BAB II Tinjauan Pustaka
C. Konsep Dasar Teori Persalinan
8. Partograf
55) Dekontaminasi tempat persalinan dengan larutan klorin 0,5%
56) Membersihkan sarung tangan di dalam larutan klorin 0,5% melepaskan sarung tangan secara terbalik dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5%
57) Mencuci tangan dengan sabun di air mengalir 58) Melengkapi partograf
8. Partograf
Bidan menilai pembukaan servik dengan melakukan periksa dalam. Periksa dalam dilakukan setiap 4 jam sekali (indikas i waktu). Pemeriksaan dalam yang dilakukan kurang dari 4 jam harus atas indikasi.
Bidan harus memeriksa adanya tanda gejala kala II, ketuban pecah sendiri atau gawat janin. Penulisan pembukaan serviks di partograf dengan tanda (x).
b) Penurunan bagian terendah
Bidan menilai turunnya bagian terendah janin dengan palpasi perlimaan yang dilakukan setiap 4 jam, yaitu sesaat sebelum melakukan pemeriksaan dalam. Penulisan turunnya bagian terendah dipartograf dengan tanda (o).
c) His
Bidan menilai his dengan cara palpasi, menghitung frekuensi his (berapa kali) dalam waktu 10 menit dan dirasakan berapa lama his tersebut berlangsung (dalam detik). Observasi his dilakukan setiap 30 menit.
2) Memantau kondisi janin a) Denyut jantung janin
DJJ dinilai setiap 30 menit (lebih sering jika ada tanda-tanda gawat janin). Kisaran normal DJJ terpapar pada partograf diantara garis tebal angka 180 dan 100, nilai normal sekitar 120 s/d 160.
Apabila ditemukan DJJ dibawah 120 atau diatas 160, maka penolong harus waspada.
b) Ketuban
Bidan mengidentifikasi pecahnya selaput ketuban dan menila i keadaan air ketuban bila sudah pecah (volume, warna dan bau).
Pengamatan dilakukan setiap pemeriksaan dalam. Yang dicatat di partograf bila selaput ketuban utuh ditulis (U), bila selaput ketuban pecah ditulis (J) untuk air ketuban jernih, (M) untuk ketuban bercampur mekonium, (D) untuk ketuban bercampur darah, dan (K) untuk ketuban yang kering.
c) Moulase kepala janin
Bidan menilai adanya penyusupan kepala janin pada setiap periksa dalam. Penyusupan yang hebat dengan kepala diatas PAP menunjukan adanya disproporsi sefalopelfik. Pencatatan di partograf dengan tulisan:
(1) 0 bila tulang-tulang kepala terpisah dan sutura mudah diraba (tidak ada moulase).
(2) 1 bila tulang-tulang kepala saling menyentuh satu sama lain.
(3) 2 bila tulang-tulang kepala saling tumpang tindih tetapi masih dapat dipisahkan.
(4) 3 bila tulang-tulang kepala saling tumpang tindih berat, tidak dapat dipisahkan.
3) Memantau kondisi ibu hal yang perlu dikaji:
a) Tanda-tanda vital, tekanan darah diukur setiap 4 jam, nadi dinila i setiap 30 menit, suhu di ukur setiap 2 jam.
b) Urin dipantau setiap 2-4 jam untuk volume, protein, dan aseton, serta dicatat dipartograf pada kotak yang sesuai.
c) Obat-obatan dan cairan infus. Catat obat ataupun cairan infuse yang diberikan pada ibu selama persalinan
Gambar 2.1
Partograf Tampak Depan
Gambar 2.2
Partograf Tampak Belakang
9. Ketuban Pecah Dini (KPD) 1) Pengertian
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum usia kehamila n 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan mengalami Ketuban Pecah Dini (Saifuddin, 2014). Ketuban pecah dini atau spontaneous/ear l y/
premature rupture of the membrane (PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multi kurang dari 5 cm (Sofian, 2011).
2) Etiologi KPD
Faktor penyebab menurut Varney ( 2007 ) antara lain : a) Serviks Inkompeten
b) Polihidramnion c) Malpresentasi Janin d) Kehamilan Kembar
e) Infeksi Vagina atau Serviks.
3) Tanda dan Gejala KPD
Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.
Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
4) Diagnosis KPD
Diagnosis ketuban pecah dini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan inspekulo. Dari anamnesis didapatkan penderita merasa keluar cairan yang banyak secara tiba-tiba. Kemudian lakukan satu kali pemeriksaan inspekulo dengan spekulum steril untuk melihat adanya cairan yang keluar dari serviks atau menggenang di forniks posterior. Jika tidak ada, gerakkan sedikit bagian terbawah janin, atau minta ibu untuk mengedan/batuk. Pemeriksaan dalam sebaiknya tidak dilakukan kecuali akan dilakukan penanganan aktif (melahirkan bayi) karena dapat mengurangi latensi dan meningkatkan kemungkinan infeksi.
Pastikan bahwa:
a) Cairan tersebut adalah cairan amnion dengan memperhatikan:
b) Bau cairan ketuban yang khas.
5) Komplikasi KPD a) Persalinan premature
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90 % terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50 % persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu
b) Infeksi
Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu dapat terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia dan omfalitis. Umumnya korioamnionitis terjadi sebelum
janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini premature, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada Ketuban Pecah Dini meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
c) Hipoksia dan Asfiksia
Pada penelitian yang dilakukan oleh Tahir (2012) didapatkan hasil bahwa, KPD meningkatkan asfiksia neonatarum sebesar 2,47.
Sedangkan, penelitian yang dilakukan oleh Wiradharma (2013) didapatkan hasil bahwa KPD merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya asfiksia sebesar 9,7.
Dengan pecahnya ketuban, terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.
d) Sindrom deformitas janin
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuha n janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin.
10. Induksi Persalinan 1) Pengertian
Induksi persalinan adalah suatu tindakan untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan (Wiknjosastro, 2010)
2) Persyaratan Induksi
Persyaratan Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut: tidak ada disproporsi
sefalopelvik (CPD) Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop.
Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
(Oxorn, 2010).
Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni: Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalina n biasanya berhasil diinduksi dengan hanya menggunakan induksi. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5) matangkan serviks terlebih dahulu sebelum melakukan induksi. (Yulianti, 2006 & Cunningham, 2013).
Tabel 2.7 Skor Bishop
Keberhasilan induksi persalinan :
1.Skor bishop 0-4 = angka keberhasilan induksi persalinan 50-60%
2.Skor bishop 5-9 = angka keberhasilan induksi persalinan 80 -90%
3.Skor bishop >9 = angka keberhasilan induksi persalinan mendekati 100 %
3) Indikasi
a) Pascamatur
b) KPD (>37 minggu)
c) Hipertensi akibat kehamilan, preeklamsi d) Hemoragi antepartum
e) Insufiensiplasenta dan retardasi pertumbuhan intrauteri f) Kematian intrauteri
4) Kontraindikasi
a) Disproporsi sefalo-pelvik
b) Ibu menderita penyakit jantung berat
c) Hati-hati pada bekas-bekas operasi atau uterus yang cacat seperti bekas sectio sesarea, miometrium yang luas daneksklusif.
5) Risiko induksi persalinan
Pemasangan induksi persalinan juga dapat menyebabkan ancaman bagi ibu dan bayi akan tetapi faktor risiko ini dapat di minima lka n dengan pengawasan yag lebih intensif pada ibu dan bayi selama proses induksi berlangsung.
Peningkatan risiko dari induksi antara lain:
1) Pada ibu : infeksi, inersia uteri, hiperstimulasi uterus, rupture uteri, induksi gagal yang berakhir dengan tindakan pembedahan.
2) Pada bayi : fetal distress, iufd akibat hiperstimulasi uterus.
6) Metode Induksi Persalinan
Beberapa metode yang umumnya dilakukan pada induksi persalinan mencakup metode farmakologi, non farmakologi, mekanik dan surgikal. Metode yang dibahas di sini adalah metode kimiawi berupa prostaglandin analog yaitu misoprostol dan metode mekanik yaitu balon kateter.
a) Misoprostol
Misoprostol adalah analog prostaglandin E1yang pertama kali diterima oleh badan pengawasan obat dan makanan Amerika (FDA = Food & Drug Administration)sebagai obat ulkus peptikum. Dalam perkembangannya efek samping berupa adanya kontraksi miometrium bahkan dimanfaatkan sebagai obat untuk induksi persalinan, sehingga FDA memberi label baru penggunaan misoprostol dalam kehamilan oleh karena mampu membuat pematangan serviksdan memacu kontraksi miometrium.
