• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran DP3AP2KB Provinsi NTB Dalam Menangani Kasus

BAB II PAPARAN DAN TEMUAN DATA

B. Peran DP3AP2KB Provinsi NTB Dalam Menangani Kasus

Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB merupakan lembaga pemerintah menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Urusan Pemerintahan Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi dan Tugas Pembantuan yang ditugaskan kepada Daerah Provinsi

Peran Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB dalam merespon kekerasan yang terjadi pada anak melalui bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebagai bidang yang melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak dan promosi, dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) PPA yang melakukan penanganan dan pelayanan terhadap korban kekerasan dengan tujuan

memastikan anak yang berusia sebelum dan usia 18 tahun mendapatkan perlindungan.

1. Bidang Perlindungan Khusus Anak

Bidang Perlindungan Khusus Anak merupakan salah satu bidang yang ada di struktur organisasi Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana. Bidang Perlindungan Khusus Anak mempunyai tugas melakukan pencegahan dan promosi terkait dengan kekerasan terhadap anak.

Bidang Perlindungan Khusus Anak melaksanakan fungsi pencegahan dan promosi kekerasan terhadap anak. Dalam rangka melindungi hak anak di dinas sendiri ada 2 program yaitu bidang Pemenuhan Hak Anak (PHA) dan Perlindungan Khusus Anak (PKA). Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) melaksanakan fungsi membina, mendorong dan memfasilitasi kabupen/kota agar mendapatkan predikat Kabupaten/Kota Layak Anak (KLK). KLK sebagai ukuran suatu daerah menerapkan perlindungan anak.

Bentuk kegiatan yang dilakukan yaitu dengan indikator KLK (Kabupaten/Kota Layak Anak), bagaimana kabupaten dan kota itu mendapatkan predikat layak anak. Karena layak anak ini sebagai ukuran/indikator bahwa di kabupaten/kota perlindungan anak sudah dilaksanakan dengan baik.

Pelaksanaan tugas tersebut bidang Perlindungan Khusus Anak juga membangun kemitraan dengan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) lintas sektor seperti Dinas Perhubungan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dukcapil, pada intinya OPD yang berkaitan dengan perlindungan anak.

Sementara dalam penjangkauan atau pelayanan selain UPTD juga membangun kemitraan dengan Lembaga Pemerhati Perlindungan Anak (LPPA)

Jika melihat pada wawancara tersebut kekerasan terhadap masih terus saja terjadi, Berdasarkan data dari Simfoni PPA bahwa DP3AP2KB Provinsi NTB mencatat data kasus kekerasan terhadap anak mulai dari tahun 2019 sampai 2020 sebanyak 769 kasus baik itu berupa kekerasan fisik, seperti dipukul, disiram dengan air panas, dan disiram dengan minyak panas. Kekerasan

psikis (mental) seperti dalam hal diperas dan putus cinta.

Kekerasan seksual, kekerasan eksploitasi seperti mengambil keuntungan dari anak misalnya anak disuruh bekerja, uang hasil kerjanya diambil dan yang paling parah adalah pemerkosaan.

Kekerasan trafficking seperti dijual dalam hal kepentingan komersial, dijadikan sebagai TKI, melayani laki-laki/pedagangan anak. Penelantaran seperti tidak diasuh, tidak dipenuhi haknya, tidak disekolahkan, dll.59 Dari beberapa kekerasan tersebut mempunyai dampak yang signifikan yaitu berupa rasa sakit, baik itu berupa cacat tubuh, mental terganggu, sakit jiwa, trauma, dan lain-lain.

Mengenai kekerasan yang dialami oleh anak, tidak terlepas dari beberapa faktor yang melatar belakanginya diantaranya seperti faktor ekonomi, minimnya pengetahuan orang tua, paparan media sosial sehingga dari beberapa faktor tesebut menimbulkan efek yang sangat signifikan dalam diri anak seperti trauma dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan apa yang dituturkan oleh pak dudu eko sebagai berikut:

“Secara umum faktor yang menyebabkan kekerasan terhadap anak adalah faktor ekonomi, pengetahuan orang tua karena rendahnya pendidikan orang tua sehingga berakibat pada timbulnya kekerasan terhadap anak, paparan dari media, televisi sehingga mencontoh apa yang dilihat, oleh karena demikian harus dibekali dengan pendidikan melek digital/bijak menggunakan media supaya media yang ada tidak disalah gunakan, dan faktor trauma yang berdampak pada perkembangan psikologi anak”

Berdasarkan wawancara tersebut dalam mersspon kekerasan yang terjadi pada anak, maka langkah khusus bidang perlindungan khusus anak dalam menangani masalah tersebut adalah dengan memanfaatkan berbagai elemen seperti sekolah, masyarakat dan

59Dudut Eko Juliawan, Wawancara dari Seksi Kelembagaan dan Partisipasi Anak, (16 Februari 2022).

media sosial, sebagai sarana dalam memberikan edukasi terkait dengan kekerasan terhadap anak ini.

Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh bapak Dudut Eko sebagai berikut:

Dalam melaksanakan pencegahan kekerasan terhadap anak, ada beberapa macam bentuk pencegahan yang dilakukan diantaranya melalui:

a. Sekolah

Peran bidang Bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) dalam hal ini yaitu memberikan edukasi kepada siswa terkait dengan kekerasan terhadap anak, dengan turun langsung ke tiap-tiap sekolah dan memanfaatkan peran guru dalam hal memberikan penguatan kepada siswa terkait dengan kekerasan anak.

b. Masyarakat

Melalui pemberdayaan masyarakat bidang PKA melalui program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) dibentuk, dilatih dan dikuatkan supaya terbentuk di desa dan kabupaten dalam hal menunjang pemberdayaan anak

Dalam melakukan pemberdayaan bidang PKA (Perlindungan Khusus Anak) turun langsung ke lapangan dalam hal memfasilitasi program kegiatan ini, yaitu dengan melatih petugas-petugasnya dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukan, yang bermuara pada kabupaten/kota layak anak.

c. Media Massa

Peran bidang PKA melalui media yaitu dengan memberikan pendidikan digital (melek digital) kepada orang tua dan anak agar bijak dalam menggunakan media supaya tidak disalahgunakan media-media yang mereka akses. Bentuk pencegahan yang dilakukan yaitu baik melalui media cetak maupun media elektronik, seperti penyuluhan massal, sosialisasi dan webinar, pembinaan sekolah seperti sekolah ramah anak dengan mengumpulkan sekolah-sekolah dan

membuat konten-konten kreatif agar bisa memberikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan kekerasan terhadap anak.

Peran media massa dalam hal ini sebagai sarana dalam menyampaikan edukasi kepada masyarakat terkait dengan kekerasan. Masyarakat diberikan edukasi seputar kekerasan terhadap anak baik itu berupa media etak maupun media eletronik dengan dibekali dengan pendidikan melek digital sehingga masyarakat bisa paham dan bijak dalam menggunakan media yang ada dan masyarakat bisa memfilter mana kemudian konten-konten sekiranya mengedukasi masyarakat terutama yang berkaitan dengan kekerasan.

Terkait dengan kekerasan yang terjadi, yang kian hari semakin bertambah maka ada beberapa bentuk kegiatan yang dilakukan dalam melakukan pencegahan tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh bapak Dudut Eko sebagai berikut:

Dalam melakukan pencegahan kekerasan terhadap anak ada beberapa bentuk kegiatan yang dilakukan oleh bidang Perlindungan Khusus Anak dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak antara lain:

1) Pelatihan dilaksanakan satu atau dua kali selama satu tahun 2) Liputan berita/pemberitan

3) Layanan PPA

4) Pemberdayaan masyarakat 5) Monitoring

6) Evaluasi 7) Fasilitasi

Dari beberapa program kegiatan tersebut kegiatan yang sering digunakan yaitu pemberitaan, sosialisasi dan koordinasi dengan instansi terkait. Selama pandemi covid 19 upaya pencegahan yang dilakukan oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB melalui bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) melalui program pencegahan kekerasan terhadap anak dengan memanfaatkan media massa, media elektronik, melalui konten-konten kreatif yang harapannya

bisa memberikan edukasi kepada masyarakat sehingga kekerasan yang terjadi bisa diminimalisir.

Pengeksekusian kegiatan tidak selamanya berjalan dengan lancar dan mulus begitu saja, tetap saja ada hambatan dan tantangan yang dihadapi. Seperti halnya yang dirasakan oleh bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) dalam mengeksekusi kegiatan yang terkait dengan pencegahan kekerasan terhadap anak.

Hal itu itu sejalan dengan yang disampaikan oleh ibu Hj.

