• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran Ayat-Ayat Mu’amalah

Dalam dokumen Analisis Tafsir Al-Ahkam Abdul Halim Hasan (Halaman 88-108)

C. Penafsiran Syekh Abdul Halim Hasan Binjai

2. Penafsiran Ayat-Ayat Mu’amalah

ْف ِخ ْنِإَو ىَنْ ثَم ِءاَسِّنلا َنِم ْمُكَل َباَط اَم اوُحِكْناَف ىَماَتَ يْلا يِف اوُط ِسْقُ ت َّلاَأ ْمُت

َنْدَأ َكِل َذ ۚ ْمُكُناَمْيَأ ْتَكَلَم اَم ْوَأ ًةَد ِحاَوَ ف اوُلِدْعَ ت َّلاَأ ْمُتْف ِخ ْنِإَف ۖ َعاَبُرَو َث َلاُثَو

ى اوُلوُعَ ت َّلاَأ

Artinya : “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak- hak)perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita- wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(QS : An-Nisa’, 3)

Ayat diatas, merupakan suatu ayat yang berbicara terkait dengan menikahi wanita lebih dari seorang atau biasa disebut dengan istilah poligami. Jika dilihat sampai saat ini, praktek ini menjadi isu yang masih hangat untuk dibahas di kalangan masyarakat, terutama di kalangan umat Islam. Sebab hal ini masih menjadi hal yang memiliki pro dan kontra di seluruh kalangan masyarakat, terutama di kalangan aktivis gender.

Mereka melihat dalam hal ini adanya suatu ketimpangan atau ketidakadilan yang dihasilkan oleh satu tatanan sosial yang bersifat patriarki, maka dari itu mereka mencoba mendekontruksi serta merekonstruksi terhadap penafsiran-penafsiran ayat poligami, yang menurut mereka bias gender.

adapun ulama yang mengatakan bahwa ayat ini ada kaitannya dengan perlindungan terhadap anak-anak yatim dari orang-orang yang bermaksud ingin berbuat zalim terhadap mereka. Diantaranya Muhammad Jarir al-Thabari, dimana

106Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 93

78

iasetuju dengan pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan kekhawatiran seseorang terhadap penggunaan harta anak yatim yang ditinggal oleh walinya dengan cara tidak adil. Dengan kekhawatiran seperti itu, yaitu tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka begitu jugalah kekhawatiran terhadap perempuan. Untuk itu janganlah kamu menikahi mereka jikalau kamu tidak dapat berbuat adil, dan nikahilah wanita mana saja yang menurut kamu dapat berbuat adil terhadap mereka.107

Selanjutnya, Rasyid Ridho yang berpendapat bahwa, maksud dan tujuan diturunkannya ayat ini adalah untuk memberantas kejahatan atau tradisi zaman jahiliyah yang dinilai tidak manusiawi. Dimana pada saat itu para wali anak-anak yatim mengawini anak yatimnya ketika mereka sudah beranjak dewasa, dengan tidak memberikan mahar yang layak dan tidak memberikan hak-haknya, sebagaimana dia memberikan kepada wanita lainnya. Dan ia juga bermaksud mengambil harta anak yatim tersebut dengan menempuh jalan yang tidak baik, seperti menghalangi anak- anak yatim tersebut untuk tidak menikah dengan pria lain, agar dia bisa mengusai harta anak yatim itu sesukanya. Dengan demikian dengan turunnya ayat ini berguna untuk meng hapus tradisi-tradisi atau kebiasaan yang telah lama di zaman jahiliyah yang menikahi perempuan yang banyak tanpa batas dan memperlakukan istri-istrinya secara tidak adil.108

Ashgar Ali Engineer menurutnya, ayat ini turun setelah terjadinya perang Uhud.

