• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PEMEGANG SAHAM DALAM PRINSIP PIERCING THE CORPORATE VEIL

N/A
N/A
Makroni Kamu

Academic year: 2024

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PEMEGANG SAHAM DALAM PRINSIP PIERCING THE CORPORATE VEIL"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

7 Sulistiowati dan Veri Antoni, “Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing the Corporate Veil pada Perseroan Terbatas Indonesia”, (Peradilan, Jilid 2, Nomor 3, September-Desember 2013), hal. 8 Sulistiowati dan Veri Antoni, “Konsistensi Penerapan Doktrin Piercing the Corporate Veil pada Perseroan Terbatas di Indonesia” ..., hal.

Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

  • Identifikasi Masalah

TANGGUNG JAWAB HUKUM PERSEROAN TERBATAS DALAM PRINSIP PENINDAKAN Cadar PERUSAHAAN (PEMERIKSAAN PUTUSAN PENGADILAN JAKARTA SELATAN NOMOR 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL.).” Terdapat konflik kepentingan dalam pelaksanaan perjanjian antara dua perusahaan saham gabungan yang melibatkan orang yang sama di dua perusahaan berbeda.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Agar permasalahan yang peneliti bahas dan kaji tidak terlalu luas, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi pada pertanggungjawaban hukum badan hukum atas kerugian atau penipuan pada perusahaan publik. Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan masalah, peneliti merumuskan masalah terkait tanggung jawab hukum perseroan terbatas dengan pemegang saham tunggal.

Metode Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggunaan teknik studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data-data yang diperlukan. Teknik pengolahan data dalam penelitian ini adalah: (1) membuat kerangka masalah, (2) memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian.

Rancangan Sistematika Pembahasan

Bab ketiga, bab ini menyajikan informasi terkait dengan putusan pengadilan Jakarta Selatan no. 96/Pdt.G/2017/Pn.Jkt.Sel yang memutuskan adanya Penusukan Kerudung Perusahaan dalam suatu perseroan terbatas. Bab Keempat Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini, yaitu bentuk tanggung jawab badan-badan korporasi apabila terjadi penembusan tabir korporasi.

TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB TERBATAS

Kerangka Teori

3 Siti Hapsah Isfardiyana, “Tanggung Jawab Badan Perseroan Terbatas Dalam Hal Kepailitan” (Arena Hukum, Volume 7, Nomor 2, 2014), hal. 4 Naga Susatyo, “Tanggung Jawab Pejabat dalam Tata Kelola Perusahaan Berdasarkan UU Perseroan Terbatas”, (Jurnal Transformasi Hukum dan Kebijakan, Volume 2, Edisi 2, Desember 2017), hal. 5 Agus Salim Harahap, “Kewajiban Direksi Dalam Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas”, (Lex Jurnalica, Vol. 5, No. 3, Agustus 2008), hal.

6 Ukilah Supriyatin dan Nina Herlina, “Pertanggungjawaban perdata perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum”, (Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Volume 8, Nomor 1, Maret 2020), hal. 14 Siti Hapsah Isfardiyana, “Kewajiban direksi perseroan terbatas dalam pelanggaran fidusia”, (Jurnal Ilmu Hukum Padjadjaran, Volume 2, Nomor 1, 2015), hal. 178. Tanggung jawab terbatas pemegang saham atau pengurus merupakan ciri utama perseroan terbatas yang menjadikannya suatu bentuk badan hukum yang dipilih untuk menjalankan suatu usaha.

20 Tasya Nailul Fikriya, “Kewajiban Direksi Pada Perseroan Terbatas Milik Badan Usaha Milik Negara”, (Lex Renaissance, Volume 5, Nomor 3, Juli 2020), hal.

Kerangka Konseptual

Istilah perseroan terbatas (PT) yang digunakan saat ini dulunya dikenal dengan nama Naamloze Vennotschap, disingkat NV. Perseroan mengacu pada modal perseroan terbatas yang terdiri dari saham atau saham. Oleh karena itu, sebagai suatu badan hukum, suatu perseroan terbatas mempunyai kekayaan tersendiri yang terpisah dari kekayaan pengurusnya.

Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 menentukan dan mengatur sejauh mana kekuasaan dan wewenang seorang direktur. Saham dapat diartikan sebagai tanda penyertaan modal seseorang atau diri sendiri (badan usaha) pada suatu korporasi atau perseroan terbatas. Sejalan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, saham juga merupakan salah satu bentuk tanggung jawab yang ditanggungnya, hanya sebatas pada saham yang dimilikinya, artinya apabila suatu perseroan terbatas mengalami kerugian maka tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas. terhadap saham yang dimilikinya atau dikenal dengan konsep tanggung jawab terbatas (limited policy).

Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menyatakan: “Para pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perjanjian-perjanjian yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan yang melebihinya.

Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Tesis ini membahas tentang tanggung jawab hukum pribadi para pendiri perseroan terbatas atas kesalahan pengurusan yang berujung pada kebangkrutan. Perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan adalah peneliti membahas tentang tanggung jawab pemegang saham pada badan hukum perseroan terbatas perseorangan yang sangat rentan bersinggungan dengan tanggung jawab pribadi dan tanggung jawab perusahaan jika suatu perusahaan mengalami kerugian. terjadi pada pihak ketiga atau jika terjadi transaksi. Perbedaan skripsi ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah peneliti membahas tentang tanggung jawab pemegang saham pada badan hukum Perseroan Terbatas Perorangan yang sangat rentan terpotong dengan asas Piercing the Corporate Veil. jika itu terjadi kerugian perusahaan. kepada pihak ketiga atau jika terjadi transaksi.

61 Yuliana Duti Harahap, Budi Santoso dan Mujino Hafidh Prasetyo, “Pendirian Perseroan Terbatas Perorangan dan Tanggung Jawab Hukum Pemegang Saham Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, (Notaris, Volume 14, Nomor 2, 2021). Artikel majalah ini membahas tentang konsep Perseroan Terbatas pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja 64 Kurniawan, “Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Terbatas Berdasarkan Hukum Positif”, (Mimbar Hukum, Vol. 26, Nomor 1 Februari 2014), hal .

66 Siti Hapsah Isfardiyana, “Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas Dalam Kasus Kepailitan”, (Arena Hukum, jilid 7, nomor 2, Agustus 2014), s.

PENERAPAN PIERCING THE CORPORATE VEIL TERHADAP

“Para pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perjanjian-perjanjian yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya.” Atas dasar itu, kerugian yang dialami PT Bukit Asam Prima dapat menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham. Karunia Pratama Mandiri (selanjutnya disebut terdakwa I), Rudy Santoso alias Siem Liep San (selanjutnya disebut terdakwa II) dan Widodo Agus Hartono (selanjutnya disebut terdakwa III).

Para pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; Dalam konteks seperti itu, perusahaan terbiasa menghindari tanggung jawab pribadi baik bagi badan perusahaan maupun pemegang saham. Namun dalam perkara PT Karunia Pratama Mandiri dalam putusan a quo sebagai tergugat, tanggung jawab terbatas tersebut dikecualikan karena adanya perubahan ego pemegang saham dalam tindakan perseroan dan menimbulkan kerugian pada pihak ketiga yaitu PT Bukit Asam Prima. .

Peneliti berpendapat bahwa alasan hakim dalam Putusan Pengadilan Jakarta Selatan Nomor 96/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL telah sesuai dengan doktrin Piercing the Corporate Veil dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai tanggung jawab pemegang saham dalam Perseroan Terbatas. Perusahaan Pertanggungjawaban di Indonesia.

PENYELESAIAN SENGKETA PIERCING THE CORPORATE

Deskripsi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

PT Bukit Asam Prima dan PT Karunia Pratama Mandiri melakukan kerjasama dalam rangka operasional penambangan batubara di KP KUD Panca Bhakti yang berlokasi di Karang Intan – Martapura – Kalimantan Selatan, sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kontrak Kerjasama Operasional No.01/KSO/PT. BAP -PT.KPM/2008, tanggal 11 Maret 2008 (selanjutnya disebut “Perjanjian KSO”), dimana PT Bukit Asam Prima merupakan pihak pemberi pinjaman dana (kreditur) dan sebagai Pembeli, serta pemasaran produksi batubara yang dihasilkan, sedangkan PT Karunia Pratama Mandiri sebagai pihak peminjam dana dan yang menambang atau memproduksi batubara berkalori 6.000 kkal/Kg dalam kondisi peremukan.2. Sesuai dengan isi perjanjian CSR terkait, dan sesuai dengan permintaan pembayaran dari PT Karunia Pratama Mandiri, pada tanggal 14 Maret 2008, PT Bukit Asam Prima memberikan pinjaman biaya operasional kepada PT Karunia Pratama Mandiri sebesar Rp dua. miliar rupiah diserahkan) .

PT Bukit Asam Prima telah memenuhi pinjaman biaya operasional kepada PT Karunia Pratama Mandiri sebesar Rp dua miliar rupiah), oleh karena itu berdasarkan Pasal 6.1.6 Perjanjian CSR PT Karunia Pratama Mandiri harus disiapkan 10.000 mt (sepuluh) segera untuk tahap awal seribu) dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari kalender, namun ternyata PT Karunia Pratama Mandiri setelah lebih dari 45 hari kalender tidak dapat memenuhi kewajibannya dengan alasan kondisi tersebut batu tidak dapat digali dengan peralatan yang ada. 6. Dalam perjalanannya, PT Karunia Pratama Mandiri mencicil kewajibannya yang beberapa di antaranya dilakukan oleh Rudy Santoso atau Widodo Agus Hartono, namun ternyata hingga gugatan ini diajukan, PT Karunia Pratama Mandiri masih memiliki kewajiban kepada PT Bukit Asam Premi sebesar Rp satu miliar delapan ratus tiga puluh tiga juta tujuh ratus tiga puluh ribu lima ratus enam puluh Rupiah). Oleh karena itu, sangat tepat jika Rudy Santoso dan Widodo Agus Hartono dapat mempertanggungjawabkan harta pribadinya karena menyebabkan PT Karunia Pratama Mandiri tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada PT Bukit Asam Prima.

