BAB I PENDAHULUAN
F. Kerangka Teori
2. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak
a. Kekerasan Terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak dikenal istilah child abuse adalah kata yang biasa diterjemahkan menjadi kekerasan penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam hal ini Richard J. Gelles mengartikan child abuse sebagai kekerasan terhadap anak adalah perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai pada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak.23
Dalam pengertian yang sempit, kekerasan mengandung makna sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan penghancuran perasaan yang sangat keras, kejam dan ganas atas diri atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang. Kekerasan dalam berbagai bentuk dapat menjadi motif sebagian pelaku budaya masyarakat Indonesia yang hingga kini merupakan mainstream yang mereduksi tata nilai kepribadian bangsa dan memberikan kesan betapa iklim solidaritasan manusia belum sepenuhnya mampu memiliki kepribadian mawas diri secara politis, ekonomis dan sosial.24
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang sangat
1) 22Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
23 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 36
24M. Magfur, Anatomi Kekerasan Manusia antara Entitas dan Kematian dalam Pemikiran Pekikiran Revolusioner, Malang: Qaverroes Press, 2003, hlm. 223.
sulit terungkap ke permukaan. Sulitnya mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena rumah tangga dianggap sebuah lembaga sakral yang tidak boleh dimasuki oleh pihak lain. Membisu demi harmoni, merupakan jargon ampuh untuk menutup rapat-rapat kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam keseharian, banyak suami yang melakukan kekerasan terhadap istrinya maupun kepada anak-anaknya. Anak dan istri dijadikan pelampiasan kemarahan para suami. Dalam keluarga pun anak-anak itu mendapat perlakuan yang tidak nyaman dari orang tua mereka. Mulai dari dikatakan bodoh, sampai dengan menggunakan tangan.
b. Karakteristik dan Bentuk Kekerasan Terhadap Anak 1) Karkteristik Kekerasan
Karakteristik kekerasan terhadap anak dalam keluarga diklarifikasikan menjadi jenis kekerasan itu sendiri, adanya tingkat kekerasan dari yang ringan hingga yang berat, dan dilakukan berulang-ulang kemudian membawa dampak bagi anak juga keluarga seperti yang dikemukakan Soetarso.
Soetarso menjelaskan bahwa dari berbagai kepustakaan, dapat ditentukan beberapa karakteristik kekerasan dalam keluarga sebagai berikut:25
a) Semua bentuk kekerasan dalam keluarga menyangkut penyalahgunaan kekuatan dimana kekuatan oleh yang paling kuat terhadap yang lemah
b) Adanya tingkat kekerasan
c) Kekerasan dilakukan berkali-kali dan membawa dampak negative terhadap semua anggota keluarga, baik yang terlibat dalam kekerasan maupun tidak.
Masalah ini merupakan unsur yang dapat merusak keluarga
d) Kekerasan dalam keluarga pada umumnya berlangsung dalam konteks penyalahgunaan dan eksploitasi psikologis. Penghinaan verbal yang berupa ejekan atau
25Ibid, hlm. 68
sumpah serapah sering kali mengawali terjadinya kekerasan fisik. Hal ini menjadikan korban tidak berharga, tidak dihargai, tidak dicintai. Perlakuan yang tidak layak secara psikologi dapat mengganggu kemampuan korban untuk menghayati kenyataan, merendahkan citra dirinya sendiri dan menyebabkan menyalahkan dirinya sendiri.
e) Kekerasan dalam keluarga mempunyai dampak negative terhadap semua anggota keluarga khususnya bagi anak
c. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
Terry E. Lawson, psikiater anak yang dikutip oleh Rahmat dalam Baihaqi (1999: XXV) mengklasifikasikan kekerasan terhadap anak menjadi empat bentuk, yaitu:
emotional abuse. Verbal abuse, physical abuse, dan sexual abuse
Sementara Suharto mengelompokkan child abuse menjadi physical abuse (kekerasan secara fisik), psychological abuse (kekerasan secara psikologis), sexual abuse (kekerasan secara seksual), dan sosial abuse (kekerasan secara sosial).