Diketahui bahwa terdapat 70 orang dari 700 laki-laki yang ikut dalam peperangan ini telah gugur atau mati syahid. Dari peristiwa ini kemudian banyak dari kaum perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya, sehingga banyak yang menyandang status janda dan anak yatim. Atas dasar konteks inilah kemudian para sahabat diperintahkan untuk melakukan poligami dengan menikahi mereka. Tetapi menurut Ali ini bukanlah merupakan bagian dari solusi yang tepat untuk melakukan poligami, sebab, sebelum peperangan masyarakat Islam juga sudah mengenal yang namanya poligami, bahkan dengan jumlah yang tidak memiliki batas.109

Islam pada dasarnya tidak melarang terhadap praktek poligami, dan bukan berarti Islam juga yang melegitimasi terhadap diperbolehkannya praktek poligami ini, Berdasarkan sejarahnya, bahwa poligami bukanlah suatu praktik yang terjadi pada masa Nabi Muhammad, melainkan praktik ini merupakan suatu peristiwa sejarah yang telah lama adanya, sebelum masa kenabian Muhammad Saw. Praktik poligami ini merupakan praktik yang telah dikenal sebelumnya oleh masyarakat luas, termasuk di kalangan para nabi, seperti yang terjadi pada nabi Ibrahim a.s. yang mana ia menikahi Siti Hajar, disamping ia telah memiliki seorang wanita yang telah dinikahinya yaitu Siti Sarah. Jadi tidak benar bahwa praktek poligami ini merupakan

107Ibnu Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan, h. 155

108Rasyid Ridho, Tafsir Al-Manar, Vol. 4, (Mesir : Dar Al-Manar, 1347 H), h. 347- 348

109Ashgar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam, Terjm. Amiruddin ar-Raniy dan Cicik Farcha Assegaf, (Yogyakarta : LSPPA, 1994), h. 143

79

bagian dari sunnah fi’liyah yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw,110 sebagaimana apa yang telah dituduhkan oleh sarjana Barat kepada Islam.

Selain itu ulama tafsir lainnya, yaitu Zamakhsyari, mengenai ayat ini dia mengatakan bahwa, huruf waw yang ada ditengah-tengah kata matsna, tsulasa, dan ruba’, itu yang berarti memiliki makna penjumlahan. Sebab itu dia memiliki pandangan yang berbeda dengan dengan ulama tafsir pada umumnya, dimana ia mengatakan bolehnya menikahi perempuan lebih dari empat orang, yaitu sembilan orang, jika seorang laki-laki tersebut yakin degan dirinya akan dapat berlaku adil terhadap perempuan tersebut.111

Hal yang berbeda juga diungkapkan oleh Al-Razi dalam tafsirnya, dia menyebutkan satu pendapat yang menyatakan bahwa batas maksimal menikahi perempuan yaitu delapan belas. Hal ini didasarkan analisa terhadap makna dari kata- kata mastna, tsulasa’ dan ruba’. Bagi mereka makna dari kata mastna bukan berarti dua melainkan isnaini-isnaini yang bermakna dua dua yang berarti jumlahnya adalah empat. Begitu juga dengan makna tsulasa’ yang bermakna tiga tiga yang berarti enam, dan ruba’ yang bermakna empat-empat yang berarti delapan. Dengan demikian jika ini dijumlahkan maka hasilnya adalah delapan belas.112 Pendapat inilah kemudian menjadi dasar bagi orang-orang yang membolehkan menikahi wanita dengan batas maksimal delapan belas.

Dalam pembahasan ayat ini, Abdul Halim sendiri memberikan tema terkait dengan ayat diatas adalah, “nikahilah perempuan itu dua, tiga atau, empat. Ia mengawali penafsirannya dengan mengemukakan asbabu an nuzul (sebab turun ayat), dimana keterangan ini ia ambil dari kitab shahihain, Sunan Nasa’i, Baihaqi, begitu juga dalam tafsir Ibnu Jarir, Ibnu Munzir, dan Ibnu Abi Hatim. Menceritakan dari Urwah bin Zubair, yang ketika itu bertanya kepada bibinya Aisyah Ummu al- Mukminin terkait dengan ayat ini, dan Aisyah pun berkata, “Wahai anak saudaraku!

