• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyajian dan analisis data

Dalam dokumen orang lain adalah neraka” (Halaman 69-72)

BAB IV GAMBARAN DAN HISTORIS PENELITIAN

E. Penyajian dan analisis data

Kecamatatan Moncongloe merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Maros yang sebagian besar sumber penghasilannya adalah pertanian tanaman pangan dan tanaman palawija. Sebagian besar penduduknya bekerja disektor pertanian (85%), sedangkan sisanya pada sektor perdagangan (3%), (7%) angkutan/ transportasi (sebagian besar tukang ojek), jasa (2%) dan lainnya (2%).

tokoh masyarakat tentang tanggapannya terhadap Hegemoni Militer terhadap Kelompok Sipil. Informan dalam penelitian ini diambil dari seluruh kalangan masyarakat mewakili unsur dan komposisi penduduk secara utuh, yaitu dari tokoh masyarakat, anggota Militer, tokoh pemuda, dan pemerhati pendidikan yang kesemuanya itu dapat dijadikan sebagai informan kunci dalam penelitian, dalam hal ini perlu ditanyakan kepada informan tentang Hubungan Masyarakat sipil dengan Militer sehingga dapat terjadi yang disebut peneliti “Hegemoni” tersebut, kekurangan-kekurangannya, dan solusi serta masukan pengembangannya kedepan. Sesuai dengan tebel 1.2 tentang keterangan informan penelitian berikut:

Tabel 1.3 Keterangan Informan Penelitian

No. Uraian Sampel

1 Anggota Militer 3 Orang

2 Ketua RT/Toko Masyarakat 2 Orang

3 Anggota Masyarakat 2 Orang

4 Pemuda Setempat 3 Orang

Jumlah 10 Orang

BAB V

HEGEMONI CULTURE KONSENTRASI KELOMPOK MILITER TERHADAP KELOMPOK SIPIL

A. Kerangka Historis

Hubungan Sipil-Militer yang terjadi dikawasan dimana Markas militer berada tidak dapat terhindarkan, benturan kebudayaan pun tak terelakkan, yang berimplikasi dominasi budaya baik mayoritas yang mempengaruhi minoritas ataupun sebaliknya dapat dilihat dari perspektif kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang mengalami pergeseran hingga dapat ditelusuri dari latar belakang sejarah hubungan sipil-militer itu sendiri.

Melihat dari latar belakang sejarah bagaimana saat pemerintahan Indonesia dipimpin oleh presiden yang dinobatkan presiden seumur hidup yang disebut sebagai orde baru dan terkenal karena intervensi-intervensi yang digerakkannya disebut juga rezim otoriter, backround presiden dari militer membuat hampir segala lini kedudukan urgend dipemerintahan kala itu ditempati oleh delegasi-delegasi dari petinggi-petinggi militer. Sistem kala itulah yang sangat tepat dikatakan Gramsci sebagai Hegemoni kelomopok militer terhadap kelompok sipil.

Saat ini di era reformasi setelah ditumbangkannya ke-presiden-an seumur hidup Jendral Soeharto dengan system kediktatorannya dibawah perjuangan kesadaran hak yang dipimpin oleh kaum-kaum Terpelajar Indonesia, masih tersisa puing-puing Hegemoni militer dihadapan sipil namun tidak lagi sefrontal orde baru. Meski begitu, hegemoni tersebut masih harus diperhatikan sebaik mungkin

55

bukan hanya sebagai pengetahuan ilmiah namun juga untuk mengantisipasi kemungkinan akan kembalinya masa kelam tersebut seperti yang saat ini dilakukan oleh penulis.

