• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PIERCING THE CORPORATE

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor

c) Menyatakan para Tergugat berhutang kepada Penggugat sebesar Rp.

1.833.730.560,00,- (satu milyar delapan ratus tiga puluh tiga juta tujuh ratus tiga puluh ribu lima ratus enam puluh rupiah).-

d) Menyatakan para Tergugat telah ingkar janji (wanprestasi) terhadap Penggugat karena tidak membayar hutangnya tersebut.

e) Menyatakan Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III secara bersama- sama dan tanggung renteng bertanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya kepada Penggugat.

f) Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar hutangnya kepada Penggugat sebesar Rp. 1.833.730.560,00,- (satu milyar delapan ratus tiga puluh tiga juta tujuh ratus tiga puluh ribu lima ratus enam puluh rupiah) ditambah dengan bunga sebesar 6% (enam persen) pertahun terhitung semenjak gugatan ini didaftarkan sampai dengan dilaksanakannya putusan perkara ini.

g) Membebankan para Tergugat membayar biaya perkara ini secara tanggung renteng yang seluruhnya sebesar Rp.2.726.000,- (dua juta tujuh ratus dua puluh enam ribu rupiah)

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 96/PDT.G/PN.JKT.SEL

57

tanpa melihat bahwa hal tersebut dilakukan oleh Perseroan hukum pelaku dalam bentuk Badan Hukum.16

Pada Putusan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL (Selanjutnya disebut Putusan Pengadilan) terdapat sengketa yang berdimensi penerapan PCV.

Sengketa tersebut ialah PT Bukit Asam Prima (Selanjutnya disebut Penggugat) dan PT. Karunia Pratama Mandiri (Selanjutnya disebut Tergugat I), Rudy Santoso alias Siem Liep San (Selanjutnya disebut Tergugat II), dan Widodo Agus Hartono (Selanjutnya disebut Tergugat III).

Berdasarkan Putusan Pengadilan a quo, Penggugat menggugat Tergugat I karena telah terjadi wanprestasi atas Perjanjian Kontrak Kerjasama Operasi Penambangan dan Pembiayaan Batu Bara di KP KUD Panca Bhakti (Selanjutnya disebut Kontrak Kerjasama dan Pembiayaan) yang berlokasi di Karang Intan, Martapura, Kalimantan Selatan.

Perjanjian Kerjasama dan Pembiayaan di antara PT Bukit Asam Prima dengan PT Karunia Pratatersebut dilakukan dengan mekanisme memproduksi batubara minimal 8.000 mt perbulan dengan 6.000 kcal/Kg dalam kondisi chorusing, pengangkutan batubara dari lokasi penambangan di Pelabuhan Trisaksi-Banjarmasin, dan untuk tahap awal, Tergugat I wajib mengirimkan 10.000 ton dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari kalender dengan kewajiban Penggugat terhadap Tergugat I adalah memberikan pinjaman biaya operasional secara bertahap dari total Rp.2.000.000.000 (dua miliar rupiah).17

Pada pelaksanaan perjanjian tersebut, fakta hukum yang ada adalah sejak dilakukannya kegiatan penambangan sampai dengan adanya monitoring dari Penggugat, Tergugat I hanya melakukan aktivitas penambangan sebatas Over Burden dan produksi batubara yang sangat sedikit atau tidak ekonomis, sedangkan dana pinjaman pembiayaan sebesar Rp.2.000.000.000 (dua milyar rupiah) telah habis digunakan oleh Tergugat I guna menyewa alat dan BBM, boring, dan uang muka KUD.18

16 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014), h. 7.

17 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL

18 Lihat Putusan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL, h. 3-4.

Pada Posita, Penggugat menyatakan bahwa harus diterapkannya PCV kepada Tergugat II dan III, karena Tergugat II merupakan Direksi dari Tergugat I dan Tergugat III merupakan Komisaris dari Tergugat I. Hal tersebut dibuktikan pada komposisi organ dan pemegang saham Tergugat I yaitu Modal dasar ditempatkan dan disetor sebesar Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) dengan jumlah saham sebesar 6000 saham. Pada modal dasar tersebut, Tergugat II yang merupakan Direksi, memiliki saham sebesar 2400 saham dan Tergugat III yang merupakan Komisaris, memiliki saham sebesar 3600 saham.