Perempuan itu berada dalam pemeliharaan walinya, bersama-sama dengan harta yang dipusakainya, sedang orang itu suka kepada harta harta dan kecantikan anak yatim itu. Dia bermaksud mengawinanya dengan tidak berlaku jujur menurut pembayaran yang diserahkannya kepada orang lain. Sebab itu maka dilarang lah menikahinya, kecuali jika mau berlaku jujur dengan memberikan mahar yang sebaik-baiknya dan bersamaan dengan mahar itu disuruh juga menikahi perempuan yang lain-lain.”113

Berdasarkan keterangan Aisyah diatas, maka Abdul Halim berpendapat, jika seseorang merasa tidak mampu untuk berlaku jujur dalam pernikahannya dengan anak-anak yatim yang berada di dalam penjagaannya, maka hendaknya orang itu membatalkan niatnya untuk menikahi anak-anak yatim itu, dan nikahilah wanita- wanita lain yang menurut pandangannya itu baik. Baik itu satu, dua, tiga atau empat

110Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2004), h. 162

111Abu Al-Qasim Mahmud Ibn Umar al-Zamakhshari, Al-Kassa>f‘an Haqa>iqi Ghawa>midi al-Tanzi>l, (Beirut : Dar al-Kitab, 1987), h. 77

112Fakhr al-Din al-Razi, Al-Tafsi>r Al-Kabi>r, Juz V, h. 182

113Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 192

80

orang.114 Dan ia menguatkan pernyataannya ini juga dengan perkataan Rabi’ah yang mengatakan “tinggalkan anak-anak yatim itu dan kawini yang lain”.

Abdul Halim juga mengutip perkataan Muhammad Abduh, dimana di dalam tafsirnya ia menyebutkan dengan sebutan “Ustaz Al-Imam”. Ia berkata “apabila kamu bermaksud hendak mengawini anak yatim dan kamu merasa takut akan termakan hartanya, maka janganlah kamu kawinin anak yatim itu dan kawinlah dengan perempuan lain yang baik-baik”. Selain itu, Abduh juga berkata, dari keterangan Aisyah ini, dia menyimpulkan bahwa, dari sini telah tampak jelas antara perintah untuk menikah dengan memelihara anak yatim. Dia mengatakan bukan berarti bahwa takutnya seseorang menikah dengan anak yatim merupakan sebuah syarat dari diperbolehkannya menikah dengan wanita lain. Ulama sepakat bahwa syarat dalam ayat ini, bukanlah menjadi sebuah ketentuan untuk menikahi wanita lain hingga empat orang.115

Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar, dimana ia memulai penafsirannya dengan riwayat dari Aisyah yang menjawab pertanyaan dari sepupunya Urwah bin Zubair.

Dari kisah ini, maka Hamka berpendapat bahwa ayat ini ada hubungannya dengan ayat sebelumnya, yaitu surat An-Nisa ayat 2, tentang memelihara harta anak yatim.

Dimana di ayat kedua ini dijelaskan jangan sampai ada perlakuan aniaya dan curang terhadap anak yatim itu. Sebab akan ada masanya seorang wali mengembalikan harta anak yatim itu ketika dia ingin menikah. Namun seorang wali anak yatim itu memiliki niat yang tidak baik dalam pikirannya, sehingga dia ingin cepat-cepat menikahinya, agar harta anak yatim tersebut tetap ditanganya. Dengan niat seperti ini, maka Hamka berkesimpulan ayat ini melarang seseorang menikahi anak yatim karena memiliki niat tidak baik tersebut, dan lebih baik menikahi wanita lain walau sampai empat orang.116