B. Keberadaan Kelompok Militer Terhadap Pembentukan Etika Dan Estetika Kelompok Sipil

Hegemoni culture, dalam hal ini kelompok militer terhadap kelompok sipil di desa Moncongloe bulu kabupaten Maros yang peneliti lakukan lebih berkonsentrasi pada etika dan estetika masyarakat yang berada pada regional Yon- Zipur 8 SMG kabupaten Maros, jika dilihat secara eksplisit telah mengalami mobilisasi yang sangat cepat perkembangannya namun terkesan ada keseragaman atau dominasi dalam paradigma tersebut dibandingkan daerah-daerah lainnya di daerah Maros disebabkan dari otoritas kelompok militer yang masih hidup dalam pengambilan tindakan secara langsung terhadap masyarakat sekitarnya.

Hal tersebut dapat dilihat dari konotasi yang terbangun dari beberapa informan berikut:

Komentar dari provos Yon-Zipur-8 “Pratu Andi Mangngaweang” :

“Saya diamahkan menjadi provos tidak hanya untuk menertibkan anggota militer tetapi juga memastikan keamanan masyarat sekitar Kesatuan kami, dan bila diperlukan kami akan mengambil tindakan tegas jika ada masyarakat yang mengganggu keamanaan daerah penjagaan kami”.

Komentar selnjutnya kemudian untuk mempertegas argument informan pertama dari provos Yon-Zipur-8 “Pratu Andi Mangngaweang” :

“ Aparat militer dihadapan warga sipil harus tetap menjaga wibawa meraka, apabila ada masalah yang terjadi dimasyarakat sekitar kami biasanya kami memediasi untuk mencari jalan keluarnya dengan cara musyawarah”.

Dari hal tersebut maka dapat dilihat bagaimana masyarakat merespon dari tindakan kelompok militer terhadapap kelompok sipil masyarakat Moncongloe Bulu kabupaten Maros:

Pandangan bapak Japa’ selaku kepala RT tentang kelompok militer” :

“banyak sekali persoalan-persoalan di masyarakat kami yang akhirnya diselesaikan melalui bantuan aparat militer baik itu yang menyangkut masalah hukum maupun pelanggaran biasa, hal tersebut membuat masyarakat di desa kami apalagi anak mudanya menjadi segan bahkan ada yang takut ketika ada pelanggaran yang mereka perbuat jika hendak kami dilaporkan ke provos. Hal tersebut menjadi senjata kuat kami dalam mengendalikan mereka berbuat macam-macam di area sini.”

Lalu selanjutnya fenomena yang didapatkan selama peneliti melakukan pengamatan, melihat adanya keseragaman yang mencolok terutama dari cita-cita anak muda di daerah tersebut serta harapan orangtua mereka. lalu bagaimana melihat mereka menggunakan bahasa Indonesia yang terkesan cukup pasif, seperti saat melakukan penelitian terkait cita-cita pemuda disekitar asrama militer Yon- Zipur-8 SMG, Hal tersebut dapat kitia lihat dari hasil wawancara berikut :

Tanggapan dari saudara Iwan Malawat Terkait cita-cita dan alasannya:

“kalau sudah tamat SMA saya memang berencana mendaftar menjadi Anggota militer karena saya melihat mereka keren saat mengenakan seragamnya lalu masyarakat akan lebih hormat dengan saya dan itu sudah di dukung penuh oleh keluarga saya yang memang ada dari latar belakang pensiunan tentara”.

Kemudian tanggapan dari Seorang ketua RT di desa tersebut:

“hubungan yang terjalin antara aparat dengan masyarakat selama ini selalu terjalin baik, terkait masa depan anak saya, saya memang masih sedang mendaftarkan dia masuk menjadi tentara.

Lihat pemula Seorang gadis/Mahasiswa bernama Musfirah ardianti yang memberikan komentar tersebut:

“kalau ditanya masalah ketertarikan, saya tentu tertarik menjadi ibu persit namun kita tidak tahusoal jodoh bukan”

Dari ke tiga sample yang diambil secara acak dari varian umur yang berbeda melihat adanya orientasi yang mengerucut pada keinginan untuk berseragam militer atau paling tidak berkeluargakan seorang anggota militer yang setiap hari di temui dilingkungan mereka hidup. Namun meski sebagian besar pemuda tersebut bercita cita menjadi bagian dari mereka namun tidak sedikit harapan tersebut tinggal harapan belaka yang disebebkan oleh faktor kepemilikan materi yang tidak mencukupi atau telah mendaftar berkali-kali namun tidak lulus hingga frustasi. Seperti yang ditemui dari informan berikut:

