• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

terjadinya pembentukkan RBC baru yang immature dan mudah lisis menyebabkan Hb menurun. Selanjutnya, terjadi peningkatan Fe yang akibatnya menjadi hemosiderosis dank lien mengalami peningkatan pigmentasi kulit (Huda & Kusuma 2016). Sedangkan pada pengkajian keluarga 2 An. I perempuan berusia 14 tahun dan menderita thalasemia sejak usia 3 bulan,tidak mengalami peningkatan pigmentasi kulit, kulit dalam kondisi baik. Pada riwayat kesehatan lalu An.N yang mengalami peningkatan pigmentasi kulit pernah mengalami pembesaran limfa (splenomegaly) pada usia 13 bulan sedangkan pada An.I keluarga mengatakan tidak ada mengalami masalah kesehatan tersebut.

Pengkajian pada kedua keluarga. kedua anak yang menderita thalasemia tampak dalam keadaan sehat. An.N dan An.I menjalani rutin tiap 1 bulan sekali untuk transfusi darah . An.N dan An.I status gizi berada pada kategori baik akan tetapi berada pada garis kuning grafik keluarga mengatakan Anak tidak ada masalah dalam pola makan,tidak pilih-pilih makanan, makan 3x sehari tapi berat badan sulit naik. Pada keluarga 2, An.I mengatakan ia baru menstruasi di usia 14 tahun,An.I mengatakan Haid tidak lancar siklus 2 bulan sekali. Menurut teori, anak dengan thalasemia beresiko mengalami gangguan pertumbuhan. Faktor lama sakit memiliki hubungan yang signifikan terhadap pertumbuhan, semakin lama seseorang telah menderita thalasemia, maka semakin besar kemungkinan terjadi gangguan sistemik. Gangguan sistemik yang dapat terjadi pada penderita thalasemia misalnya hepatosplenomegali,

hemosiderosis dan deformitas tulang sangat berpengaruh terhadap gangguan gizi dan pertumbuhan terutama pada penderita thalasemia anak (Purba, 2019).

Pada pengkajian stressor dan koping keluarga, pada keluarga 1 di dapatkan masalah Ny. S mengatakan yang menjadi pikiran saat ini adalah bagaimana masa depan An.N yang harus seumur hidup menjalani transfusi darah dan juga Ny.S mengatakan khawatir tidak bisa merawat An.N dengan baik. Ny.S juga masih sering memikirkan An.H yang telah meninggal ditahun 2018 dikarenakan sakit. Ny.S tampak menangis saat menceritakan An.N dan mengingat An. Pada keluarga 2 tidak di dapatkan masalah pada stressor dan koping keluarga. Pada pengkajian tampak pengetahuan pada keluarga 1 tentang thalasemia kurang,sedangkan pada keluarga 2 pengetahuan keluarga tentang thalasemia baik.

Pada pengkajian kemampuan tugas kesehatan keluarga didapatkan data keluarga 1 mampu menjalani 4 tugas kesehatan keluarga dan 1 tugas kesehatan keluarga yang tidak mampu keluarga jalani ialah ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan. Pada keluarga 2 di dapatkan data keluarga mampu menjalani 5 tugas kesehatan keluarga Pada hasil pengkajian kedua keluarga di dapatkan keluhan masalah yang berbeda.

Penulis berasumsi bahwa dalam perawatan anak dengan Thalasemia peran keluarga sangat berpengaruh besar dalam menjalani pengobatan yang berlangsung secara terus menerus, terutama pada anak kecil yang

memerlukan perlindungan dan kasih sayang dari orang tua Selain peran keluarga, pendidikan kesehatan sangat penting untuk diberikan bagi orang tua sehingga kedepannya dapat melakukan perawatan pada anak thalasemia.

