• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS

A. Quraish Shihab dan Tafsir Al-Misbah

2. Tafsir Al-Misbah

Tafsir al-Misbah adalah karya tafsir yang terbagi menjadi 15 jilid yang berhasil menjelaskan isi al-Qur‟an secara menyeluruh lengkap 30 juz. Ketebalan tiap jilid tentu berbeda-beda, mulai dari 500- 600an halaman. Tafsir al-Misbah adalah kitab tafsir kedua dari Quraish Shihab. Adapun kitab tafsir yang pertama ditulis yaitu tafsir al-Qur‟an al-Karim. Tafsir tersebut membahas 22 surah dalam al-Qur‟an secara tahlili. Tetapi muncul kritikan bahwa penyajian tafsir al-Qur‟an al- Karim terlalu panjang lebar. Hal tersebut membuat Quraish Shihab merasa tidak puas dengan karya tafsirnya. Kemudian ia melahirkan

66 Alwi, Arsyad, dan Akmal, “Gerakan Membumikan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia:

Studi M. Quraish Shihab atas Tafsir Al-Misbah,” 93.

67 Zaenal Arifin, “Karakteristik Tafsir Al-Mishbah,” Al-Ifkar, Vol. XIII, No. 01 (Maret

2020), 9-10.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://ejournal.kopertais4.or.id/

40

kitab tafsir lagi yang memaparkan tujuan atau tema pokok di awal surah dalam bahasan setiap surah.68

Dengan menjelaskan tema pokok dan tujuan surah, Quraish Shihab mengungkap kandungan al-Qur‟an, yaitu pesan, kesan, dan keserasian pada ayat-ayat al-Qur‟an. Kitab tafsir al-Misbah bermaksud menyampaikan bahwa pada setiap surah dalam al-Qur‟an terdapat pesan utamanya. Hal tersebut dapat ditemukan melalui pemahaman terhadap tema pokok dari setiap surah. Jika tema-tema dalam 114 surat dapat dimengerti dengan baik, maka pembaca juga akan merasa lebih akrab dengan al-Qur‟an. Kesan yang ingin disampaikan Quraish Shihab adalah bahwa menyebutkan tema pokok dan tujuan tiap surat dapat meluruskan anggapan yang keliru dengan mengkhususkan satu surah dibandingkan surah lainnya seperti yang selama ini terjadi di masyarakat.69

Salah satu ciri khas penafsiran Quraish Shihab dalam tafsir al- Misbah adalah konsistensinya pada pemaknaan kosa kata pada tiap ayat dalam al-Qur‟an. Meskipun tafsir al-Misbah termasuk tafsir di era modern yang penafsirannya menyinggung problem sosial masa kini, namun penafsir tetap menjadikan makna kosa kata setiap ayat sebagai dasar awal penafsirannya. Hanya al-Misbah, tafsir di Nusantara yang memaparkan makna kata secara jelas dan rinci, sehingga tafsir al- Misbah adalah tafsir Nusantara pertama yang memperhatikan

68 Alwi, Arsyad, dan Akmal, “Gerakan Membumikan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia:

Studi M. Quraish Shihab atas Tafsir Al-Misbah,” 96-97.

69 Alwi, Arsyad, dan Akmal, 96-97.

tekstualitas suatu ayat, disamping penjelasan kandungan al-Qur‟an yang relevan dalam kehidupan sosial. Tidak hanya aspek tekstualitas yang menjadi titik fokus tafsir al-Misbah, namun aspek rasionalitas juga nampak dalam banyak persoalan, termasuk masalah jilbab, qishash, dan sebagainya. Oleh karena itu, tafsir al-Misbah merupakan tafsir solutif- modern-kontekstual.70

