• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Vulkanisme Terhadap Persebaran Berbagai Jenis Flora Biogeomorfologi bentuklahan vulkanik tidak dapat dilepaskan dari

Dalam dokumen Bentanglahan Vulkanik Indonesia (Halaman 175-200)

BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

B. Pengaruh Vulkanisme Terhadap Persebaran Berbagai Jenis Flora Biogeomorfologi bentuklahan vulkanik tidak dapat dilepaskan dari

BENTANGLAHAN VULKANIK INDONESIA : ASPEK FISIKAL DAN KULTURAL-165 terdapat pohon Rasamala yang dijuluki sebagai pohon raksasa serta kan- tong semar (Nephentes spp) yang disebut sebagai pemburu serangga.

Berbagai jenis fauna juga dijumpai di wilayah ini antara lain kepik raksasa, sejenis kumbang, serta 100 jenis mamalia seperti kijang, pelanduk, anjing hutan, macan tutul, owa jawa, lutung, dan macan tutul. Di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), sebagaimana diinformasikan dalam laman resminya, terdapat 38 jenis satwa liar yang dilindungi menurut PP Nomor 7 Tahun 1999, termasuk diantaranya adalah macan tutul jawa (Pan- thera pardus), lutung jawa (Trachypithecus auratus), serta 11 jenis reptil dan 14 jenis insecta.

Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), sebagai area vulkan tertinggi di Indonesia, dalam laman resminya melaporkan keberadaan berbagai jenis fauna antara lain monyet (Macaca fascicularis), harimau su- matra (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatra (Elephas maximus sumatren- sis). Selain itu juga terdapat berbagai jenis flora seperti padma raksasa (Rafflesia Arnoldi) dan cemara sumatra (Taxus sumatrana). Bahkan dalam laman kementerian lingkungan hidup dan kehutanan dijelaskan bahwa taman nasional ini merupakan bagian dari warisan alam dunia (World Her- itage Site). Taman Nasional Gunung Rinjani yang mencakup wilayah vulkan tertinggi kedua di Indonesia memiliki berbagai jenis fauna antara lain monyet dan elang flores.

B. Pengaruh Vulkanisme Terhadap Persebaran Berbagai Jenis Flora

166-BAB VI: BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

kondisi flora yang khas, bahkan jenis tertentu yang spesifik hanya dijumpai di bagian tersebut dibandingkan dengan bagian lain yang tidak menerima dampak vulkanisme.

Area sekitar kawah merupakan lahan yang sangat rendah fungsinya untuk menunjang kehidupan tumbuhan. Produktivitas yang rendah dari lahan di area ini tidak terlepas dari karakteristiknya yang berbatu-batu, tidak terdapat bahan organik, berpori besar, dan masam.

Selain itu udara di sekitar kawah secara kontinu tercemar gas beracun dari sumur gas, sumur lumpur, dan solfatara yang mengeluarkan bel- erang, sulfur-dioksida (SO2). Selain itu, hidrogen-sulfida (H2S) yang baunya seperti telur busuk juga sering dilepaskan ke udara sedangkan khlorida (Cl2) CO, dan NO2 termasuk yang sedikit dilepaskan. Berbagai gas beracun ini menyebabkan rusaknya tunas-tunas tumbuhan. Selain mempengaruhi tumbuhan, tingkat keasaman yang tinggi juga menyebabkan tanah yang terlindi menjadi kaku seperti lempung kaolin (Gambar 6.2). Dalam kondisi semacam ini tidak banyak tumbuhan yang dapat bertahan. Di ben- tuklahhan vulkanik Sumatra Utara terdapat Xyris yang masih toleran dengan kondisi masam dan dapat bertahan pada tingkat keasaman 2,9 (Van Steenis, 2010).

Gambar 6.2. Lapisan tanah yang mengeras seperti kaolin di lingkungan masam Puncak Vulkan Ciremai, Jawa Barat (Difoto pada Bulan September 2016).