2. Diagnosa Keperawatan

Masalah keperawatan atau diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon pasien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons pasien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017). Berdasarkan hal tersebut peneliti dalam kasus asuhan keperawatan pada keluarga dengan anak thalasemia menegakkan masalah keperawatan berdasarkan dari pengkajian yang didapatkan.

Menurut (Huda & Kusuma 2016) terdapat 7 diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan pada anak dengan thalasemia yaitu : perfusi perifer tidak efektif,gangguan tumbuh kembang,gangguan citra tubuh,intoleransi aktifitas,resiko gangguan integritas kulit/jaringan,pola nafas tidak efektif dan resiko infeksi.

Pada hasil pengkajian keluarga 1 ditegakkan diagnosa keperawatan defisit pengetahuan keluarga Tn.F b.d ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, Resiko gangguan pertumbuhan keluarga Tn.F khususnya pada An.N,Ketegangan pemberi asuhan keluarga Tn.F

khusunya Ny.s b.d ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan dan Resiko gangguan integritas kulit/jaringan keluarga Tn.F khususnya An.N

Pada hasil pengkajian keluarga 2 ditegakkan diagnosa keperawatan Resiko gangguan pertumbuhan keluarga Tn.B dan Kesiapan peningkatan pengetahaun keluarga Tn.B

a) Pengetahuan Keluarga mengenai Thalasemia

Hasil pengkajian 2 keluarga menunjukkan adanya perbedaan tingkat pengetahuan pada kedua keluarga. Pada keluarga 1 An.N menderita thalasemia sejak usia 13 bulan dan sekarang berusia 11 tahun.

Ny.S sebagai ibu berusia 40 tahun pendidikan SMP. Keluarga mengatakan tidak mengetahui pasti penyebab dari thalasemia,keluarga tidak mengetahui jika thalasemia merupakan penyakit keturunan,keluarga juga hanya mengetahui jika thalasemia sama seperti anemia dan orang tua tidak tergabung di dalam grup komunikasi POPTI (Persatuan orang tua penyandang thalasemia Indonesia). Penulis menegakkan diagnosa keperawatan deficit pengetahuan

Pada keluarga 2 An.I menderita thalasemia sejak usia 3 bulan dan sekarang berusia 14 tahun. Ny.S sebagai Ibu berusia 47 tahun pendidikan SMA. Keluarga dapat menjelaskan tentang thalasemia,keluarga mengetahui penyebab thalasemia dan keluarga mengetahui komplikasi yang bisa terjadi pada anak thalasemia.Keluarga tergabung di dalam grup komunikasi POPTI (Persatuan orang tua penyandang thalasemia

Indonesia). Keluarga mengatakan ingin mengetahui lebih banyak tentang thalasemia. Penulis menegakkan diagnosa kesiapan peningkatan pengetahuan

Pada dasarnya tinggi rendahnya pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut (Mubarak 2007), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang,diantaranya meliputi umur seseorang,tingkat pendidikan,pekerjaan,minat,pengalaman serta sumber informasi.

Orang tua dalam menjalankan perannya merawat anak penderita thalasemia perlu dibekali dengan pengetahuan yang berkaitan dengan penyakit thalasemia. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit thalasemia dapat mengakibatkan tidak optimalnya perawatan yang diberikan oleh orang tua pada anak penderita thalasemia (Zainab, 2016)

Jurnal Penelitian Marnis, Indriati, dan Nauli (2018) dengan judul Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kualitas Hidup Anak Thalasemia menyebutkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua terutama ibu dengan kualitas hidup anak penderita thalasemia. Pengetahuan orang tua dalam merawat anak penderita talasemia dibutuhkan untuk mempermudah dalam mengambil keputusan dan tindakan yang dibutuhkan apabila anak memerlukan perawatan di rumah atau di rumah sakit .

Salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat diterapkan

adalah pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan secara umum dapat memberikan informasi mengenai kesehatan, dalam hal ini adalah informasi mengenai penyakit thalasemia sehingga memudahkan orang tua dalam merawat anak penderita thalasemia (Notoatmodjo, 2012).

