• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran Ayat-Ayat Ibadah

Dalam dokumen Analisis Tafsir Al-Ahkam Abdul Halim Hasan (Halaman 74-88)

C. Penafsiran Syekh Abdul Halim Hasan Binjai

1. Penafsiran Ayat-Ayat Ibadah

ْنَأ ْمُتْف ِخ ْنِإ ِة َلاَّصلا َنِم اوُرُصْقَ ت ْنَأ ٌحاَنُج ْمُكْيَلَع َسْيَلَ ف ِضْرَْلأا يِف ْمُتْ بَرَض اَذِإَو اًنيِبُم اًّوُدَع ْمُكَل اوُناَك َنيِرِفاَكْلا َّنِإ ۚ اوُرَفَك َنيِذَّلا ُمُكَنِتْفَ ي

Artinya : “Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqasar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS : An-Nisa’, 101)

Salat merupakan rukun Islam ke lima yang harus dijalankan bagi setiap seorang muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam syariatnya seorang muslim harus menjalan salat fardu lima kali dalam sehari dengan waktu yang telah ditentukan sesuai syariat. Namun terkadang seorang muslim mendapatkan halangan untuk melaksanakan salat tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, seperti sering terjadi saat seorang muslim berpergian dengan jarak tempuh yang sangat jauh.48 Dalam al-Qur’an telah dijelaskan terkait dengan hal tersebut, sehingga ada keringanan bagi umat muslim yang sedang dalam perjalanan. Namun tidak bisa melakukannya sesuai dengan waktu yang ditentukan. Di sini akan dibahas terkait dengan keringanan (rukhs}ah) bagi seseorang yang takut tidak dapat melakukannya sesuai dengan waktunya, atau hal ini disebut dengan salat qas}ar. Dalam al-Qur’an disebut secara global, sehingga menimbulkan berbagai tafsiran terkait dengan hal ini.

Pembicaraan ini menjadi perhatian bagi Abdul Halim yang dibahas dalam Tafsir al- Ahkam-nya, dia beri judul “Tidak Mengapa Mengqashar Salat.”

Mengenai permasalahan yang ada dalam ayat di atas , Abdul Halim menjelaskan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan hukum melaksanakan salat ketika dalam perjalanan yang disertai dengan rasa takut akan terganggu keamanannya. Menurut Abdul Halim, ini disebut dengan salat dalam keadaan takut, ia menjelaskan bahwa dengan mengambil ayat ini sebagai dalil, maka para fukaha menjelaskan salat qas}ar ketika dalam perjalanan itu hukumnya adalah boleh dilakukan dan bukan wajib.49 Kebolehan meng-qasar yang dijelaskan Abdul Halim di dukung dengan riwayat dari Ya’la bin Umaiyah, berkata bahwa, “aku telah bertanya kepada ‘Umar bin Khat{t{ab maksud ayat ini dan aku mengatakan, “bahwasannya bolehnya seseorang itu meng- qas}ar salat itu karena takut.” Sekarang perasaan takut itu sudah tidak ada lagi, apakah masih boleh meng-qas}ar salat itu? lalu ‘Umar pun menjawab, “saya juga merasa heran,” sebagaimana yang engkau tanyakan itu. Lalu saya tanyakan kepada Rasulullah Saw. Maksud ayat tersebut, beliau berkata, “sedakah yang telah Allah

48Mohammad Nabeel Musharraf, “Shortening and Combining of Salah During Travel”, Australian Journal of Humanities and Islamic Studies Research, 2 (1), 20, 2016, h.

53-63.

49Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1982), h. 306

64

berikan kepada kamu itu, hendaklah engkau terima!” diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Ahli Sunnah.50