BENTANGLAHAN VULKANIK INDONESIA : ASPEK FISIKAL DAN KULTURAL-167 Van Steenis (2010) menjelaskan lebih lanjut bahwa racun yang menyebar dari solfatara ternyata dampaknya terbatas. Sekalipun gas-gas belerang dapat tercium pada jarak 1 km namun konsentrasinya sangat lemah untuk merusak vegetasi. Tumbuhan yang masih dapat bertahan di sekitar solfatara ternyata memiliki karakteristik yang khas. Sekalipun masih toleran terhadap kondisi masam, namun cara hidup tumbuhan ini tetap cenderung mengarah menjauhi sumber solfatara. Tumbuhan berukuran sangat kerdil, nampak seperti terpangkas, dan mengarah mir- ing menjauhi arah angin. Sekalipun ukurannya kerdil, tumbuhan ini bi- asanya sudah berusia tua karena pertumbuhannya sangat lambat. Alur- alur parit yang terbentuk akibat erosi akan memberikan peluang lebih be- sar bagi jenis tumbuhan ini untuk hidup karena sifat morfologinya yang dapat melindungi dari angin dan gas beracun serta tersedia air (Gambar 6.3). Lubang kawah yang melepaskan gas beracun ini tentu saja tidak tetap sepanjang waktu, namun dapat muncul dan lenyap sewaktu-waktu. Apabi- la kawah tidak aktif dan keluarnya gas terhenti, maka vegetasi akan berkembang luas ke dalam kawah. Van Steenis mencontohkan perkem- bangan hutan elfin cantigi (Vaccinium) di kawah Gunung Gede. Sebaliknya, semburan gas baru dapat pula memusnahkan vegetasi yang telah berkem- bang, seperti contohnya di kawah Gunung Papandayan.

168-BAB VI: BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

Gambar 6.3. Alur hasil erosi yang menjadi tempat tumbuh vegetasi pionir cantigi (Vaccinium) di sekitar kawah Vulkan Slamet, Jawa Tengah (Difoto pada Bulan Juli 2012).

Tidak banyak vegetasi yang dapat bertahan hidup di sekitar ka- wah yang masam. Diantara sedikit yang ada antara lain Vaccinium varingiaefolium, Rhododendrom retusum, dan paku Selliguea feei. Sementara itu vegetasi lain seperti Myrica, Gaultheria, Albizia, Myrsine, Dianella, Ficus deltoidea, Gahnia, dan Rhododendron javanicum tidak dapat bertahan sehing- ga tidak dijumpai di sekitar kawah. Pada dinding kawah yang berbatu, vegetasi semakin terbatas dan kadang-kadang hanya dijumpai lumut (Racomitrium lanuginosum). Kawah yang lebih tua kondisi vegetasinya tidak terlalu jauh berbeda, namun efek belerangnya lebih lemah sehingga memungkinkan vegetasi untuk lebih berkembang menjadi hutan. Namun demikian, hutan yang terbentuk hanya berupa kelompok pohon hutan elfin yang kerdil (Van Steenis, 2010). Penulis menjumpai kondisi semacam ini di Lembah Mandalawangi yang merupakan kawah tua Vulkan Pan- grango. Pada area ini terdapat beberapa kelompok tumbuhan yang kerdil akibat kondisi yang masam dan tanah yang miskin unsur hara. Sementara

BENTANGLAHAN VULKANIK INDONESIA : ASPEK FISIKAL DAN KULTURAL-169 itu pada area bingkai kawah yang tanahnya lebih berkembang dan tidak masam berkembang hutan elfin yang lebih luas dengan kanopi lebih rapat (Gambar 6.4a). Disisi lain penulis juga pernah menjumpai vegetasi kerdil yang tumbuh dalam kelompok-kelompok di area sekitar kawah tua Gunung Welirang. Pengaruh dari aktivitas kawah tidak memungkinkan vegetasi ini untuk berkembang lebih luas (Gambar 6.4b).

A B

Gambar 6.4. (A) Kondisi vegetasi di dasar Lembah Mandalawangi, Vulkan Pan- grango yang sangat kontras dengan bingkai kawah sekitarnya (Difoto pada Bulan Juli 2011). (B) Kelompok vegetasi kerdil di sekitar kawah tua Vulkan Welirang yang perkembangannya sangat terbatas (Difoto pada Bulan April 2012).

