• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS

A. Quraish Shihab dan Tafsir Al-Misbah

1. Quraish Shihab

15, 547.

22

ketidakkuasaannya itulah ia membutuhkan perlindungan dan kasih sayang.32

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah yatim didefinisikan sebagai anak yang tidak berayah saja atau tidak berayah dan beribu, sekalipun juga dikatakan “yatim piatu.” Umumnya di Indonesia, anak yang ayahnya telah tiada biasa dinamakan “yatim”

daripada “yatim piatu.” Dalam Lisan al-Arab, penggunaan kata yatim khusus untuk anak yang ayahnya telah tiada, sementara untuk anak yang ibunya telah tiada dinamakan “munqati.”33

Istilah yang sering dikenal di Indonesia adalah “yatim piatu”

untuk penyebutan anak yang ditinggal mati kedua orangtuanya, yaitu ayah dan ibunya. Sementara di beberapa-beberapa negara lain cukup dikenal dengan penyebutan anak yatim. Kata piatu dibubuhkan mungkin untuk menambah kesan penderitaan yang lebih berat dibandingkan dengan anak yang ditinggalkan oleh ayahnya (yatim) saja. Yatim, piatu, atau yatim-piatu, sama-sama menggambarkan kondisi menyedihkan. Seorang anak yang belum beranjak dewasa dan ditinggal sosok ayah sebagai pencukup kebutuhan dalam hidupnya; atau ibu yang mencurahkan perhatian dan kasih sayang; atau malah kehilangan kasih sayang keduanya.34

32 Fauziyah Masyhari, “Pengasuhan Anak Yatim dalam Perspektif Pendidikan Islam,”

Dirasat: Jurnal Manajemen dan Pendidikan Islam, Vol. 2, No. 2 (Juni 2017), 234.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.journal.unipdu.ac.id/

33 Masyhari, 235.

34 Nurul Chomaria, Cara Kita Mencintai Anak Yatim (Solo: PT Aqwam Media Profetika,

2014), 13.

Bagi seorang anak, sebenarnya kedua figur orangtuanya sama- sama diperlukan. Hal ini penting untuk proses identifikasi potensi diri dalam hidup anak. Jika kasih sayang seorang ayah kurang maka dapat menyebabkan anak mengalami deprivasi paternal. Sedangkan jika kasih sayang seorang ibu kurang maka dapat menyebabkan anak mengalami deprivasi maternal. Dengan demikian, kekurangan dua kasih sayang dari keduanya dapat memberikan dampak yang buruk dan psikis anak dapat terganggu perkembangannya.35

Mengenai pengertian anak yatim, terdapat berbagai macam definisi. Definisi pertama, anak yatim adalah anak belum baligh yang bapaknya meninggal. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, tetapi pengertian tersebut hanya sebagian dari makna yatim yang ada di Al- Qur‟an. Pendapat kedua dan ketiga menjelaskan bahwa anak yatim ialah anak yang kedua orangtuanya tiada. Hal ini menggambarkan bahwa kata yatim tidak cukup diartikan sebagai anak yang ditinggal mati bapaknya, tetapi lebih luas pengertiannya, yaitu anak yang ibunya tiada, atau anak yang ayah dan ibunya tiada. Pendapat keempat menyebutkan bahwa kata yatim tidak hanya diperuntukkan untuk anak yang bapaknya meninggal, namun kata yatim juga dipakai pada setiap orang yang hidup sendiri tanpa teman, seperti halnya pada pernyataan

"dhurrah yatimah".36

35 Chomaria, 14-16.

36 Mahmudal, “Anak Yatim Sebagai Objek Dakwah dalam Perspektif Al-Qur‟an,” 87.

24

Menurut Quraish Shihab, yatim secara bahasa berarti kesendirian. Pemaknaan anak yatim dari segi hukum ialah anak yang meninggal ayahnya sedangkan dia belum dewasa. Namun, arti kesendirian tersebut sebenarnya mencakup juga anak-anak yang sendirian yang tidak mendapat bimbingan, seperti di antaranya anak- anak jalanan.37 Hal ini senada dengan penafsirannya pada surat al- Ma‟un ayat 2, yakni memperluas pemaknaan kata yatim, hingga mencakup orang-orang lemah yang membutuhkan bantuan, seperti pada ayat selanjutnya.