Dari pernyataan diatas penulis menyusun intervensi pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan keluarga 1 dan 2 Didalam pelaksanaan rencana tindakan, penulis melakukan penyuluhan kesehatan tentang thalasemia dengan menggunakan lembar balik , hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman kepada keluarga, dan lembar balik diberikan untuk disimpan keluarga untuk bahan pengingat jika keluarga lupa dengan yang diajarkan.

Setelah di lakukan implementasi selama 3 hari untuk keluarga 1 dan 2 hari untuk keluarga 2, di dapatkan data evaluasi kedua keluarga pengetahuan meningkat. Keluarga memahami dan mampu mengulangi pengertian thalasemia, penyebab dari thalasemi, komplikasi yang dapat terjadi pada anak thalasemia, nutrisi yang dianjurkan dan tidak di anjurkan untuk anak thalasemia dan adanya perubahan perilaku keluarga dalam merawat anak dengan thalasemia. Penulis berasumsi bahwa memberi pendidikan kesehatan kepada keluarga klien sangatlah penting untuk meningkatkan pengetahuan keluarga,sebab pengetahuan dari keluarga akan berpengaruh kepada kesejahteraan kesehatan anak, khususnya ibu yang memiliki peranan penting dalam menjaga dan merawat anaknya.

Pada jurnal penelitian (Marnis et al., 2018) dengan judul

Hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kualitas hidup anak thalasemia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kualitas hidup anak thalassemia.

Ibu dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki kualitas hidup anak yang normal dibandingkan ibu dengan tingkat pengetahuan rendah.

b) Ketegangan pemberi asuhan

Hasil pengkajian 2 keluarga. Menunjukkan adanya masalah ketegangan pemberi asuhan pada keluarga 1 yang tingkat pengetahuan mengenai thalasemia kurang. Masalah tersebut ditemukan pada Ny.S sebagai seorang Ibu. Ny.S mengatakan yang menjadi pikirannya saat ini adalah bagaimana masa depan An.N yang harus seumur hidup menjalani transfusi darah dan juga Ny.S mengatakan khawatir tidak mampu merawat An.N dengan baik. Ny.S juga masih sering memikirkan An.H yang telah meninggal dunia ditahun 2018 dikarenakan sakit. Tampak rasa kekhawatiran dari Ny.S untuk keadaan kesehatan An.N. Ny.S tampak menangis saat menceritakan An.N dan mengingat An.H.

Pada keluarga 2 yang tingkat pengetahuan keluarga baik mengenai thalasemia tidak ditemukan adanya masalah ketegangan pemberi asuhan.

Orang tua beresiko mengalami kecemasan karena merasa bersalah atas kondisi anak, tidak ada kepastian kesembuhan dan proses pengobatan penyakit yang berlangsung sepanjang hidup anak (Hastuti, 2015). Pada hasil pengkajian 2 keluarga, terlihat keluarga yang kurang pengetahuan tentang thalasemia mengalami kecemasan lebih tinggi di bandingkan

dengan keluarga yang memiliki pengetahuan baik tentang thalasemia.

Menurut Hidayat (2004) dalam Mariyam & Kurniawan (2008) bahwa tingkat pengetahuan seseorang yang rendah akan cenderung lebih mudah mengalami kecemasan dibanding seseorang yang mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian (Hastuti, 2015) dapat disimpulkan bahwa pengetahuan orang tua yang umumnya rendah berhubungan dengan tingkat kecemasan orang tua yang umumnya sedang berat.

