telah memenuhi kebutuhan pengguna. Untuk mengetahui efektivitas modul atau buku ajar tersebut dalam meningkatkan hasil belajar, kegiatan dilanjutkan dengan memberi

39 Thiagarajan, Sivasailam, dkk. (1974). Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Washinton DC: National Center for Improvement Educational System.hal. 8

soal-soal latihan yang materinya diambil dari modul atau buku ajar yang dikembangkan.

Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari pakar.

Dalam konteks pengembangan model pembelajaran, kegiatan pengembangan (develop) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

a. Validasi model oleh ahli/pakar.

b. Revisi berdasarkan masukan dari para pakar pada saat validasi c. Uji coba terbatas dalam pembelajaran di kelas, sesuai situasi

nyata yang akan dihadapi.

d. Revisi model berdasarkan hasil uji coba

e. Implementasi model pada wilayah yang lebih luas.

Selama proses implementasi tersebut, diuji efektivitas model dan perangkat model yang dikembangkan. Pengujian efektivitas dapat dilakukan dengan eksperimen atau Penelitian Tindakan Kelas. Cara pengujian efektivitas pembelajaran dapat dilakukan dengan cara mengukur kompetensi sebelum dan sesudah pembelajaran. Apabila kompetensi sesudah pembelajaran lebih baik dari sebelumnya, maka model pembelajaran yang dikembangkan juga dinyatakan efektif.

4. Disseminate (Penyebarluasan)

Tahap ini merupakan tahap penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih luas. Tahap ini terbagi atas 4 fase yaitu: validation testing (pengujian validitas), packaging (pengemasan), diffusion and adoption (difusi dan adopsi).40 Pada tahap validation testing, produk yang sudah direvisi pada tahap pengembangan kemudian diimplementasikan pada sasaran yang sesungguhnya. Pada saat implementasi dilakukan pengukuran ketercapaian tujuan. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui

40 Ibit. hal. 9

efektivitas produk yang dikembangkan. Setelah produk diimplementasikan, pengembang perlu melihat hasil pencapaian tujuan. Tujuan yang belum dapat tercapai perlu dijelaskan solusinya sehingga tidak terulang kesalahan yang sama setelah produk disebarluaskan. Kegiatan terakhir dari tahap pengembangan adalah melakukan packaging (pengemasan), diffusion and adoption. Tahap ini dilakukan supaya produk dapat dimanfaatkan oleh orang lain.

Pengemasan model pembelajaran dapat dilakukan dengan mencetak buku panduan penerapan model pembelajaran. Setelah buku dicetak, buku tersebut disebarluaskan supaya dapat diserap (diffusi) atau dipahami orang lain dan digunakan (diadopsi) pada kelas mereka.

Pada konteks pengembangan bahan ajar, tahap dissemination dilakukan dengan cara sosialisasi bahan ajar melalui pendistribusian dalam jumlah terbatas kepada guru dan peserta didik. Pendistribusian ini dimaksudkan untuk memperoleh respons, umpan balik terhadap bahan ajar yang telah dikembangkan. Apabila respon sasaran pengguna bahan ajar sudah baik maka baru dilakukan pencetakan dalam jumlah banyak dan pemasaran supaya bahan ajar itu digunakan oleh sasaran yang lebih luas.

Model 4D lebih tepat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan perangkat pembelajaran bukan untuk mengembangkan sistem pembelajaran,

a. Uraiannya tampak lebih lengkap dan sistematis,

b. Dalam pengembangannya melibatkan penilaian ahli, sehingga sebelum dilakukan uji coba di lapangan perangkat pembelajaran telah dilakukan revisi berdasarkan penilaian, saran dan masukan para ahli.

Namun demikian model 4D (define, design, develop, and disseminate) ini juga memiliki kekurangan atau kelamahan, salah satunya adalah tidak ada kejelasan mana yang harus didahulukan antara analisis konsep dan analisis tugas.

J. Model Hanafin dan Peck

Model Hanafin dan Peck merupakan salah satu dari banyak model desain pembelajaran yang berorietasi produk. Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran utuk menghasilkan suatu produk, biasanya dalam mengembangkan media pembelajaran.

Menurut Hanafin dan Peck (Afandi dan Badarudin, 2011:26) model desain pembelajaran terdiri dari tiga fase yaitu Need Assessment (Fase Analisis Keperluan), Design (Fase Desain), dan Develop/Implement (Fase Pengembangan dan Implementasi). Dalam model ini disetiap fase akan dilakukan penilaian dan pengulangan41.