Misoprostol telah disetujui oleh lebih dari 80 negara termasuk Indonesia untuk pencegahan dan pengobatan ulkus peptikum pada lampung. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan didukung oleh pengalaman dalam bidang obstetri dan ginekologi, obat ini efektif dalam induksi persalinan, penanganan aborsi, dan pencegahan serta pengobatan perdarahan postpartum (PPH) dan penghentian elektif kehamilan.
b) Induksi amniotomy
Induksi Amniotomi Ruptur membrane artifisial atau terkadang disebut dengan induksi pembedahan, teknik ini dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Pemecahan ketuban buatan memicu pelepasan prostaglandin. Amniotomi dapat dilakukan sejak awal sebagai tindakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Induksi persalinan secara bedah (amniotomi) lebih efektif jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi pada dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam (Cunningham, 2013; Sinclair, 2010)
c) Pemberian Oksitosin drip
Oksitosin adalah suatu peptide yang dilepaskan dari bagian hipofisis posterior. Pada kondisi oksitosin yang kurang dapat memperlambat proses persalinan sehingga diperlukan pemberian oksitosin intravena melalui infuse. (Handerson, Jones, 2006).
Stimulasi Oksitosin pemberian induksi oksitosin perlu mendapat pengawasan ketat agar mampu menimbulkan kontraksi uterus yang adekuat (mampu menyebabkan perubahan serviks) tanpa terjadinya hiperstimulasi uterus. Tanda terjadinya hiperstimulasi adalah kontraksi >60 detik, kontraksi muncul lebih dari 5x/10 menit atau 7x/15 menit, atau timbulnya pola djj yang meragukan.
Induksi oksitosin diberikan intravena, dengan dosis 10-20 IU dicampur dengan larutan RL. Berikut regimen oksitosin yang digunakan untuk induksi persalinan.
Dosis yang lazim digunakan di Indonesia adalah 2,5-5 unit oksitosin dalam 500 ml cairan kristaloid. Tetesan infus dimulai dari 8tpm dan ditambahkan 4 tpm tiap 30 menit hingga dosis optimal untuk his adekuat tercapai. Dosis maksimum pemberian oksitosin adalah 20mU/menit (Wulandari, 2012).
7) Hubungan perdarahan dengan induksi persalinan
Induksi persalinan adalah usaha agar persalinan mulai berlangsung sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsa ng timbulnya his. (Saifuddin, 2010).
Dari penelitian yang sudah dilakukan didapatkan hasil yaitu ada hubungan antara perdarahan postpartum pada ibu bersalin dengan induksi persalinan. Hasil ini sesuai dengan jurnal penelitian menurut Khireddine (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Induction of Labor and Risk of Postpartum Hemorrhage in Low Risk Parturients”
mengatakan bahwa induksi dapat berisiko tinggi terhadap terjadinya
perdarahan postpartum jika dalam induksi persalinan dilakukan pada situasi kandungan yang tidak menguntungkan. Beberapa hipotesis menjelaskan perdarahan postpartum dapat terjadi karena obat yang digunakan untuk menginduksi persalinan mungkin memiliki efek langsung pada otot rahim dan juga faktor kelelahan pada otot miometrium sehingga menyebabkan atonia uteri serta mungkin PPH (Postpartum Haemorrhage).
Hasil penghitungan odds ratio (OR) pada induksi persalinan dengan kejadian perdarahan postpartum adalah 3,931. Nilai tersebut menunjukan bahwa ibu bersalin dengan induksi persalinan memilik i risiko 4 kali lebih besar mengalami perdarahan dibandingkan denga n ibu bersalin tanpa diinduksi.
11. Hubungan perdarahan post partum dengan berat bayi macrosomia
Dari hasil penelitian didapatkan adanya hubungan antara perdarahan postpartum pada ibu bersalin dengan berat bayi makrosomia.Berat bayi lahir yang lebih dari normal atau yang dalam penelitian ini disebut makrosomia dapat menyebabkan perdarahan postpartum karena uterus meregang berlebihan dan mengakibatkan lemahnya kontraksi sehingga dapat terjadi perdarahan postpartum. Kondisi ini karena uterus mengalami overdistens i sehingga mengalami hipotoni atau atonia uteri setelah persalinan. Adapun beberapa keadaan overdistensi uterus yang juga dapat menyebabkan atonia uteri yaitu kehamilan ganda dan hidramnion (Cuningham, 2013).