Wawancara dengan saudara Dirgahayu Pamungkas seorang pemuda desa:

“ Saya anak dari pensiunan tentara disini, persoalan menghormati tentu saya menghormati aparat militer dan saya pun pernah mengininkan menjadi penerus ayah saya namun apa daya kondisi ekonomi tidak memadai”

Kemudian wawancara dengan saudara Halim seorang pemuda desa juga:

“saya pernah bercita-cita menjadi tentara namun itu dulu waktu masih sekolah, sekarang saya betah dengan hidup saya di pelayaran, persoalan segan saya tentu segan lah dengan aparat militer dan saya pun pernah dibuat push-up di depan rumah sendiri karena balap-balap”.

Pembahasan

Melihat fenomena tersebut maka pendekatan Konsep Hegemoni dari Gramsci yang di elaborasi dengan Supremasi sangat singkron dalam mendeskripsikan fenomena diatas, dimana sebuah kelompok mewujudkan Hegemoninya terhadap kelompok lain melalui pengambilan penindakan pelanggaran terhadap suatu kelompok tersebut. Pada dasarnya jika suatu kelompok dalam kelompok sosial dapat menjadi dominan ialah ketika dia mempraktikkan secara terus-menerus praktek kekuasaan mereka atas kelompok lain melalui pengambilan alih subuah kepemimpinan intelektual maupun moral dari kelempok yang mereka dominasi bahkan ketika mereka telah memegang kendali tersebut mereka akan tetap terus mengekspresikan kebijakan mereka agar stabilitas tetap terjadi dikawasan tersebut sesuai kehendak ideal yang mendominasi. Inilah yang dimaksudkan Antonio Gramsci dalam Hegemoni Negara jika ditarik ke keridor yang sedikit lebih sempit.

Kemudian hasil penelitian terkait bahasa yang digunakan berinteraksi sehari-hari oleh masyarakat disekitar kawasan Asmil Yon-Zipur-8 SMG sepintas biasa-biasa saja menginat bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa indonesia, namun jika ditarik lebih luas cakupan wilayah nya maka akan terlihat jelas perbedaannya dimana seluruh desa disekitarnya masih begitu kental dengan bahasa daerah mereka (bugis/makassar) namun tidak di pemukiman masyarakat di sekitar Asmil Yon-Zipur-8 SMG, masyarakat didaerah tersebut bisa dikatakan sedikit lebih maju dalam menggunakan bahasa dibandingkan daerah-daerah

tetangga mereka, mereka bisa dikatakan telah menggunakan bahasa indonesia yang cukup baku meski tingkat pendidikan masyarakat rata-rata di tingkat SMP.

Setelah meneliti lebih jauh akhirnya ditemukan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan bahasa yang cukup cepat di masyarakat tersebut, faktor tersebut tidaklah lain disebabkan begitu kuatnya daya tarik kelompok militer dalam mendominasi bahasa pribumi disekitar ketika terjadi kontak antara kelompok militer dengan kelompok sipil. Kelompok militer yang mayoritas adalah orang-orang dari luar sulawesi tentu tidak akan mudah melakukan interaksi menggunakan bahasa pribumi sehingga kelompok sipil pun yang menyesuaikan diri dan beralih menggunakan bahasa indonesia ditambah lagi seiring berjalannya waktu, tidak sedikit pensiunan TNI yang memilih berdomisili dan menetap di kawasan tersebut dan tidak kembali lagi ke asal mereka setelah memperistri masyarakat sipil didaerah tersebut sehingga tak telak akulturasi budayapun terjadi.