b. Latar Belakang Penulisan

Mayoritas tafsir era klasik maupun pertengahan ditulis dalam bahasa Arab, sehingga yang dapat memahami tafsir tersebut hanya orang yang memahami bahasa Arab dan ilmu tentang al-Qur‟an. Di Indonesia, kalangan tersebut mungkin hanya ada pada lingkungan ulama‟ dan pesantren, sementara umat Islam lainnya masih banyak yang belum menguasai bahasa Arab. Dengan adanya realitas tersebut, Quraish Shihab merasa bahwa umat Islam di Indonesia banyak yang memiliki keinginan mendalami al-Qur‟an namun terkendala oleh beberapa keterbatasan, khususnya ialah bahasa. Sebagai ulama, Quraish Shihab merasa terpanggil untuk memaparkan pesan-pesan Allah dalam al-Qur‟an sesuai kebutuhan umat Islam di Indonesia.71

Adapun beberapa latar belakang disusunnya tafsir al-Misbah, yaitu: Pertama, memberi akses mudah untuk umat Islam di Indonesia untuk mendalami maksud al-Quran, dengan menguraikan secara detail

70 Lufaefi, “Tafsir Al-Mishbah: Tekstualitas, Rasionalitas dan Lokalitas Tafsir Nusantara,” 34-35.

71 Yusuf Budiana dan Sayiid Nurlie Gandara, “Kekhasan Manhaj Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab,” Jurnal Iman dan Spiritualitas, Vol. 1, No. 1 (2021), 87.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://journal.uinsgd.ac.id/

42

perihal pesan yang terkandung dalam al-Quran menggunakan bahasa Indonesia, serta memaparkan tema pokok yang berhubungan dengan kondisi masyarakat. Kedua, pemahaman umat Islam di Indonesia yang kurang tepat dalam mengartikan fungsi al-Quran, seperti halnya tradisi pembacaan surat Yasin berulang-ulang, namun masyarakat tidak mengerti bacaan yang mereka baca berulang kali tersebut. Ketiga, akademisi yang kurang mendalami hal-hal ilmiah berkenaan dengan ilmu al-Qur‟an. Mereka banyak yang tidak mengerti sistematika penulisan al-Quran yang sejatinya mempunyai sisi pendidikan yang begitu menyentuh. Keempat, terdapat dukungan dan dorongan dari umat Islam di Indonesia, sehingga Quraish Shihab tergugah hatinya untuk menulis tafsir al-Misbah.72

c. Sumber Tafsir

Penafsiran Quraish Shihab banyak mengambil riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, baik rujukannya kembali pada ayat-ayat al- Qur‟an itu sendiri, maupun hadis-hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabi‟in dan tabi‟ut tabi‟in. Selain itu, tafsir al-Misbah juga banyak merujuk pada pendapat mufassir sebelumnya. Hal ini memang di akui sendiri oleh Quraish Shihab dalam kitab tafsir al- Misbah bahwa ia juga merujuk pada beberapa pendapat ulama sebelumnya. Meskipun mengambil bentuk tafsir bil ma‟tsur, Quraish Shihab tetap meluangkan tempat khusus untuk gagasannya yang

72 Lufaefi, “Tafsir Al-Mishbah: Tekstualitas, Rasionalitas dan Lokalitas Tafsir Nusantara,” 31.

dituangkan dalam tafsirnya, sehingga tafsir al-Misbah juga dapat disebut tafsir bil ra‟y.73

Dalam kitab tafsir al-Misbah volume 1, tepatnya pada bagian

“sekapur sirih” dan “pengantar”, Quraish Shihab menyebutkan kitab- kitab tafsir yang dijadikan referensi atau sumber dalam penulisan tafsirnya. Di antara kitab-kitab yang disebutkan yaitu Fi Zhilal al- Qur‟an karya Sayyid Quthb, Tafsir al-Qur‟an al-Azhim karya Ibn Kasir, Al-Kasyaf karya az-Zamakhsyari, dan kitab-kitab lainnya.74

d. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang dimaksud ialah rangkaian atau urutan bagian penjelasan dalam menyajikan bahasan tafsir. Dalam hal ini, tafsir al-Misbah memakai tartib mushafi, yakni mufassir menjelaskan keseluruhan ayat al-Qur‟an berdasarkan urutan surat dan ayat dalam mushaf, diawali dari surat al-Fatihah hingga surat an-Naas.