Fakta hukum lainnya yang membuat Penggugat meminta kepada majelis hakim untuk menerapkan PCV adalah keterlibatan dari Tergugat II dan Tergugat III sebagai pemegang saham dan organ Perseroan sangat dominan.

Dengan adanya rangkap jabatan tersebut in casu Organ Perseroan dan pemegang saham dominan, membuat perbuatan hukum Tergugat I dalam melaksanakan perjanjian penuh akan kepentingan dari Tergugat II dan III sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Sehingga, hal tersebut merupakan bentuk dari alter ego dari Tergugat II dan III yang dilakukan dengan Tergugat I dalam rangka melaksanak perjanjian KSO dengan itikad buruk dan tidak memenuhi kewajibannya serta menimbulkan wanprestasi.19

Fakta hukum lainnya yang diuraikan oleh Penggugat mengenai perlunya penerapan PCV adalah karena dalam rangka pembayaran cicilan berulang kali dilakukan kepada Penggugat, pembayaran dilakukan atas nama rekening pribadi Tergugat III dan bukan Tergugat I. Selain itu, dengan modal dasar yang dimiliki oleh Tergugat I yaitu 600.000.000 (enam ratus juta rupiah), sebenarnya Tergugat II dan III sudah memahami dari awal mengenai ketidaklayakan atau kekurangan modal yang berada dalam undercapitalization pada saat menandatangani perjanjian KSO guna mengembalikan biaya yang disediakan sebesar 2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Sehingga, secara dugaan kuat dapat dipastikan bahwa Tergugat II dan III, memiliki itikad tidak baik dalam membuat Kontrak Kerjasama dan Pembiayaan.20

19 Lihat Putusan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL, h. 7-8.

20 Lihat Putusan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL, h. 9-10.

59

Pada permintaan Penggugat untuk penerapan PCV terhadap Tergugat II dan III, Tergugat menyatakan dalam eksepsinya yaitu gugatan tersebut kabur atau tidak jelas karena mencampuradukan gugatan wanprestasi dan PCV sebagai perbuatan melawan hukum. Namun majelis hakim dalam Putusan Pengadilan a quo menyebutkan pada pertimbangan hukumnya bahwa

“Bahwa doktrin piercing the corporate veil sesungguhnya berbicara tentang pertanggungjawaban pemegang saham melebihi dari saham yang disetor manakala terjadi perbuatan yang salah dari pemegang saham yang berakibat merugikan perseroan…bahwa karena itu piercing the corporate veil bukan tidak tepat disebut atau disamakan dengan suatu gugatan (gugatan piercing the corporate veil), melainkan lebih pada persoalan tanggung jawab pemegang saham atas perbuatan perseroan yang digugat (Tergugat I), yang tentunya dapat atau tidak Tergugat II dan Tergugat III dimintakan pertanggungjawaban baru akan dipertimbangkan nanti pada bagian pokok perkara”.21

Pada pertimbangan hakim tersebut, pada dasarnya kendati Piercing the Corporate Veil termasuk dalam konteks perbuatan melawan hukum sebagaimana Pasal 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata22, namun hakim memaknai PCV dalam Putusan Pengadilan tersebut sebagai bentuk dari akibat hukum wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat II dan Tergugat III pada kedudukannya sebagai organ Perseroan sekaligus sebagai pemegang saham. Sehingga, ketika tidak adanya gugatan wanprestasi terhadap Tergugat I, maka tidak akan ada permintaan penerapan PCV dalam Putusan Pengadilan a quo.

Pada penentuan terjadinya wanprestasi, hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut

bahwa hal yang dibenarkan oleh kedua belah pihak dan oleh karenanya tidak perlu dibuktikan lagi, yaitu Tergugat I tidak memenuhi

21 Lihat Putusan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL, h. 29.

22 Dimaknai sebagai Perbuatan Melawan Hukum karena pada Pasal 1366 KUHPerdata ditegaskan bahwa setiap orang bertanggung jawab bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatannya, melainkan juga atas kelalaian atau kesembronoannya. Sehingga, PCV yang merugikan orang lain, dapat dijerat berdasarkan prinsip Perbuatan Melawan Hukum dalam hal ini melanggar peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar PT terkait serta yang bersangkutan wajib untuk mengganti kerugian pihak yang dirugikannya. Lihat pada Ardison Asri, “Doktrin Piercing The Corporate Veil Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas”, (Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Volume 8, Nomor 1, September 2017), h. 92.

