• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS

B. Narasi Ayat Al-Qur‟an Tentang Etika Terhadap Anak Yatim . 47

1. Pengelolaan Harta dan Pengasuhan

a. Larangan Mendekati dan Memakan Harta Anak Yatim

Pada periode mekkah, ayat al-Qur‟an perihal anak yatim melarang untuk mendekati harta anak yatim, seperti yang tercantum pada surat al-Isra‟ ayat 34 dan al-An‟am ayat 152 yang melarang untuk mendekati harta anak yatim, kecuali melalui cara yang paling baik yaitu dengan cara mengembangkan harta tersebut dan menginvestasikannya.

Kemudian, jika anak yatim asuhannya telah dewasa, maka tibalah saatnya para wali untuk menyerahkannya.84 Berdasarkan peninjauan sejumlah ulama al-Qur‟an, ayat-ayat yang memakai redaksi kata

“jangan mendekati” sebagaimana ayat di atas, lazimnya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat membuat jiwa/nafsu terangsang untuk melaksanakannya. Memang, orang yang ada di sekeliling suatu jurang, ia ditakutkan jatuh ke dalamnya. Adapun pelanggaran yang tidak mempunyai rangsangan yang kuat, maka biasanya larangan

84 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 461.

50

tersebut langsung mengarah kepada perilaku itu, bukan larangan untuk mendekatinya.85

Pada ayat-ayat periode Mekkah telah diperingatkan untuk tidak mendekati harta anak yatim. Peringatan dan ancaman tersebut boleh jadi membuat sementara orang mengundurkan diri dari mengasuh anak yatim dan kaum lemah. Lalu pada surat An-Nisa‟ ayat 10 yang termasuk ayat-ayat madinah diingatkan bahwa ancaman tersebut hanya berlaku bagi orang yang berbuat zalim.86 An-Nisa‟ ayat 10 berisi ancaman terhadap orang-orang yang memakan, yakni mempergunakan atau memanfaatkan dengan zalim harta anak yatim dan kaum lemah.

Sesungguhnya mereka itu sedang atau akan menelan api di dalam perut mereka, yaitu sepenuh perutnya dan pada hari Kemudian mereka akan terjerumus dalam api neraka yang menyala-nyala.87 Jika ayat-ayat makkiyah begitu menekankan untuk melarang mendekati harta anak yatim, maka ayat-ayat periode Madinah ini lebih fokus lagi pada larangan memakan harta anak yatim.

Namun, larangan mendekati dan memakan harta anak yatim tersebut bukan berarti para wali tidak boleh mencampuri sedikitpun makanan anak yatim. Seusai firman Allah turun mengenai larangan mendekati harta anak yatim melainkan dengan cara yang terbaik (Al- An‟am: 152), serta ancaman memakan harta mereka dengan zalim (An-

85 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 335-336.

86 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 339.

87 Shihab, 340.

Nisa‟: 10), maka orang-orang yang merawat atau mengasuh anak yatim, yaitu para wali yang patuh terhadap tuntutan Allah, berusaha untuk menjauhi harta anak yatim yang berada dalam tangan mereka. Sebab khawatir tercampurnya makanan anak yatim dengan makanan mereka, maka mereka berusaha memisahkan makanan dan minuman mereka dengan anak yatim. Jikalau makanan anak yatim terdapat sisa, mereka menyimpannya, hingga tidak jarang sampai membusuk. Menyadari kesulitan itu, maka mereka kemudian mengajukan pertanyaan tentang anak yatim. Lalu pertanyaan mereka dijawab oleh ayat 220 surat al- Baqarah ini, bahwa “mengurus urusan mereka dengan patut ialah lebih baik”. Maksudnya yakni bergaul, mendidik, mengelola serta mengembangkan harta mereka secara baik dan patut adalah sikap yang dituntut kepada anak-anak yatim. Perlakuan mereka yang memisahkan makanan dengan anak yatim adalah bukan sikap yang sewajarnya. Hal tersebut tidaklah mencerminkan hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Tidaklah mengapa mencampuri anak yatim dalam hal makanan dan sebagainya, karena mereka juga saudara-saudara dalam hal agama atau kemanusiaan. Allah Maha Mengetahui, juga dapat membedakan antara siapa yang mengadakan perbaikan terhadap anak yatim, yakni yang menggunakan harta mereka sewajarnya dan siapa yang berbuat kerusakan terhadap mereka.88

88 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 440.

