WHAT IS
INDUSTRI ORANYE | T h e B o o k o f O R A N G E | Part II: Ekonomi Oranye, Apa itu?
TAHUN 1984.
Ketika menandatangani kontrak se- bagai endorser brand sepatu Nike pada 1984, hal pertama ditanya- kan oleh Michael Jordan adalah:
“Who’s my designer?”
(Siapa desainer saya?) Pertanyaan ini mengagetkan orang yang hadir di sana. Mereka, terutama tim manajemen Nike, menduga, sang mega bintang bola basket itu tak ada bedanya dengan atlet lain yang juga sering dikontrak produsen barang consumer goods.
T
Mereka berpikir, ah paling Jordansama juga dengan atlet lain;
diam, tanda tangan, lalu menung- gu kiriman sepatu gratisan dan terima bayaran. Ternyata semua salah. Jordan sama sekali bukan atlet model begitu.
Dengan agak tersipu malu, Erin Patton, yang kemudian ditunjuk menjadi direktur pemasaran untuk semua brand Jordan mengatakan,” Pertanyaan itu me- nunjukkan bahwa kami sedang berurusan dengan orang yang sangat berkomitmen terhadap proses.”
Wait, tahu kan, atau masih ingat siapa Michael Jordan? Sekadar mengingatkan, dia adalah sosok legenda yang dianggap sebagai atlet bola basket terbesar yang pernah ada di muka bumi. Rekor- nya di lapangan tidak tertandingi:
enam kali juara NBA (National Basketball Association) bersama Chicago Bulls antara 1991 – 1998, lima kali menyabet gelar MVP (Most Valuable Player), dan sederet rekor lain. Sampai saat ini, Jordan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Gaya khasnya,
“terbang” dengan lidah menjulur sembari mencetak slam dunk tidak akan pernah bisa dilupakan.
Yang juga penting, Jordan bisa dicatat sebagai brand endorser paling sukses yang pernah ada.
Atas sukses itu, dia menahbis- kan dirinya sebagai mantan atlet paling tajir di muka bumi.
“Siapa desainer saya?” Sekilas, itu terasa seperti pertanyaan tidak penting, atau basa-basi. Tapi per- tanyaan itu mencerminkan kelas Jordan. Dia tidak mau seperti atlet atau selebriti lain yang dikontrak menjadi endorser: patuh diminta tampil atau bicara apa saja. Tidak, dia ingin juga terlibat dalam dalam proses kreatif, terutama terkait produk khusus yang mengguna- kan nama besarnya, dan tidak begitu saja percaya pada tim manajemen brand global sekelas Nike.
Yang diuntungkan dengan sikap Jordan justru Nike. Model sepatu yang khusus dikreasikan dengan menggunakan nama serta karak- ter bintang klub Chicago Bulls itu, Air Jordan, meledak di pasaran global dan menjadi idaman anak muda sampai sakarang. Iklan produk itu, baik di media cetak, baliho, atau televisi, tidak hanya mendorong konsumsi global, teta- pi juga dijadikan inspirasi sukses di mana-mana.
Dia tidak mau dikesankan
sekadar menjual sepatu, tetapi juga menawarkan
semangat,
kegigihan, serta
kebijaksanaan
dalam menjalani
hidup.
INDUSTRI ORANYE | T h e B o o k o f O R A N G E | Part II: Ekonomi Oranye, Apa itu?
goh kocek, tetapi juga pada titik tertentu mengirim pesan yang mencerahkan. Iklan kreatif perta- manya yang ditayangkan di televisi mempopulerkan frase “Who said man wasn’t meant to fly?” (Siapa bilang laki-laki tidak ditakdirkan untuk terbang?) Saat frase itu
lidahnya yang terkenal itu. Tahu kan kira-kira pesannya? Mengajak orang terus berupaya menembus batas kemampuan, beyond the li- mit. Yang kemudian paling banyak dikutip orang adalah kalimat in- spiratif yang juga muncul di salah satu advertorialnya:
“ I’ve missed more than 9.000 shots
in my career.
I’ve lost almost 300 games.
26 times, I’ve been trusted to take the game winning shot and missed.
I’ve failed over and over and over again in my life.
And that is why I succeed .”
Saat mengikat kontrak dengan Jor- dan, posisi Nike sebetulnya masih terhitung perusahaan pemula yang mencoba bertarung melawan rak- sasa-raksasa seperti Converse dan Adidas. Dua brand sepatu tersebut juga termasuk yang mengejar Jordan, namun gagal.
Nike menemukan momennya dalam kegagalan Adidas dan Converse, yang oleh media disebut sebagai blunder terbesar dalam sejarah bisnis olahraga. Nike bergerak cepat merapat, memberikan apapun yang Jordan mau (termasuk ikut terlibat dalam desain dan produksi sepatu yang akan dia pakai), dan sukses membuat Jordan membubuhkan tanda tangan. Kerja sama ini mem- buahkan hasil manis bagi kedua belah pihak. (Actualizado, 2021)
Munculnya Jordan sebagai repre- sentasi Nike membuat perusaha- an itu menjelma menjadi raksasa baru pada dekade 1990-an. Tidak hanya mengalahkan Adidas atau Converse, tetapi juga melambung- kan Nike ke posisi nyaris monopoli atas bisnis sepatu basket dan me- mantapkan diri sebagai salah satu merek terbesar dan paling ber- harga di dunia. Produk Nike yang dihasilkan dari merek Air Jordan menyelamatkan Nike dari keterpu- rukan, dan Air Jordan memberikan keuntungan kepada Nike hingga 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 53 triliun per tahun. (Sani, 2021) Jor- dan sendiri juga menuai kekayaan dalam jumlah tidak main-main.
Forbes melaporkan, kekayaan- nya pada tahun 2021 (setelah dipotong pajak) mencapai 1,6
INDUSTRI ORANYE | T h e B o o k o f O R A N G E | Part II: Ekonomi Oranye, Apa itu?
Harta sejumbo itu tentu tidak datang dari gaji bulanan atau tahunan sebagai pemain basket atau endorser. Kemampuan dan kemauannya untuk terlibat dalam proses kreatif dan manajemen membuat Jordan tidak berhen- ti sebagai pemain basket dan endorser. Dia juga menceburkan diri dalam bisnis; memproduksi berbagai memproduksi merchan- dise dengan brand sendiri mulai cologne, underwear, kepemilikan klub Charlotte Hornets, tim NAS- CAR, dan sederet lainnya.
Nama Michael Jordan menjelma menjadi aset intangible dengan nilai yang tidak bisa dikalkulasi lagi. Fenomena Jordan ini pun menjadi bahan kajian di kalangan akademis. Para ahli marketing dan brand dari kampus-kampus ter- nama di AS menyebutnya sebagai