• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil

Dalam dokumen kedudukan anak hasil zina menurut fatwa mui (Halaman 76-84)

BAB IV PEMBAHASAN

B. Analisis Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-

4. Relevansi Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil

Diharapkan putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat memastikan pemerintah melakukan sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait perkawinan menurut agama dan kepercayaan sehingga tidak terjadi duplikasi pendapat, yang menimbulkan banyak persoalan baru, serta rasa keadilan dalam penegakan hukum dan masyarakat dapat terwujud.

4. Relevansi Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil

66

Pada pertengahan Februari 2012 MK telah mengeluarkan putusan tentang status anak luar kawin, yakni putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait pengujian materil (judicial review) UU Perkawinan tentang materi Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”9

Yang kemudian dari pertimbangan MK bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan lakilaki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.115

Meski demikian, namun para tokoh agama dan akademisi hukum berpandangan lain kaitanya dengan istilah “mempunyai hubungan perdata”

atas putusan MK tersebut. menimbulkan penafsiran yang beragam sehingga banyak menuai kritikan dari para tokoh agama dan sarjana hukum seluruh Indonesia. Secara kontekstual dalam kaitanya mengatur hubungan keperdataan anak luar nikah dalam hal ini tentang kasus yang di alami rumah tangga Machica Mochtar yang notabennya adalah karna perkawinan sirih, akan tetapi kemudian putusan tersebut di anggap memuat makna yang general di karenakan makna dari anak di luar nikah tersebut tidak hanya menyangkut anak dari perkawinan sirih juga anak hasil zina, anak sumbang dan anak luar kawin, sehingga berimplikasi lain terhadap kepastian hukum itu sendiri. Setelah putusan MK menuai banyak perdebatan, MUI mengeluarkan fatwa No 11 Tahun 2012 tentang anak zina. Meskipun konteksnya hanya ditujuan untuk anak zina, namun anak zina dalam perspektif fatwa ini termasuk anak yang dibuahi diluar nikah, baik yang menikah secara sah atau keduanya sama-sama perawan yang dianggap sudah menikah. sebagai berbagai dengan ungkapan

115 M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Prespektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional (Bandung: CV. Mandar Maju. 2014), 68-71.

dalam peraturan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan memperlakukan hukum perdata dan hukum perkawinan sama, yang menyebabkan adanya relevansi antara Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11 Tahun 2012, dengan Putusan No. 46/Puu-Viii/2010. Apalagi ditegaskan oleh realita hukum bahwa wajar saja baik hubungan keperdataan maupun hubungan nasab dianggap setara karena juga terkait dengan akibat hukum yang mengarah pada hak dan kewajiban dalam hubungan, kemudian hubungan nasab yang berpusat pada warisan, perwalian, dan penisbatan nama maka sama dengan hubungan keperdataan karena mengakomodir hak dan kewajiban antar subjek hukum yang dalam konteks penelitian ini adalah orang tua terhadap anak, akan tetapi hak-hak nasab seperti hak saling mewarisi, hak menjadi wali nikah terhadap seorang anak perempuan ketika melangsungkan akad nikah, hak seorang anak untuk menggunakan nama bapaknya sebagai bin di belakang namanya. Hak-hak tersebut tidak dapat diperoleh kecuali dilakukan perkawinan yang sah secara agama, yang menjamin bahwa anak yang dilahirkan memiliki hubungan darah yang murni dengan orang tuanya sebagai asal usul kelahirannya. Begitulah islam mengatur hubungan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak dan dari poin - poin penyampaian tersebut, persoalan-persoalan yang muncul dalam kaitannya dengan hubungan keperdataan dalam pelaksanaan hukum secara nyata sehingga dilakukan kajian yang mendalam karena norma-norma yang saling bertentangan, sehingga ada solusi konkritnya.

Mengenai kesamaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU- VIII/2010 dengan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak di Luar Nikah, penulis menilai keduanya memiliki kesamaan. Keputusan tersebut diambil karena alasan hukum, yaitu dalam hal keduanya berpendapat bahwa anak luar kawin harus dilindungi sebagai bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia. HAM adalah hak dasar yang dimiliki oleh manusia. Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan, hak milik dan hak dasar lainnya yang melekat pada diri manusia yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain. Hak Asasi Manusia pada

68

hakekatnya bukan hanya berasal dari manusia itu sendiri, tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa yang dibawa sejak lahir.116

Fokus pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan ini adalah hak anak, yakni hak anak yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. tentang hak-hak anak terdapat pada Pasal 4 yang berbunyi : “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Menurut pendapat yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, ia menilai anak yang lahir di luar nikah dianggap sebagai anak sah.