Disisi lain, Menurut Hamka bahwa dalam ayat ini ada dua sebab yang pertama karena musafir dan yang kedua karena ketakutan gangguan orang kafir. Menurut Hamka, yang menjadi perhatian penting dalam ayat ini adalah ketika dalam keadaan musafir dan bukan gangguan orang kafirnya. Karena yang menjadi contoh dalam menjalankan syariat itu adalah Rasulullah sendiri.51 Dalam konteks yang sama Abdul Halim dan Hamka juga menguraikan riwayat dari Ya’la bin Umaiyah menunjukan bahwa diperbolehkannya meng-qasar salat dalam keaadaan musafir. Hamka berpegang terkait dengan sebab turunnya ayat riwayat dari Ibn Abi Nujaih, yang bersumber dari Mujahid, di mana asal usul terjadinya turun ayat adalah terjadi pada Nabi Muhammad Saw. dengan para sahabat di dalam suatu peperangan di dekat Usfan. Menurut sumber lain, pada saat itu kaum musyrikin sedang berhenti dan masih jauh. Di saat keadaan luang seperti itu, maka Rasulullah dan para sahabat terus salat zuhur empat rakaat lengkap dengan sujud dan rukuk. Lalu, tiba-tiba tatkala mereka sedang khusyuk saat itu musuh mengepung mereka dan merampas senjata. Menurut Mujahid inilah sebab kejadian ayat ini turun. Namun keterangan Mujahid tersebut dianggap dilemahkan oleh sunah itu sendiri. Para ulama berkesimpulan bahwa ayat dikemukan bukanlah menjadi alasan diperbolehkannya meng-qasar salat di waktu musafir, tetapi diambil dari perbuatan Rasulullah dan para sahabat.52

Hasbi dalam tafsirnya An-Nur, dia mengatakan bahwa bolehnya seseorang memendekkan salatnya ketika dalam keadaan berhijarah, dengan syarat seseorang itu takut akan dapat gangguan dari orang-orang kafir. Namun Hasbi juga mengatakan bahwa hal ini tidak dikhususkan pada masa peperangan saja, melainkan juga ketika seseorang khawatir akan adanya perampokan. Yang dimaksud qashar dalam ayat ini menurut Hasbi, bukan berarti seseorang itu meng-qashar salatnya yang empat menjadi dua, sebgaimana yang telah ditetapkan bagi orang-orang musafir dalam hadis yang mutawatir, akan tetapi, setiap golongan malaksanakan salat satu rakaat bersama imam, jika sudah sempurna melaksanakannya, maka satu golongan lain beserta imam untuk melakukan rakaat keduanya, dan tidak ada diterangkan golongan-golongan itu menyempurnakan salatnya satu-satu rakaat lagi.53

Setelah menjelaskan terkait dengan permaslahan yang ada di dalam ayat tersebut, selanjutnya Abdul Halim membahas tentang bagaimana hukum terkait dengan melakukan salat qashar ini? Untuk menjelaskan terkait dengan hukum ini, maka Abdul Halim menguraikan beberapa pendapat, diantaranya adalah, keterangan dari Umar bin Abdul Azis dan dari orang Kufah, mereka mengatakan bahwa mengqashar salat itu hukumnya adalah wajib. Sedangkan Kadi Ismail dan Hammad Abu Sulaiman mereka mengatakan, sesungguhnya telah diriwayatkan oleh Malik dalil mereka dari hadis yang tersebut dalam sahih, bahwa difardhukan salat dua rakaat, dua rakaat dan dua rakaat ketika menetap, dan ditetapkan dalam perjalanan. Selain itu juga Abdul

50Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 307

51Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 299

52Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 301

53Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur, Cet ke- II, (Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 1995), h. 906

65

Halim juga menyebutkan pendapat yang mengatakan bahwa, diperbolehkannya melakukan qasar itu adalah seperti apa yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, yaitu jika mereka takut akan ada musuh. Tetapi tidaklah boleh bagi mereka mengqasar salatnya, jika mereka merasa aman.54

Abdul Halim juga mengemukakan pendapat lain , yang berbeda dengan pendapat di atas, yang mengatakan bahwa, takut bukanlah menjadi sebuah alasan atau syarat orang untuk melakukan salat qashar, sebab kalimat yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu, “ jika kamu merasa takut”, kalimat ini tidak memiliki hubungannya sama sekali dengan kalimat yang terdahulu. Untuk itu, maksud dari ayat ini bagi mereka adalah, “jika kamu musafir, maka tidak ada dosa atas mu ketika engkau mengqasar salat, dan jika kamu takut akan terjadinya fitnah dari orang-orang kafir, maka hendakla kamu dirikan salat khauf.” Dan selain itu ada juga yang berpendapat bahwa,