Berbeda dengan penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy, dimana ia tidak menggunakan asbabun nuzul dalam tafsirnya ketika menjelaskan ayat ini. dia mengatakan bahwa, jikalau seorang wali khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim yang ingin dinikahinya, dan memiliki niat ingin menghabiskan hartanya, maka janganlah kamu menikahi mereka, dan jangan pula kamu menghalangi mereka ketika mereka hendak menikah dengan laki-laki lain. Namun nikahilah wanita lain satu, dua, tiga hingga empat orang.117

Abdul Halim dengan mengambil pendapat dari jama’ah salaf juga mengatakan bahwa, ayat ini datang me-nasakh-kan perbuatan-perbuatan yang telah terjadi pada saat zamannya Jahiliah dan permulaan Islam, dimana seorang laki-laki diperbolehkan mengawini perempuan-perempuan yang mereka sukai dengan jumlah yang tidak terbatas, dengan kemampuan dan kesukaan hati mereka saja. oleh sebab itulah dia menjadi sasaran dua kalimat, yaitu, pertama, jika mereka merasa takut tidak akan bisa berbuat adil terhadap perempuan-perempuan dan yang kedua, jika mereka

114Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 192

115Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 192

116Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 289

117Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 757

81

merasa berat kawin dengan anak-anak yatim namun tidak merasa berat dengan perempuan-perempuan lain.118

Berdasarkan ayat ini, dan pendapat jama’ah salaf yang dikutipnya, maka Abdul Halim berpendapat bahwa, haram bagi siapapun yang menikahi perempuan atau wanita lebih dari empat orang. Dan dia tidak setuju dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa boleh menikahi wanita hingga sembilan orang, dari jumlah yang ditambahkan dua, tiga dan empat. Karena menurutnya kata “au” dalam ayat ini itu memiliki arti “atau”, jadi maknanya, boleh bagi seseorang menikahi wanita dua, atau tiga atau empat, sifatnya adalah pilihan, dan bukan jumlahan dari angka tersebut. dan dia juga berpendapat bahwa menikah dengan wanita lebih dari empat orang itu hanyalah ketentuan bagi Nabi Muhammad SAW saja, dan tidak diperuntukkan bagi yang lain.119 Hal ini dia perkuat dengan hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Tirmizi, ia berkata, “Bahwasannya Ghailan bin Salamah Tsaqofi telah memeluk agama Islam sedang dia mempunyai sembilan orang istri yang dikawininya pada zaman Jahiliah dan semuanya memeluk agama Islam bersama-sama dengan dia.

Maka Nabi memerintahkan kepadanya, supaya dipilihnya empat orang saja di antara mereka dan menceraikan yang lain.”120

Hasbi Ash-Shiddieqy memiliki pendapat yang sama dengan Abdul Halim, yang mengatakan bahwa biasanya kata “au” bagi orang Arab itu diartikan, bolehnya kita mengambil wanita sebanyak, satu orang atau dua, atau tiga atau empat oran. Jadi menurut Hasbi kata “au” di dalam ayat ini merupakan sebuah pilihan, dan bukan berarti semua itu dijumlahkan sehingga menjadi Sembilan orang.121 Sedangkan Hamka tidak menyebutkan berapa jumlah wanita yang boleh dinikahi, tetapi dengan diperbolehkannya menikahi wanita hingga empat orang dalam tafsirnya,122 menurut penulis, ini menunjukan bahwa Hamka membolehkan hanya sampai empat orang wanita saja.

Dapat dilihat bahwa adanya perbedaan penafsiran terhadap batas jumlah wanita yang ingin dinikahi. Hal ini terletak pada perbedaan arti dari kata “au”, dimana sebagian ulama tafsir seperti yang telah diterangkan diatas, ada yang mengatakan merupakan penjumlahan, dan ada yang mengatakan merupakan pilihan. Dan ada juga yang menafsirkan bahwa angka yang terdapat dalam ayat ini merupakan kelipatan, sehingga batas jumlah wanita yang boleh dinikahi adalah delapan belas.