Sebelum membuka penafsirannya, Quraish Shihab memberi penjelasan terlebih dahulu terhadap surat yang akan ditafsirkannya. Adapun penjelasan pada setiap surat tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam memahami tema pokok yang terletak pada pengantar setiap surah. Untuk lebih jelasnya, berikut ini sistematika tafsir al- Misbah:

73 Arifin, “Karakteristik Tafsir Al-Mishbah,” 17-18.

74 Taufikurrahman, “Pendekatan Qurais Shihab dalam Tafsir Al-Misbah,” Jurnal Al- Makrifat, Vol. 4, No. 1 (April 2019), 83.

https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://ejournal.kopertais4.or.id/

44

1) Menyebutkan jumlah ayat dalam satu surat.

2) Menyebutkan nama lain dari surat yang akan ditafsirkan apabila ada, serta menjelaskan alasan dibalik penamaannya. Terkadang diberi penjelasan mengenai ayat yang diangkat menjadi nama surat.

3) Menjelaskan golongan surat (makkiyah atau madaniyah) yakni tempat turun surat, juga dicantumkan ayat-ayat yang tidak masuk golongan surat tersebut.

4) Menyebutkan nomor surat sesuai urutan turun dan mushafnya.

Terkadang dicantumkan nama surat yang turun sesudah dan sebelumnya.

5) Menyebutkan tema pokok atau tujuan surat yang akan ditafsirkan, disertai pendapat ulama mengenai hal tersebut.

6) Menjelaskan munasabah surat antara sebelum dan sesudahnya.

7) Tahap selanjutnya ialah menghimpun ayat-ayat yang ada dalam satu surat tersebut kedalam kelompok kecil ayat yang tersusun atas beberapa ayat (dua atau lebih) yang dipandang mempunyai hubungan erat. Terkadang juga ada ayat yang tidak berkelompok.

8) Menuliskan ayat dan terjemahan harfiahnya dalam bahasa Indonesia.

9) Memaparkan munasabah ayat antara sebelum dan sesudahnya.

10) Menyebutkan asbabun al-nuzul apabila ada.

11) Menjelaskan arti dari setiap kata pokok yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan.

12) Mengutip pendapat para ulama atau mufassir sebelumnya.

13) Mengaitkan dengan realitas sosial.

14) Pada akhir surah, memberi simpulan atau kandungan pokok dari surah tersebut, serta menyertakan lafadz Wa Allah A’lam sebagai penutup uraian di masing-masing surat. Kata tersebut mengindikasikan bahwa hanya Allah lah yang Maha Mengetahui tentang maksud dan kandungan dari al-Qur‟an.75

e. Metode Tafsir

Dalam istilah mufassir, metode atau manhaj dipahami sebagai cara untuk menuju kepada tujuan yang direncanakan, dalam hal ini penafsiran. Jadi, metode tafsir merupakan cara yang dipakai mufassir untuk menelaah al-Qur‟an. Metode tafsir dibagi menjadi 4 bentuk:

pertama, metode tahlili (analitis), adalah penafsiran yang menjelaskan segala sisi yang berkaitan dengan ayat yang dibahas berdasarkan urutan surat dan ayat dalam al-Qur‟an; kedua, metode ijmali (global), ialah menafsirkan ayat secara ringkas dan global; ketiga, metode muqarran, yaitu bentuk penafsiran yang membandingkan suatu ayat dengan ayat lain atau ayat dengan hadits atau membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir yang lain; keempat, metode maudhu‟i (tematik), adalah penafsiran dengan mengelompokkan ayat-ayat al-