Fase pertama dari model Hanafim dan Peck adalah analisis kebutuhan (Need Assessment). Pengertian analisis kebutuhan dalam konteks pengembangan kurikulum menurut John Mc-Neil ialah : ‘the process by which one defines educational needs and decides what their priorities are’.42 Artinya, bahwa analisis kebutuhan merupakan sebuah proses yang didefinisikan sebagai sebuah kebutuhan pendidikan dan ditentukan sesuai dengan prioritasnya. Jadi pada intinya, proses ini merupakan proses untuk menentukan hal utama dari apa yang dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran atau pendidikan

Menganalisis kebutuhan menjadi hal dasar dalam mendesin pembelajaran yang akan dilaksanakan. Tidak mudah mengidentifikasi apa yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Banyak faktor yang dipertimbangkan dalam pemenuhan kebutuhan belajar. Terdapat langkah-langkah dalam fase analisis kebutuhan, Glasgow43 mengemukakan secara detail langkah-langkah need assessment sebagai berikut ini:

41 Hannafin, Micahel, J. & Peck, Kyle L. 1988. The Design, Development, and Evaluation of Instructional Software. New York: Macmillan Publishing Company.

42Sanjaya, Wina. 2008. Perencanaan & Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, hal.91.

43 Ibit. 93

1. Tahapan Pengumpulan Informasi

Dalam merancang pembelajaran pertama kali seorang desainer perlu memahami terlebih dahulu informasi tentang siapa dapat mengerjakan apa, siapa memahami apa, siapa yang akan belajar, kendala-kendala apa yang dihadapi dan lain sebagainya. Berbagai informasi yang dikumpulkan akan bermanfat dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai. Jadi, informsi yang terkumpul digunakan sebagai dasar dalam merancang sistem pembelajaran. Model Hanafin dan Peck ini berorintasi pada produk sehingga informasi yang dibutuhkan misalnya bagaimana cara pembuatan media pembelajaran dengan bahan yang ada.

2. Tahapan Identifikasi Kesenjangan

Dalam mengidentifikasi kesenjangan terdapat lima elemen yang saling berkaitan yakni Input, Proses, Produk, Output dan Outcome. Input meliputi kondisi yang tersedi saat ini misalnya tentang keuangan, waktu, bangunan, guru, pelajar, kebutuhan. Komponen proses, meliputi perencanaan, metode, pembelajaran individu, dan kurikulum. Komponen produk, meliputi penyelesaian pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dimiliki. Komonen output, meliputi ijazah kelulusan, keterampilan prasyarat, lisensi.

Komponen Outcome, meliputi kecukupan dan kontribusi individu atau kelompok saat ini dan masa depan.

3. Analisis Performance

Tahap selanjutnya adalah tahap menganalisis performance. Pada tahap ini sorang guru yang sudah memahami informasi dan mengidentifikasi kesenjangan yang ada, kemudian mencari cara untuk memecahkan kesenjangan tersebut. Baik dengan perencanaan pembelajaran atau dengan cara lain, seperti melalui kebijakan pengelolaan baru, penentuan struktur organsasi yang lebih baik, atau mungkin melalui

pengembangan bahan dan alat-alat. Jika dilihat dari orientasi model Hanafin dan Peck yang mengarah ke produk maka dalam analisis performance msalah yang mungkin bisa diselesaikan adalah tentng pengembangan bahan dan alat-alat.

4. Mengidentifikasi Kendala Beserta Sumber-sumbernya Tahap keempat dalam need assessment adalah mengidentifikasi berbagai kendala yang muncul beserta sumber-sumbernya. Maksudnya, kita harus mengantisipsi kendala yang mungkin akan muncul. Kendala dapat berupa waktu, fasilitas, bahan, personal dan lain sebginya. Dan sumbernya bisa berasal dari orang yang terlibat (guru atau siswa), berasal dari fasilitas yang mendukung atau tidak, dan jumlah pendanaan beserta pengaturannya.

5. Identifikasi Krakteristik Siswa

Peserta didik ata siswa menjadi pusat dalam pembelajaran, oleh karena itu identifikasi karakteristik siswa sangat dibutuhkan. Sebab, tidak ada siswa yang sama sehingga penangan dari setiap masalah yang ada di setiap siswa akan berbeda pula. Identifikasi karakteristik siswa meliputi usia, jens kelamin, level pendidikan, gaya belajar dan lain sebagainya. Dengan identifikasi tersebut dapat bermanfaat ketika kita menentuka tujuan yang harus dicaai, pemilihan dan penggunaan strategi embelajaran yang dianggap cocok.

6. Identifikasi Tujuan

Mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai merupakan tahap keenam dalam need assessment. Tidak semua kebutuhan menjadi tujuan yang ingin dicapai, namun kebutuhan-kebutuhan yang diprioritas yang menjadi tujuan yang ditetapkan agar dapat segera dipecahkan sesuai kondisi pembelajaran. Hal ini penting dipahami dalam menseleksi tujuan prioritas dalam kegiatan pembelajaran.

7. Menentukan Permasalahan

Tahap terakhir adalah menentukan permasalahan, sebagai pedoman dalam penyusunan proses desain pembelajaran.

Dalam model Hanafin dan Peck berorientasi produk, sehingga masalah yang biasanya timbul adalah tentang media pembelajaran.

Setelah semua langkah dijalankan, kemudian dilakukan sebuah tes atau penilaian terhadap hasil dalam fase ini. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidakkah kebutuhan yang seharusnya ada tetapi tidak tercatat. Sebab, hal ini justru akan menjadikan masalah baru di masa yang akan datang.