Pengetahuan juga akan berdampak pada pengendalian kondisi psikis seseorang. Keadaan yang memaksa orangtua harus selalu membawa anaknya yang menderita Thalasemia ke rumah sakit untuk berobat terus menurus secara berkelanjutan dapat menyebabkan timbulnya perasaan bosan, jenuh, capek dan putus asa, sehingga memacu munculnya ketegangan, kegelisahan dan ketakutan berkelanjutan yang akhirnya bisa berdampak terhadap timbulnya kecemasan, stres dan depresi. Pemberian informasi tentang Thalasemia sangat diperlukan karena dapat meningkatkan pengetahuan keluarga /orangtua, sehingga berdampak pada meningkatnya kemampuan keluarga/ orangtua dalam merawat anak yang memiliki penyakit Thalasemia (Susyanti & Prayustira, 2019).

Dari pernyataan diatas penulis menyusun intervensi Pemberian Informasi tentang gup komunikasi POPTI (Persatuan orang tua penyandang thalasemia Indonesia) agar orang tua mendapatkan informasi lebih tentang thalasemia,. Mengenalkan tentang masalah kesehatan An.N

di pendidikan kesehatan tentang thalasemia. Memberikan dukungan dan motivasi kepada Ny.S sebagai pemberi asuhan di keluarga

Setelah di lakukan implementasi selama 3 hari, dan di dapatkan data evaluasi pengetahuan pemberi asuhan meningkat,sehingga rasa kekhawatiran berkurang dan mampu merawat anak yg sakit sesuai anjuran.

Penulis berasumsi bahwa pendidikan kesehatan kepada orang tua anak thalasemia itu sangat penting dalam perubahan persepsi pemikiran dari orang tua, saat orang tua lebih mengenal tentang masalah kesehatan yang dialami anaknya, orang tua akan lebih paham hal apa yang harus ia lakukan untuk menghindari masalah kesehatan anaknya bertambah buruk dan ini akan berpengaruh kepada tingkat kekhawatiran dari orang tua.

Serta pentingnya tenaga kesehatan memberi dukungan kepada orang tua dalam pemberian informasi.

Menurut (Marnis et al., 2018) Pengetahuan yang dimiliki orangtua akan mempermudah segala keputusan dan tindakan yang akan diambil apabila anak memerlukan perawatan dirumah atau dirumah sakit. Hal tersebut akan meningkatkan optimisme terhadap kelangsungan hidup pada anak thalasemia dan mengurangi tingkat stress pada orangtua yang merawatnya. Orangtua, pada akhirnya lebih bisa berfikir positif terhadap apa yang dihadapi dalam menjalani pengobatan anak.

c) Resiko gangguan pertumbuhan

Hasil pengkajian 2 keluarga menunjukkan adanya resiko gangguan

pertumbuhan. Pada keluarga 1 An.N pada data subyektif Ny.S mengatakan An.N berat badan sulit naik. Tidak ada gangguan pola makan pada An.N, makan teratur 3x sehari dan tidak pilih-pilih makanan. Pada data obyektif Berat Badan 25 kg Tinggi Badan 130 cm Lila 17 cm. Berdasarkan hasil penilaian status gizi anak, An.N masuk dalam kategori gizi baik, akan tetapi berada pada garis kuning grafik.

Pada Keluarga 2, An.I pada data subyektif An.I mengatakan ia menstruasi tidak lancar, siklus haid 2 bulan sekali, An.I menstruasi pertama di usia 14 tahun, Ny.S mengatakan An.I tidak ada masalah dalam pola makan,tidak pilih-pilih makanan, makan 3x sehari. Pada data obyektif Berat badan 39kg Tinggi Badan 150 cm Uk.lila 18cm, Berdasarkan hasil penilaian status gizi anak, An.I masuk dalam kategori gizi baik, akan tetapi berada pada garis kuning grafik. Kedua Klien menderita thalasemia

>5thn dan rutin tiap bulan sekali harus transfusi darah.

Pada diagnosa keperawatan Resiko Gangguan pertumbuhan menurut (PPNI, 2016) Faktor risiko gangguan pertumbuhan salah satunya penyakit kronis. Faktor lama sakit memiliki hubungan yang signifikan terhadap pertumbuhan, semakin lama seseorang telah menderita thalasemia, maka semakin besar kemungkinan terjadi gangguan sistemik.