Dari berbagai definisi di atas, dapat digarisbawahi bahwa kata yatim tidak cukup didefinisikan sebagai anak yang ditinggal mati bapaknya saja, namun lingkup pengertiannya lebih luas lagi.38 Kata yatim juga mencakup anak yang ditinggal mati ibunya maupun kedua orangtuanya, bahkan termasuk anak-anak yang terlantar di jalanan.

b. Batas Anak Yatim

Batas predikat yatim ialah apabila dia mencapai usia baligh, sesuai hadits: “status yatim hilang jika dia telah baligh.” Sementara untuk anak perempuan, predikat yatim lepas jika dia telah baligh atau menikah. Sekalipun anak perempuan tersebut telah baligh, namun bila ia telah menikah maka akan lepas status keyatimannya. Hal tersebut

37 Semua Murid Semua Guru, “Hidup Bersama Al-Qur‟an. Mengapa Kita harus Memelihara Yatim?.”

38 Mahmudal, 87.

disebabkan telah ada yang menanggung kehidupannya yaitu suaminya.39

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa batas awal anak yatim ialah ketika ayahnya meninggal. Patokan dari definisi tersebut tidak dapat dipastikan, karena boleh jadi saat ayahnya wafat, si anak masih dalam kandungan, bayi, TK, SD, dan lainnya. Hal yang perlu ditekankan ialah batas akhir keyatimannya, yaitu usia baligh.

Dalam konteks fikih, indikator baligh ialah saat seseorang mencapai status mukallaf. Sedangkan, menurut ilmu sains, indikator usia baligh dapat diketahui karena adanya bukti yang dialami oleh anak misalnya mimpi basah yang terjadi pada laki-laki dan haidh yang terjadi pada perempuan.40

c. Yatim Menurut Para Mufassir

Terdapat beberapa ayat tentang anak yatim yang berada di berbagai surat dalam al-Qur‟an. Dalam ayat 83 dan 220 surat al- Baqarah perintah mengasihi anak yatim. Dalam surat al-Nisa‟ terdapat perintah memelihara harta anak yatim dan membahas permasalahan harta anak yatim.41 Hal tersebut menunjukkan bahwa di dalam al- Qur‟an, Allah sangat memperhatikan permasalahan anak yatim dalam pemenuhan hak-haknya, sekaligus memberikan penjelasan mengenai

39 Masyhari, “Pengasuhan Anak Yatim dalam Perspektif Pendidikan Islam,” 235.

40 Masyhari, 236.

41 Ahmad Jamaludin, “Wali Anak Yatim dalam Perspektif Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili (Kajian Tematis Tafsir Al-Munir)” (Skripsi, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2014).

26

etika atau sikap yang seharusnya bagi seorang muslim terhadap anak yatim.

Al-Qurthubi saat menafsirkan surat al-Balad ayat 15 dalam kitab tafsirnya mengutip pendapat para ahli bahasa tentang anak yatim.

Disebut yatim sebab kelemahan yang ada pada dirinya. Mereka menyebut bahwa yatim dalam konteks manusia adalah ia yang ayahnya tiada, sementara yatim dalam konteks binatang adalah ia yang induknya tiada. Sebagian ahli bahasa menyebut kata yatim adalah yang kedua orangtuanya telah meninggal dunia. Ayat ini menjelaskan bahwa lebih utama bersedekah kepada anak yatim yang tidak ada pengasuhnya daripada kepada anak yatim yang ada pengasuhnya.42 Dalam surat adh- Dhuha ayat 9, al-Qurthubi menjelaskan larangan bertindak lalim kepada anak yatim, dan perintah memberi hak kepadanya. Ayat ini berisi anjuran agar kepada anak yatim hendaknya bersikap lemah lembut, berbuat baik, dan sopan.43

Syekh Nawawi al-Bantani berkomentar tentang anak yatim saat menafsirkan surat al-Maun ayat 2 dalam kitab tafsirnya Marah Labid, bahwa orang yang menolak keras hak anak yatim termasuk orang yang mendustakan adanya hari hisab. Menurut qiraat lain berarti membiarkan anak yatim dan tidak mengundangnya, yakni mengundang orang lain ke perjamuannya, namun membiarkan anak yatim tanpa menyantuninya.