Rohiyatul Aini sebagai berikut:

Hambatan yang dirasa dalam melakukan pencegahan adalah sebagai berikut:

a. Pengetahuan

Kepala seksi bidang Perlindungan Anak dalam hal pengetahuan ini memberikan contoh perkawinan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan. Kurangnya pemahamann masyarakat tentang batas usia menikah itu 19 tahun, sehingga banyak yang menikahkan anaknya dibawah usia 19 tahun, baik dari kesehatan, ekonomi dan psikologi b. Sarana dan prasarana

Untuk menuju KLK (Kabupaten/Kota Layak Anak) harus punya ruang bermain untuk anak misalnya taman, namun masih banyak diantara kabupaten/kota yang belum punya, sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, rumah sakit, pesantren pokoknya yang berkaitan dengan anak itu harus ada dan disiapkan.

c. Dana

Dana diperlukan untuk mendukung sarana dan prasarana, adanya pengurangan anggaran disebabkan karena covid 19. Untuk meminimalisir kekurangan anggaran tersebut bidang Perlindungan Khusus Anak (PKA) juga berkolaborasi dengan instansi yang sama tujuannya yaitu meminimalisir kekerasan terhadap anak seperti Lembaga Swada Masyarakat (LSM), MBO, LPA, untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak, terutama Lembaga Perlindungan Anak (LPA), sehingga

bidang Perlindungan Khusus Anak tidak terpacu pada anggaran yang ada di dinas.60

Untuk mendukung pengeksekusiam kegiatan tersebut ada strategi yang cukup matang untuk mendorong keberhasilan dari kegiatan tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Ibu Rohiyatul Aini sebagai berikut:

“kalau ingin kegiatan tersebut berjalan dengan baik, diperlukan strategi yang cukup matang dek yaitu dengan mendorong kabupaten dan kota untuk mempercepat pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak dengan tujuan akhir yaitu kekerasan terhadap anak dan perkawinan anak bisa diminimalisir dengan demikian tercapai kabupaten/kota layak anak, ketika kabupaten/kota sudah layak anak maka provinsi juga demikian”

Untuk memperkuat strategi yang digaungkan, maka harus dilakukan sesuai dengan sistem yang sudah ditetapkan misalnya dengan memperkuat regulasi atau aturan seperti perda, atau aturan lainnya, sebagaimana yang sampaikan oleh bapak Dudud Eko sebagai berikut:

“Sistem yang digunakan dalam rangka mengeksekusi kegiatan tersebut yaitu dengan penguatan regulasi seperti perda tentang pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, pergub tentang system perlindungan anak, pencegahan paham radikalisme dan terorisme”

60Hj. Rohatul Aini, Wawancara dari Seksi Perlindungan Khusus Anak, (16 Februari 2022)

2. Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA)

Unit Pelaksana Teknis Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi NTB merupakan pelaksana tugas dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana. UPTD PPA dibentuk dalam rangka memberikan layanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan dan sebagai rujukan akhir korban kekerasan ketika tidak bisa ditangani dan proses di kabupaten, selain dari itu juga menyelamatkan korban kekerasan terutama perempuan dan anak, anak yang mengalami tekanan dipulihkan mentalnya dengan didampingi tenaga psikolog, dan pihak kabupaten akan memilihkan keluarga, lingkungan, dan sekolah, dengan tujuan untuk meningkatkan dan mengembalikan kepercayaan diri anak untuk kembali sekolah atau kembali hidup normal sebagaimana layaknya, menyadarkan pihak orang tua bahwa anak mempunyak hak yang harus dipenuhi, anak butuh dukungan, dorongan dan kasih sayang dari orang tuanya terutama hak mendapatkan pendidikan.

Menurut kepala UPTD PPA ada beberapa jenis kekerasan yang ditangani yaitu kekerasan, fisik, psiskis, seksual dan penelantaran namun kekerasan yang paling mendominasi berdasarkan aduan dari masyarakat adalah kekerasan fisik dan psikis, terutama anak yang berada dibawah umur 18 tahun, dengan beberapa model kekerasan yang didapat seperti dipukul baik oleh orang tua, maupun dari kakaknya sehingga membuat anak kabur dari rumah. Kondisi demikian terjadi karena faktor ekonomi, pandemi covid 19 yang mengharuskan segala aktivitas dilakukan di rumah masing-masing, dan penggunaan media sosial. 61

Secara umum, UPTD PPA Provinsi NTB mencatat bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berhasil ditangani dari tahun 2020 sampai dengan 2021 sebanyak 165 kasus. Pelaku kekerasna tersebut adalah orang dalam lingkup