Selanjutnya peneliti berfokus pada etika dan estetika masyarakat Moncongloe Bulu, peneliti menemukan kembali sample dimana masyarakat sipil yang secara defacto mengikuti penampilan luar kelompok militer seperti berambut rapi mengikuti model ramput anggota militer yang diwajibkan bagi mereka, sapaan-sapaan akrap bagi sesama kelompok militer antara junior dan senior ketika bertemu dengan mengucapkan “Ganesha” “Sakti Mandra Guna” juga di ikuti oleh pemuda-pemuda disekitar wilayah Asmil Yon-Zipur-8 SMG, serta etika kelompok militer seperti memberi hormat junior kepada senior ketika bertemu juga diikuti masyarakat sipil disekitar kawasan tersebut walapun didalam penghormatan tersebut masih menganduk maksud candaan.

Dari beberapa temuan tersebut maka peneliti dapat menarik konklusi bahwa dominasi etika dan estetika kelompok militer terhadap kelompok sipil disebabkan besarnya keseganan masyarakat sipil terhadap anggota militer yang berimplikasi secara defacto masyarakat sipil mencontohi apa yang kelompok militer lakukan terhadap sesama mereka dengan maksud mengekspresikan perasaan segan mereka dan keinginan terpendam mereka untuk dapat menjadi seperti mereka yang menurut pengelihatan masyarakat tersebut matang secara ekonomi sehingga menjadi kebanggaan tersendiri pula bagi orang tua untuk mempermenantui seorang anggota militer atau kebanggaan kaum wanita pula yang dapat mempersuami anggota militer yang secara tidak langsung akan mengangkat strata sosial mereka di mata masyarakat mengingat mayoritas penduduk didaerah moncongloe bulu masih bekerja sebagai pekerja kasar (petani/kuli bangunan). Inilah beberapa atmosfir yang terbentuk dari praktik hegemoni kelompok militer terhadap kelompok sipil.

BAB VI

SUPERIORITAS KELOMPOK MILITER TERHADAP KELOMPOK SIPIL DALAM PELESTARIAN HEGEMONI CULTURE

A. Sistem Yang Dibangun Kelompok Militer

Fokus peneliti selanjutnya adalah melihat bagaimana kelompok militer mempertahankan praktik hegemoni mereka dihadapan kelompok sipil yang berimplikasi pada bertahannya persepsi superioritas kelompok militer dihadapan kelompok sipil.

Berikuti ini observasi dan wawancara terhadap intel provos yang sudah hampir 20 tahun bertugas di Asmil Yon-Zipur-8 SMG serta toko masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan strata satu, untuk menemukan informasi mengenai sebab dari Hegemoni Culture Kelompok Militer di Kawasan Yon Zipur 8/SMG Maros masih tetap mendapat apresiasi dan dianggap superior.

Berikut ini kesimpulan yang dapat peneliti dari pemaparan Intel Provos Yon-Zipur-8 SMG Kopka M.Harun dari wawancara yang bersifat tertutup:

“Masyarakat disekitar Asmil Yon-Zipur-8 SMG masih tetap memberikan penghargaan yang cukup tinggi terhadap kami disebabkan sikap kami yang meperlihatkan kepada mereka ketegasan kami memberi hukuman fisik terhadap kesalahan prajurit, penghargaan yang tetap kami jaga terhadap atasan dan bawahan, hingga sikap kamipun tak jarang diberlakukan kepada masyarakat setempat untuk membuat masyarakat disekitar Asmil Yon-Zipur-8 SMG dapat tertib baik secara hukum tertulis ataupun tidak tertulis”.