Jika kawah berukuran besar yang aktivitasnya normal dapat menghambat pertumbuhan vegetasi, sebagaimana dijumpai oleh penulis di Vulkan Welirang, maka kawah yang mengalami erupsi besar tentu saja berdampak sangat signifikan terhadap lenyapnya kehidupan vegetasi.

Setyawati dan Ashari (2017) dalam studinya di Vulkan Merapi, Jawa Ten- gah, menunjukkan bahwa pada kerucut vulkan yang sangat aktif ini ter- dapat terdapat Cantigi (Vaccinium varingiaefolium). Namun demikian veg- etasi ini tidak dijumpai di sekitar kepundan/kawah. Bahkan observasi yang dilakukan pada tahun 2013 dan 2014 menunjukkan bahwa pasca

170-BAB VI: BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

erupsi tahun 2010 belum terdapat vegetasi yang tumbuh kembali di area kerucut vulkan. Padahal, diantara periode erupsi 2006 dan 2010 terdapat vegetasi di area kerucut vulkan ini sekalipun jenis dan jumlahnya sangat terbatas (Gambar 6.5)

Endapan aliran lava merupakan jenis material hasil erupsi yang sangat rendah kemampuannya dalam menumbuhkan vegetasi. Sifat dari endapan lava adalah kompak, padu, pejal, tidak memiliki material gembur sebagai media tumbuh tanaman, serta tidak tidak memiliki sifat akuifer yang mampu meresapkan dan menyimpan air. Dalam kondisi semacam ini, tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik kecuali jenis tertentu yang dapat berperan sebagai pionir. Van Steenis (2010) menjelaskan bahwa ali- ran lava di Vulkan Guntur, Jawa Barat, yang telah berusia 132 tahun belum nampak tertutupi oleh vegetasi. Bahkan vegetasinya masih sangat sedikit pada saat 50 tahun setelah erupsi. Sebenarnya, tumbuhan alga, lumut, paku, dan tumbuhan berbunga dapat tumbuh sejak awal pada aliran lava asalkan tersedia air dalam jumlah yang cukup. Kondisi ini terbukti terjadi di aliran lava segar Vulkan Batur, Bali. Vegetasi ini mula-mula tumbuh di dalam retakan batuan lava tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kekar batuan beku ternyata berperan dalam membantu tumbuhnya vegetasi. Keberadaan retakan batuan dapat membantu dalam menye- diakan air pada batuan hasil pembekuan lava yang berkarakter akuifug.

Selanjutnya keberadaan air ini memungkinkan tumbuhnya vegetasi. Se- mentara itu pada bagian lain bekas endapan lava yang tidak terdapat ke- kar batuan vegetasi absen, penulis pernah menjumpai kondisi semacam ini di tebing endapan lava lereng Vulkan Lawu bagian selatan (Gambar 6.6).

BENTANGLAHAN VULKANIK INDONESIA : ASPEK FISIKAL DAN KULTURAL-171

A B

Gambar 6.5. Vegetasi di area kerucut Vulkan Merapi Jawa Tengah. (A) sebelum erupsi 2010 terdapat Vaccinium varingaefolium dan Selliguea feei (Difoto pada Bulan Januari 2008). (B) Medan yang sama pasca erupsi 2010 tanpa vegetasi (Difoto pada Bulan September 2013).

Gambar 6.6. Tutupan vegetasi yang sangat sedikit pada tebing endapan lava Vul- kan Lawu, Jawa Timur (Difoto pada Bulan Juli 2011).