Selanjutnya, Abdul Halim juga mengemukakan perbedaan pendapat dikalangan ulama mazhab terkait dengan seorang hamba yang diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari dua orang. Yang pertama, dalam salah satu riwayatnya Imam Malik berkata, “seorang hamba boleh menikahi hingga empat orang, berdasarkan dalil ayat diatas.” Berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan, “ ayat ini hanya ditujukan kepada orang yang merdeka saja, sebab ujung ayat ini berbunyi,

“maka jika kamu merasa takut tidak dapat berlaku adil, cukuplah seorang saja atau

118Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193

119Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193

120Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193

121Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 757

122Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 290

82

apa yang telah kamu miliki.” Kata “miliki” disini menunjukan kepada seorang yang merdeka yang memiliki hamba.123

Terkait dengan seseorang yang memiliki istri hingga empat orang, Abdul Halim memiliki pendapat, dimana sifat keadilan kepada istri-istri yang dinikahinya adalah hal yang nomor satu untuk dilakukan, dalam segala hal, baik itu giliran maupun memberikan nafkah kepada istri-istri yang mereka nikahi. Dan jika hal ini terasa tidak sanggup mereka lakukan, maka Abdul Halim berpendapat cukup satu istri saja, tanpa menikahi wanita-wanita lainnya. Sebagaimana dalam tafsir Al-Ahkamnya dia mengatakan “ jika kamu merasa takut tidak dapat berbuat adil di dalam memenuhi giliran masing-masing di antara istri-istri itu, atau tidak dapat berlaku adil dalam membagi nafkahnya, maka kamu kawinilah seorang saja, atau nikahilah sahaya- sahaya perempuan (amah). Namun disini Abdul Halim menjelaskan, yang dimaksud dengan menikahi sahaya adalah membeli mereka, dan bukan dengan jalan mengawini mereka, sebab sahaya-sahaya itu tidak memilki hak apapun dalam hal giliran maupun pembagian rezeki dan lainnya.124

Hasbi Ash-Shiddhiqy juga memiliki penafsiran yang sama dengan Abdul Halim terkait dengan keadilan diantara istri-istri yang dinikahi. Menurutnya, cukuplah bagi seorang laki-laki itu menikah dengan seorang wanita merdeka saja, atau cukup dengan budak-budak yang telah mereka miliki, karena dikhawatirkan dengan banyaknya istri, seseorang tidak dapat berlaku adil diantara mereka. Dan menurut Hasbi sangat sulit untuk bersifat adil diantara mereka. Karena adil yang dimaksudkan Hasbi disini adalah kecondongan hati seseorang. Dan tidak mungkin perasaan cinta terhadap istri-istrinya memiliki kadar yang sama.125

Mengenai seorang hamba, atau dikenal dengan istilah budak, Hamka disini mencoba mengaitkannya dengan kejadian sosial yang ada pada zaman dahulu terkait halnya dengan perbudakan, dengan zaman sekarang yang sudah tidak ada lagi tradisi perbudakan itu. Pada saat itu adanya perbedaan sikap terhadap orang merdeka yang dinikahi dengan seorang budak yang dinikahi. Jika wanita merdeka memiliki mahar yang harus dibayar seorang laki-laki, sedangkan seorang budak tidak perlu membayarnya. Dan seorang tuan memiliki hak apa saja terhadap budaknya itu, termasuk menggaulinya. Maka terkait dengan hal ini Hamka berpendapat, untuk saat ini tidaklah menjadi sebuah alasan bagi seorang pemuda yang tidak sanggup menikah, lantas dia menggauli pembantunya selayaknya suami-istri. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang dahulu.126

Pada ujung ayat “yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya,”