52

Larangan mendekati dan memakan harta anak yatim tersebut juga bukan berarti wali tidak boleh mengambil upah sedikitpun, apalagi jika wali tersebut adalah seorang yang kurang mampu. Dalam hal ini terdapat penjelasan ketentuan-ketentuannya, seperti dalam surat An- Nisa‟ ayat 6, yakni janganlah para wali memakan yakni memanfaatkan harta anak yatim melebihi batas, guna kepentingan dirinya karena telah mengelola harta tersebut. Jangan juga membelanjakan harta tersebut sebelum mereka dewasa dalam kondisi yang terburu-buru, karena khawatir ketika mereka dewasa para wali tidak dapat mengelak untuk tidak menyerahkannya. Jika di antara para wali itu mampu, maka hendaklah ia menahan dirinya untuk tidak memakai harta anak yatim tersebut, dan jika pemelihara itu miskin, maka hendaklah, atau bolehlah ia menggunakan harta itu, bahkan memungut imbalan secara wajar.89

Dalam buku Shahih Asbabun Nuzul, yang mengutip Bukhari (9/309): “Ishaq telah mengkhabarkan kepadaku, Abdullah bin Namir telah mengkhabarkan kepadaku, Hisyam telah menceritakan kepada kami dari bapaknya dari Aisyah ra tentang ayat 6 surat an-Nisa‟, bahwa ayat tersebut turun perihal harta anak yatim. Apabila ia (yang mengurus anak yatim) adalah seorang yang fakir maka ia boleh makan dari hartanya dengan cara yang baik sebagai imbalan mengurusnya.90

89 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2, 350.

90 Muqbil bin Hadi al-Wadi‟i, Shahih Asbabun Nuzul, terj. Imanuddin Kamil (Jakarta:

Pustaka as-Sunnah, 2007), 151.

b. Menjaga dan Mengelola Harta Anak Yatim

Surat al-Kahfi ayat 82 yang termasuk periode Mekkah ini menguraikan perihal penjagaan harta anak yatim yang menarik kisah antara Nabi Musa dengan Khidir. Dikisahkan bahwa, hamba Allah yang saleh menegakkan dinding rumah dua anak yatim di kota itu tanpa meminta imbalan, sedang di bawahnya ada harta simpanan dari orang tua mereka. Jikalau dinding itu runtuh, maka berpeluang besar harta simpanan mereka dapat diketahui dan diambil oleh orang-orang zalim.

Adapun ayah dari kedua anak yatim ialah seorang yang saleh yang berniat menyimpan harta itu untuk anaknya. Allah menghendaki dipeliharanya harta tersebut supaya ketika keduanya dewasa, maka keduanya dapat memanfaatkan harta tersebut. Hal yang dilakukan Khidir itu ialah sebagai rahmat dari Tuhan terhadap kedua anak yatim tersebut.91

Terkait dengan pengelolaan harta, wali tidak hanya menjaga dan mendiamkan harta tersebut begitu saja, sehingga cepat habis dipakai untuk kebutuhan anak yatim. Wali boleh mengembangkan dan menginvestasikan harta anak yatim, yakni sebagai bentuk mendekati harta anak yatim dengan cara yang paling baik, seperti yang tertera dalam surat al-Isra‟ ayat 34 dan al-An‟am ayat 152. Hal ini diperjelas lagi oleh sabda Rasulullah Saw yang disampaikan dalam salah satu khutbahnya: “ketahuilah, barangsiapa memelihara anak yatim yang

91 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 8,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 109.

54

memiliki harta, maka hendaklah ia memperdagangkan harta tersebut, jangan dibiarkan dan didiamkan begitu saja sehingga harta (anak yatim) itu akan habis karena sedekah atau zakat.”92

Dalam merawat harta anak yatim, terdapat ketentuan-ketentuan bagi para wali. Ayat-ayat periode Madinah yang selanjutnya menjelaskan hal tersebut, seperti dalam surat An-Nisa‟ ayat 2 yakni janganlah dengan sengaja menukar harta anak yatim dengan mengambil harta yang buruk untuknya dan mengambil harta yang baik bagi diri para wali. Pada zaman jahiliyah, memang harta anak yatim yang memiliki kualitas baik banyak diambil oleh para wali, lalu ditukar dengan harta milik wali yang sama tapi kualitasnya buruk, sembari berucap, “kedua barang itu sama jenis atau kadarnya”. Jangan mempergunakan atau memanfaatkan secara tidak wajar harta anak yatim sebab berkeinginan menggabung hartanya dengan harta diri para wali. Sungguh hal tersebut ialah dosa dan kebinasaan yang besar.93

Merawat harta anak yatim tidaklah terus menerus dilakukan.