Gangguan sistemik yang dapat terjadi pada penderita thalasemia misalnya hepatosplenomegali, hemosiderosis dan deformitas tulang sangat berpengaruh terhadap gangguan gizi dan pertumbuhan terutama pada penderita thalasemia anak (Purba, 2019).

Timbulnya gangguan pertumbuhan pada anak thalasemia dapat terjadi dikarenakan tranfusi berlebih yang dapat menyebabkan penimbunan zat besi dalam tubuh, Maka dari itu kepatuhan konsumsi kelasi besi harus sangat diperhatikan. Selain itu, hal yang juga perlu diperhatikan khusus ialah kebutuhan nutrisi pada anak penderita thalasemia. Mengingat bahwa nutrisi juga sangat berperan penting dalam mengoptimalkan kinerja pada seluruh organ yang salah satunya ialah organ pertumbuhan dan juga manajemen yang tepat bagi setiap pasien thalasemia ialah pengenalan dini gangguan pertumbuhan dan pemberian kelasi besi yang tepat adalah sangat penting untuk kualitas hidup. (Syobri et al., 2020).

Pada Pengkajian di keluarga 2 An.I ada mengatakan bahwa ia menstruasi di usia 14 tahun dan siklus menstruasi 2 bulan sekali.

Pada jurnal penelitian (Moeryono, 2016) menyatakan Pubertas yang terlambat banyak terjadi pada anak dengan thalassemia yang tidak mendapat terapi kelasi besi dengan adekuat. Keterlambatan pubertas itu dapat karena deposit besi yang tinggi dalam tubuh dan terapi besi yang tidak adekuat.Selain itu pubertas juga dipengaruhi oleh status gizi. Pada jurnal penelitian (Febrina, 2016) dengan judul penelitian Hubungan status gizi dengan keteraturan siklus menstruasi juga menyatakan bahwa ada hubungan signifikan dari status gizi terhadap keteraturan siklus menstruasi.

Dari pernyataan diatas penulis menyusun intervensi Edukasi

Kesehatan tentang gizi seimbang dan Mengajarkan keluarga cara penilaian status gizi anak menggunakan lembar balik dan grafik indeks masa tubuh , hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman kepada keluarga, dan lembar balik diberikan untuk disimpan keluarga untuk bahan pengingat jika keluarga lupa dengan yang diajarkan dan juga grafik indeks masa tubuh diberikan kepada keluarga untuk digunakan dalam memantau pertumbuhan fisik anak.

Setelah di lakukan implementasi selama 3 hari, di dapatkan data evaluasi kedua keluarga pengetahuan tentang gizi seimbang meningkat.

Keluarga memahami dan mampu mengulangi tentang gizi seimbang dan konsep isi piringku. Dan juga keluarga mampu mempraktikan secara mandiri cara penilaian status gizi anak. Masalah teratasi dan intervensi dihentikan.

Berdasarkan pernyataan diatas penulis berasumsi bahwa intervensi edukasi gizi seimbang dan mengajarkan keluarga cara penilaian status gizi anak membantu untuk melakukan pencegahan gangguan pertumbuhan fisik anak.

d) Resiko gangguan integritas kulit/jaringan

Hasil pengkajian pada 2 keluarga. Didapatkan pada keluarga 1 An.N ditemukan data obyektif Warna kulit kehitaman pigmentasi kulit meningkat, kulit tampak kering,turgor kulit baik, tidak ada tanda-tanda infeksi. Pada pengkajian keluarga 2 An.I tidak ditemukan permasalahan pada kulit, Warna kulit sawo matang, turgor kulit baik, tidak ada bekas

luka, tidak ada tand-tanda infeksi. Tidak ada tanda hiperpigmentasi kulit meningkat.