Kemudian Wawancara terbuka dengan Saidin., S.E selaku toko masyarakat setempat:

62

“Pada dasarnya yang menyebabkan kelompok militer tetap memiliki wibawa yang tinggi dimasyarakat moncongloe bulu adalah dikarenakan anggota militer yang berseragam banyak diidam-idamkan oleh masyarakat sekitar yang mayoritasnya adalah petani, dilubuk hati mereka tersimpan harapan mereka dapat seperti mereka dan mengangkat strata sosial keluarga mereka. Selain itu ketegasan kelompok militer tak segan-segan diperlihatkan dihadapan masyarakat ketika ada anggota mereka melakukan pelanggaran ataupun kesalahan yang melanggar adab adab kebiasaan dan tak jarang pula masyarakat sipil yang ditertibkan langsung ketika didapati melakukan pelanggaran seperti mencuri, hingga membawa motor dengan kecepatan tinggi mendapat hukuman fisik dari Provos mulai dari Push-up hingga yang lebih keras tergantung tingkat pelanggarannnya sebelum dibawa ke polisi jika terkait hukum pidana”.

Selanjutnya, komentar yang senada dilontarkan kedua tokoh Provos Praka Yhudik Susanto:

“ Aparat militer dihadapan warga sipil harus tetap menjaga wibawa meraka, apabila ada masalah yang terjadi dimasyarakat sekitar kami biasanya kami memediasi untuk mencari jalan keluarnya dengan cara musyawarah”.

dan Pratu Andi Mangngaweang:

“Saya diamahkan menjadi provos tidak hanya untuk menertibkan anggota militer tetapi juga memastikan keamanan masyarat sekitar Kesatuan kami, dan bila diperlukan kami akan mengambil tindakan tegas jika ada masyarakat yang mengganggu keamanaandaerah penjagaan kami”.

Tingkat kedisiplinan militer terhadap anggota-angotanya serta masyarakat disekitarnya memberikan penghargaan terhadap kelompok militer dihadapan kelompok sipil, seperti yang dapat kita maknai dari konotasi berikut:

Komentar Bapak Sirajuddin selaku Ketua RW :

“ kami selalu memberikan penghargaan yang tinggi terhadap aparat militer, disebabkan karena hubungan yang telah terjalin sejak lama juga karena kami melihat bahwa aparat militer adalah bagian dari pemerintahan yang harus dipedomani dan tidak mendengarkan arahannya sama saja tidak mengikuti aturan dinegara ini dan itu tidak berani kami lakukan tentunya”.

Kemudian komentar Bapak Japa’ Selaku ketua RT:

“ masyarakat akan tetap disegani dan dihormati oleh masyarakat kami dikarenakan selain mereka yang selalu memediasi permasalahan dilingkungan kami, mereka juga kadang memberikan peneguran keras ketika ada yang misalnya balap-balap apalagi mencuri sehingga kami merasa segan terhadap mereka yang pakai pakaian loreng”.

Selanjutnya komentar dari saudara Halim :

“saya pernah bercita-cita menjadi tentara namun itu dulu waktu masih sekolah, sekarang saya betah dengan hidup saya di pelayaran, persoalan segan saya tentu segan lah dengan aparat militer dan saya pun pernah dibuat push-up di depan rumah sendiri karena balap-balap”.

Dari pemaparan tersebut, maka kita dapat melihat mekanisme dari relasi yang terbangun dari kelompok militer dalam mempertahankan superioritasnya dihadapan kelompok sipil menggunakan pendekatan Teori Strukturasi dari Antonny Giddens yang melahirkan Dominasi kelompok yang berujung pada Hegemoni Kelompok dalam konsep Gramsci seperti yang telah dijelaskan di pembahasan pertama sebagai berikut:

Pembahasan

Giddens (2011) memaparkan, struktur tidak disamakan dengan kekangan (constraint) namun selalu mengekang (constraining) dan membebaskan (enabling). Hal ini tidak mencegah sifat-sifat struktur system sosial untuk melebar masuk kedalam ruang dan waktu diluar kendali actor-aktor individu, dan tidak ada kompromi terhadap kemungkinan bahwa teori-teori sistem sosial para aktor yang dibantu ditetapkan kembali dalam aktivitasativitasnya bisa merealisasikan sistem- sistem itu.