Terdapat batasan perihal kapan seharusnya harta anak yatim diserahkan kembali. Surat An-Nisa‟ ayat 2 menjelaskan bahwa jika anak yatim tersebut telah dewasa maka wali memberikan harta milik anak yatim kepadanya. Namun, harta tersebut tidak begitu saja diserahkan kepada anak yatim. Wali hendaknya menguji anak yatim terlebih dahulu sebelum menyerahkan hartanya, hal ini diperjelas oleh ayat 6 surat an-

92 Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, 73-74.

93 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2, 320- 321.

Nisa‟ yang memerintahkan wali untuk menguji anak yatim perihal pengelolaan hartanya. Wali hendaknya memperhatikan mereka dalam hal pemakaian harta, serta melatihnya hingga hampir mencapai usia yang mampu untuk menikah. Jika kecerdasan dalam diri anak yatim telah diketahui oleh wali, yakni perihal mengelola harta serta kestabilan mental, maka hendaknya wali menyerahkan terhadap anak yatim harta mereka. Jika para wali hendak menyerahkan harta kepada anak yatim, maka hendaknya mempersaksikan atas mereka perihal penyerahan itu.

Dan cukuplah Allah menjadi Pengawas atas persaksian tersebut.94 Pengelolaan harta bisa dalam bentuk memberi anak yatim modal dengan sedikit harta mereka. Bila ia berhasil mengelola dan mengembangkan harta, maka para wali wajib memberikan kepadanya harta miliknya. Ujian itu diberikan sebelum anak yatim beranjak dewasa, tapi ada juga yang mengatakan ketika sudah dewasa. Sebagian ulama menambahkan bahwa ketika diuji, pengalaman agamanya juga diamati. Mayoritas ulama beranggapan bahwa anak yatim yang sudah dewasa tidak langsung diberikan harta miliknya, kecuali sesudah nampak bukti memiliki kemampuan memelihara harta. Sedangkan Imam Abu Hanifah menampik pendapat tersebut. Menurutnya, bagaimanapun kondisi anak yatim, jika dia telah mencapai umur 25 tahun, maka wali harus menyerahkan kepadanya harta tersebut, meskipun anak yatim tersebut boros. Pendapatnya berdasar pada

94 Shihab, 333.

56

pertimbangan bahwa usia dewasa ialah 18 tahun. Kemudian, 7 tahun sesudah dewasa, yakni umur 25 tahun ialah masa yang cukup untuk terjadinya peralihan dan perkembangan dalam diri seseorang.95

c. Larangan Memakan Hak Anak Yatim karena Alasan Perkawinan

Surat an-Nisa‟ ayat 3 dan 127 melarang menikahi anak yatim karena hartanya. Penafsiran terbaik mengenai ayat di atas ialah penafsiran yang berdasarkan keterangan dari „Aisyah ra, istri Nabi Saw.

Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, serta at-Tirmidzi dan lain-lain meriwayatkan bahwa Urwah Ibn Zubair bertanya kepada istri Nabi Saw, „Aisyah ra tentang ayat ini. Beliau menjawab bahwa ini berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengasuhan seorang wali, dan hartanya bergabung dengan harta wali, sedang wali tersebut senang dengan kecantikan dan harta sang yatim, maka dia hendak menikahinya tanpa memberinya mahar yang sesuai. Sayyidah „Aisyah ra lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah turunnya ayat ini para sahabat bertanya lagi kepada Nabi Saw tentang perempuan, maka turunlah firman-Nya:

Mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita.

Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu enggan menikahi mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya” (QS. an-Nisa‟ [4]: 127).