Keempat bentuk child abuse ini dijelaskan sebagai berikut:26 a) Kekerasan anak secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan,
dan penganiayaan terhadap anak dengan menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan
b) Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar atau kotor, memperlihatkan buku gambar dan film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladafti, seperti menarik diri, pemalu, menangis
26Ibid, hlm. 47
jika didekati, takut keluar rumah dan takut bertemu dengan orang lain
c) Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontrak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual), maupun perlakuan kontrak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual)
d) Kekerasan secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak.
Eksploitasi anak mnenunjukkan pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psiskisnya dan status sosialnya.
Misalnya anak dipaksa untuk bekerja demi kepentingan ekonomi yang harus terpenuhi
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu:27
a) Kekerasan fisik (physical abuse)
Merupakan perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Dalam konteks relasi personal, bentuk-bentuk kekerasan fisik antara lain tamparan, pemukulan, penjambakan, penginjak-injakan, penendangan, pencekikan, lemparan benda keras,
27Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT)
penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti pisau, gunting, setrika serta pembakaran
b) Kekerasan Psikis (psychological abuse)
Merupakan perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Bentuk kekerasan secara psikologis yang dialami berupa makian, penghinaan berkelanjutan untuk mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang diberikan untuk memunculkan rasa takut c) Kekerasan seksual (sexual abuse)
Merupakan pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam rumah tangga atau pemaksaan hubungan seksual pada salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan tujuan tertentu
d) Penelantaran Rumah Tangga
Kekerasan ini berupa tindakan seseorang yang tidak melakukan kewajiban hukumnya pada orang dalam lingkup rumah tangga berupa mengabaikan dalam memberikan kewajiban kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang tersebut
Menurut Pusat Kajian dan Perlindungan Anak28 bahwa bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan, mulai dari pengabaian sampai pada pemerkosaan dan pembunuhan, yang dapat diklasifikasikan dalam 4 (empat) macam, yaitu:
a) Emotional Abuse (Kekerasan emosional)
Dapat terjadi apabila ada orang tua yang mengetahui keinginan anaknya untuk meminta perhatian namun sang orang tua tidak memberi apa yang menjadi keinginan anaknya tetapi justru mengabaikannya. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional berjalan konsisten
28Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Kekerasan Terhadap Anak, 1995, hlm.
29-32
b) Verbal Abuse (Kekerasan dengan perkataan)
Lahir akibat bentakan, makian orang tua terhadap anak, ketika anak meminta sesuatu orang tua tidak memberikan malah membentaknya. Saat si anak mengajak berbicara orang tua tidak menanggapi justru menghardik dengan bentakan, anak akan mengingat semua kekerasan verbal ini jika semua kekerasan verbal ini terjadi dalam satu periode tertentu yaitu beberapa bulan, tahun
c) Physical Abuse (kekerasan fisik)
Kekerasan ini terjadi pada saat anak menerima pukulan dari orang tua. Kekerasan jenis ini akan diingat anak apalagi akibat kekerasan ini meninggalkan bekas pada tubuh si anak, karena luka yang berbekas akan terus mengingatkan si anak akan peristiwa yang menyebabkan luka tersebut.
d) Sexsual Abuse (kekerasan seksual)
Kekerasan jenis ini terjadi jika ada aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap seorang anak.
d. Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Terhadap Anak Menurut Suharto bahwa kekerasan terhadap anak pada umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti:
1) Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autis, anak terlalu lugu, memiliki temperamen lemah, ketidaktahuan anak akan hak-haknya, anak tergantung pada orang dewasa.
2) Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup sementara banyak anak
3) Keluarga pecah (broken home) misal perceraian, ketidakadaan ayah dan ibu untuk jangka panjang
4) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua tidak realistis, anak yang tidak inginkan (unwanted child), anak yang lahir diluar nikah
5) Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi 6) Sejarah penelantaran anak
7) Kondisi lingkungan sosial yang buruk, pemukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya mekanisme kontrol sosial yang stabil.29
Richard J. Gelles mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
1) Pewaris kekerasan antar generasi
Banyak anak yang belajar perilaku kekerasan dari orang tuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindak kekerasan terhadap anaknya juga.