Sekalipun memberikan santunan itu tidak wajib hukumnya, akan tetapi

42Syaikh Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Jilid 20, terj. Dudi Rosyadi dan Faturrahman (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 424.

43 Al-Qurthubi, 496-497.

adakalanya seseorang itu tercela karena meninggalkan hal-hal yang disunnahkan. Menurut qiraat lain berarti mengundang anak yatim secara riya‟ dan tidak membaginya makan, dia memanggilnya hanya untuk melayaninya atau dengan paksa.44

Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, Sayyid Quthb memaparkan surat al-Fajr ayat 17 bahwa orang-orang jahiliyah tidak memuliakan anak yatim. Kerusakan dan ketamakan untuk menimbun harta dengan berbagai cara harus dihadapi umat Islam dalam periode Mekkah.

Sasaran perampasan harta ialah anak-anak yatim yang lemah, khususnya anak yatim wanita. Mereka diperlakukan kasar dalam berbagai bentuk dan cara, terlebih lagi yang berkaitan dengan warisan.

Perampasan harta anak yatim biasa dilakukan dengan terbuka dan terang-terangan seperti halnya kecintaan mereka terhadap harta dan menempuhnya dengan jalan riba atau lainnya di kalangan masyarakat Mekkah pada masa jahiliyah.45

Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah Zuhaili saat menafsirkan surat al-Baqarah ayat 83 mengungkapkan bahwa anak yatim yaitu anak yang belum dewasa sedang ia tidak memiliki ayah sebagai sosok yang mencari nafkah dalam keluarga. Bersikap baik terhadap anak yatim dapat dilakukan dengan mengajarinya secara baik dan tidak menyia- nyiakan haknya. Al-Qur‟an dan as-Sunnah memuat pesan penuh

44 Al-„Allamah Asy-Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tafsir Al-Munir (Marah Labid), terj. Bahrun Abu Bakar (Bandung: Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2018), 855.

45 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an Jilid 12, terj. As‟ad Yasin dan Abdul Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 266-267.

28

terhadap anak yatim, yakni supaya mereka dikasihi, dicukupi kebutuhannya, dan dijaga hartanya.46 Di lain ayat, yaitu ayat 177 dalam surah yang sama, Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa anak yatim yakni anak kecil yang kedua orang tuanya tiada dan tidak ada pula yang mencukupi kebutuhan mereka. Mereka begitu membutuhkan bantuan material guna menyambung kehidupan, menggapai masa depan, agar mereka tidak membahayakan masyarakat kelak.47

Menurut Al-Maraghy dalam kitab tafsirnya, bersikap baik kepada anak yatim dapat dilakukan dengan bentuk membenahi pendidikannya dan tidak menyia-nyiakan hak miliknya. Perintah untuk bersikap baik terhadap anak yatim ialah karena ia tidak memiliki orang yang mengajarinya dan memenuhi kebutuhannya. Meskipun ibunya masih ada, namun kurang pas dalam mendidik anak dengan metode terbaik. Jika akhlak anak yatim rusak atau keadaannya buruk, maka dapat berdampak bagi segenap umat atau bangsa. Sikap mereka yang tidak baik menggambarkan dampak dari rendahnya pendidikan, sehingga timbul krisis akhlak di kalangan masyarakat.48

Buya Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar menjelaskan bahwa anak yatim ialah anak yang ayahnya telah tiada sewaktu ia masih kecil, sepatutnya diberi kasih sayang, disikapi dengan baik, diasuh dan dididik. Sebab ibunya tidaklah mampu mengasuhnya sendiri, setelah

46Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsiirul Muniir: Fil ‘Aqidah wasy-Syarii’ah wal Manhaj Jilid 1, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta: Gema Insani, 2013), 166.