95 Shihab, 334.

Aisyah ra kemudian melanjutkan keterangannya bahwa firman- Nya: sedang kamu enggan menikahi mereka, bahwa itu adalah keengganan para wali untuk menikahi anak yatim yang sedikit harta dan kecantikannya. Maka sebaliknua dalam ayt 3 surat an-Nisa‟ ini, mereka dilarang menikahi anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikannya tetapi enggan berlaku adil terhadap mereka.96

Terkait dengan asbabun nuzul ayat 3 ini, Ibrahim bin Musa telah menceritakan kepada kami, Hisyam telah mengkhabarkan kepada kami dari Ibnu Juraij, ia berkata: “Hisyam bin „Urwah telah mengkhabarkan kepadaku dari ayahnya dari Aisyah ra. bahwasanya seseorang memiliki seorang wanita yatim. Wanita yatim tersebut memiliki pohon kurma, lalu ia dinikahi oleh seseorang tersebut. Lelaki itu menahannya dan tidak memberinya sedikitpun mahar. Lalu turunlah ayat 3 surat an- Nisa‟.97

Kemudian asbabun nuzul ayat 127, Al-Bukhari meriwayatkan yang bersumber dari Aisyah bahwa ada seorang laki-laki yang merupakan ahli waris dan wali dari seorang perempuan yatim, ia mencampurkan semua hartanya dengan harta anak yatim tersebut, sampai pada barang-barang yang kecil sekalipun. Lelaki tersebut berkeinginan untuk menikahinya dan tidak ingin menikahkannya kepada orang lain, sebab ketakutannya akan kehilangan harta benda

96 Shihab, 341.

97 Al-Wadi‟i, Shahih Asbabun Nuzul, terj. Imanuddin Kamil, 151.

58

anak yatim tersebut. Maka ayat 127 surat an-Nisa‟ ini turun sebagai penjelasan tentang bagaimana merawat anak yatim yang seharusnya.98

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan yang bersumber dari as-Suddi bahwa Jabir memiliki saudara sepupu perempuan yang memiliki wajah tidak cantik, namun memiliki harta warisan dari bapaknya. Jabir enggan menikahinya dan tidak ingin menikahkannya kepada orang lain, sebab rasa takut akan kehilangan harta bendanya. Kemudian, Rasulullah Saw ditanya mengenai hal tersebut, sehingga ayat 127 surat an-Nisa‟ ini turun sebagai kaidah bagi orang-orang yang mengurus anak yatim.99 2. Cara Bersikap

a. Larangan Berlaku Buruk Terhadap Anak Yatim

Ayat-ayat periode Mekkah berisikan larangan berbuat buruk terhadap anak yatim. Ad-Dhuha ayat 6 berkaitan dengan ayat 9 yang juga membahas perihal anak yatim. Ayat ini seakan-akan menyatakan:

Bukankah Allah menemuimu (Muhammad) dalam kondisi sendirian (yatim), kemudian Dia mengumpulkan manusia disekelilingmu untuk bertumpu padamu.100

Selanjutnya pada ayat 9, seakan-akan menyatakan: karena engkau telah merasakan betapa pahitnya menjadi yatim, maka janganlah berbuat sewenang-wenang terhadap anak yatim. Kata (

ُّحهُّ ر ُّح تُّ ق

)

98 Qamaruddin Shaleh, HAA. Dahlan, M.D Dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an (Bandung: CV. Diponegoro, 1997), 164.

99 Shaleh, Dahlan, Dahlan, 164.

100 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 15, 334.

diambil dari kata (

رهق

) yang memiliki arti menjinakkan, menundukkan guna mencapai tujuannya atau mencegah lawan mencapai tujuannya.

Orang yang mempunyai kemampuan seperti itu, sering membuatnya berbuat sewenang-wenang. Sebab itulah, kata taqhar diartikan sewenang-wenang. Sedangkan kesewenang-wenangan itu memiliki berbagai bentuk.101

Kesewenang-wenangan yang telah dijelaskan dalam surat ad- Dhuha ayat 9 diperjelas bentuk-bentuknya dalam surat lain. Salah satunya ialah surat al-Fajr ayat 17 yang menjelaskan perilaku masyarakat Mekkah yang tidak memuliakan anak yatim. Ayat ini mengkritik ucapan para pendurhaka yang menganggap Tuhan memuliakannya ketika mereka diberi kenikmatan dan menganggap Tuhan menghinanya ketika diberi ujian, sebagaimana disinggung pada kedua ayat yang lalu. Ayat ini menyanggah: Sekali-kali tidaklah demikian! Atau berhentilah mengatakan demikian, sebab kemuliaan yang sebenarnya berdasar dari kebaikan dan ketaatan, begitu juga kehinaan ialah berdasar kedurhakaan terhadap Allah! Wahai yang rezekinya diluaskan oleh Allah, sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, sedangkan Allah menurut pengakuanmu sendiri telah memuliakan kamu.102