Dengan demikian perilaku kekerasan diwarisi dari generasi ke generasi
2) Stres Sosial
Ditumbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatnya resiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup:
pengangguran, penyakit, kondisi perumahan buruk, ukuran keluarga besar dari rata-rata, kelahiran bayi baru, orang cacat dirumah, dan kematian seorang anggota keluarga 3) Isolasi dan keterlibatan masyarakat bawah
Orang tua dan pengganti orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial.
Kurangnya kontrak dengan masyarakat menjadikan orangtua kurang memungkinkan mengubah perilaku mereka sesuai dengan nilai-nilai dan standar masyarakat.
29Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, (Bandung: Nuansa, 2006), hlm. 50
4) Struktur keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki resiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian terhadap anak.
Menurut Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, kekerasan terhadap anak dapat disebabkan karena beberapa hal berikut ini antara lain:
1) Psychodinamic model, terjadinya kekerasan disebabkan karena kurangnya “mothering/jejak ibu”. Seseorang yang tidak pernah dirawat atau diasuh oleh seorang ibu secara baik, maka dia tidak bisa menjadi ibu dan merawat anaknya sendiri
2) Personality of character trait model, hampir sama dengan psychodynamic, namun dalam hal ini tidak terlalu diperhatikan apa yang dialami oleh orang tua sebagai pelaku kekerasan, tetapi menganggap bahwa ini akibat orang tua si anak yang belum cukup dewasa, terlalu agresif, frustasi/berkarakter buruk.
3) Social learning model, kurangnya kemampuan sosial yang ditunjukkan dengan perasaan tidak puas karena menjadi orang tua, merasa sangat terganggu karena kehadiran anak, menuntut anak untuk selalu bersikap seperti orang dewasa 4) Family structure model, yang menunjuk pada dinamika
antar keluarga yang memiliki hubungan kausal dengan kekerasan.
5) Environment stress model, yang melihat anak dan perempuan sebagai sebuah masalah multidimensional dan menempatkan “kehidupan yang menekan” sebagai penyebab utamanya. Jika ada perubahan faktor-faktor yang membentuk kehidupan manusia, seperti kesejahteraan, pendidikan yang rendah, tidak adanya pekerjaan, maka akan menimbulkan kekerasan pada anak.
6) Social-Psycological model, dalam hal ini “frustasi” dan
“stress” menjadi faktor utama dalam menyebakan terjadinya kekerasan pada anak. Stress bisa terjadi karena berbagai sebab, seperti: konflik rumah tangga, isolasi secara sosial dan lain-lain.
7) Mental illness model, kekerasan pada anak terjadi karena kelainan saraf, penyakit kejiwaan.30
3. Perlindungan Hukum Anak Korban Kekerasan a. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Perlindungan terhadap anak sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 sebagaimana perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala praktik untuk memastikan dan melindungi anak dan hak-haknya agar ia dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapatkan perlindungan dari penderitaan, kekerasan dan diskriminasi.31
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi dirinya sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya. Anak perlu mendapat perlindungan agar tidak mengalami kerugian, baik mental, fisik, maupun sosial.32
Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak pelaku kekeasan dalam rumah tangga, Negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi
30Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, Kekerasan Terhadap Anak, 1995, hlm.