“jika kamu merasa takut” hal ini telah di naskh-kan oleh sunah yang telah disebutkan di atas.55

Dari semua pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka Abdul Halim mengatakan, bahwa dalam hal ini, maka kita bisa berpedoman kepada sunnah nabi Muhammad SAW yang telah dilakukaknnya, begitu juga hal nya dengan ijma’ para ulama, yang mengatakan bahwasannya salat qashar itu telah dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, baik itu ketika dalam keadaan perjalanan yang aman, maupun juga dalam keadaan takut.56 Lanjutnya, Abdul Halim mengatakan, sebab itulah para ahli ushul mengatakan, bahwa pada masa itu takut yang menjadi syarat bolehnya mengqashar salat, hanya sebagai suatu kebiasaan saja, sebab pada saat itu, orang- orang Islam biasanya merasa takut ketika dalam sebuah perjalanan. Untuk itu Abdul Halim juga berpendapat bahwa, walaupun syarat (takut) itu tidak adalagi pada saat ini, tetapi kebolehan mengqasar salat ketika dalam perjalanan itu bagi umat Islam tetaplah berlaku. Hal ini dia perkuat dengan perkataan dari Ibnu Qayyim dalam Hadyu ar-Rasul, yang berbunyi, “bahwasannya nabi Muhammad SAW telah mengqasarsalatnya yang empat rakaat ketika dalam keadaan musafir, sampai beliau kembali ke kota Madinah, dan sekalipun tidak pernah terdengar, bahwa Rasulullah itu dalam perjalanannya mengerjakan salat sebanyak empat rakaat.57

Dalam hal ini Hamka sendiri berpendapat bahwa, salat ketika dalam musafir adalah dua rakaat, hal ini menurutnya bukanlah sebuah keringanan atau rukhshoh, melainkan ini adalah suatu hal yang mesti. Sebagaimana Aisyah pernah berkata,

“sembahyang itu telah difardhukan dua rakaat-dua rakaat. Namun, setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, ditambahkanlah pada sembahyang Hadhar dan ditetapkan pada sembahyang musafir." Dijelaskankan oleh Hamka bahwa salat hadhar yaitu sedang bertetap dalam negeri, dan tidak pergi kemana-mana.58 Kemudian Hamka juga menggambarkan dengan suatu kondisi dimana ketika seseorang singgah disuatu daerah satu hingga dua hari, singgahla disebuah masjid, dimana pada saat itu orang- orang ingin melakukan salat isya berjama’ah, maka Hamka menyarankan, agar

54Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 307

55Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 307

56Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 308

57Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 308

58Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 302

66

seseorang itu hendaknya mengikuti salat isya berjama’ah dahulu, hal ini untuk menghormati orang-orang yang ingin melaksanakan salat isya tadi secara berjama’ah.59

Hasbi mengatakan bahwa, dengan berpegang dengan pendapat ulama Hanafiyah, bahwa diperbolehkannya seseorang mengqashar salat dan berbuka di saat Ramadhan, jika safar yang dilakukan seseorang itu berjarak tiga hari tiga malam. Selain itu dari ulama Malikiyah juga dia kemukakan bahwa, bolehnya mengqashar salat jika jarak perjalanan itu sampai dua hari. Dan setngah ulama ada juga yang mengatakan, bolehnya mengqashar salat walaupun perjalanan itu tidak jauh, hal ini berdasarkan hadis dari Anas yang mengatakan bahwa Nabi mengqashar salatnya jika beliau pergi tiga mil atau sekitar enak kilometer. Sedangkan Ibnu Hazm, dia mengatakan cukup satu mil saja seseorang boleh mengqashar salatnya.60

Melihat pemaparan di atas terkait dengan shalat qashar, maka Abdul Halim tampak dalam penjelasannya terkait dengan ayat ini, dia menggunakan perkataan sahabat dan tabi’in sebagai penjelasannya. Disamping itu Abdul Halim juga menggunakan para pendapat fuqaha dan juga ahli ushul dalam tafsirnya. Namun Abdul Halim tidak ada memberikan pendapat pribadinya secara detail terkait dengan ayat ini.

