• Tidak ada hasil yang ditemukan

NADIEM MAKARIM

Dalam dokumen INDUS TRI ORANYE - Ubaya Repository (Halaman 186-194)

‘ABSURDITAS

INDUSTRI ORANYE | T h e B o o k o f O R A N G E | Part III: Industri Oranye, Apa itu?

Ada dua hal yang

“absurd”

dalam diri Nadiem Makarim.

Pertama, pendiri Gojek itu me- nyandang status alumni pergu- ruan tinggi dengan nama serta reputasi mentereng. Selepas menuntaskan pendidikan SMA di Singapura, pada tahun 2002 ia terbang ke Amerika Serikat dan masuk ke Universitas Brown. Dia juga sempat mengikuti pertukar- an pelajar di London School of Economics. Setelah memperoleh gelar sarjana pada 2006, tiga tahun kemudian ia mengambil

A

pascasarjana dan meraih gelar

Master of Business Administration di Harvard Business School.

Perhatikan nama tiga kampus yang pernah disinggahi Nadiem:

Universitas Brown, Harvard Bu- siness School, dan London School of Economics. Mari kita cek satu per satu reputasi tiga universitas itu.

Universitas Brown termasuk salah satu dari delapan sekolah Ivy League di AS, yang identik dengan perguruan tinggi bergengsi dan memiliki kesempurnaan akade- mis. Di Ivy League, Universitas Brown bersanding dengan tujuh perguruan tinggi yang reputasi, sejarah, serta pencapaiannya juga sulit ditandingi universitas mana- pun di dunia, seperti Universitas Columbia, Universitas Cornell, Universitas Dartmouth, Universitas Harvard, Universitas Princeton, Universitas Pennsylvania, dan Uni- versitas Yale. Universitas Harvard bahkan dianggap lebih superior.

Berbagai lembaga peringkat per- guruan tinggi meletakkan Univer- sitas Harvard di posisi puncak uni- versitas terbaik di dunia. Harvard

Business School, tempat Nadiem menyabet gelar master, merupa- kan salah satu atau bahkan seko- lah bisnis terbaik di dunia. Begitu pula London School of Economics, tempatnya singgah untuk menja- lani program pertukaran pelajar, diakui sebagai salah satu kampus terbaik dan prestisius di daratan Inggris.

Nah sekarang coba dibayangkan, seorang anak muda dengan background pendidikan seperti itu, kemudian tiba-tiba memutus- kan berbisnis ojek, yang secara sosial dianggap sebagai jenis

“pekerjaan rendahan”.

Anda jangan melihat besaran bis- nis Gojek saat ini, tapi bayangkan konteks atau situasi tahun 2010, ketika Nadiem mulai mengibarkan bendera Gojek. Pasukannya hanya 20 pengemudi ojek, dan masih mengandalkan call center untuk menghubungkan penumpang dengan pengemudi ojek. Saat itu, banyak orang memandangnya se- bagai

“bisnis aneh”

bahkan

“menggelikan”

.

Bisnis ojek? Ba- gaimana mungkin seorang lulusan Harvard Business School menjadi juragan ojek?

Oh come on…!

INDUSTRI ORANYE | T h e B o o k o f O R A N G E | Part III: Industri Oranye, Apa itu?

Di tengah tren besar di kalangan anak-anak muda berpendidikan yang bermimpi menjadi eksekutif di korporat multinasional atau mengembangkan bisnis di sek- tor-sektor yang dianggap keren atau kosmopolit, pilihan Nadiem kepada bisnis ojek menjadi terasa

“ajaib”. Apalagi, demi Gojek dia meninggalkan posisinya yang mentereng sebagai Chief Execut- ive Officer (CEO) Zalora Indonesia dan Chief Innovation Officer (CIO) Kartuku.

Gojek sendiri juga merupakan bisnis yang awalnya juga terlihat seperti bisnis yang absurd. Inilah absurditas kedua seorang Nadi- em.

Orang menganggap, ojek adalah bisnis orang miskin yang hasilnya ha- nya cukup untuk makan esok hari.

Tidak ada seorang pun (saat itu) yang melihat ojek sebagai peluang bisnis. Tapi siapa sangka, berda- sar pengalaman pribadi sebagai

pelanggan ojek, Nadiem menyu- lapnya menjadi

bisnis triliun- an rupiah.

Dari awalnya hanya bisnis layanan mengantar orang, dengan memanfaatkan teknologi aplikasi Gojek melebarkan sayap ke layanan pengantaran barang, pemesanan makanan, pembersih- an rumah, sampai pijat badan.

Sederet perusahaan modal ven- tura global juga berbaris untuk ikut mengucurkan dana, seperti NSI Ventures, Sequoia Capital, DST Global, KKR, Warburg Pincus, Farallon Capital, Capital Group Private Markets, Astra Internati- onal, Tencent, JD, Temasek, Mei- tuan-Dianping, Google, Facebook, hingga PayPal. Kucuran dana tersebut membuat Gojek resmi

menyandang status unicorn perta- ma di Indonesia, yaitu perusahaan start up dengan valuasi lebih dari 1 miliar dollar AS.