kewajibannya menyerahkan batubara kepada Penggugat padahal Tergugat I telah menerima uang pinjaman biaya operasional sebesar Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah)bahwa alasan Tergugat I tidak menyerahkan batubara karena Penggugat dalam jumlah waktu yang disepakati, karena pada waktu itu terkendala kondisi tambang yang tidak memungkinkan… bahwa alasan ini menurut Majelis bukanlah alasan yang menunjukan suatu keadaan memaksa (overmacht) sehingga dengan tidak dipenuhinya kewajiban Tergugat I kepada Penggugat, dan Tergugat I juga telah disomasi oleh Penggugat tetapi Tergugat I tetap tidak memenuhi kewajibannya, maka Tergugat I dikatakan telah melakukan wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata).23

Alasan yang disampaikan oleh Tergugat I ketika tidak memenuhi kewajibannya adalah karena adanya suatu keadaan yang memaksa yaitu berupa terkendala kondisi tambang yang tidak memungkinkan. Namun majelis hakim menyatakan bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan dan tidak mengandung suatu keadaan yang memaksa, sehingga tidak terpenuhinya kewajiban Tergugat I dalam perjanjian tersebut menyebabkan Tergugat I telah melakukan wanprestasi.

Dalam kaidah hukum perdata, keadaan memaksa (force majeure) hanya dapat terjadi ketika adanya suatu keadaan alam yang bersifat memaksa dan disebabkan adanya peristiwa alam yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap orang, yang berasal dari sifat alamiahnya tanpa ada unsur kesengajaan, seperti banjir, longsor, gempa bumi, dan sejenisnya. Sehingga, dapat dikatakan keadaan memaksa adalah keadaan darurat yang ditimbulkan oleh kondisi dan situasi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat langsung dan singkat, tanpa adanya prediksi maupun.24 Oleh karena itu, pertimbangan hakim yang menyatakan wanprestasi dalam Putusan Pengadilan a quo bukanlah keadaan memaksa, hal tersebut telah selaras dengan kaidah hukum perdata dalam memaknai force majeure.

Setelah mempertimbangkan bahwa tidak adanya suatu keadaan yang dapat menghapuskan kewajiban pemenuhan pelaksanaan perjanjian Tergugat I,

23 Lihat Putusan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL, h. 32.

24 Daryl John Rasuh, “Kajian Hukum Keadaan Memaksa (Force Majeure) Menurut Pasal 1244 dan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, (Lex Privatum, Volume 4, Nomor 2, Februari 2016), h. 175.

61

termasuk dengan adanya keadaan memaksa sebagaimana Tergugat I dalilkan, hakim mempertimbangkan mengenai posita dari Penggugat mengenai adanya penerapan PCV terhadap Tergugat II dan III dengan menyatakan dan merinci PCV sebagai berikut,

bahwa doktrin “piercing the corporate veil” atau “atler ego”, berdasarkan penjelasan yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary hanya dapat terjadi dalam hal dilakukan perbuatan yang salah, dan ini juga tersirat dari rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas yang secara tegas menyatakan pertanggungjawaban terbatas pemegang saham dalam perseroan tidak berlaku dalam hal:

a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;

c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.”25

Mengacu kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, majelis hakim menyatakan dalam pertimbangannya bahwa dengan melihat komposisi dari pemegang saham yaitu Tergugat II selaku Direktur Utama dan Pemegang Saham sebanyak 2.400 dan Tergugat III selaku Komisaris dan juga pemegang Saham sebanyak 3.600,26 menurut majelis hakim hal tersebut menjadi fakta bahwa saham Tergugat I yang totalnya sebanyak 6.000 saham hanya dimiliki oleh Tergugat II dan III, dapat disimpulkan bahwa Tergugat II dan III memiliki peran dominan atas kepemilikan saham yang juga dominan.27

Melalui salah satu kesimpulan tersebut, majelis hakim menukil pernyataan Gunawan Widjaja yang menegaskan bahwa pada dasarnya dengan adanya pemegang saham yang dominan, membuat diri mereka dapat melakukan

25 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL.

26 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL.