b. Hukum Menghadap Kiblat dalam Salat

ۚ ِهَّللا ُهْجَو َّمَثَ ف اوُّلَوُ ت اَمَنْ يَأَف ۚ ُبِرْغَمْلاَو ُقِرْشَمْلا ِهَّلِلَو

Artinya : “dan kepunyaan Allah lah Timur dan Barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah.” (QS : Al-Baqarah, 115)

Ketika seseorang ingin masuk ke dalam Islam, maka secara otomatis ia sudah siap untuk melaksanakan semua yang ada di rukun Islam, kecuali rukun yang ke-5, sebab rukun ini hanya dapat dilakukan bagi mereka yang mampu.61 Setelah mengucapkan syahadat, maka kewajiban yang kedua yang harus dijalankan oleh seorang muslim adalah solat. Solat yang harus didirikan seorang muslim yaitu lima kali dalam sehari. Untuk mendirikan kelima solat ini, maka seorang muslim juga harus tau kapan waktu solat datang dan berakhir, tidak itu saja, tentu umat Islam juga harus menghadapkan wajahnya ke arah kiblat ketika solat.

Mengarah pada kiblat ketika salat merupakan perkara yang wajib, namun pada situasi tertentu umat Islam mendapatkan kendala ketika hendak melaksanakannya.

Sebagai contoh, ketika mereka dalam situasi diperjalanan atau di atas kendaraan, yang tidak memungkinkan bagi umat Islam tepat mengarah pada kiblat. Untuk itu ayat ini akan menguraikan tentang hukum menghadap kiblat ketika salat.

Definisi kiblat dalam kamus besar dijelaskan disana, yaitu arah ka’bah yang berada di Mekkah ketika melakukan solat. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan

59Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 309

60Hasbi Ash Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid, h. 907-908

ًلايِبَس ِهْيَلِإ َعاَطَتْسا ِنَم ِتْيَ بْلا ُّج ِح ِساَّنلا ىَلَع ِهَّلِلَو61

Artinya : “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

67

oleh Muhammad al-Katib al-Asyarbini bahwa kiblat yang dimaksudkan disini adalah Ka’bah.62 Sedangkan dalam bahasa Arab kiblat (ةلبق) berasal dari kata ةلبق ,لبقي ,لبق ini memiliki arti menghadap.63

Jumhur ulama’ telah sepakat bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah nya solat itu. Sebagaimana Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat terkait dengan kewajiban menghadap kiblat.64 Sedangkan as-Syaukani mengatakan bahwa ulama telah sepakat menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sahnya salat, kecuali apabila ia tidak sanggup melakukannya, misalnya, ketika dalam peperangan, atau ketika mengerjakan salat sunah dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan.65

Sejarah mengatakan bahwa kiblat umat Islam ketika sedang malaksanakan salat atau ibadah selama nabi masih hidup itu pernah berganti, yang mana awal mula kiblat umat Islam pada saat itu yaitu Baitul Maqdis di Yerussalem, Palestina, hal ini berlangsung selama 16 bulan. Namun setelah 16 bulan umat Islam berkiblat ke Baitul Maqdis, datanglah perintah Allah SWT agar umat Islam menggantikan arah kiblatnya ke Mekkah.66 Hal ini sebagaimana telah tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 144.

Terkait dengan ayat ini, Abdul Halim memulai penafsirannya dengan memberikan pengertian kata masyrik dan kata maghrib.Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata masyrik dalam ayat ini yaitu Timur, yang berarti tempat dimana matahari terbit. Sedangkan kata maghribyang berarti Barat, dimana tempat terbenamnya matahari. Maka dari itu, berdasarkan redaksi ayat di atas, Abdul Halim mengatakan bahwa kedua penjuru tersebut adalah kepunyaan Allah SWT, baik itu apa yang terdapat dalamnya, semua adalah milik Allah.67

Setelah mengemukakan makna dari kata masyrik dan maghrib, kemudian Abdul Halim memberikan makna dari lanjutan ayat di atas yaitu, “Dan ke mana saja kamu menghadap, maka di sana ada wajah Allah,” ia mengatakan bahwa ini disebabkan karena Dzat Allah SWT, dan tidak pula mengambil tempat, atau juga terbagi-bagi.