Nadiem sendiri sebetulnya lebih suka menyebut Gojek sebagai perusahaan teknologi, bukan perusahaan penyedia jasa ojek (Djumena, 2015). Tapi pandangan orang awam memang cenderung menyederhanakan persoalan. Se- kali ojek, sampai kapan pun dan

Orang dan organisasi kreatif menjadi lebih bersifat bisnis;

dan bisnis menjadi lebih ber- gantung pada kreativitas.

di mana pun tetap ojek. Absurditas itu baru sirna ketika Gojek menuai sukses besar, dan bahkan berek- spansi ke negeri-negeri tetangga seperti Thailand, Vietnam, Singa- pura, dan Filipina.

Sosok seperti Nadiem inilah yang bisa dikaitkan dengan apa yang diindikasikan oleh Howkins (2007) sebagai munculnya “dua tren yang saling berkelindan”.

INDUSTRI ORANYE | T h e B o o k o f O R A N G E | Part III: Industri Oranye, Apa itu?

kreatif yang punya sense bisnis (apalagi berlatar belakang pendi- dikan bisnis), sekaligus menunjuk- kan bagaimana dinamika ekonomi saat ini menjadi sangat tergantung pada kreativitas, yaitu kreativitas menciptakan produk (baik barang maupun jasa) yang bertitik-tolak dari ketajaman membaca pasar atau mengidentifikasi ceruk pasar.

Mari kita lihat dari mana dia memperoleh gagasan mendirikan Gojek. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Nadiem meng- ungkapkan, idenya berawal dari kebiasaannya menggunakan jasa ojek lima sampai tujuh kali sehari untuk mengejar meeting. Sepu- lang dari AS, dia memang memilih bekerja di Jakarta. Artinya, dia harus berurusan dengan rimba kemacetan jalan di ibu kota. Anda mungkin masih ingat, survei yang digelar oleh Castrol pada tahun 2015 menobatkan

Jakarta sebagai kota termacet di dunia

(Taqiyyah, 2015). Itu sebabnya Nadiem memilih tidak

menggunakan kendaraan pribadi.

“Awalnya berdasar kebutuhan sen- diri, ke mana-mana di Jakarta naik ojek. Buat saya waktu itu yang paling berharga, Tapi lama-lama bingung, cari ojek pas perlu kok susah,” katanya (Yuniswan, 2015).

Otaknya yang dipenuhi teori ekonomi dan bisnis bekerja cepat.

Nadiem membaca, ada yang tidak beres dengan supply and demand.

Di satu sisi, banyak penumpang kesulitan mencari ojek ketika dibu- tuhkan. Di sudut lain, pengemudi ojek juga kelimpungan memburu orderan. Mereka bekerja sampai 14 jam sehari, dan hasilnya hanya tiga atau empat penumpang.

“Makanya mereka nembak harga tinggi, karena nggak dapat orde- ran cukup. Makanya harus ada cara untuk menyambung supply and demand itu. Bukannya nggak ada demand, tapi ada inefisiensi dalam supply and demand. Di situlah Gojek hadir, memfasilitasi efisiensi pasar,” katanya.

Secara sosiologis, Gojek juga me- nyajikan solusi jitu atas problema- tika lalu-lintas dan kecenderungan

perilaku orang (Jakarta) yang men- cari layanan transportasi “door to door”. Pada tahun 2015 saja mi- salnya, berdasar data Kepolisian Republik Indonesia yang dikutip Lokadata, jumlah sepeda motor di Jakarta berkisar 13,9 juta (Loka- data, 2017). Sementara jumlah penduduk DKI Jakarta pada tahun yang sama sekitar 10,18 juta jiwa (Databoks, 2018). Bandingkan, jumlah sepeda motor ternyata lebih besar dari jumlah penduduk.

Itu belum terhitung kendaraan roda empat. Bisa dibayangkan bukan, seberapa crowded-nya jalanan di ibukota?

Mengapa jumlah sepeda motor sampai sebegitu besar? Sum- bernya adalah kebutuhan orang untuk memperoleh layanan ojek door to door, yang ternyata susah didapatkan. Orang harus berjalan lebih dulu ke pangkalan ojek, dan itulah yang memicu orang mem- beli sepeda motor sendiri. Mereka enggan kelayapan mencari pang- kalan ojek. Maka, hadirnya Gojek menjadi solusi bagi orang yang tidak ingin terlibat dalam kema- cetan kota tanpa harus mencari pangkalan ojek. Cukup dengan

memencet fitur dalam aplikasi Gojek, pengemudi ojek sudah menjemput di depan pintu rumah dan siap mengantar sampai ke pintu tempat tujuan.

Cara Nadiem menggunakan

“imajinasi”, skill manajemen, serta modal intelektualitas mengantar- nya melahirkan model bisnis yang menciptakan nilai ekonomi sekali- gus nilai sosial. Itulah momentum yang ditangkap Nadiem secara kreatif dan satu lagi: cepat. Persis seperti yang pernah dia katakan:

INDUSTRI ORANYE | T h e B o o k o f O R A N G E | Part III: Industri Oranye, Apa itu?

“Momentum

adalah hal yang tidak kekal, selalu naik dan turun.

Jika kamu tidak

menangkap momentum itu di saat terbaiknya, kamu akan

kehilangannya.”

Apa yang dilakukan Nadiem Maka- rim dengan segala “absurditasnya”

ini bisa kita dijadikan titik-tolak memahami apa sebetulnya yang dimaksud dengan industri kreatif atau industri oranye.

Seperti apa? Yuk kita cari tahu. (*)

ADONAN

Dalam dokumen INDUS TRI ORANYE - Ubaya Repository (Halaman 186-194)

Dokumen terkait