75 Taufikurrahman, 80-81.

46

Qur‟an berdasarkan kesamaan topik dan tema yang terkandung dalam ayat, sehingga tidak sesuai dengan tartib mushafi.76

Dari beberapa metode tafsir yang ada, Quraish Shihab memakai metode tahlili dalam kitab tafsir al-Misbah. Hal ini seperti halnya metode tafsir yang lazim digunakan pada tartib mushafi. Dalam tafsir al-Misbah, dijelaskan secara panjang lebar mengenai beberapa hal yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan, seperti asbabun nuzul, munasabah, arti mufrodat (kosa kata), dan hal lainnya yang berkenaan dengan ayat. Meskipun metode ini dianggap begitu lebar pembahasannya, namun bukan berarti dapat menyelesaikan satu tema bahasan, karena suatu tema biasanya dijelaskan atau dilanjutkan uraiannya pada ayat-ayat lain.77

f. Corak Tafsir

Corak penafsiran meruapakan suatu kecenderungan pemikiran mufassir yang mendominasi arah penafsiran. Seorang teolog mungkin saja corak tafsirnya bersifat teologis. Begitu juga dengan seorang ahli fiqih yang biasanya corak tafsirnya bernuansa fiqih. Quraish Shihab membagi corak tafsir menjadi enam, yakni corak sastra budaya, filsafat dan teologi, penafsiran ilmiah, fiqih atau hukum, tasawuf, dan budaya kemasyarakatan. Tafsir al-Misbah yaitu tafsir di era modern yang relevan dengan keadaan masyarakat, sehingga lebih mudah dipahami

76 Arifin, “Karakteristik Tafsir Al-Mishbah,” 15-16.

77 Arifin, 16.

sebab penjelasannya sesuai dengan keseharian mereka.78 Demikian adanya, memang tafsir al-Mishbah lebih mengarah kepada corak al- adabi al-ijtima‟i, merupakan corak penafsiran yang berkaitan dengan sosial kehidupan atau penafsiran yang berusaha mengaplikasikan hukum al-Qur‟an di dalam kehidupan sosial. Hal ini nampak dari keseluruhan jilid tafsir al-Misbah yang penafsirannya mencoba mengkaitkan dengan sosial kemasyarakatan.79

Dalam tafsir al-Misbah, bahasan setiap surah senantiasa diawali dengan penjelasan tema pokok atau tujuan surah. Hal tersebut merupakan poin penting dari corak al-adabi al-ijtima‟i yang memfokuskan suatu penafsiran pada uraian kandungan isi al-Qur‟an dengan menggarisbawahi tujuan al-Qur‟an sebagai kitab pedoman untuk kehidupan manusia yang mengatur segala sisi kehidupan secara kompeks. Setelah memaparkan tujuan dan tema pokok suatu surat, maka selanjutnya penjelasan terhadap uraian ayat akan berfokus pada tema pokok tersebut.80

B. Narasi Ayat Al-Qur’an Terkait dengan Etika Terhadap Anak Yatim Kata yatim tercantum berulang kali dalam al-Qur‟an dengan berbagai bentuk, yakni bentuk tunggal sejumlah 8 kali, bentuk mutsanna 1 kali, dan bentuk jamak 14 kali (2 kalinya dalam satu ayat). Jadi total ada 23 kali

78 Budiana dan Gandara, “Kekhasan Manhaj Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab,” 88.

79 Arifin, “Karakteristik Tafsir Al-Mishbah,” 19.

80 Budiana dan Gandara, “Kekhasan Manhaj Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab,” 88.

48

penyebutan kata yatim yang terhimpun dalam 22 ayat. Kata yatim terambil dari kata (