47 Az-Zuhaili, 346.

48 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy Jilid 1, terj. Anshori Umar Sitanggal, dkk (Semarang: CV. Toha Putra, 1987), 274-275.

kematian ayahnya, apalagi jika ibunya telah menikah lagi.49 Orang- orang yang dalam rumahnya merawat anak yatim dengan jujur, menyamakan dengan anaknya sendiri, membiayai pendidikannya, maka Allah senantiasa memberkahi rumah tersebut dan membesarkan jiwa penghuninya. Lebih-lebih lagi apabila dia ahli menghapus rasa minder yang ada pada diri anak yatim, sehingga anak tersebut merasa dengan ayahnya sendiri.50

3. Metode Tafsir Maudhu’iy

Dalam ilmu tafsir, dikenal 4 metode penafsiran secara umum, yaitu tahlili, ijmali, muqarran, maudhu‟iy. Metode tahlili/analisis ialah metode tafsir yang menguraikan berbagai sisi yang tersimpan di dalam setiap ayat yang ditafsirkan. Mufassir dalam mempraktikkan metode ini biasanya memaparkan makna ayat-ayat yang ditafsirkan, berdasarkan tartib mushafi. Uraian tersebut mencakup beberapa sisi yang terdapat dalam suatu ayat, seperti makna dari kosa kata, konotasi kalimatnya, asbabun nuzul, munasabah dengan ayat sebelum maupun sesudahnya, serta mengutip pendapat mufassir lain.51

Metode ijmali/global merupakan metode menafsirkan ayat-ayat dalam al-Qur‟an dengan singkat dan padat. Sistematika penulisannya sesuai urutan ayat dan surat dalam mushaf.52 Hanya makna-makna umum yang diuraikan dalam metode ini. Mufassir seperti menyajikan buah segar

49 Hamka, Tafsir Al-Azhar Jilid 2 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 240.

50 Hamka, 191-192.

51 Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 68.

52 Baidan, 67.

30

yang telah dikupas dan dipotongkan sekaligus, sehingga pembaca dengan mudah menyantap hidangan yang telah disediakan.53 Metode muqarran/perbandingan memiliki beberapa pengertian, di antaranya: 1) perbandingan antar ayat al-Qur‟an yang mirip; 2) perbandingan ayat al- Qur‟an dengan hadits Nabi Saw yang nampak berlainan; 3) perbandingan antar pendapat para ulama tafsir dalam menelaah ayat-ayat al-Qur‟an.54 Metode maudhu‟iy/tematik adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan tema atau judul yang ditentukan. Ayat-ayat yang memiliki persamaan dihimpun berdasarkan tema kandungan, untuk ditelaah secara mendalam dan tuntas dari seluruh sisinya.55

Tafsir Maudhu‟iy mempunyai dua macam kajian. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menelusuri hukum-hukum yang tersimpan dalam al-Qur‟an, memahami hubungan antar ayat, dan sebagai bantahan terhadap tuduhan bahwa sering terjadi pengulangan dalam al- Qur‟an; sekaligus menepis tuduhan lainnya dari sebagian orientalis dan pemikir barat. Kajian ini juga membuktikan perhatian Allah yang begitu besar dalam al-Qur‟an terhadap kemaslahatan umat manusia. Dua macam kajian tafsir maudhu‟iy adalah: yang pertama, membahas keseluruhan satu surat dengan menjelaskan maknanya yang umum dan spesifik, memaparkan keterkaitan permasalahan yang terkandung antar ayat, sehingga surat yang ditafsirkan tampak utuh. Bentuk kedua ialah

53 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 381.

54 Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, 59-60.

55 Baidan, 72.

mengumpulkan beberapa ayat dari berbagai surat yang memiliki kesamaan topik; kemudian menyusun dan meletakkan ayat-ayat tersebut dalam satu topik, untuk kemudian ditafsirkan secara maudhu‟iy.56 Adapun peneliti menggunakan bentuk kajian kedua tafsir maudhu‟i dalam penelitian ini.

Nama “Tafsir Maudhu‟iy” dalam corak yang kedua merupakan istilah baru dari ulama zaman sekarang, yang memiliki artian yaitu mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki kesamaan tema dan disusun sesuai urutan dan sebab turun ayat-ayat itu. Lalu mufassir mulai memberi penafsiran serta menarik kesimpulan. Secara khusus, mufassir melaksanakan cara kerja dari metode maudhu‟iy, yang mana ia menelaah ayat yang akan ditafsirkannya dari berbagai aspek, dan menganalisisnya sesuai dengan ilmu untuk menguraikan inti problem, sehingga permasalahan tersebut dapat dipahami dengan mudah dan memungkinan baginya untuk memahami maksud yang terdalam.57

Menurut Al-Farmawi, perincian tahap-tahap dari metode maudhu‟iy di antaranya:

1. Menentukan topik pembahasan yang akan dicari penyelesaiannya dalam al-Qur‟an.

2. Mencari dan mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki kaitan dengan topik yang telah ditentukan, ayat makkiyah dan madaniyah.