61Henny Sumardiwati, Wawancara, Kepala UPTD PPA Provinsi NTB, 16 Februari 2021.

terdekat korban seperti ayah, ibu, kakak korban. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1

Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang Melapor dan ditangani per-Kelompok Umur di UPTD

PPA Provinsi NTB

Bulan Januari – Desember 2021 No Jenis Kasus

Kelompok Umur

Total

<18 Th >18 Th

1. Pelecehan Seksual 8 0 8

2. KDRT 0 15 15

3. TPPO 0 7 7

4. Penelantaran 6 1 7

5. Hak Asuh Anak 5 1 6

6. Perkawinan Anak 24 0 24

7. Kekerasan Psikis 4 3 7

8. Eksploitasi Anak 0 0 0

9. Kekerasan Fisik 1 0 1

10 Lain-lain 3 2 5

Jumlah 51 29 80

Tabel 2

Jumlah Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak yang melapor dan ditangani

di UPTD PPA Provinsi NTB Tahun 2020 – 2021 No

Jenis Kasus

Tahun

2020 2021

1. Pelecehan Seksual 6 8

2. KDRT 10 14

3. TPPO 13 7

4. Penelantaran 10 7

5. Hak Asuh Anak 4 6

6. Perkawinan Anak 5 24

7. Kekerasan Psikis 19 7

8. Eksploitasi Anak 1 0

9. Kekerasan Fisik 7 1

10. Lain-lain 8 6

Jumlah 83 80

Berdasarkan data di atas dapat kita simpulkan bahwa kekerasan yang terjadi pada anak hampir merata di Provinsi NTB, dengan berbagai macam model kekerasan yang alami oleh anak.

Sebagai pelaksana teknis dinas UPTD PPA Provinsi NTB sebagai rujukan akhir yang melaksanakan tugas mengangani anak dan perempuan korban kekerasan melakukan penanganan dengan melakukan pemulihan terhadap korban.

Untuk kepentingan pemulihan, korban akan memperoleh pelayanan dari:

a. Tenaga Kesehatan

Setiap anak yang mengalami kekerasan pasti menimbulkan efek yaitu berupa luka akibat kekeraan yang diterima terutama anak yang mengalami kekerasan fisik, misalnya memar, lecet, akibat ditendang, dipukul, disetrika dan sebagainya. Oleh karena demikian anak yang mengalami hal tersebut diberikan pelayanan berupa tenaga kesehatan untuk mengobati luka anak tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala UPTD PPA berikut ini:

“Tenaga kesehatan diperlukan untuk menangani korban yang menerima luka berat yang mesti ditangani oleh tenaga medis semisal kekerasan fisik, baik itu dipukul, ditendang, dan sebagainya.

Bentuk nyata dari peran UPTD PPA untuk menangani masalah kekerasan anak yaitu dengan difasilitasi tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan diperlukan untuk mengobati mereka yang mengalami kekerasan. Anak yang mengalami kekerasan pasti akan mendapatkan luka baik itu ringan maupun berat akibat kekerasan yang diterima.

b. Rumah Aman

Rumah aman adalah tempat khusus untuk mereka yang mengalami kekerasan. Tempat tersebut merupakan termpat

tertutup yang tidak boleh diketahui oleh siapapun termasuk orang tua korban. Rumah tersebut menjadi sarana bagi korban untuk dirawat dan didampingi dengan dipulihkan mentalnya untuk menjaga keamanan dan ketenangan korban.

Sebagaimana yang disampaikan oleh kepala UPTD PPA berikut ini:

Proses pendampingan dilakukan di tempat tertutup tempat khusus bagi korban kekerasan yaitu rumah aman yang hanya diketahui oleh pihak terkait untuk keamanan dan ketenangan korban.

c. Pendampingan dan terapi Tenaga Psikologi Klinis

Anak yang menjadi korban kekerasan pasti akan mengalami trauma berat akibat kekerasan yang diterimanya, hal ini terjadi karenattindakan tersebut akan berdampak secara fisik maupun psikis. Keadaan tersebut membuat anak tidak berdaya dan pada akhirnya anak merasa minder dan tidak mudah bergaul. Oleh karena demikian anak membutuhkan tenga psikologi dalam hal memulihkan kembali mental anak, sebagaimana pernyataan kepala UPTD PPA berikut ini:

“Tenaga psikologis klinis yaitu untuk memulihkan keadaan psikologis anak, tenaga psikolog klinis inilah kemudian yang akan menganalisis dan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan anak tersebut”.