Pigmentasi kulit meningkat pada anak thalasemia mayor merupakan salah satu komplikasi yang terjadi karena transfusi darah berulang, sehingga zat besi di dalam tubuh meningkat dan terjadi penimbunan zat besi dibawah kulit.

Pada pathway thalasemia menurut (Huda et al 2016) saat Hemoglobin menurun, memerlukan transfusi darah, saat transfusi darah terjadi peningkatan fe , mengakibatkan terjadinya hemosiderosis dan menyebabkan peningkatkan pigmentasi kulit dan muncul masalah keperawatan resiko gangguan integritas kulit.

Penderita thalasemia secara rutin melakukan transfusi darah, artinya penderita thalasemia secara rutin mendapatkan eritrosit yang mengandung zat besi sebagai salah satu penyusun eritrosit. Kadar feritin merupakan suatu ukuran simpanan zat besi retikuloendotelial yang sangat berguna untuk mendiagnosis keadaan defisiensi zat besi atau keadaan kelebihan zat besi. Kadar feritin normal berkisar antara 20 µg/L sampai 200 µg/L. Kadar ferritin. yang berlebih di dalam tubuh penderita thalasemia dapat menyebabkan kegagalan perkembangan seksual, defek pertumbuhan dan pigmentasi kulit. Sebagian besar penderita thalasemia memiliki warna kulit yang hitam atau kelabu. Hal ini menunjukkan terjadinya pigmentasi kulit akibat penumpukan zat besi di dalam tubuh (Rejeki et al., 2012).

Dari pernyataan diatas penulis menyusun intervensi Edukasi

perawatan kulit pada keluarga dan klien untuk memperbaiki atau meningkatkan integritas kulit dan jaringan klien. Pada Edukasi perawatan kulit, mahasiswa menganjurkan untuk menggunakan tabir surya saat berada diluar ruangan sebagai pelindung kulit dari luar, menganjurkan konsumsi banyak air putih untuk menjaga elastisitas kulit, menganjurkan konsumsi vitamin C dan E secukupnya dan menggunakan pelembab agar kulit tidak kering. Intervensi perawatan kulit ini disusun menurut (PPNI, 2018), selain edukasi perawatan kulit, penulis juga menjelaskan penyebab dari peningkatan pigmentasi kulit kepada keluarga dan klien agar keluarga dan klien dapat memahami dan menerimanya dan juga mahasiswa menjelaskan kepada keluarga dan klien pentingnya konsumsi obat kelasi besi setiap hari secara rutin untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup anak, sesuai dengan jurnal penelitian (Patimah, 2007) Terapi kelasi besi mampu membuang penumpukan zat besi di dalam tubuh akibat dari transfusi darah rutin melalui feses dan urin. Sehingga pemakaian terapi kelasi besi yang teratur dapat mempengaruhi kualitas hidup penyandang thalassemia Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan penyandang thalassemia khususnya orang tua untuk teratur melakukan terapi kelasi besi agar meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup anak. Edukasi dilaksanakan menggunakan media leafleat, leafleat diberikan untuk disimpan keluarga untuk bahan pengingat jika keluarga lupa dengan yang diajarkan.

Setelah dilakukan implementasi selama 2 hari didapatkan hasil

evaluasi, keluarga dan klien dapat memahami penyebab dari peningkatan pigmentasi kulit dan keluarga mengetahui tindakan untuk merawat kulit serta pentingnya mengkonsumsi obat kelasi besi secara rutin, perubahan perilaku terlihat bahwa keluarga mulai membiasakan anak untuk menggunakan pelembab pada kulit anak dan juga keluarga mengatakan saat ini anak di dampingin saat konsumsi obat kelasi besinya.

Berdasarkan pernyataan diatas penulis berasumsi bahwa ternyata tidak semua anak dengan thalasemia akan mengalami peningkatan pigmentasi kulit.

3. Intervensi keperawatan

Menurut (PPNI 2018) Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan.