3. Menata ayat-ayat sesuai urutan turunnya, juga asbabun nuzulnya.

56 Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 35.

57 Al-Farmawi, 37.

32

4. Menyebutkan munasabah atau keterkaitan antar ayat di tiap-tiap suratnya.

5. Menyusun topik pembahasan di dalam struktur yang sistematis.

6. Menyempurnakan bahasan dengan hadits, jika diperlukan, maka pembahasan jadi lebih jelas dan sempurna.

7. Mengkaji dengan tematik ayat-ayat tersebut dan komprehensif lewat cara mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki makna yang mirip, mempertemukan antara pengetian yang khash (khusus) dan „am (umum), serta muqayyad (terdapat batasan) dan muthlaq (tidak ada batasan), mencocokkan ayat-ayat yang terlihat kontradikitif, memaparkan ayat yang nasikh-mansukh, sehingga seluruh ayat yang ditafsirkan masuk pada satu temuan, tidak ada pertentangan dan memaksa beberapa ayat terhadap makna yang sejatinya kurang tepat.58

Dalam penelitian ini, peneliti memilih metode maudhu‟iy dengan menggunakan langkah-langkah yang telah disebutkan di atas.

58 Al-Farmawi, 45-46.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian yang dipakai ialah penelitian kualitatif deskriptif, karena peneliti berusaha mendeskripsikan perihal etika terhadap anak yatim dalam al-Qur‟an berdasarkan kitab tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab. Melalui memakai metode ini, hasil penelitian diharapkan dapat memberi gambaran mengenai etika terhadap anak yatim.

Sedangkan jenis penelitian ini ialah penelitian kapustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang memperoleh data penelitian dari sumber- sumber perpustakaan, seperti buku-buku maupun jurnal-jurnal yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian.

B. Sumber Data

Objek utama dalam riset ini yaitu kitab tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, khususnya penafsiran yang berkenaan dengan ayat-ayat perihal anak yatim di dalam al-Qur‟an. Adapun sumber dalam memperoleh data dibagi menjadi dua jenis, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

1. Sumber Data Primer

Sumber primer ialah rujukan yang esensial untuk data penelitian.

Adapun sumber primer dari penelitian ini ialah buku/kitab yang membahas penafsiran terhadap ayat-ayat tentang anak yatim, sehingga nantinya dapat disimpulkan mengenai etika terhadap anak yatim. Di

34

antara sumber primer yang digunakan ialah al-Qur‟an dan Tafsir al- Misbah karya Quraish Shihab.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber sekunder merupakan rujukan yang menjadi penujang dalam penelitian setelah sumber primer. Adapun sumber sekunder dalam riset ini ialah referensi-referensi, yang berkaitan dengan judul penelitian, yakni pembahasan mengenai etika terhadap anak yatim dalam al-Qur‟an, serta pandangan Quraish Shihab mengenai anak yatim. Sumber sekunder diperlukan sebagai pendukung dan penambah khazanah tulisan yang berkaitan dengan ilmu tafsir. Diantara sumber sekunder yang dipakai ialah seperti buku, jurnal, serta skripsi lain.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah memakai teknik dokumentasi, yakni mengumpulkan bahan berupa jurnal, buku, skripsi mengenai variabel yang memiliki hubungan dengan judul penelitian. Teknik lain yang dipakai dalam proses riset ini ialah dengan membaca, menelaah dan menganalisis sumber-sumber data sesuai dengan topik permasalahan yang telah ditetapkan, untuk kemudian diteliti secara komprehensif dan sistematis.