Tentu saja, tidak mungkin seorang wanita bisa hamil tanpa bertemunya sel telur dan sperma saat melakukan hubungan seksual atau sebaliknya berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil jika undang-undang menyatakan bahwa anak hasil kehamilan yang timbul dari hubungan seksual di luar nikah hanya mempunyai hubungan dengan perempuan seperti ibunya. Juga tidak benar dan salah hukum membebaskan ayah dari tanggung jawabnya jika terjadi hubungan seksual yang mengakibatkan kehamilan dan kelahiran anak.117

Akibat hukum dari peristiwa lahir yang sah karena kehamilan yang didahului oleh hubungan kelamin antara seorang wanita dan seorang pria adalah hubungan yang sah di mana ada hak-hak istimewa dan komitmen yang saling melengkapi yang subjek hukumnya adalah anak, ibu dan ayah. Laki-laki sebagai ayah tidak hanya berdasarkan pada pernikahan, namun juga dapat didasarkan pada bukti hubungan darah antara anak-anak dan laki-laki sebagai ayah.

Mahkamah Konstitusi menilai Pasal 43 Ayat 1 bertentangan dengan Undang – Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pengadu dalam satu kalimat yang memeriksa ketentuan Pasal 43 (1). “anak yang dilahirkan di luar perkawinan

116 Setneg RI, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

117 Setneg RI, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Putusan ini adalah putusan yang di keluarkan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan agar anak yang di lahirkan mendapat keadilan hukum.118

Senada dengan pertimbangan hukum yang di lakukan oleh MK, MUI dalam fatwanya tersebut, menyebutkan alasan pertimbangan hukumnya di dasarkan pula pada perlindungan terhadap hak asasi anak sebagai manusia.

MUI yang sumber hukumnya berdasarkan atas hukum Islam perlindungan terhadap hak asasi manusia di identikkan kepada Al-maslahah. Dalam hukum Islam Al-maslahah bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat umat manusia secara menyeluruh sesuai dengan tujuan penciptaannya sebagai khalifah yang bertugas untuk melestarikan bumi ini. Mashlahah dilihat dari segi objek dan kekuatannya, terdapat tiga macam mashlahah, yaitu mashlahah dlaruriyah, mashlahah hajjiyah dan mashlahah tahsiniyah.119

Mashlahah dlaruriyah menurut Abu Zahrah disebut juga dengan mashlahah haqiqiyah adalah mashlahah yang keberadaannya berhubungan langsung dengan kebutuhan esensi (pokok/primer) manusia, yaitu yang berhubungan dengan pemeliharaan dan perlindungan agama (hifdhu al-diin), pemeliharaan dan perlindungan jiwa (hifdhu al-nafs), pemeliharaan dan perlindungan akal (hifdhu al-aql), pemeliharaan dan perlindungan keturunan (hifdhu al-nasl) , dan pemeliharaan dan perlindungan harta (hifdhu al-mal).

Pemeliharaan dan perlindungan agama adalah melindungi seseorang untuk beragama sesuai dengan kepercayaannya dengan adanya larangan memfitnah dan melecehkan agama, larangan sesat dari agama yang dianut, larangan menistakan agama, larangan selalu berbuat anarkis dan berbuat

118 M. Halilurrahman dan Abdul Wahid, Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina (Analisis Kompratif) (Cendikia: Jurnal Studi Keislaman), 168.