Manusia melakukan tindakan secara sengaja untuk menyelesaikan tujuan- tujuan mereka, pada saat yang sama, tindakan manusia memiliki unintended consequences (konsekuensi yang tidak disengaja) dari penetapan struktur yang berdampak pada tindakan manusia selanjutnya. Manusia menurut teori ini yaitu agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan atas aktivitas-aktivitasnya dan mampu menguraikan alasan itu secara berulangulang.

Menurut Barker (2011) Strukturasi mengandung tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, pemahaman (interpretation / understanding), yaitu menyatakan cara agen memahami sesuatu. Kedua, moralitas atau arahan yang tepat, yaitu menyatakan cara bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan. Ketiga, Kekuasaan dalam bertindak, yaitu menyatakan cara agen mencapai suatu keinginan.

Subjektivitas yang dititik beratkan pada etnisitas kelompok pada gilirannnya memberdayakan kita untuk bertindak bedasarkan fakta sosial tertentu.

Sejalan dengan itu, masalah-masalah mengenai bagaimana seorang aktor bias memperngaruhi keadaan atau bahkan kualitas lingkungan tak pelak turut menjadi kajian kotemporer yang juga bisa dikaji secara mikro kemudian menjadi makro.

Dari sedikit pembahasan mengenai system dari Teori Sturukturasi tersebut, maka dapat dilihat bagaimana relasi yang dibangun kelompok militer dalam membangun, mengarahkan penanaman pemahaman kelompok sipil tentang hal-hal yang baik maupun yang tidak baik menyangkut tindakan hingga penentuan moralitas ideal yang ketika tidak dilaksanakan maka akan berakibat pada pemberian hukuman atas otoritas yang dimilik oleh kelompok militer tersebut.

Dari beberapa sample yang didapatkan dari informan dan pendekatan relasi system melalui Teori Strukturasi yang dibangun kelompok militer terhadap kelompok sipil tersebutlah yang di amati oleh peneliti sacara berangsur-angsur lalu peneliti kemudian menarik sebuah konklusi melalui praktek pelestarian Superioritas kelompok militer dihadapan kelompok sipil, lalu relasi system yang dibangun tersebutpun melahirkan dominasi kelompok dan berujung pada Hegemoni kelompok militer dihadapan kelompok Sipil masyarakat kabupaten maros.

1. Dampak Yang Terjadi Akibat Ter-Hegemoni-Nya Kelompok Sipil Atan Kelompok Militer Di Desa Moncongloe Bulu

Dampak yang terjadipun dapat dikategorikan menjadi dua:

A. Dampak positif

1) Benturan dari pertemuaan kebudayan yang bersifat heterogen kelompok militer

mau tidak mau mendominasi kebudayaan dari masyarakat lokal yang awalnya bersifat homogen yang mebuat masyarakat tersebut sedikit lebih maju dibandingkan masyarakat pedesaan yang jauh dari asrama militer.

2) Tingkat keamanan masyarakat lebih baik dibandingkan daerah –daerah lainnya

disebabkan masih tingginya ketakutan masyarakat akan melakukan pelanggaran hukum yang berimplikasi pada hukuman dari kelompok militer.

3) Tingkat ketertiban dan kesadaran hukum masyarakat jauh lebih baik

dibandingkan daerah-daerah lain disebabkan pemberian contoh dan sanksi tegas dari aparat militer.

B. Dampak negatif

1) Nilai-nilai kearifan lokal yang hampir tidak adalagi nampak akibat meleburnya kebudayaan pendatang yang mendominasi.

2) Paradigma masyarakat yang statis melihat kehidupan yang ideal hanya pada kepegawai negeriaan.

3) Keinginan menjadi sama dengan aparat militer yang tidak berimbang dengan kemampuan materi, dan kualitas individu membuat masyarakat mudah merasa pesimis ketika keinginannya tersebut tidak dapat terwujud.