Untuk mendapatkan data yang utuh dan sistematis, peneliti melakukan beberapa langkah berikut ini:

1. Koleksi data, ialah mengumpulkan data-data yang dibutuhkan berdasarkan dengan tema riset.

2. Seleksi data, ialah memilih dan menyeleksi data yang termasuk dalam pembahasan penelitian.

3. Klasifikasi data, yaitu menyesuaikan data dan menempatkannya data sesuai dengan sub bab dan aspek pembahasan.

D. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode tematik Abd al-Hayy al-Farmawi. Adapun langkah-langkah penerapan metode tersebut telah dijelaskan pada bab sebelumnya, namun dapat disederhanakan menjadi beberapa tahap: 1) Mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan sesuai tema penelitian yang telah ditentukan, 2) Membagi ayat-ayat yang makkiyah dan yang madaniyah, serta mengurutkan ayat-ayat sesuai dengan kronologi turunnya, 3) Memaparkan asbabun nuzul, 4) Menjelaskan munasabah, 5) Mengelompokkan ayat-ayat sesuai dengan topik pembahasan yang lebih spesifik, 6) Menyempurnakan bahasan dengan hadits apabila ada, 7) Mengkaji ayat-ayat demikian secara tematik.

E. Teknik Analisis Data

Analisa data memiliki tujuan utama yaitu merangkum data agar tampil menjadi bentuk yang mudah dicerna pembaca, sehingga dapat mempelajari dan menguji hubungan antar topik penelitian. Pada riset ini, peneliti memakai Content Analysis, yaitu metode yang lebih mengedapankan pada penyingkapan dimensi isi (esensi) dari berbagai proporsi yang ada. Analisis isi (Content Analisis) merupakan metode penelitian yang bertujuan untuk membentuk inferensi-inferensi (kesimpulan) dan keabsahan data dengan

36

mencermati keadaannya.59 Melalui analisis isi, peneliti dapat memahami gambaran isi, karakteristik pesan, dan perkembangan dari sebuah isi.60 Dalam hal ini, peneliti berupaya mendeteksi karakteristik pesan (dari suatu karya atau kitab) yang dilakukan secara obyektif dan sistematis.

59 Siti Nur Holisah, “Penafsiran Wahbah Al-Zuhayli dalam Tafsir Al-Munir Tentang Tikrar Mengenai Kiamat (Telaah Juz 29 dan 30)” (Skripsi, IAIN Jember, 2020), 14.

60 Eriyanto, Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Prenadamedia Group, 2011), 11.

https://books.google.co.id/books?id=bLo=DwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&

q&f=false

37 BAB IV

PAPARAN DATA DAN ANALISIS

A. Quraish Shihab dan Tafsir Al-Misbah 1. Quraish Shihab

M. Quraish Shihab dilahirkan di Sulawesi Selatan, lebih tepatnya di Kabupaten Dendeng Rampang, pada tanggal 16 Februari 1944. Kabupaten Dendeng Rampang adalah sebuah daerah yang memiliki jarak sekitar 190 km dari kota Ujung padang. Ayahnya, Abdurrahman Shihab ialah seseorang yang berpengaruh terhadap diri Quraish Shihab. Abdurrahman adalah seorang guru besar di bidang Tafsir dan pernah menjadi rektor IAIN Alaudin Ujung Padang. Tidak hanya itu, ia merupakan pembangun Universitas Muslim Indonesia (UMI) Ujung Padang.61

Sedari dini, Quraish Shihab sangat dekat dengan al-Qur‟an.

Ayahnya senantiasa mengajaknya dalam kajian al-Qur‟an yang diselenggarakannya. Mulai usia 6-7 tahun, ayahnya kerap menceritakan kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur‟an.62 Pada usia tersebut, ia memfokuskan diri mengkaji al-Qur‟an bersama sang ayah. Sejak usia 9 tahun, sudah menjadi kebiasaannya untuk mengikuti sang ayah mengajar.

Selain sang ayah, ibunya juga mendorong Quraish Shihab untuk belajar

61 Lufaefi, “Tafsir Al-Mishbah: Tekstualitas, Rasionalitas dan Lokalitas Tafsir Nusantara,” Substantia, Vol. 21, No. 1 (April 2019), 30.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://jurnal.ar-raniry.ac.id/

62 Muhammad Alwi, Muhammad Arsyad, dan Muhammad Akmal, “Gerakan Membumikan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia: Studi M. Quraish Shihab atas Tafsir Al-Misbah,”

Jurnal At-Tibyan: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 5, No. 1 (Juni 2020), 94.

https://doi.org/10.32505/at-tibyan.v5i1.1320

Dokumen terkait