Selanjutnya Abdul Halim menjelaskan terkait dengan maksud ayat di atas, ia mengatakan bahwa ayat ini menunjukan kepada kamu sekalian, bahwa kemana saja kamu berpaling untuk menghadap Allah, maka Allah meridhai itu semua, sebagaimana hal nya ketika datang kepada kamu perintah untuk menghadap kiblat,68 hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 144, Allah SWT

62Slamet Hambali, Ilmu Falak I (Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia), (Semarang : Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, 2011), h. 167

63Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 1168-1169.

64Ahmad Ibnu Abd al-Halim Ibn Taimiyah, Fatawa> Al-Kubro> li Ibnu Taimiyah, (tt : Darul Kutub al-Ilmiyah, 1987), h. 44

65Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah as-Syaukani, Nailul al-Autha>r, (Mesir : Dar al-Hadis, 1993), h. 164

66Ensiklopedi Islam, Jilid III, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h. 66

67Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 8

68Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 8

68

berfirman, “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam dan di mana saja kamu berada,maka hadapkanlah mukamu ke arahnya.”

Menjelaskan terkait maksud ayat di atas, maka Abdul Halim mengambil keterangan dari tafsir Al-Kassyaf, yang ditulis oleh Zamakhsyari, disana dijelaskan bahwa, makna dari ayat di atas adalah, jika seseorang itu terhalang untuk salat di Masjidilharam ataupun Bait al-Maqdis, maka Allah telah jadikan bumi ini sebagai masjid. Untuk itu, kamu bisa melaksanakan salat di mana saja kamu kehendaki dan kamu lakukan atau juga di mana saja yang kamu dapat, dan tidak hanya bertumpuh pada satu masjid tertentu saja.69

Tidak dari tafsir Al-Kassyaf saja, Abdul Halim juga mengambil keterangan dari Syaukani dalam Fath Al-Qadir nya, dia berkata, “tidak ada satu jalan untuk mengkhususkan ayat ini kepada satu macam itu saja, dan sebenarnya maksud ayat itu lebih umum lagi, dan kalau hanya dimaksud untuk menyatakan sebab, maka hal itu tidaklah menjadi apa-apa.70

Menurut penulis, Abdul Halim disini mencoba untuk menghubungkan keterkaitan antara surat al-Baqarah ayat 115 dengan Al-Baqarah 144, dengan mengambil penafsiran dari Zamakhsyari dalam kitabnya Al-Kassyaf dan Syaukani dalam Fath Al-Qadir. Dimana mereka menjelaskan bahwa, jika kamu tidak dapat menghadap tepat ke arah Masjidilharam maupun Baitul Maqdis ketika beribadah, maka surat Al-Baqarah ayat 115 ini berlaku bagi umat muslim, dalam arti umat muslim bisa mengerjakan salat atau ibadah dimana saja, tanpa harus tepat menghadap kedua arah tersebut (Masjidilharam dan Baitul Maqdis). Sebab dalam Al- Baqarah ayat 115 telah dijelaskan bahwa Barat dan Timur adalah kepunyaan Allah SWT, ini berarti kemana pun umat muslim menghadap maka disana ada wajah Allah (kiblat).

Sama hal nya juga dengan Hamka, dia menjelaskan dalam tafsirnya, bahwa kemana saja seorang muslim menghadap ketika ia sedang beribadah kepada Allah, sekalipun dia sembahyang, maka menurut Hamka ibadah itu telah diterima oleh Allah, dengan syarat hati seorang muslim itu benar-benar dihadapkan kepada Allah SWT. Hamka juga menjelaskan walaupun Rasulullah SAW telah memerintahkan bahwa Ka’bah Majidilharam sebagai kiblat umat muslim yang telah ditetapkan, sesuai dengan firman Tuhan. Namun ketika seorang muslim mendapat kesulitan dalam menentukan arah kiblat itu sendiri, misal dalam keadaan gelap gulita, atau ketika sedang di kapal yang menuju ke satu tujuan yang tidak mengarah pada Ka’bah, maka ayat ini datang untuk menegaskan bahwa, kemana saja seorang muslim itu menghadap tetaplah sah salat mereka, asal hati mereka khusyu’ atau tetap tertuju pada Allah SWt.71Dia juga mengatakan dalam penjelasannya, bahwa belum tentu juga seseorang yang menghadap kiblat ketika beribadah itu diterima. Hal ini dia dasarkan kepada pendapat imam Al-Ghazali yang mengatakan bahwa “tidak sah salat seseorang kalau dia tidak khusyu’ dalam salatnya.”72

69Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9

70Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9

71Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 360

72Hamka, Tafsir Al-Azhar, h. 360

69

Berhubungan dengan kiblat, untuk menjelaskan terkait dengan hal ini, maka Abdul Halim mengambil penjelasan dari riwayat Ibnu Munzir, Abu Hatim, Hakim dan juga Baihaqi dalam sunannya dari Ibnu Abbas mereka menyatakan, permulaan ayat al-Qur’an yang di-naskh-kan yang dikatakan kepada kami, sedangkan Allah lebih mengetahuinya, ialah yang berhubungan dengan kiblat. Allah berfirman, “dan Allah yang mempunyai Timur dan Barat.” Maka salat nabi Muhammad menghadap ke arah Bait al-Maqdis, dan bukan ke arah Ka’bah. Kemudian diperintahkan Allah menghadap ke Bait Al-Maqdis, dan sesudah itu, di-nasakh-kan dengan surat al- Baqarah ayat 144, “dimana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arahnya (Masjidilharam).73

Selanjutnya, terkait dengan sebab turun ayat ini, maka Abdul Halim berpegang pada periwayatan Abi Syaibah, Abd bin Hamid, Muslim, Tirmizi dan Nasa’I telah meriwayatkan dari Umar dan dia berkata, “adalah nabi Muhammad melakukan salat sunah di atas kendaraannya.” Lantas Ibnu Umar membacakan ayat, “ dan kemana saja kamu menghadap, maka di sana ada wjah Allah.” Selanjutnya dia berkata, “ayat ini diturunkan pada peristiwa yang demikian itulah.”74

Tidak sampai disitu saja, Abdul Halim juga mengambil keterangan dari dalam kitab Shahih Bukhari untuk menjelaskan terkait masalah kiblat. Dari Hadis Jabir dan lain-lain, dari Rasulullah ada dinyatakan, bahwa Rasulullah mengerjakan salat di atas kendaraannya menghadap Timur, dan jika beliau bermaksud untuk melaksanakan salat wajib, maka beliau pun turun dan menghadap ke kiblat.75

Menanggapi hadis di atas yang berkenaan dengan sholat nabi Muhammad di atas kendaraan, maka Abdul Halim juga memaparkan sebuah keterangan yang diriwayatkan oleh Abd bin Hamid dan Tirmidzi, dimana menurut mereka hadis di atas adalah hadis dha’if, begitu juga dengan pendapatnya Ibnu Majah, Ibnu Jarir dan lain-lain. Disini Abdul Halim tidak menyebutkan secara detail terkait dengan pendapat ulama yang lain itu. Tetapi disisi lain, Abdul Halim mengambil keterangan dari Amir Rabi’ah yang mana dia berkata, “adalah kami pada suatu malam bersama Rasulullah, malam itu amat gelap gulita, maka kami singgahlah pada suatu tempat.76 Kemudian seorang laki-laki mengambil batu dan dijadikannya masjid, maka salatlah dia di sana. Dan pada pagi harinya kami melihat tempat salat itu tidak menghadap kiblat, kemudian kami katakan kepada nabi, “wahai Rasulullah !kami salat malam tadi tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat, “dan Allah lah yang mempunyai Timur dan Barat” Maka nabi pun bersabda, “telah berlalu salat kamu.”77

Terkait dengan hadis di atas yaitu, cerita tentang seorang sahabat yang ketika salat tidak menghadap ke kiblat, maka dalam hal ini Abdul Halim mengambil keterangan yang diriwayatkan oleh Abu Syaibah, Daru Quthni, dan Tirmizi, bahwa mereka mengatakan hadis ini adalah hadis sahih.78 Dan dia juga menambahkan periwayatan lain untuk menambahkan penjelasan hadis di atas dengan mengambil

73Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9

74Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 9

75Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10

76Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10

77Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10

78Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 10

Dalam dokumen Analisis Tafsir Al-Ahkam Abdul Halim Hasan (Halaman 74-88)

Dokumen terkait