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI DAN FATWA MUI TENTANG KEDUDUKAN ANAK ZINA (ANALISIS KOMPARATIF) | CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman (staiha.ac.id)

119 Hasbi As-Syiddiqi, Pengantar Hukum Islam (Semarang: Rizki Putra, 1997), 220.

70

kerusakan. Pemeliharaan dan perlindungan terhadap jiwa adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap segala hak hidup yang layak, yang diantaranya pemeliharaan dan perlindungan kebebasan berbuat, kebebasan berfikir, kebebasan berbicara, kebebasan bertempat tinggal dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Pemeliharaan terhadap keturunan adalah pemeliharaan dan perlindungan bagi setiap anak dengan status yang jelas, harus diperlakukan sebagai bagian dari masyarakat yang harus tumbuh dan berkembang di sekitar orang tuannya, baik sisi jasmaninya maupun rohaninya. Untuk menjamin terpeliharanya keturunan ini dalam hukum Islam diharamkan melakukan hubungan suami istri di luar ikatan perkawinan, dan terbentuknya lembaga perkawinan yang disyari’atkan. Dan pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta adalah memeliharaan dan perlindungan harta dari segala bentuk-bentuk zalim, pencurian, penipuan dan penghancuran.120 Menurut penulis bahwa MUI melalui fatwanya tersebut didasarkan atas nilai- nilai hak asasi manusia melalui pemahaman Maslahah.

Adapun perbedaan-perbedaan antara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan menurut penulis adalah sebagai berikut:

Pertama, mengenai dasar-dasar hukum yang dijadikan sumber hukum oleh keduanya dalam memutuskan setiap permasalahan yang di hadapi. Dalam memutuskan persoalan mengenai kedudukan anak di luar perkawinan Mahkamah Konstitusi sumber hukum yang menjadi pertimbangan hukumnya adalah semuanya bersumber pada hukum positif yaitu undang-undang tanpa sedikitpun menyebutkan sumber dari Hukum Islam hal tersebut telah penulis lihat secara keseluruhan dari isi putusan dari MK tersebut. Berbeda halnya dengan MUI dasar hukum yang di jadikan sumbernya yaitu sumber hukum Islam seperti Al-Quran dan Al Hadits dan sebagainya tanpa menyebutkan sumber yang berdasarkan pada hukum positif.

120 Hasbi As-Syiddiqi, Pengantar Hukum Islam, 222.

Kedua, fokus yang menjadi pertimbangan keduanya yaitu Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 sama sekali tidak pernah menyinggung anak lahir tanpa perkawinan atau anak hasil zina. Fokus yang dipertimbangkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah anak luar perkawinan yang berkaitan dengan tidak adanya “pencatatan perkawinan“ dan “sengketa perkawinan”. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum yang ada di dalam putusan MK ini, pada Pertimbangan angka (3.12) berbunyi: “Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;

dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam suratsurat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”.121

Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan;

dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai.

Berbeda halnya dengan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 fokus pertimbangan yang menjadi pembahasan dalam isi fatwa tersebut menyinggung tentang anak di luar perkawinan atau anak hasil zina hal ini dapat di lihat dari dalil yang berasal dari Al-Quran maupun hadis semuanya hanya menyinggung permasalahan anak zina.

121Setneg RI, Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 33.

72

Ketiga, di dalam Pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 angka (3.13) berbunyi:” Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.”122

Tentu saja, menurut MK, tidak mungkin seorang perempuan bisa hamil tanpa bertemunya sel telur dan sperma, baik melalui persetubuhan (senggama) maupun dengan cara lain berdasarkan perkembangan teknologi pembuahan.

Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil undang-undang menyatakan bahwa anak hasil kehamilan akibat hubungan seksual di luar nikah hanya mempunyai satu hubungan dengan perempuan itu sebagai ibunya.

Oleh karena itu, anak yang dilahirkan harus diberikan perlindungan hukum apapun prosedur / administrasi perkawinannya. Jika tidak demikian, anak yang lahir di luar nikah dirugikan meskipun anak tersebut tidak bersalah karena anak tersebut lahir di luar kehendaknya. Anak-anak yang lahir tanpa status yang jelas seringkali diperlakukan tidak adil dan distigmatisasi di masyarakat. Hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status dan hak anak yang akan dilahirkan, sekalipun perkawinan itu masih dipersengketakan.

122Setneg RI, Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, 34.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pertimbangan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012

Fatwa MUI Nomor 11 tahun 2012 tentang status dan perlakuan terhadap anak yang lahir melalui zina. Antara lain, anak yang lahir melalui zina tidak memiliki ikatan nasab, wali nikah, warisan, dan nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Selain itu, anak yang lahir dari zina hanya memiliki ikatan nasab, warisan, dan nafaqah dengan ibu dan keluarga ibunya. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang menyebabkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah

2. Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Menurut Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang berbunyi, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan sebelumnya, "anak di luar nikah"

bukanlah anak perzinahan, melainkan anak hasil perkawinan yang dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang tercantum dalam Pasal 2 (1) UU Perkawinan.