68 A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Hegemoni Culture konsentrasi kelompok militer terhadap kelompok sipil desa Moncongloe Bulu kabupaten maros menunjukkan bahwa Superioritas kelompok militer dihadapan kelompok sipil disebabkan adanya kekaguman masyarakat terhadap kehidupan yang lebih layak seperti yang mereka lihat terhadap kelompok militer, serta adanya perasaan segan kepada anggota militer akan diberikan hukuman secara langsung ketika melanggar dan membuat kesalahan hingga yang berhubungan dengan pelanggaran hukum akan mendapat sentuhan fisik oleh kelompok militer tersebut.

Selain itu keberadaan Asmil Yon-Zipur-8 SMG terhadap masyarakat sipil berimplikasi pada dua kutup yaitu positif dan negatif, dimana benturan kebudayaan yang terjadi membuat masyarakat sedikit lebih maju didalam perkembangannya, paradigma berfikir merekapun terkontruksi mengikuti kelompok militer yang dimanifestasikan dalam sikap dan sifat mereka walaupun masih bisa dikatakan tidak secara keseluruhan. Hal ini pula akhirnya membuat masyarakat Moncongloe Bulu sedikit demi sedikit menghilangkan kebiasaan kebiasaan mereka yang tumbuh dari leluhur mereka seperti bahasa,adab kebiasaan hingga tradisi yang menjadi identitas lokal mereka.

68

69 1. Melihat fenomena tersebut perlu rasanya toko masyarakat yang berada di

wilayah tersebut memahami krisis identitas lokal tersebut dan melakukan inisiatif untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi mereka yang telah ditinggalkan seperti angngaru agar kelak mereka tidak lupa asal mereka dan kekhasan mereka sebagai masyarakat asli Moncongloe Bulu akibat ter- Hegomini oleh adab-adab kelompok militer yang dianggap lebih Superior.

2. Kepada pemerintah pusat dan daerah agar tidak melihat masalah ini sebagai hal yang tak perlu diperhatikan secara serius mengingat banyaknya asrama militer yang tersebar di seluruh kabupaten maros, tidak dimunafikkan dampak positif yang ada akibat masuk nya kebudayaan yang dibawa individu-individu dari kelompok militer yang memberikan kemajuaan berfikir sedikit lebih maju serta keamanaan yang dirasakan masyarakat yang ada di regional Asrama militer namun dampak negatf yang ditimbulkanpun rasanya tidak jauh besarnya dengan dampak positif yang diberikan dan perlu adanya inisiatif yang serius.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 24(1).

Budiman Djoko Said, QD , vol # 5, no # 12, Juni 2012, “Menakar Ulang Hubungan Sipil-Militer (HSM)”.

Clifton, More Rick. 1998. “Hegemony, Agency, and dialectical tension in Ellul’s technological society”.Journal of Communication, Summer.

Fakih, Mansour. 2011. Jalan lain. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Giddens, Anthony (1984). “The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration”. Cambridge: Polity Press.

Janowitz, Morri, 1985, Hubungan Sipil Militer,Jakarta: Bina Aksara.

KSK Moncongloe. 2016. Kecamatan Moncongloe Dalam angka tahun 2016.

Moncongloe: BPS Kabupaten Maros.

Lawang, Robert M. Z. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Jakarta:

Gramedia.

Makalah dibawakan dalam Konferensi Nasional LSM/Organisasi Non Pemerintah, PACT-INPI-CSSP, Hotel Salak, Bogor, 1-4 Agustus 2000.

M. Setiadi, Elly & Usman, Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial (Teori, Aplikasi, Dan Pencerahannya).

Jakarta: Kencana Pernada Media Group.

Nazar Patria & Andi Arief, 2015. Antonio Gramsci Negara Dan Hegemoni.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nordlinger, Eric, 1994, Militer Dalam Politik, Jakarta: Rineka Cipta, Nugroho, Sugeng. 2003. “Pertunjukan wayang Gedhog Dengan Berbagai

Permasalahannya”.SENI, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, IX/02-03, Maret. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

Patria, Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prof. H. Garna, Ph.D. Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi.

Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

70

Dalam dokumen orang lain adalah neraka” (Halaman 69-72)

Dokumen terkait