101 Shihab, 341.

102 Shihab, 295-296.

60

Selain itu, bentuk kesewenang wenangan yang lain ialah seperti yang dijelaskan dalam surat al-Ma‟un ayat 2 yakni larangan menghardik anak yatim. Ayat ini merupakan penjelasan dari ayat pertamanya yang berisi larangan berlaku kasar terhadap anak yatim.

Sebagaimana ayat pertama seakan-akan bertanya mengenai siapa pendusta agama itu, maka dijelaskan pada ayat yang kedua ini bahwa mereka adalah yang mendorong anak yatim secara keras. Kata (

ُّ عُدحي

)

memiliki arti mendorong secara keras. Arti kata ini tidak terbatas pada dorongan secara fisik saja, tetapi meliputi semua tindakan penganiayaan dan sikap yang tidak bersahabat kepada mereka. Perlu digarisbawahi bahwa meskipun ayat ini membahas perihal anak yatim, namun maknanya dapat diperluas, hingga menyangkut seluruh golongan orang lemah dan memerlukan uluran. Hal ini diperkuat pula oleh ayat selanjutnya yakni ayat 3 pada surat yang sama.103

Beberapa riwayat mengemukakan bahwa terdapat seseorang, yang namanya menjadi persilihan (antara Abu Sufyan, Abu Jahal, Al- Ash Ibn Walid, atau selain mereka), tiap minggunya menyembelih seekor unta. Suatu saat ada seorang anak yatim yang menemuinya dan memohon daging tersebut sedikit saja, tapi anak yatim tersebut tidak diberinya, bahkan orang itu menghardik dan mengusir anak yatim.

103 Shihab, 547.

Kejadian tersebut menjadi latar belakang turunnya ayat 1-3 surat al- Ma‟un.104

b. Perintah Berbuat Baik Terhadap Anak Yatim

Setelah ayat-ayat pada periode Mekkah melarang bersikap buruk terhadap anak yatim, maka periode Madinah berisi anjuran untuk berbuat baik kepadanya. Al-Baqarah ayat 83 memerintahkan untuk berbuat baik terhadap ibu dan bapak dengan kebajikan yang sempurna, kendatipun mereka non Islam, lalu kepada kaum kerabat, serta kepada anak-anak yatim yakni anak yang ayahnya telah tiada sedangkan ia belum dewasa, serta kepada orang-orang miskin yang memerlukan bantuan. Sebab tidak semua orang dapat memberi bantuan kepada yang telah disebutkan, maka redaksi selanjutnya diperintahkan juga untuk berucap kata-kata yang baik kepada siapapun, tanpa terkecuali.105

Perintah berbuat kebajikan juga tercantum dalam ayat 36 surat An-Nisa‟, yang memerintahkan untuk mempersembahkan kebajikan yang sempurna kepada ibu-bapak, dan tidak abai untuk berbuat baik dengan karib kerabat, juga kepada anak-anak yatim yakni anak yang belum dewasa sedangkan ayahnya telah tiada, serta orang-orang miskin, dan kepada tetangga, baik yang jauh kekerabatannya maupun yang dekat rumahnya, begitupun juga dengan teman sejawat, serta ibnu sabil, yakni orang-orang yang habis bekalnya di perjalanan dan anak-anak jalanan, juga kepada hamba sahaya yang dimiliki, baik laki-laki

104 Shihab, 545.

105 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 1, 238.

62

maupun perempuan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai, yaitu tidak memberikan rahmat dan kasih sayang-Nya pada orang-orang sombong yang merasa tinggi, sampai enggan bergaul dan membantu orang-orang yang lemah.106

c. Memberi secara Tulus Harta yang Dicintai kepada Anak Yatim

Al-Baqarah ayat 177 dan 215 yang sama-sama periode Madinah menyinggung perihal menafkahkan harta yang baik kepada anak yatim.

