• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori

3. Produk Arrum Haji

25 a. Definisi Arrum Haji

Arrum Haji merupakan sebuah produk yang ditawarkan oleh Pegadaian Syariah yang bertujuan untuk membantu nasabah agar bisa mendapatkan porsi haji dengan jaminan emas.

Artinya Produk Arrum Haji adalah suatu produk pembiayaan konsumtif yang ditujukan untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk melunasi biaya setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH)32.

Arrum Haji sendiri bukanlah dana talangan melainkan pembiayaan yang diberikan oleh pegadaian syariah kepada nasabah dengan menggunakan akad gadai, adanya barang jaminan adalah satu hal yang paling mencolok yang menjadikan Arrum Haji berbeda dengan dana talangan haji.

Adapun keunggulan dari produk ini adalah nasabah dapat memperoleh tabungan haji yang langsung dapat digunakan untuk memperoleh nomor porsi haji. nasabah juga tidak perlu khawatir karena emas dan dokumen haji aman tersimpan di pegadaian, dengan biaya pemeliharaan barang jaminan yang terjangkau, dan jaminan emas tersebut juga dapat digunakan untuk pelunasan hutang nasabah di pegadaian. Pembiayaan dana talangan haji adalah produk pembiayaan yang diberikan oleh perbankan dalam rangka membantu menutupi kekurangan dana nasabah untuk memperoleh kursi haji.

Arrum haji cukup dengan marhun (agunan) berupa logam mulia 3.5 gram, sudah bisa mendapatkan pembiayaan Rp. 25 juta dalam bentuk tabungan haji yang langsung dapat digunakan mendaftar dan mendapatkan porsi haji. Dan pembiayaan dapat dilunasi selama jangka waktu 1-5 tahun dengan m

yaitu biaya pemeliharaan barang jaminan.

b. Landasan Syariah Arrum Haji

Sebagaimana produk di lembaga keuangan syariah pada umumnya yang memiliki fatwa DSN-MUI sebagai landasan

32 M. Nahar Nahrawi, Manajemen Pelayanan Haji di Indonesia ( Jakarta : Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009)

26

syariah. Produk Pembiayaan Arrum Haji juga demikian.

Berikut adalah fatwa DSN-MUI yang menjadi landasan syariah produk pembiayaan arrum haji :

1) Fatwa No. 25/ DSN-MUI /III/2002 Tentang Rahn

Berikut adalah keputusan fatwa No.25/DSN-MUI /IV/2002 tentang rahn:

Pertama : Hukum

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan tersebut.

Kedua : Ketentuan Umum

a) Murtahin ( penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun ( barang) sampai semua utang rahin ( yang menyerahkan barang) dilunasi.

b) Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.

Pada prinsipnya , marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin,dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sebagai pengganti biaya pemeliharaan.

c) Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin,namun dapat dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.

d) Beban biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

e) Penjualan marhun

1) Apabila jatuh tempo , murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi uangnya.

2) Apabila rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun dijual paksa melalui lelang sesuai syariah.

3) Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutangnya , biaya pemeliharaan dan

27

penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan

4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangan menjadi kewajiban rahin33

Ketiga : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan jika terdapat kekeliruan dalam fatwa ini dikemudia hari maka akan dirubah semestinya.

2) Fatwa No.26/DSN-MUI /IV/2002 Tentang Rahn Emas.

Pertama :

a) Rahn emas diperbolehkan berdasrkan fatwa tentang rahn.

b) Ongkos dan biaya penyimpana barang ( marhun) ditanggung oleh pegadaian ( rahin).

c) Biaya penyimpanan barang ( marhun) dilakukan berdasrkan akad ijarah

Kedua : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan jika terdapat kekeliruan dalam fatwa ini dikemudian hari maka akan dirubah semestinya.

3) Fatwa No. 92/DSN-MUI /IV/2014 Tentang Pembiayaan yang disertai rahn:

a) Akad rahn adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 25/DSN-MUI /III/2002 Tentang rahn dan fatwa DSN-MUI Nomor 26/DSN-MUI /III/2002 Tentang rahn Emas dan Fatwa Nomor : 68/DSN- MUI/III/2008 Tentang rahn tasjily.

b) Akad jual beli (al-

fatwa DSN-MUI Nomor : 05/DSN-MUI /IV/2000 tentang salam , dan fatwa DSN-MUI /IV/2000 tentang c) Akad qardh adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-

MUI Nomor 19/ DSN-MUI /IV/2001 tentang al- Qardh34.

33 Choirul Fuad Yusuf, Atho Mudzar, Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam Prespektif Hukum dan Perundang-Undangan ,( Jakarta : Badan Litbang dan Diklat kementrian Agama RI, 2012), h.256

34 Ibid.

28

d) Akad ijarah adalah sebagaiamana dalam fatwa DSN- MUI Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah.

e) Akad musyrakah adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 08/DSN-MUI /IV/2000 Tentang pembiayaan musyrakah.

f) Akad mudharabah sebagaiman dalam fatwa DSN-MUI Nomor : 07/DSN-MUI /IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah.

g) -MUI

Nomor: 43/ DSN-MUI /VIII/2004 Tentang ganti rugi . h) Akad amanah adalah akad-akad tidak melahirkan

kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap harta pihak lain ketika harta tersebut rusak,hilang,atau berrkurang ( kualitas dan kuatintasnya).

4) Fatwa No.68/DSN-MUI/IV/2008 tanggal 06 Maret 2008 tentang Rahn Tasjiliy.

Pertama : Ketentuan Umum

mini yaitu jaminan berupa barang dagangan atas utang, dengan perjanjian bahwa yang diserahkkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanyalah bukti kepemilikan yang sah, sedangk barang jaminan benda (marhun) tetap dalam kepemilikan dan penggunaan jaminan.

Kedua : Ketentuan khusus

Rahn Tasjily dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Rahin memberikan bukti kepemilikan atau sertifikat yang sah atas barang yang dijadikan jaminan ( marhun) kepada murtahin.

b) Penyerahan jaminan berupa bukti kepemilikan yang sah atau sertifikat tersebut tidak mengalihkan kepemilikan barang tersebut ke murtahin.

c) Rahin memberikan kuasa kepada murtahin untuk menjual harta yang digadaikan, apabila tidak dapat

29

melunasi utangnya atau melaluin lelang sesuai prinsip syariah.

d) Pemanfataan barang marhun oleh rahin harus dalam batas kewajaran sesuai dengan kesepakatan.

Dokumen terkait