172-BAB VI: BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

Van Steenis (2010), lebih lanjut menjelaskan bahwa tumbuhan yang berperan sebagai pionir di endapan lava ini adalah jenis tumbuhan nomad. Tumbuhan ini tidak terlalu membutuhkan tanah berkualitas baik sebagai media pertumbuhannya. Asal mula tumbuhan ini tentu saja be- rasal dari sekitar aliran lava itu sendiri karena lava tidak merusak tum- buhan pada jarak beberapa puluh meter dari tepi aliran. Titik yang tidak terganggu oleh lava ini merupakan sumber pemulihan vegetasi. Walaupun tumbuhan nomad tidak mempedulikan kualitas tanah sebagai medium pertumbuhan, namun karena endapan lava merupakan medium pertum- buhan yang miskin maka tumbuhan yang berkembang biasanya kurus dan cenderung menjadi semak-semak jarang walaupun telah berusia 100 ta- hun. Sebagian besar endapan lava, sebagaimana dijumpai di Vulkan Gun- tur, masih hitam dan kosong.

Timbunan abu vulkanik banyak dijumpai pada vulkan yang masih aktif dan tinggi seperti Vulkan Merapi dan Vulkan Slamet di Jawa Tengah, Vulkan Semeru dan Raung di Jawa Timur, Vulkan Kerinci di Jambi, Vulkan Agung di Pulau Bali, dan Vulkan Rinjani di Pulau Lombok. Karakteristik timbunan abu adalah gersang, berpori, dan mengalami longsoran secara kontinu akibat kecuraman lereng dan curah hujan. Dalam kondisi sema- cam ini perkembangan vegetasi pionir seperti lumpuh dan akar berusaha dengan keras untuk mendapatkan kelembapan dan pijakan. Kondisi sangat menarik mengenai vegetasi pada timbunan abu dijumpai di Vulkan Seme- ru dimana batas hutan terdapat pada dasar timbunan abu vulkanik dan hutan cemara tumbuh hingga elevasi yang lebih tinggi. Pohon cemara ber- tahan hidup pada punggungan diantara alur erosi dan terus menerus mengalami gangguan akibat longsoran abu (Gambar 6.7). Kondisi yang sa- ma juga ditemukan di Vulkan Kerinci (Van Steenis, 2010). Sementara itu Ashari dan Nuraini menjelaskan bahwa salah satu tumbuhan pionir pada lereng abu vulkanik adalah urang-urang (Debregasia longifolia).

Endapan lahar memiliki karakteristik yang sama dengan timbunan abu dan kawah dalam menumbuhkan tanaman. Material ini memiliki permukaan yang mudah ditembus air dan bersentuhan langsung dengan panas matahari. Walaupun endapan lahar memiliki kualitas lahan yang

BENTANGLAHAN VULKANIK INDONESIA : ASPEK FISIKAL DAN KULTURAL-173 rendah, namun kemampuan menumbuhakan tanaman pada endapan lahar lebih baik daripada endapan lava. Endapan lahar banyak ditumbuhi veg- etasi mulai dari bagian paling atas hingga daerah rendah. Pinus adalah jenis vegetasi yang tumbuh secara luas di endapan lahar vulkan jawa Ti- mur dan Aceh.

Sementara itu di Vulkan Kelud Jawa Timur, yang terkenal dengan aliran lahar pada saat terjadi erupsi, terdapat beberapa jenis pionir yang dominan yaitu anggrung (Trema orientalis) dan anggris (Parasponia parviflo- ra). Parasponia dapat segera tumbuh pasca erupsi yang mengendapkan la- har dan berkembang biak dengan cepat (Van Steenis, 2010). Nugroho Pra- setyo Adi (2017) dalam tesisnya menemukan bahwa Parasponia andersonii merupakan tumbuhan yang ditemukan di endapan lahar Vulkan Kelud.

Tumbuhan ini sangat toleran dengan abu vulkanik sehingga masih dapat bertahan pasca erupsi Kelud tahun 2014. Sebaran tumbuhan ini paling banyak terdapat pada posisi punggung dibandingkan lembah. Setyawati dan Ashari (2015) juga menemukan Parasponia parviflora pada endapan la- har di lembah-lembah sungai besar lereng baratdaya Vulkan Merapi, yang mulai tumbuh berkembang pasca erupsi tahun 2010.