Fase kedua dari Hanfin dan Peck adalah fase desain (Design).

Hanafin dan Peck menyatakan fase desain bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaidah yang paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media.44 Dokumen tersebut dapat berupa story board. Jadi, hasil dari need assessment kemudian dituangkan ke dalam sebuah papan dan caranya dengan mengikuti aktifitas yang sudah dianalisis dalam need assessment sebelumnya. Dokumen ini nantiya akan memudahkan kita dalam menentukan tujuan pembuatan media pembelajaran, karena merupakan sebuah papan.

Dalam fase kedua ini, tidak lupa dilakukan tes atau penilaian sebelum dilanjutkan ke fase pengembangan dan implementasi.

Hanafin dan Peck telah menggambarkan bahwa harus ada timbal balik dari setiap fase, hal ini mungkin membuat kita mudah megetahui kesalahan yang kita buat dan menjadi pembelajaran untuk kita.

Fase terakhir dari model Hanafin dan Peck adalah pengembangan dan implementasi. Hanafin dan Peck mengatakan aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah penghasilan diagram alur, pengujian, serta penilain formatif dan sumatif. Penilaian formatif

44 Afandi, Muhammad dan Badarudin. (2011). Perencanaan Pembelajaran. Bandung:

Alfabeta

ialah penialain yang dijalankan saat proses pengembangan media berlangsung, sedangkan penilaian sumatif dijalankan pada akhir proses. Pada fase ini media dikembangkan dan pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah dibuat berdasarkan analisis kebutuhan dan desain yang telah dijalankan.

Berdasarkan deskripsi konseptual sembilan model desain di atas, pada tabel 2.1 berikut diuraikan kelebihan dan kelemahan dari masing-masing model sebagai berikut.

Table 2.1

Kelebihan dan Kelemahan Pengembangan Model No Nama Model Kelebihan Kelemahan

1 Model Borg

and Gall 1. Mampu mengatasi kebutuhan nyata dan mendesak (real needs in the here-and-now) 2. Mampu

menghasilkan suatu produk/

model yang memiliki nilai validasi tinggi, karena melalui serangkaian uji coba di lapangan dan divalidasi ahli.

3. Mendorong proses inovasi produk/ model yang tiada henti

1. Pada prinsipnya memerlukan waktu yang relatif panjang, karena prosedur yang harus ditempuh relatif kompleks.

2. Tidak bisa

digenerali-sasikan secara utuh, karena penelitian R&D ditujukan untuk pemecahan masalah “here and now”, dan dibuat berdasar sampel (spesifik), bukan populasi.

3. Memerlukan sumber dana dan sumber daya yang cukup besar.

No Nama Model Kelebihan Kelemahan 2 Model Dick

and Carey 1. Dikembangkan dengan

pendekatan sistem yang dapat

membantu pengguna

memahami semua langkah

pembelajaran yang ditetapkan;

2. Mendesain dua jenis evaluasi yang menunjukkan keberhasilan proses dan program pembelajaran terukur dengan baik;

3. Berorientasi umum sehingga dapat dijadikan referensi pada setiap model yang dikembangkan

1. Bersifat umum sehingga sulit dijadikan sebagai acuan untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran yang bersifat khusus 2. terlalu luas sampai

pada desain evaluasi sumatif, dan

3. bagi peneliti pemula lebih sulit diaplikasi-kan secara utuh karena bersifat umum dan terlalu luas.

3 Model Kemp 1. Pengembangannya bersifat melingkar yang berarti menggunakan sistem siklus 2. Menciptakan

proses pembelajaran dalam kelas secara

1. Desainnya yang tidak terstruktur secara sistematis sehingga guru kesulitan untuk menentukan langkah awal;

2. Evaluasi dibuat secara terpisah

No Nama Model Kelebihan Kelemahan efektif, efisien,

dan menarik;

3. Pengembangannya dapat dimulai dari mana saja; dan 4. Menggunakan

instrumen dalam pelaksanaan evaluasi.

seolah-olah dinilai bukan menjadi bagian dari proses.

4 Model

ASSURE 1. Proses

dikembang-kan dengan

menggunakan media teknologi, 2. Siswa terlibat

secara langsung 3. Menekankan pada

aspek

keterampilan 4. Ada produk yang

dihasilkan.

1. Hanya dapat dikembangkan pada

sekolah/madrasah yang memiliki kelengkapan fasilitas teknologi;

2. Hanya dapat dikembangkan pada

sekolah/madrasah yang memiliki tenaga guru keterampilan, 3. Sulit dilakukan di

luar kelas.

5 Model

ADDIE 1. Modelnya bersifat sederhana dalam pengembangannya 2. Implementasi

model yang sederhana mampu menciptakan pembelajaran yang efektif, efisien, dan menarik.

3. Banyak tertarik

1. Bagi guru yang kurang memiliki kemampuan menyusun desain pembelajaran sehingga sulit mengadaptasinya pada kondisi tertentu, 2.Tujuan, bahan

atau materi,

Dalam dokumen Landasan Pengembangan Bahan Ajar (Halaman 63-84)