متي

) yang memiliki arti kesusahan, keterlambatan, dan kesendirian.81

Dari 22 ayat tentang anak yatim, ada yang termasuk golongan makkiyah, ada juga yang termasuk golongan madaniyah. Makkiyah adalah istilah untuk pengelompokan surat dan ayat al-Qur‟an yang turun sebelum Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, termasuk ketika dalam perjalanan menuju Madinah. Sementara Madaniyah adalah kelompok surat dan ayat dalam al-Qur‟an yang turun setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, atau ketika sampai di Madinah.82 Berikut ini adalah tabel yang berisi pengelompokan surat beserta urutannya sesuai dengan kronologi turun:83

Tabel 4.1

Kelompok Surat dan Nomor Surat Sesuai Kronologi Turun Golongan/Kelompok

Surat Surat + Ayat

Nomor Surat Sesuai Kronologi Turun

Makkiyah

Al-Fajr: 17 10

Ad-Dhuha: 6&9 11

Al-Maun: 2 17

Al-Balad: 15 35

Al-Isra‟: 34 50

Al-An‟am: 152 55

Al-Kahfi: 82 69

Madaniyah

Al-Baqarah: 83 Al-Baqarah: 177 87 Al-Baqarah: 215 Al-Baqarah: 220

Al-Anfal: 41 88

An-Nisa‟: 2 92

81Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 15, 329- 330.

82 Uun Yusufa, ‘Ulum al-Qur’an (Jember: STAIN Jember Press, 2013), 89.

83 Urutan Turunnya Wahyu Al-Qur‟an (Tabel), diakses 22 Mei 2022, http://wiki.openthinklabs.com/personal/al-qur-an/referensi/urutan-turunnya-wahyu-al-qur-an-tabel

An-Nisa‟: 3 An-Nisa‟: 6 An-Nisa‟: 8 An-Nisa‟: 10 An-Nisa‟: 36 An-Nisa‟: 127

Al-Insan: 8 98

Al-Hasyr: 7 101

C. Etika Terhadap Anak Yatim dalam Al-Qur’an Berdasarkan Penafsiran Quraish Shihab

1. Pengelolaan Harta dan Pengasuhan

a. Larangan Mendekati dan Memakan Harta Anak Yatim

Pada periode mekkah, ayat al-Qur‟an perihal anak yatim melarang untuk mendekati harta anak yatim, seperti yang tercantum pada surat al-Isra‟ ayat 34 dan al-An‟am ayat 152 yang melarang untuk mendekati harta anak yatim, kecuali melalui cara yang paling baik yaitu dengan cara mengembangkan harta tersebut dan menginvestasikannya.

Kemudian, jika anak yatim asuhannya telah dewasa, maka tibalah saatnya para wali untuk menyerahkannya.84 Berdasarkan peninjauan sejumlah ulama al-Qur‟an, ayat-ayat yang memakai redaksi kata

“jangan mendekati” sebagaimana ayat di atas, lazimnya merupakan larangan mendekati sesuatu yang dapat membuat jiwa/nafsu terangsang untuk melaksanakannya. Memang, orang yang ada di sekeliling suatu jurang, ia ditakutkan jatuh ke dalamnya. Adapun pelanggaran yang tidak mempunyai rangsangan yang kuat, maka biasanya larangan

84 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 461.

50

tersebut langsung mengarah kepada perilaku itu, bukan larangan untuk mendekatinya.85

Pada ayat-ayat periode Mekkah telah diperingatkan untuk tidak mendekati harta anak yatim. Peringatan dan ancaman tersebut boleh jadi membuat sementara orang mengundurkan diri dari mengasuh anak yatim dan kaum lemah. Lalu pada surat An-Nisa‟ ayat 10 yang termasuk ayat-ayat madinah diingatkan bahwa ancaman tersebut hanya berlaku bagi orang yang berbuat zalim.86 An-Nisa‟ ayat 10 berisi ancaman terhadap orang-orang yang memakan, yakni mempergunakan atau memanfaatkan dengan zalim harta anak yatim dan kaum lemah.