27 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL.

pelaksanaan kontrol perseroan melalui kebijakan. Selanjutnya majelis hakim menjelaskannya,

“bahwa pemegang saham dengan penguasaan atau kepemilikan saham yang dominan dapat membuat diri mereka secara efektif melaksanakan kontrol terhadap perseroan melalui kebijakan-kebijakan yang diambil oleh perseroan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pemegang saham mayoritas mereka… konteks demikian berarti kehendak dari perseroan terbatas merupakan kehendak dari pemegang saham atas perseroan tersebut. Dalam konteks demikian, konsep

“piercing the corporate veil” atau “alter ego” menyatakan bahwa pemegang saham harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap kerugian perseroan terbatas.”28

Konteks demikian menurut hakim pada dasarnya telah mendudukan posisi Tergugat II dan III bahwa ketika pelaksanaan perjanjian antara Penggugat dan Tergugat I tidak terlaksana dengan baik in casu wanprestasi, maka hal tersebut secara fakta merupakan tanggung jawab dari Tergugat II dan III karena posisinya selaku Direktur dan Komisaris serta pemegang saham paling dominan dari keduanya dan tidak ada yang lain. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam pertimbangan hakim,

bahwa Tergugat II dan III sebagai pemegang saham dan juga pemilik perseroan/Tergugat I, maka tentunya sangat dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan perseroan/Tergugat I. Sehingga kalau kemudian terdapat fakta bahwa Tergugat I tidak dapat menyerahkan atau menjual batubara tersebut kepada Penggugat sesuai yang disepakati dengan alasan karena terkendala kondisi tambang, menurut Majelis hal ini tidaklah terlepas dari tanggung jawab Tergugat II dan III karena sesungguhnya Tergugat II dan III sangat dominan dalam mengendalikan dan mengawasi jalannya perseroan/ Tergugat I.”29

Pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa kriteria ditetapkannya PCV adalah ketika terdapat irisan dari organ Perseroan dan Pemegang Saham yang sangat terkait satu sama lain. Ketika dalam perkara a quo tidak terdapat bukti konkrit telah adanya intervensi dari Pemegang Saham kepada Organ Perseroan, namun Tergugat II dan III yang merupakan Direksi dan Komisaris serta hanya pemegang saham yang ada dari Tergugat I, hal tersebut dapat diklasifikan

28 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL.

29 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL.

63

sebagai wujud dari diterapkannya PCV terhadap Tergugat II dan III.

Pertimbangan hakim tersebut setidaknya sejalan dengan kehadiran PCV dalam khazanah hukum perseroan yang menyatakan bahwa doktrin tersebut dimaksud sebagai bagian dari pengendalian ahlak pribadi pemegang saham yang berada dibelakang Perseroan guna menjalankan aktivitas usahanya untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela atau melawan hukum yang dapat menciderai rasa keadilan masyarakat ataupun pihak yang berkepentingan.30

PCV menurut Black Law Dictionary ialah sebagai tindakan kekuasaan kehakiman untuk menerapkan tanggung jawab secara pribadi kepada organ perseroan terbatas dan/atau pemegang saham yang menembus batas tanggung jawab terbatas karena adanya tindakan yang salah dari organ perseroan dan/atau pemegang saham pada aktivitas perusahaan.31 Ian M Ramsay dan David B Noakes menjelaskan beberapa prinsip Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan yaitu, a) agency; b) fraud; c) sham or façade; d) group enterprise; e) unfaimess/justice.32

Agency diartikan sebagai peletakkan perseroan sebagai agen dari pemegang saham dan hal tersebut memperlihatkan bahwa perseroan tidaklah bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan agen atau tujuan dan maksud dari pemegang saham tersebut. Pemegang saham yang merangkap sebagai agen demikian yang harus bertanggung jawab atas tindakannya terhadap perseroan yang dijadikannya sebagai agen. Sementara fraud diartikan sebagai penggunaan perseroan untuk menghindari kewajiban hukum atau fidusia.

Dalam konteks demikian, perseroan digunakan untuk menghindari tanggung jawab pribadi baik organ perseroan maupun pemegang saham. Pada sham or fade diartikan sebagai bentuk dari tujuan pendirian perseroan terbatas hanya sebagai menghindari tanggung jawab atas kewajiban pribiadinya atau membuat kewajibannya menjadi tidak dipenuhi karena adanya pendirian perseroan

30 Abdurrahman dan Pujiyono, “Politik Hukum Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Pengelolaan Perseroan Terbatas Indonesia”, (Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi, Volume 9, Nomor 2, 2021), h. 254.