Dalam pertimbangan hakim dalam memutus perkara wanprestasi Perjanjian Kredit Modal Kerja Kerja Sama Operasional (KSO) antara PT Karunia Pratama Mandiri dengan PT Bukit Asam Prima, hakim mempertimbangkan beberapa hal antara lain yang berkaitan dengan gugatan penggugat, antara lain sebagai sebagai berikut : .. a) Pertimbangan hakim yang pertama adalah apakah pengecualian para tergugat sehubungan dengan tuntutan wanprestasi dapat dilanjutkan dengan menerapkan PCV terhadap suatu tuntutan, majelis mempertimbangkan sebagai berikut.

Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor

Hal ini dibuktikan dengan susunan pengurus dan pemegang saham terdakwa I yaitu modal dasar ditempatkan dan disetor sebesar Rp. Fakta hukum lainnya yang menyebabkan penggugat meminta Majelis Hakim menerapkan PCV adalah sangat dominannya keterlibatan tergugat II dan tergugat III sebagai pemegang saham dan badan perseroan. Akibat rangkap jabatan tersebut dalam perkara badan hukum dan pemegang saham dominan, maka perbuatan hukum tergugat I dalam pelaksanaan kesepakatan utuh mengenai kepentingan tergugat II dan III menimbulkan benturan kepentingan.

Pertimbangan hakim menyebutkan, kriteria penetapan PCV adalah apabila terdapat persilangan antara Organ Perseroan dengan Pemegang Saham yang mempunyai hubungan kekerabatan yang erat satu sama lain. Apabila dalam perkara a quo tidak terdapat bukti nyata adanya intervensi Pemegang Saham terhadap Badan Perseroan, namun Tergugat II dan III merupakan Direktur dan Komisaris serta merupakan satu-satunya pemegang saham Tergugat I, maka hal tersebut dapat diklasifikasi. Pemegang saham yang bertindak sebagai agen harus mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap perusahaan dimana ia bertindak sebagai agen.

Merujuk pada pertimbangan terakhir tersebut, Hakim menyatakan adanya penerapan PCV dengan mewajibkan Tergugat II dan III yang merupakan pemegang saham dalam identitas perkara a quo, serta Direksi dan Komisaris secara pribadi melakukan pembayaran secara bersama-sama kepada Penggugat. .

Kesimpulan

Rekomendasi

Harus ada pemahaman seluruh badan perusahaan mengenai pentingnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik, khususnya dengan beberapa kriteria, yaitu a) itikad baik, b) adanya tujuan yang baik, c) wewenang yang luas dan tanggung jawab yang menyertainya sesuai dengan yang diharapkan. sesuai dengan anggaran dasar dan ketentuan hukum perusahaan, undangan, d) tidak mengandung benturan kepentingan. Perlu adanya pengukuran alter ego para pemegang saham untuk menciptakan kepastian hukum terhadap tindakan perseroan terbatas sebagai badan hukum tersendiri. Tanggung jawab pendiri perseroan terbatas kepada pihak ketiga akibat transaksi untuk kepentingan perseroan sebelum berstatus badan hukum.

Penerapan Doktrin Piercing the Corporate Veil dalam Praktek Perseroan Terbatas pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) (Studi Putusan Perkara No. 1916 K/PDT/1991 dan No. 1311 K/PDT/2012). Penerapan asas kepastian hukum dalam Peraturan Mahkamah Agung no. 1 Tahun 2011 tentang Hak Penilaian Materiil dan dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 06/Pmk/2005 tentang Pedoman Prosedur dalam Pengkajian Peraturan Perundang-undangan.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam ilmu hukum perusahaan istilah teori piercing the corporate veil merupakan suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani

Sehingga pengadilan civil law dapat dianggap sebagai “membuat hukum” dalam arti yang sempit, tidak seperti pada common law dimana putusan hakim dianggap sebagai sumber hukumnya..

putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang pada. halaman 152 sampai dengan halaman 159, ternyata Majelis

Dengan demikian Majelis Hakim Agung berpendapat untuk menguatkan kembali putusan Pengadilan Pajak a quo karena in casu substansi telah dilakukan melalui Uji Bukti oleh para

aquo , maka majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa majelis hakim pengadilan tingkat pertama dalam pertimbangan hukumnya, telah dengan tepat dan

Doktrin “Piercing the Corporate Veil” tidak hanya terbatas tindakan yang ada pada Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 3 ayat (2) semata namun mencakup aspek setiap

menguatkan kembali putusan Pengadilan Pajak a quo karena substansi telah dilakukan uji bukti para pihak dihadapan Majelis Hakim Pajak maka diperoleh bukti bahwa dari Akun Uang

Pengadilan dalam menjatuhakan putusan pemidanaan, jika terhadap terdakwa itu tidak dilakukan penahanan, dapat deperintahkan oleh majelis hakim supaya terdakwa tersebut