Sesungguhnya mereka itu sedang atau akan menelan api di dalam perut mereka, yaitu sepenuh perutnya dan pada hari Kemudian mereka akan terjerumus dalam api neraka yang menyala-nyala.87 Jika ayat-ayat makkiyah begitu menekankan untuk melarang mendekati harta anak yatim, maka ayat-ayat periode Madinah ini lebih fokus lagi pada larangan memakan harta anak yatim.

Namun, larangan mendekati dan memakan harta anak yatim tersebut bukan berarti para wali tidak boleh mencampuri sedikitpun makanan anak yatim. Seusai firman Allah turun mengenai larangan mendekati harta anak yatim melainkan dengan cara yang terbaik (Al- An‟am: 152), serta ancaman memakan harta mereka dengan zalim (An-

85 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 4, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 335-336.

86 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 339.

87 Shihab, 340.

Nisa‟: 10), maka orang-orang yang merawat atau mengasuh anak yatim, yaitu para wali yang patuh terhadap tuntutan Allah, berusaha untuk menjauhi harta anak yatim yang berada dalam tangan mereka. Sebab khawatir tercampurnya makanan anak yatim dengan makanan mereka, maka mereka berusaha memisahkan makanan dan minuman mereka dengan anak yatim. Jikalau makanan anak yatim terdapat sisa, mereka menyimpannya, hingga tidak jarang sampai membusuk. Menyadari kesulitan itu, maka mereka kemudian mengajukan pertanyaan tentang anak yatim. Lalu pertanyaan mereka dijawab oleh ayat 220 surat al- Baqarah ini, bahwa “mengurus urusan mereka dengan patut ialah lebih baik”. Maksudnya yakni bergaul, mendidik, mengelola serta mengembangkan harta mereka secara baik dan patut adalah sikap yang dituntut kepada anak-anak yatim. Perlakuan mereka yang memisahkan makanan dengan anak yatim adalah bukan sikap yang sewajarnya. Hal tersebut tidaklah mencerminkan hubungan kekeluargaan dan persaudaraan. Tidaklah mengapa mencampuri anak yatim dalam hal makanan dan sebagainya, karena mereka juga saudara-saudara dalam hal agama atau kemanusiaan. Allah Maha Mengetahui, juga dapat membedakan antara siapa yang mengadakan perbaikan terhadap anak yatim, yakni yang menggunakan harta mereka sewajarnya dan siapa yang berbuat kerusakan terhadap mereka.88

88 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 440.

52

Larangan mendekati dan memakan harta anak yatim tersebut juga bukan berarti wali tidak boleh mengambil upah sedikitpun, apalagi jika wali tersebut adalah seorang yang kurang mampu. Dalam hal ini terdapat penjelasan ketentuan-ketentuannya, seperti dalam surat An- Nisa‟ ayat 6, yakni janganlah para wali memakan yakni memanfaatkan harta anak yatim melebihi batas, guna kepentingan dirinya karena telah mengelola harta tersebut. Jangan juga membelanjakan harta tersebut sebelum mereka dewasa dalam kondisi yang terburu-buru, karena khawatir ketika mereka dewasa para wali tidak dapat mengelak untuk tidak menyerahkannya. Jika di antara para wali itu mampu, maka hendaklah ia menahan dirinya untuk tidak memakai harta anak yatim tersebut, dan jika pemelihara itu miskin, maka hendaklah, atau bolehlah ia menggunakan harta itu, bahkan memungut imbalan secara wajar.89

Dalam buku Shahih Asbabun Nuzul, yang mengutip Bukhari (9/309): “Ishaq telah mengkhabarkan kepadaku, Abdullah bin Namir telah mengkhabarkan kepadaku, Hisyam telah menceritakan kepada kami dari bapaknya dari Aisyah ra tentang ayat 6 surat an-Nisa‟, bahwa ayat tersebut turun perihal harta anak yatim. Apabila ia (yang mengurus anak yatim) adalah seorang yang fakir maka ia boleh makan dari hartanya dengan cara yang baik sebagai imbalan mengurusnya.90

89 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2, 350.

