PROSES VISUALISASI WARNA PANGIDER BHUWANA
5.2 Proses Visualisasi Niskalayang Sekala
Gambar 5.48 Karya I Wayan Kaler. Dewata Nawa Sangga. Dipamerkan di Museum Seni Lukis Batuan, 2018. Foto Repro: I Wayan Karja 2019
niskala dibandingkan dengan yang sekala. Sebaliknya dalam seni lukis di Kabupaten Gianyar dominasi nyakalayang niskala sangat dominan. Dalam hal ini mengumpulkan kosa rupa yang maksimal dari berbagai wilayah belahan dunia, tetapi selalu menjadi miliknya, bentuk koperatif, dan kolaborasi dengan unsur kebudayaan lokal. Warna pangider bhuwana menjadi bagian dan perhitungan dalam kreativitas ini. Teknik lelehan dan glazir, misalnya, menjadi sangat populer dalam seni lukis kontemporer di Kabupaten Gianyar.
Sebuah model niskalayang sekala dengan warna pangider bhuwana dilakukan dengan praktik seni menggunakan bentuk simbolis yang realistis. Dalam visualisasi kosmik yang paling dominan adalah menggunakan falsafah dualitas. Di Kabupaten Gianyar, istilah Sang Hyang Widhi Wasa, nama Tuhan yang disebut tertinggi dan tunggal. Namun, penyebutannya dengan banyak nama. Berbagai nama, bentuk, wujud, dan atribut ini merupakan peluang yang sangat baik bagi seniman lukis kontemporer dalam meningkatkan variasi dan keragaman seni lukis. Pelukis menafsirkan dan mengelaborasi bentuk dan warna dalam berbagai bentuk keindahan sebagai ekspresi teoestetis dalam menciptakan karya seni lukis kontemporer.
Walaupun terdapat dalam kitab suci Weda, konsep niskalayang sekala belum populer di kalangan masyarakat di Kabupaten Gianyar. Aspekaspek saguna sebagai bagian dalam penelitian ini sangat penting dalam proses visualisasi karena terkait dengan simbolisasi. Adapun proses visualisasi warna pangider bhuwana di Kabupaten Gianyar dapat dijelaskan sebagai dampak pendidikan seni rupa, aspek kreativitas seniman, aspek falsafah, dan pariwisata. Keterampilan merupakan produk pendidikan seni rupa. Kadangkadang terlalu sulit untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam wadah pendidikan formal dan nonformal, terutama sebelum pendidikan seni formal dimulai. Hal itu terjadi karena kebanyakan di antara mereka melakukan magang di rumah para seniornya. Belajar dari proses cantrik atau magang (apprenticeship) merupakan proses pelajaran seni secara tradisional. Ada keyakinan
merasakan ‘tabu’ untuk menanyakan sesuatu, yaitu aje were, oje wuruh, juga berkembang sebagai bagian dari kepercayaan tidak boleh tahu dalam hal tertentu. Bersadarkan konsep aja were, pengetahuan itu mempunyai tata titi aturan untuk mempelajari. Di samping itu, tidak sembarang orang bisa tahu atau boleh belajar, apalagi“tanpa guru” atau “siwa” tertentu.
Swami Satyananda Saraswati (2012) dalam buku Kundalini Tantra menjelaskan bahwa dalam Hinduisme ada dua tradisi secara umum, yaitu (1) ada penyembahan terhadap simbolsimbol (idols) dan (2) penyembahan Tuhan sebagai tanpa wujud (formless). Dalam perkembangan seni lukis kontemporer para seniman di Kabupaten Gianyar menerima aspekaspek estetisteologis dan unsurunsur kebudayaan lokal untuk menampilkan karyakaryanya. Proses niskalayang sekala seperti ini merupakan kekuatan dalam perkembangan seni lukis kontemporer pada era sekarang ini, termasuk dalam perkembangan seni lukis kontemporer dunia. Sosiokultural lokal sangat dominan dalam praktik visualisasi seni lukis kontemporer di Kabupaten Gianyar. Seni lukis kontemporer merupakan media dan bagian ekspresi yang sangat kecil dari intisari ajaran visualisasi tat twam asi, es tetapi esensinya sangat besar dalam memberikan roh kehidupan berkesenian.
Proses niskalayang sekala mengalir ke dalam karya seni lukis kontemporer yang secara halus berevolusi, terbuka, fleksibel, dan religius filosofis menuju abstraksi.
5.2.1 Proses Visualisasi Abstraksi
Hampir semua seni lukis dalam level tertentu menggunakan abstraksi. Hal ini terjadi entah karena faktor disengaja melakukan transformasi abstraksi atau keterbatasan teknis melukis yang mengakibatkan abstraksi dalam objeknya.