31 Bryan A. Gamer, Black’s Law Dictionary, 8th edition, (St Paul: West, 2004), h. 1184.

32 Ian Ramsey dan David B Noakes, “Piercing the Corporate Veil in Australia”, (Company and Securities Law Journal, 19, 2001), h. 8.

karena pencampuran harta kekayaan pribadi pemegang saham. Pada group enterprise diartikan sebagai bentuk dari sebuah grup perusahaan beroperasi tanpa membedakan entitas individu yang ada sehingga menyebabkan ketidakjelasan akan pemegang saham dan hal tersebut dapat dilakukan penerapan PCV guna meminta pertanggungjawaban perusahaan induk atas tindakan anak perusahaan.

Terakhir, unfaimess/justice yaitu karena adanya pemegang saham yang dominan dalam menentukan keputusan perseroan dan hal tersebut merugikan pihak ketiga yang memiliki hubungan hukum, sedangkan tuntutan dari pihak ketiga memperbesar kerugian perseroan, maka akan adil dan etis jika tuntutan tersebut ditunjukan kepapda pemegang saham yang dominan untuk bertanggungjawab secara pribadi.33

Hadirnya PCV pada dasarnya merupakan pembentukan tata kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Perseroan Terbatas yang dijalankan oleh Organ Perseroan dengan itikad baik sesuai dengan kewenangan yang ada dalam Anggaran Dasar dan peraturan perundang-undangan, akan menghasilkan Perseroan yang baik dan sehat guna meningkatkan keberhasilan usaha dengan baik.34

Oleh karenanya, prinsip Good Corporate Governance setidaknya dilakukan oleh organ perseroan terbatas dengan beberapa kriteria yaitu, 1) itikad baik; 2) dengan adanya proper purpose; 3) dengan kewenangan yang luas namun bertanggungjawab dan sesuai dengan anggaran dasar serta peraturan perundang-undangan; 4) tidak memiliki konflik kepentingan (conflict of interest). 35

Tidak terlaksanannya prinsip Good Corporate Governance dalam Putusan Pengadilan a quo karena terdapat kriteria yang dilanggar dalam penerapan

33 Benny Batara Tumpal Hutabarat, Penerapan Prinsip Piercing The Corporate Veil Terhadap Pemegang Saham Pelaku Personil Pengendali Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang oleh Perseroan Terbatas, (Skripsi: Universitas Indonesia, 2011), h. 92-95.

34 Abdurrahman dan Pujiyono, “Politik Hukum Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Pengelolaan Perseroan Terbatas Indonesia”,…, h. 254.

35 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas: Doktrin Peraturan Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009), h. 209.

65

prinsip tersebut yaitu adanya konflik kepentingan (conflict of interest) yaitu Direksi dan Komisaris dalam Tergugat I ialah pemegang saham yang paling dominan dan hanya terdapat nama pemegang saham Tergugat II dan III, sehingga hal tersebut ketika terjadi suatu wanprestasi atas pelaksanaan perjanjian, merupakan bagian dari kebijakan Tergugat II dan III yang merupakan pemegang saham sekaligus Organ Perseroan.

Berdasarkan hal tersebut, oleh karenanya hakim pada pertimbangannya menerapkan PCV dengan menyatakan,

“bahwa atas dasar alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis berpendapat sudah seharusnya Tergugat II dan III bersama-sama dengan Tergugat I bertanggung jawab membayar secara tanggung renteng sisa pinjaman Tergugat I kepada Penggugat sebesar Rp. 1.833.750.650 (satu milyar delapan ratus tiga puluh tiga juta tujuh ratus tiga puluh ribu lima ratus enam puluh rupiah)”.36

Mengacu kepada pertimbangan terakhir tersebut, hakim telah menyatakan adanya penerapan PCV dengan mengharuskan Tergugat II dan III yang merupakan pemegang saham dalam identitas perkara a quo, sekaligus Direksi dan Komisaris secara pribadi untuk melakukan pembayaran secara bersama- sama kepada Penggugat.

36 Lihat Putusan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL, h. 36.

66 BAB V

Dokumen terkait