90 Muqbil bin Hadi al-Wadi‟i, Shahih Asbabun Nuzul, terj. Imanuddin Kamil (Jakarta:

Pustaka as-Sunnah, 2007), 151.

b. Menjaga dan Mengelola Harta Anak Yatim

Surat al-Kahfi ayat 82 yang termasuk periode Mekkah ini menguraikan perihal penjagaan harta anak yatim yang menarik kisah antara Nabi Musa dengan Khidir. Dikisahkan bahwa, hamba Allah yang saleh menegakkan dinding rumah dua anak yatim di kota itu tanpa meminta imbalan, sedang di bawahnya ada harta simpanan dari orang tua mereka. Jikalau dinding itu runtuh, maka berpeluang besar harta simpanan mereka dapat diketahui dan diambil oleh orang-orang zalim.

Adapun ayah dari kedua anak yatim ialah seorang yang saleh yang berniat menyimpan harta itu untuk anaknya. Allah menghendaki dipeliharanya harta tersebut supaya ketika keduanya dewasa, maka keduanya dapat memanfaatkan harta tersebut. Hal yang dilakukan Khidir itu ialah sebagai rahmat dari Tuhan terhadap kedua anak yatim tersebut.91

Terkait dengan pengelolaan harta, wali tidak hanya menjaga dan mendiamkan harta tersebut begitu saja, sehingga cepat habis dipakai untuk kebutuhan anak yatim. Wali boleh mengembangkan dan menginvestasikan harta anak yatim, yakni sebagai bentuk mendekati harta anak yatim dengan cara yang paling baik, seperti yang tertera dalam surat al-Isra‟ ayat 34 dan al-An‟am ayat 152. Hal ini diperjelas lagi oleh sabda Rasulullah Saw yang disampaikan dalam salah satu khutbahnya: “ketahuilah, barangsiapa memelihara anak yatim yang

91 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 8,

(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 109.

54

memiliki harta, maka hendaklah ia memperdagangkan harta tersebut, jangan dibiarkan dan didiamkan begitu saja sehingga harta (anak yatim) itu akan habis karena sedekah atau zakat.”92

Dalam merawat harta anak yatim, terdapat ketentuan-ketentuan bagi para wali. Ayat-ayat periode Madinah yang selanjutnya menjelaskan hal tersebut, seperti dalam surat An-Nisa‟ ayat 2 yakni janganlah dengan sengaja menukar harta anak yatim dengan mengambil harta yang buruk untuknya dan mengambil harta yang baik bagi diri para wali. Pada zaman jahiliyah, memang harta anak yatim yang memiliki kualitas baik banyak diambil oleh para wali, lalu ditukar dengan harta milik wali yang sama tapi kualitasnya buruk, sembari berucap, “kedua barang itu sama jenis atau kadarnya”. Jangan mempergunakan atau memanfaatkan secara tidak wajar harta anak yatim sebab berkeinginan menggabung hartanya dengan harta diri para wali. Sungguh hal tersebut ialah dosa dan kebinasaan yang besar.93

Merawat harta anak yatim tidaklah terus menerus dilakukan.

Terdapat batasan perihal kapan seharusnya harta anak yatim diserahkan kembali. Surat An-Nisa‟ ayat 2 menjelaskan bahwa jika anak yatim tersebut telah dewasa maka wali memberikan harta milik anak yatim kepadanya. Namun, harta tersebut tidak begitu saja diserahkan kepada anak yatim. Wali hendaknya menguji anak yatim terlebih dahulu sebelum menyerahkan hartanya, hal ini diperjelas oleh ayat 6 surat an-

92 Al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, 73-74.

93 Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2, 320- 321.

Dokumen terkait