Abdul Halim disini lagi-lagi, dalam tafsirnya, ia menjelaskan maksud ayat ini dengan keterangan dari beberapa ulama dengan yang memiliki perbedaan pendapat terkait dengan makna “او لو ع ت الَّ أ.” Diantaranya Syafi’i yang berpendapat bahwa, ini yang berarti, agar seseorang lebih dekat kepada tidak memiliki anak yang banyak, disebabkan seseorang mengawini banyak perempuan. Sebab dikhawatirkan dengan banyaknya anak, kamu tidak bisa mengurusnya, dan bahkan kamu bisa jadi

123Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 193

124Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 194

125Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 757

126Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 309

83

menelantarkan mereka. Inilah yang kemudian dimaksudkan dengan perbuatan dzalim. Kemudian Abdul Halim juga memaparkan pendapat Tsa’labi yang menolak atas keterangan Syafi’i diatas. Tetapi menurut Abdul Halim keterangan Tsa’labi ini dapat dijawab, bahwa menurutnya ulama sebelum Syafi’i juga menafsirkan hal yang sama dengan Syafi’i, diantaranya adalah Zaid bin Aslam dan Jabir bin Zaid, dan mereka semua tidaklah akan menafsirkan al-Qur’an itu, kalau tidak memiliki kemampuan bahasa Arab. Hal ini dia perkuat dengan sebuah riwayat dari tabiin, telah diceritakan oleh Al-Qurthubi, dari Ahmad, Ibnu Amri Duri dan Ibnu Arabi, bahwa Ibnu Hatim berkata, “Syafi’i adalah orang yang lebih mengerti bahasa Arab dari pada kita, barangkali yang dikatakannya itu adalah satu lughat (bahasa).”127

Abdul Halim juga memperkuatnya dengan mengambil perkataan dari Ibnu Amri Al-Duri, dia berkata “ kata alla dengan makna banyak adalah bahasa Himyar. Mereka berkata,

لاعو ىشمأ نإو كش لاب يح لك ذخأي توملا نإو

Artinya : “mati itu akan menjemput segala yang bernyawa, tak ragu, sekalipun dia punya ternak dan banyak pula.”

Hasbi dan Hamka memiliki pandangan yang sama dengan Abdul Halim dalam penafsirannya. Hamka juga mengutip pendapat Syafi’i yang mengatakan, “agar kamu tidak banyak tanggungan.” Artinya dengan banyak istri, maka banyakla pulak anak.

Dikhawatirkan kamu tidak dapat menjaga titipan Allah (Istri dan anak) oleh karena kamu bukan dari kalangan orang kaya. Terhadap istri kamu tidak bisa membagi kasih sayang, dan kepada anak, kamu tidak bisa mengasuhnya dengan baik, seperti menyekolahkannya dan lain sebagainya.128 Sedangkan Hasbi mengambil keterangan dari kitab Sirrul Islam yang diterangkan oleh al-Amir Ali yang mengatakan bahwa, ulama Mu’tazilah melarang seorang laki-laki beristeri hingga dua orang. Mereka melihat praktek poligami ini memiliki banyak kerusakannya jika dilakukan, ketimbang kemashlahatan yang ada di dalamnya. Dengan begini, Hasbi menyarankan kepada pemuka hukum dan ahli fatwa, agar mempertimbangkan maslahat dari pada kerusakan ketika memutuskan sebuah hukum.129

Penulis melihat bahwa ketiga ulama ini lebih menyarankan kepada seorang laki- laki seharusnya untuk lebih kepada monogami. Hal ini agar terhindar dari perbuatan dzalim terhadap wanita yang dia nikahin, dan terhadap anak-anak yang dia milikidari istri-istrinya itu. Dan dikhawatirkan juga seorang laki-laki yang menikahi wanita lebih dari satu, tidak dapat berbuat adil kepada anak dan istri-istri mereka.