Mengenai proses pendampingan korban sudah dipetakan berapa jangka waktu yang diperlukan misalnya 15 hari atau paling lama satu bulan dan tidak menutup kemungkinan akan lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan tergantung dengan kondisi psikologis korban.

Hal tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh kepala UPTD PPA sebagai berikut:

“Proses pendampingan dilakukan selama 15 hari sesuai dengan aturan tergantung kondisi psikologis anak, tidak menutup kemungkinan lebih dari waktu yang ditentukan bahkan sampai ada yang sampai satu bulan, dan bisa juga lebih cepat dari itu semisal anaknya kooperatif dari awal semangatnya tinggi, bisa saja cepat proses pendampingan.

Selama proses pendampingan anak dibangkitkan mentalnya dibekali dengan ilmu pengetahuan terutama untuk dirinya dalam artian berani berkata tidak, disana ada diajarkan apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.”

Dari hasil awancara diatas dapat kita lihat bahwa salah satu peran UPTD PPA dalam menganani kasus anak korban kekerasan ialah dengan adanya pendampingan tenaga psikologi klinis untuk membantu memulihkan kembali mental anak, mengembalikan kepercayaan diri anak sehingga anak dapat bergaul dengan lingkungan sekitarnya.

d. Pembimbing Rohani

Anak yang mengalami kekerasan pasti merasa bahwa mereka tidak dibutuhkan dalam kehidupannya oleh karena demikian anak akan diberikan ilmu bagaimana mengembalikan rasa kepercayaan dirinya untuk dapat kembali melihat dunia dan beberapa hal yang diterima oleh anak sebagaimana yang diungkapkan oleh kepala UPTD PPA dibawah ini:

“Untuk penguatan kagamaan korban seperti diajari ngaji, diberikan siraman rohani agar keimanan korban tidak terkikis meskipun dihadapkan dengan kekerasan keimanan itu akan tetap ada dalam diri korban sehingga ketika anak tersebut keluar dan selesai dari pendampingan anak itu akan bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya melepas beban yang selama ini dirasa oleh si korban.”

Selama melakukan proses pendampingan pasti ditemui tantangan dan hambatan, itu terjadi pada anak yang susah diatur, bandel, susah diatur namun hal demikian tidak

menjadikan para pembimbing untuk mundur dan lepas tangan melainkan para petugas melakukan cara khusus seperti menempatkan dirinya sesuai dengan apa yang menjadi keinginan si anak sehingga dengan begitu mereka akan mudah dalam membangun hubungan emosioal dengan korban dan korban bisa didampingi dengan baik, hal tersebut selaras dengan yang disampaikan oleh kepala UPTD PPA dibawah ini:

“Selama proses pendampingan pasti ada kendala dan hambatan yang dilalui apalagi jika dihadapkan dengan anak yang bandel, susah diatur, jadi memang ada pendekatan khusus yang dilakukan seperti memposisikan diri sesuai dengan keinginan anak, misalnya menjadi ibu, teman curhat bagi anak intinya sesuai kebutuhan si anak agar anak bisa di rubah, bisa lebih berani, nyaman dan kembali ke sekolahnya.”

Lebih jauh kepala UPTD PPA mengatakan bahwa:

Anak yang sudah siap sekolah akan dipulangkan dan akan di tindak lanjut oleh kabupaten untuk di evaluasi perkembangan anak secara rutin minimal satu bulan sekali, atau dua bulan sekali sampai si anak sudah betul bersekolah, ataukah sudah tidak mengalami kekerasan lagi”

Dari wawancara tersebut dapat kita lihat bahwa pembimbingan rohani dimaksudkan untuk memberikan penguatan berupa pengetahuan kepada anak, baik itu berupa pengetahuan agama maupun pengetahuan umum, namun tentu tidak mudah dalm melaksanakannya apalagi jika dihadapkan dengan anak yang susah diatur maka ada strategi khusus yang dilakukan oleh pembimbing mereka yaitu dengan memposisikan diri sesuai dengan kehendak dan keinginan korban, dengan begitu akan mudah kemudian dalam mendekati korban.

Untuk itulah anak dikuatkan dirinya juga keilmuannya berupa pendampingan tersebut, diberikan motivasi, dukungan arahan dan support, bahwa mereka harus terus hidup pada

intinya untuk diri mereka sendiri mereka, dan berani berkata tidak jika dihadapkan dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan atau kehendak mereka.