Gambar 6.7. Pertumbuhan cemara pada timbunan abu Vulkan Semeru, Jawa Ti- mur. Vegetasi ini tumbuh pada punggungan yang terganggu oleh longsoran abu

vulkanik (Difoto pada Bulan Juli 2008).

174-BAB VI: BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

Erupsi vulkan dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.

Berbagai jenis material hasil erupsi yang panas seperti aliran lava, aliran piroklastik, dan jatuhan piroklastik dapat menyebabkan kebakaran veg- etasi yang dilintasinya. Sebenarnya erupsi bukanlah satu-satunya penyebab kebakaran vegetasi di lingkungan vulkanik. Van Steenis (2010) menjelaskan ada tiga faktor yang menyebabkan kebakaran hutan antara lain vulkanisme, petir, dan aktivitas manusia. Kebakaran hutan karena vulkanisme sebenarnya jarang terjadi, demikian pula kebakaran akibat petir. Manusia merupakan faktor utama penyebab kebakaran baik secara sengaja ataupun tidak. Pada wilayah yang pernah mengalami kebakaran atau dilanda vulkanisme, pohon-pohon menipis dan berkurang menjadi tinggal beberapa spesimen pionir yang terpencar atau hanya tersisa di tempat yang terlindung (Van Steenis, 2010). Menariknya, terdapat bebera- pa jenis tumbuhan yang dapat segera mengalami regernerasi apabila mengalami kebakaran akibat aliran lava dan piroklastik, antara lain rasa- mala (Altingia excelsa), puspa (Schima walichii), sarangan (Castanopsis ar- gantea), Urang-urang (Debregasia longifolia), Kemlandingan gunung (Albizia lophantha), cantigi (Vaccinium), sengon gunung (Albizia falcataria), Sawa (Engelhardia spicata), dan pasang (Lithocarpus sundaicus) (Ashari dan Nu- raini, 2014; Setyawati dan Ashari, 2015).

Lebih lanjut Ashari dan Nuraini (2014) menjelaskan bahwa rasama- la (Altingia excelsa) termasuk jenis pohon dengan kemampuan adaptasi lingkungan yang baik, sementara kemlanding (Albizia lophantha) dan edel- weiss (Anaphalis javanica) merupakan salah satu vegetasi yang memiliki kemampuan tahan api dan kekeringan. Puspa merupakan tumbuhan pi- onir yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap api sehingga dapat melakukan regenerasi dengan cepat sebulan setelah kebakaran.

Selain itu, puspa merupakan tumbuhan yang dapat bertahan terhadap ter- jangan awan panas. Pengamatan yang dilakukan penulis di kaki Vulkan Merapi bagian selatan dan baratdaya menunjukkan bahwa pasca erupsi tahun 2010 vegetasi ini lebih cepat mengalami regenerasi dibandingkan hutan pinus.

BENTANGLAHAN VULKANIK INDONESIA : ASPEK FISIKAL DAN KULTURAL-175 C. Pengaruh Iklim Terhadap Persebaran Berbagai Jenis Flora

Pada bagian awal bab ini telah disinggung bahwa iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh penting terhadap sebaran tumbuhan di permukaan bumi. Biogeomorfologi pada bentuklahan vulkanik juga berkaitan dengan faktor iklim, dimana pada setiap ketinggian morfologi stratovolkano terdapat kondisi iklim yang bervariasi. Variasi kondisi iklim ini selanjutnya menentukan variasi kondisi jenis dan karakteristik tum- buhan.

Ketinggian morfologi stratovolkano berkaitan dengan zonasi ele- vasi yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. Van Steenis (2010) men- jelaskan bahwa berdasarkan konsep yang diterapkan di Eropa, terdapat dua demarkasi yang tetap pada elevasi stratovolkano yaitu batas pohon dan batas salju. Apabila dilihat lebih detail, dibawah batas pohon masih terdapat dua demarkasi lain pada ketinggian kira-kira 1.000 meter dan 2.400 meter. Ketinggian antara 0 hingga 1.000 meter adalah zona suku- suku tumbuhan dataran rendah yang sejati (megaterm). Sementara itu sejumlah suku dan ratusan marga mikroterm hanya dijumpai pada keting- gian diatas 1.000 meter. Demarkasi ini menggambarkan zonasi botani secara umum, oleh karena itu batasnya tidak selalu persis tepat pada ketinggian tersebut. Faktor-faktor lokal, misalnya jurang yang sempit dan terlindung dapat memodifikasi batas demarkasi. Secara umum, zonasi iklim yang dibentuk berdasarkan ketinggian struktur stratovolkano dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai berikut:

 Ketinggian 0 – 1.000 meter: Zona Tropik. Pada ketinggian 500-1.000 me- ter terdapat subzona bukit (colline)

 Ketinggian 1.000 – 2.400 meter: Zona Pegunungan. Pada ketinggian 1.000 – 1.500 meter terdapat subzona subpegunungan (submontane)

 Ketinggian diatas 2.400 meter: Zona Subalpin.

Pembagian zonasi iklim berdasarkan ketinggiannya beserta jenis vegetasi yang terdapat pada masing-masing zona ditunjukkan oleh Tabel 6.1. beri- kut ini.

176-BAB VI: BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

Tabel 6.1. Batas-Batas Orografik dari Flora Pegunungan Zonasi Elevasi

(meter)

Jenis vegetasi Keterangan Zona Laut -5 – 1 Zona Litoral

(lamun dan alga)

Vegetasi pohon alami

Zona Tropik

-1 – 0.25 Mangrove 0,25 – 1 Flora pantai

1 – 5 Formasi barringtonia dan Gumuk pasir

5 – 500 Zona pamah

500 – 1.000 Zona bukit (colline zone) Zona sub-

pegunungan

1.000 – 1.500 Hutan tertutup berbatang pohon tinggi dan miskin lumut

Zona pegunungan

1.600 – 2.400 Hutan tertutup berbatang pohon tinggi diatas elevasi 2.000 meter, dengan diame- ter batang yang bertambah kecil dan lumut yang ber- tambah banyak

Zona Subalpin 2.500 – 3.600

3.400

Hutan rendah rapat dengan pohon-pohon tinggi me- nyendiri, sering berlumut atau terdapat konifera Batas hutan

3.700 – 4.000 4.000

Semak-semak rendah me- nyendiri atau berupa rumpun atau konifera Batas pohon

Zona Alpin 4.100 – 4.500 Gurun batu, dengan lumut kerak dan beberapa fan- erogram, terutama rumput dan teki

Vegetasi terna alpin alami Zona Salju 4.600 – 5.000 Salju Abadi

Sumber: Van Steenis (2010)

BENTANGLAHAN VULKANIK INDONESIA : ASPEK FISIKAL DAN KULTURAL-177 Ketinggian tempat berpengaruh terhadap karakteristik iklim, terutama temperatur udara yang semakin rendah pada setiap kenaikan ketinggian tempat. Kondisi ini juga turut berpengaruh terhadap formasi tumbuhan yang terbentuk terutama hutan. Van Steenis (2010) mem- bedakan hutan primer di bentuklahan vulkanik menjadi hutan tinggi dan hutan elfin. Hutan tinggi dicirikan oleh spesies tumbuhannya yang bercampur-baur. Terdapat tiga lapisan kanopi di hutan tinggi. Lapisan yang pertama adalah kanopi yang tinggi dan tertutup dengan ketinggian mencapai 30-40 meter. Diatas lapisan ini terdapat beberapa spesies yang mencuat hingga ketinggian 50-60 meter, biasanya letaknya saling berjau- han. Lapisan kedua terbentuk di bawah lapisan pertama, yaitu berupa pohon yang lebih rendah dengan ketinggian 15-20 meter. Di bawah lapisan kedua ini terdapat lapisan ketiga yang terdiri atas perdu dan pohon kecil berbatang tunggal dengan tinggi 5-10 meter. Pada berbagai lapisan terse- but terdapat liana dan tumbuhan epifit. Hutan tinggi dijumpai sampai dengan ketinggian sekitar 2.000 meter.