35
31Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 (ayat 2)
32 Maidin Gulton, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan, (Bandung: Rafika Aditama, 2012), hlm. 68-69
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.33
Secara hukum, cukup banyak peraturan yang mengatur, memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, diantaranya adalah:
1) Undang-Undang Dasar 1945, Perlindumgan hukum terhadap anak secara khusus diatur dalam Pasal 28 B ayat (2) dan amandemen yang kedua yang menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi.34
2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.35 Undang-Undang ini diterapkan oleh pemerintah sebelum adanya ratifikasi terhadap Konvensi Hak Anak Internasional, sehingga sebelum adanya ratifikasi konvensi tersebut Negara Indonesia telah melakukan upaya perlindungan terhadap anak
3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,36 Perlindungan Hak-Hak Anak dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 6637
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini secara khusus mengatur terkait dengan perlindungan terhadap hak anak
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
33Kansil C.S.T & Cristine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), Cet. Ke-2 hlm. 533
34Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B Ayat (2)
35Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
36Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
37Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-Hak Anak di atur dalam pasal 52 sampai dengan pasal 66
Perlindungan hukum terhadap hak anak khususnya tindakan kekerasan telah diatur yaitu dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.38
Beberapa pasal yang khusus menyebutkan terkait perlindungan anak dari kekerasan diantaranya adalah:
1) Pasal 4, disebutkan bahwa:
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
2) Pasal 54, disebutkan bahwa:
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain
3) Pasal 59 disebutkan bahwa:
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.
(2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
i. Anak dalam situasi darurat
ii. Anak yang berhadapan dengan hukum iii. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi iv. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual
38Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
v. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat aditif lainnya
vi. Anak yang menjadi korban pornografi vii. Anak dengan HIV/AIDS\
viii. Anak korban penculikan. penjualan, dan/atau perdagangan
ix. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis x. Anak korban jaringan terorisme
xi. Anak penyandang Disabilitas
xii. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran xiii. Anak dengan perilaku sosial menyimpang, dan xiv. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dan
pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya 4) Pasal 76C, disebutkan bahwa:
Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap Anak
5) Pasal 76D, disebutkan bahwa:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
6) Pasal 76E, disebutkan bahwa:
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
Dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga juga membagi perlindungan menjadi perlindungan yang sementara, dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi atau lembaga yang sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing:
1) Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling lama tujuh hari , dan dalam waktu 1x24 sejak memberikan perlindungan, kepolisian wajib
Dalam Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlaku tindak kekerasan terhadap anak diancam dengan pidana yaitu:
1) Pasal 80, disebutkan bahwa:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)
(2) Dalam hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(3) Dalam hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimasksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya
2) Pasal 81, disebutkan bahwa:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan
sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) 3) Pasal 82, disebutkan bahwa:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam psal 76E, dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, maka pidanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa kekerasan kerap kali terjadi yang menjadi korbannya adalah anak. Diantaranya adalah kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi. Dalam hal ini hukum khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 memberikan perlindungan secara khusus terhadap anak korban kekerasan dalam rumah tangga yakni diatur dalam Pasal 15, 16, 17, 18, 19, Pasal 25, 26, 27, Pasal 44 ayat (1), (2), dan ayat (3), Pasal 45, dan 46.39
Perlindungan Anak sebagai korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga hanyalah berupa pemberatan sanksi.
Hal ini dapat dilihat dalam pasal 356 ayat (1) KUHP, yang menentukan bahwa hukuman yang ditentukan dalam pasal 351,
39Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
353, 354, dan 355 dapat ditambahlah dengan sepertiganya. Jika si tersalah melakukan kehajatan itu kepada Ibunya, Bapaknya yang sah, Istrinya (Suaminya) atau Anaknya.
Dalam melakukan perlindungan terhadap anak Undang- Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 mendasarkan pada berbagai asas yaitu asas nondiskriminasi, asas kepentingan yang terbaik bagi anak, asas hal untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan, asas penghargaan terhadap anak.40
a) Asas Nondiskriminasi
Adalah asas yang tidak membedakan, membatasi atau tidak mengucilkan anak baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan agama, suku, ras, status sosial, status ekonomi, budaya, ataupun jenis kelamin yang dapat mempengaruhi pemenuhan dan perlindunan hak-hak anak.
b) Asas Kepentingan yang terbaik bagi anak
Adalah asas yang menegakkan bahwa dalam setiap tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, ataupun legislative dan yudikatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama.
c) Asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
Adalah asas yang menekankan bahwa setiap anak mempunyai hak untuk hidup dengan aman, tentram, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin, serta berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak, dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial, anak harus dipenuhi oleh pihak- pihak yang disebutkan oleh UUPA memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk itu, yaitu orang tua, masyarakat dan pemerintah.
40Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, hlm. 24-25