C. Pandangan Hukum Keluarga Islam Terhadap Kasus Anak Korban Kekerasan Dalam Keluarga di Masa Pandemi Covid 19

Peneliti melakukan wawancara dengan salah satu Tokoh Agama di desa Bayumulek Kec. Kediri Kab. Lombok Barat, bahwa perihal kekerasan terhadap anak ini, anak harus didik dari awal sejak bayi, dan dididik secara lemah lembut, suruh mengaji, dengan memasukkan anak-anak ke pondok pesantren, orang tua bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan anak, melindungi dan mengayomi anak-anaknya.

Orang tua dalam hal mendidik anak tidak boleh menggunakan kekerasan, menurut penuturan beliau bahwa ketika anak tidak mau mengaji, sholat disitulah anak boleh dipukul tetapi sekedar saja menggunakan lidi, jangan sampai timbul kekerasan yang lebih hanya untuk memberikan efek jera kepada anak. 62

Berdasarkan wawancara di atas dapat dipahami bahwa dalam mendidik anak orang tua harus mendidik mulai dari bayi dengan memberikan pendidikan yang baik untuk anak, karakter anak akan terbentuk dari bagaimana cara orang tua mendidiknya. Orang tua dalam mendidik anak harus dengan kelemah lembutan, tidak kasar sehingga tidak menggangu psikologi anak. Dalam mendidik anak misalnya ketika anak tidak mau sholat atau dalam perkara yang lainnya, orang tua boleh memukul anaknya namun hanya sekedar saja tidak menimbulkan efek yang berat pada anak, pemukulan tersebut tidak boleh sampai mengenai alat vital anak misalnya kepala, dada dan tangan.

Menurut hukum Islam dasar anak adalah fitrah (suci). Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berbuat kekerasan apalagi terhadap anak, anak-anak itu harus dimuliakan.

62H. Muhtar Syarif, Wawancara, Tokoh Agama Desa Dasan Baru Dusun Bebae Dalam Kec. Kediri, 4 Maret 2022

Orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan yang baik dan layak untuk anak-anaknya, orang tua harus membekali anak-anaknya dengan ilmu agama agar menjadi hamba Allah yang taat dan patuh dalam beribadah kepada Allah sehingga apa yang tersirat dalam Al-Qur‟an yaitu surah Adz-Zariyat ayat 56 bisa terealisasi.

Mengenai tugas orang tua dalam memberikan pendidikan Islami kepada anak selaras dengan apa yang disampaikan oleh bapak M.

Zuhdi berikut ini:

Tugas orang tua adalah bagaimana membuat anak menjadi hamba Allah yang baik dengan diberikan kasih sayang dan keteladanan. Contohnya anak dibawah umur itu orang tua yang mencium tangan anaknya (sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah) kalau orang tua berbuat kasar kepada anaknya, maka anak juga akan kasar kepada orang tuanya. Kalau bisa dikatakan bahwa bukan hanya anak yang durhaka kepada orang tua tetapi orang tua bisa durhaka kepada anak-anaknya ketika melakukan kekerasan terhadap tanggung jawab yang besar dihadapan Allah SWT. Karena tugas orang tua adalah membuat anak bersujud kepada Alah, kita diciptakan untuk menjadi hamba Allah, dalam rangka bersujud kepada Allah kita teladan.

Dari hasil wawancara tersebut dapat kita lihat bahwa tidak lain dan tidak bukan tugas utama orang tua adalah menjadikan anak sebagai hamba Allah yang taat, dengan diberikan kasih sayang yang baik berupa keteladanan, karena itulah kemudian yang akan ditiru oleh anak. Kepribadian anak akan terbentuk dari bagaimana cara orang tua memberikan contoh kepada mereka. Oleh karena itulah orang tua harus memberikan dan mencerminkan sikap yang baik di depan anak dan tidak berbuat kasar kepada mereka. Kalau orang tua melakukan demikian maka bisa dikatakan bukan hanya anak yang bisa di cap sebagai anak durhaka melainkan orang tua juga bisa dikatakan demikian. Sebab memberikan perlakuan yang tidak pantas diterima oleh anak. Sejatinya orang tua menjadi Madrasatul Ula untuk anak mereka kemudian sebagai figur utama oleh anak dalam kesehariannya.

Kalau orang tua mencerminkan perilaku yang buruk kepada anak maka anak juga akan berlaku demikian, sebalinya jika orang tua

Dokumen terkait