b. Menikah Lintas Agama

ۗ ْمُكْتَ بَجْعَأ ْوَلَو ةَكِرْشُم ْنِم ٌرْ يَخ ٌةَنِمْؤُم ٌةَمََلأَو ۚ َّنِمْؤُ ي ىَّتَح ِتاَكِرْشُمْلا اوُحِكْنَ ت َلاَو ۗ ْمُكَبَجْعَأ ْوَلَو كِرْشُم ْنِم ٌرْ يَخ ٌنِمْؤُم ٌدْبَعَلَو ۚ اوُنِمْؤُ ي ىَّتَح َنيِكِرْشُمْلا اوُحِكْنُ ت َلاَو

127Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 194

128Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 294

129Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 758

84

َنوُعْدَي َكِئ َلوُأ آ ُنِّيَ بُ يَو ۖ ِهِنْذِإِب ِةَرِفْغَمْلاَو ِةَّنَجْلا ىَلِإ وُعْدَي ُهَّللاَو ۖ ِراَّنلا ىَلِإ

ِساَّنلِل ِهِتاَي

َنوُرَّكَذَتَ ي ْمُهَّلَعَل

Artinya : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.

Dan mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS : Al-Baqarah, 221)

Ayat ini berbicara terkait dengan hukum menikah dengan wanita-wanita musyrik, dan sebaliknya menikahkan wanita-wanita mukmin dengan laki-laki musyrik. Dalam ayat ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Hal ini terkait dengan pemaknaan pada kata musyrik dalam ayat ini. untuk itu sebelum masuk pada pembahasan, penulis terlebih dahulu akan memaparkan beberapa pendapat ulama terkait dengan kata musyrik.

Kata “musyrik” merupakan isim fa’il dari kata asyraka-yusyriku-isyrakan, secara literal kata ini memiliki makna yang berarti menyekutukan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Tetapi, kata syirk ini lebih dikenal dengan seseorang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu atau benda-benda lain. Maka oleh sebab itu bagi siapa yang melakukan perbuatan syirk ini disebut dengan panggilan musyrik.130 Sedangkan secara historis, kata “syirk” ini menunjukan kepada suatu perbuatan orang-orang Mekkah yang menyembah suatu obyek fisik, sebagai contoh misalnya, patung atau juga benda-benda keramat yang mereka anggap suatu yang sakral.131

Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kata musyrik dalam ayat ini yaitu, mereka perempuan-perempuan para penyembah berhala dan juga perempuan-perempuan yang beragama majusi, hal ini ia nukil sebagaimana pendapat dari Abu Hanifah, Imam Malik, As-Syafi’i dan juga Al-Auza’i, yang mengatakan bahwa dilarang menikah dnegan wanita-wanita majusi. Ia juga menmbahkan bahwa, tidak ada kontradiksi antara surat al-Baqarah dan Al-maidah, sebab secara dzahir lafazd syirik itu termasuk ahl kitab.132

Ibnu Katsir dalam tafsirnya al-Qur’an Al-Azhim, menjelaskan makna musyrik dengan meriwayatkan, bahwa Abu Abdillah Ibn Hanbal pernah ditanya perihal siapa saja yang tergolong ke dalam orang-orang yang musyrik dalam ayat tersebut, Ibn Hanbal pun menjawab yaitu mereka perempuan-perempuan musyrik Arab yang telah

130Ibn Manzhur, Lisa>n al-‘Ara>b, (Kairo : Dar al-Hadist, 2003), Jilid V, h. 95

131Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism : An Islamic Perspective of Interre;ihious Solidarity Against Oppression, (Oxford : One World, 2001), h. 154

132Imam Al-Qurthubi, Al Jami>’ li Ahka>m Al-Qur’a>n, Juz I, (Kairo : Dar Al-Kitab Al- Mishriyah, 1964), h.151

Dalam dokumen Analisis Tafsir Al-Ahkam Abdul Halim Hasan (Halaman 88-108)

Dokumen terkait