Pada studi kasus ini Intervensi disusun mengacu pada Standar Intervensi Keperawatan Indonesia yang disusun sesuai dengan masing- masing diagnosa. Intervensi yang digunakan berupa kegiatan Preventuf (Pencegahan) dan Promotif (Promosi kesehatan).

Intervensi keperawatan yang disusun untuk keluarga 1 pada diagnosa defisit pengetahuan ialah Edukasi Kesehatan tentang thalasemia dan Edukasi Kesehatan tentang PHBS. Pada diagnosa 2 Resiko gangguan pertumbuhan intervensi yg disusun ialah Edukasi kesehatan tentang gizi seimbang dan Mengajarkan cara penilaian status gizi anak . Pada diagnosa

3 Ketegangan pemberi asuhan intervensi yang disusun membantu keluarga mengenal masalah kesehatan,pemberian informasi kepada keluarga tentang grup komunikasi POPTI, memberi dukungan dan motivasi. Pada diagnosa 4 Resiko gangguan integritas kulit dan jaringan intervensi yang disusun adalah Edukasi kesehatan mengenai cara perawatan kulit dan menjelaskan kepada keluarga dan klien penyebab terjadinya peningkatan pigmentasi kulit pada anak thalasemia dan pentingnya konsumsi kelasi besi secara rutin. Adapun beberapa penambahan intervensi keperawatan diluar dari Standar Intervensi Keperawatan Indonesia ialah, Mengajarkan cara penilaian status gizi,Pemberian Informasi tentang grup komunikasi POPTI, Edukasi tentang penyebab hiperpigmentasi kulit pada anak thalasemia dan penjelasan mengenai pentingnya konsumsi rutin obat kelasi besi.

Penambahan Intervensi ini disesuaikan dengan kebutuhan keluarga.

Jurnal Penelitian Marnis, Indriati, dan Nauli (2018) dengan judul Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Kualitas Hidup Anak Thalasemia menyebutkan adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan orang tua terutama ibu dengan kualitas hidup anak penderita thalasemia. Pengetahuan orang tua dalam merawat anak penderita talasemia dibutuhkan untuk mempermudah dalam mengambil keputusan dan tindakan yang dibutuhkan apabila anak memerlukan perawatan di rumah atau di rumah sakit .

Oleh karena itu Penulis berasumsi bahwa pendidikan kesehatan

kepada orang tua anak thalasemia itu sangat penting dalam perubahan persepsi pemikiran dari orang tua, saat orang tua lebih mengenal tentang masalah kesehatan yang dialami anaknya, orang tua akan lebih paham hal apa yang harus ia lakukan untuk menghindari masalah kesehatan anaknya bertambah buruk dan ini akan berpengaruh kepada tingkat kekhawatiran dari orang tua. Serta pentingnya tenaga kesehatan memberi dukungan kepada orang tua dalam pemberian informasi.

4. Implementasi keperawatan

Implementasi yang dilakukan pada keluarga 1 dan pada keluarga 2 dilakukan disesuaikan dengan perencanaan yang telah disusun dan disesuaikan dengan masalah keperawatan yang ditemukan pada klien.

Pada saat kegiatan implementasi mahasiswa menggunakan media lembar balik dan leafleat yang nantinya bisa diberikan kepada keluarga dan disimpan untuk bahan pengingat jika keluarga lupa dengan materi yang disampaikan.

Implementasi pada keluarga 1 dilakukan selama 4 hari mulai tanggal 3 Juli-8 Juli 2021 sedangkan pada keluarga 2 implementasi dilakukan selama 3 hari mulai tanggal 26 juni-1 juli 2021. Beberapa intervensi yang telah disusun tidak dilaksanakan pada kegiatan Implementasi, Implementasi dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan keluarga.

5. Evaluasi

Hasil evaluasi pada keluarga 1 yang dilaksanakan implementasi

Dokumen terkait