Ayat 177 menjelaskan tentang perbuatan apa saja yang termasuk dalam kebajikan yang sempurna. Perbuatan tersebut di antaranya ialah memberi secara tulus harta yang dicintainya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang butuh bantuan, dan orang-orang yang meminta-minta; dan juga memberi dengan maksud membebaskan hamba sahaya, yang menegakkan shalat dengan benar dan menunaikan zakat berdasarkan ketentuan dan tanpa menunda- nunda, dan orang-orang yang terus menerus memenuhi janjinya, orang- orang yang sabar ketika mengatasi kesempitan, yakni kesulitan hidup, dan saat peperangan, yakni disaat perang sedang berkecamuk. Mereka termasuk orang-orang yang benar sikapnya, ucapannya, dan tingkah lakunya dan mereka ialah orang-orang yang bertakwa.107

Sementara itu, ayat 215 dimulai dengan pertanyaan menyangkut nafkah. Pertanyaan tersebut dijawab sekaligus dalam redaksi selanjutnya, yakni kepada siapa hendaknya harta dinafkahkan. Jawaban

106 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2, 415.

107 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 1, 265- 266.

pertanyaan tersebut ialah anjuran menafkahkan harta yang baik.

Kemudian terdapat penjelasan tentang kepada siapa sebaiknya memberikan harta tersebut, yang pertama ialah kepada ibu dan bapak, lalu kepada kaum kerabat, baik yang dekat maupun yang jauh, dan anak-anak yatim, yakni anak kecil yang ayahnya telah tiada, begitupun juga untuk orang-orang miskin yang memerlukan bantuan dan orang- orang yang tengah perjalanan sedangkan bekalnya kurang. Pada ayat ini, kata harta digandeng dengan kata (

يرخ/

khair) yang artinya baik. Hal

ini mengisyaratkan bahwa hendaklah harta yang dinafkahkan tersebut merupakan sesuatu yang baik, yakni halal serta dipergunakan kemanfaatan.108

Ibnu Jarir meriwayatkan yang bersumber dari Ibnu Juraij, Rasulullah ditanyai oleh umat muslimin: Dimana kami tabungkan (infakkan) harta benda kami, ya Rasulallah?” Maka ayat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Riwayat lain, yakni Ibnul Mundzir yang bersumber dari Abu Hayyan, bahwa „Umar bin al-Jamuh mengajukan pertanyaan kepada Nabi Saw: “Apa yang harus kami infakkan, dan kepada siapa diberikannya?” Maka ayat 215 surat al- Baqarah turun sebagai jawabannya.109

108 Shihab, 428.

109 Shaleh, Dahlan, Dahlan, Asbabun Nuzul Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat

Al-Qur’an, 70.

64

d. Sikap yang Diambil Ketika Pembagian Warisan, Lalu Datang Anak Yatim

Memang bukan hal yang baik jika ada yang datang ketika pemberian rezeki, lalu tidak memberi orang yang datang dan mengetahui tersebut, apalagi jika yang hadir tersebut merupakan kerabat dan kaum lemah yang memerlukan bantuan. Pada surat An- Nisa‟ ayat 8 menjelaskan perihal sikap seharusnya yang diambil ketika pembagian warisan itu datang kerabat yang tidak memiliki hak memperoleh warisan, serta hadir pula anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka sebagian, yakni meski sekadarnya dari harta tersebut, dan berucaplah yang baik pada mereka, yang dapat membuat hati mereka terhibur, baik sebab pemberian yang sedikit atau bahkan sebab tidak ada yang dapat diberikan pada mereka. Ayat ini tidak harus diperselisihkan dengan ayat yang berisi ketentuan-ketentuan dalam hal kewarisan, sebab hal ini merupakan anjuran dan yang itu adalah hak yang tidak dapat dikurangi maupun dilebihkan.110

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Sesungguhnya orang-orang menduga bahwa ayat ini dihapus (dinasakh), tidak demi Allah, ayat ini tidak dihapus (dalam jalur periwayatan lain: Ayat ini kukuh dan tidak dihapus), namun ia termasuk perkara yang disepelekan orang.

Keduanya adalah wali (yang menguasai) yang mendapatkan warisan, itulah orang yang memberi bagian dan yang seorang lagi tidak

110 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2, 337.

Dokumen terkait