Proses abstraksi secara umum berlangsung dari objektif menjadi subjektif. Walaupun demikian, dalam praktiknya abstraksi dibagi menjadi dua arah utama, yaitu (1) lukis abstrak yang menggunakan banyak ikon dan simbol, baik simbol budaya kolektif maupun simbolsimbol pribadi dan
(2) seni lukis abstrak tanpa simbol, sublimasi, puncak dari simplifikasi dan reduksionis, murni dari unsur seni, seperti garis, warna, dan komposisi. Warna dimaknai sebagai spirit, kekuatan warna itu sendiri tanpa dikaitkaitkan dengan dunia luar, objek tidak memiliki hubungan dengan dunia luar.
Sebuah lukisan abstrak menggunakan elemen, baik simbolik maupun nonsimbolik. Hal itu mencerminkan fakta bahwa seni adalah tentang hidup dan kehidupan; artinya seni itu sendiri harus hidup.
Dalam abstraksi perubahan bentuk dapat dilakukan dengan banyak aspek, seperti distorsi, simplifikasi, fantasi, dan sebagainya yang semua mengacu kepada spirit di balik objeknya. Kepentingan subjektif jauh lebih diutamakan daripada tujuantujuan objektif. Abstraksi merupakan kepentingan dari objektif ke subjektif menjadi salah satu pusat perkembangan seni lukis dari impresionisme sampai kontemporer.
Upaya visualisasi niskalayang sekala dilakukan dengan cara menempatkan spirit dari objek menjadi kasatmata. Kenyataan objektif divisualisasikan ke dalam kenyataan subjektif (abstrak). Tidak seperti gambar (rerajahan) atau lukisan yang diyakini memiliki kekuatan alam atau supranatural disekala
kan, tetapi niskalayang sekala merupakan proses abstraksi.
Baik sekala maupun niskala, konkret atau abstrak, rupam atau nirupam, seni lukis kontemporer di Kabupaten Gianyar adalah untuk simplifikasi seni dan spiritualitas untuk membangkitkan kesadaran kosmologi.
5.2.2 Proses Visualisasi Simplifikasi
Seni adalah meniru alam, ungkapan lama Aristoteles, yaitu “ars iminatur naturam.” Walupun seni lukis kontemporer bersifat sangat subjektif, penggunaaan warna kadangkadang masih terikat dengan warnawarna seperti yang tampak di alam, misalnya daun dilukis hijau, langit, dan laut dilukis biru. Pengamatan terhadap objek lukisan menjadi sangat intensif yang dilakukan dengan maksimal. Dalam olah seni
kontemporer, simplifikasi warna tidak saja melukiskan warna yang kasatmata, tetapi alam itu dirasakan kemudian dilukiskan sifatsifatnya dalam bentuk, warna, dan cahaya (light art).
Proses visualisasi warna pangider bhuwana merupakan upaya membangun keseimbangan yang sangat khusus antara pelukis dan/atau manusia secara umum dan alam di luar dirinya. Sumber penciptaan di alam imajinasi yang tanpa batas merupakan sumber kreasi semesta. Ajaran agama merupakan salah satu penuntun para pelukis agar mampu membayangkan alam kehidupan yang lebih luas dan tanpa limit. Artinya, suatu proses menimba ilmu pengetahuan dan seni yang tiada batas.
Bagi ajaran agama berkarya seni merupakan suatu proses yoga. Yoga berasal dari kata yug yang berarti penyatuan, yoga menyatukan diri dan memahami Hyang Maha kuasa dalam proses estetis yang transenden. Tujuan ini juga disebut rasa atau surasa atau ananda (Agastya, 2003 dalam Triguna, 2003).
Baik yang bersumber dari alam maupun dari simbolisasi ikonikon agama dan budaya, dalam proses visualisasi perubahan bentuk ke arah penyederhanaan cukup dominan.
Penyederhanaan atau simplifikasi merupakan upaya seniman dalam mencari esensi dan intisari ciptaannya. Semakin sederhana bentuknya diyakini memiliki esensi dan intisari yang semakin kuat dan mendalam. Less is more menjadi slogan bagi para seniman yang mengagungkan simplifikasi.
Keyakinan bahwa ruang kosong adalah yang berisi dan abadi. Apabila dikaitkan dengan keyakinan masyarakat di Kabupaten Gianyar muncul istilah Sang Hyang Embang, Tuhan dalam bentuk kosong, tetapi memenuhi seluruh ruang hampa.
Daya kreasi dalam seni lukis kontemporer di Kabupaten Gianyar menunjukkan puncak-puncak simplifikasi yang diawali dengan tandatanda. Visualisasi dan imajinasi simbol
simbol warna/cahaya para dewa tiaptiap arah penjuru mata angin. Dari beragam warna itu tebersit cahaya yang melahirkan bibitbibit keindahan. Estetika juga muncul dari sebagian kelahiran keindahan warnawarna ini. Pangider bhuwana tidak