Diatas elevasi 2.000 meter berkembang hutan elfin, dicirikan oleh kanopi yang rata tanpa ada pohon yang mencuat di atas kanopi. Keting- gian kanopi kira-kira sama dengan ketinggian lapisan kedua hutan tinggi tetapi keragaman spesiesnya lebih rendah. Pohon-pohon di hutan elfin batangnya kurus dan tumbuh secara berdekatan. Pohon berbatang besar jarang dijumpai bahkan tidak ada sama sekali. Di bawah kanopi hutan elfin terdapat perdu yang relatif sama dengan lapisan ketiga hutan tinggi. Di area kerucut vulkan yang lebih curam, jenis pohon hutan elfin lebih kerdil karena tumbuh di area yang tanahnya tipis dan berbatu. Kerapatan tajuk yang rendah di hutan elfin memungkinkan lebih banyak cahaya yang ma- suk dibandingkan dengan hutan tinggi (Van Steenis, 2010).

Apabila hutan tinggi dan hutan elfin mengalami perusakan maka akan berkembang hutan casuarina sebagai pionir. Dengan sifatnya sebagai pionir di area yang mengalami kerusakan, hutan cemara ini bukanlah hu- tan primer. Apabila pionir hutan cemara ini tidak terusik oleh vulkanisme

178-BAB VI: BIOGEOMORFOLOGI KAWASAN VULKANIK INDONESIA

atau kebakaran hutan, maka akan berkembang kembali menjadi hutan primer dan cemara akan tersisihkan ke pinggiran sebagai pionir di atas abu vulkanik, longsoran material vulkanik, lereng berbatu, serta tepian sungai yang berpasir. Di daerah Jawa Timur dan Nusa Tenggara yang iklimnya lebih kering dan sering mengalami kebakaran, hutan cemara ini abadi dan tidak mengalami perubahan menjadi hutan primer. Diantara jenis hutan primer yang ada di bentuklahhan vulkanik, hutan tinggi mem- iliki jenis tumbuhan yang lebih beragam dibandingkan hutan elfin.

Keberagaman tumbuhan hutan tinggi meliputi pohon mencuat, pohon lapisan pertama atau kanopi, pohon lapisan kedua, pohon kecil lapisan ketiga dan perdu, lapisan dasar, tumbuhan memanjat, tumbuhan hemi epifit, epifit, dan lainnya (Tabel 6.2). Sementara itu di dalam hutan elfin terdapat pohon dan semak utama (Tabel 6.3), yang di tempat tertentu ka- dang didominasi oleh Vaccinium, Leptospermum, Myrisine, atau Schefflera.

Kemungkinan hal ini disebabkan oleh seleksi terhadap ketahanan gas-gas kawah dimana Vaccinium varingiaefolium, Rhododendron retusum, dan Nyris- ine merupakan tumbuhan dengan daya tahan paling tinggi terhadap keasaman kawah (Van Steenis, 2010). Perhatikan Gambar 6.8.

Tabel 6.2. Keberagaman Tumbuhan Hutan Tinggi

Kategori Nama pohon Karakteristik

Pohon-pohon mencuat

Altingia excelsa

Pohon raksasa dengan tinggi mencapai 60 me- ter. Batang berbentuk seperti silinder dengan diameter 1,5 meter. Wilayah persebaran di Su- matra dan Jawa bagian barat pada ketinggian 550 meter hingga 1.700 meter. Nama lokal yang terkenal untuk pohon ini adalah Rasamala.

Podocarpus Podocarpus neriifolius memiliki nama lokal ki taji (Melayu, Sumatera), ki bima dan ki putri (Sun- da), malela (Jawa, di Gunung Dieng). Tersebar di seluruh Jawa pada ketinggian 1.000-2.600 me- ter. Podocarpus imbricatus memiliki nama lokal ru atau sampiur bunga (Batak-Karo), ambun (Minangkabau), dan jamuju, ki putri, ki cemara (Sunda) tersebar di Sumatra dan Jawa pada

Dalam dokumen Bentanglahan Vulkanik Indonesia (Halaman 175-200)