3. Relevansi Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

Pesamaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak di Luar Nikah, penulis menilai keduanya memiliki kesamaan. Keputusan tersebut diambil karena alasan hukum, yaitu dalam

74

hal keduanya berpendapat bahwa anak luar kawin harus dilindungi sebagai bentuk perlindungan Hak Asasi Manusia.

Adapun perbedaan-perbedaan antara Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak di Luar Perkawinan yaitu Mahkamah Konstitusi sumber hukum yang menjadi pertimbangan hukumnya adalah semuanya bersumber pada hukum positif sedangkan MUI dasar hukum yang di jadikan sumbernya yaitu sumber hukum Islam seperti Al-Quran dan Al Hadits sedangkan Putusan MK Nomor 46/PUU- VIII/2010 sama sekali tidak pernah menyinggung anak lahir tanpa perkawinan atau anak hasil zina. Fokus yang dipertimbangkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah anak luar perkawinan, Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 fokus pertimbangan yang menjadi pembahasan dalam isi fatwa tersebut menyinggung tentang anak di luar perkawinan atau anak hasil zina

B. Saran

Penulis telah melakukan beberapa penelitian dan perlu memberikan saran kepada pemerintah dan DPR serta tokoh ulama untuk menambahkan atau membantu masyarakat untuk memberikan edukasi dan masyarakat juga harus mencari edukasi sendiri sehingga ketika mereka menikah mereka harus melapor ke catatan nikah dan mendaftar ke petugas pencatat. di daerahnya masing-masing dan tidak mendiskriminasi anak zina, perlakukan mereka seperti anak lainnya.

Mengingat banyaknya pernikahan sirri dikalangan masyarakat, maka pemerintah harus lebih aktif melakukan penyuluhan tentang nikah sirri dan dampaknya terhadap anak, karena akibat dari perkawinan tersebut sangat merugikan terutama bagi anak yang lahir dari pernikahan sirri. Jadi semoga saja pemerintah bisa mengeluarkan peraturan yang tepat untuk pernikahan sirri ini.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abubakar, Rifa’i. Pengantar Metodologi Penelitan. Yogyakarta: Press UIN Sunan Kalijaga.

Adams, Wahiduddin. Pola Penyerapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Peraturan Perundang-undangan 1975-1997, Jakarta:

Departemen Agama Republik Indonesia, 2004.

Arifin, Firmansyah. Lembaga Negara dan Perselisihan kewenangan antara Lembaga Negara. Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2005.

Arto, Mukti. Pembaruan Hukum Islam melalui Putusan Hakim.Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2015.

As’yari, Abd. Ghofar. Pandangan Islam tentang Zina dan Perkawinan Sesudah Hamil. Jakarta: Andes Utama, 1987.

As-Syiddiqi, Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Rizki Putra, 1997.

Budiarti, Rita Triana. Kontroversi Mahfud MD Jilid 2: Di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Konstitusi Press, 2013.

D.Y.Witanto. Hukum Keluarga; Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK tentang Uji Materiil UU Perkawinan.

Surabaya: PT.Prestasi Pustaka Raya, 2012.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003

Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Hasan, K.N. Sofyan dan Warkum Sumitro. Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional,1994.

Isnaini, Moch. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : PT Refika Aditama, Cet ke 1, 2016.

J, Satrio. Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,1999.

76

Jauhari, Iman. Kapita Selekta Hukum Islam. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2007.

M. Anshary. Kedudukan Anak Dalam Prespektif Hukum Islam Dan Hukum Nasional. Bandung: CV. Mandar Maju, 2014.

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2017.

Mubarok, Jaih. Modernisasi Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung:

Pustaka Bani Quraisy, 2005.

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2004.

Muhaimin. Metode Penelitian Hukum. Mataram: Mataram University, 2020 Muhammad, Abdul kadir. Hukum perdata Indonesia. Bandung: PT.Citra

Aditya Bakti, 2000.

Nurudin, Amir dan Azhari Akmal Taligan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Preneda Media, 2004.

Permata, Annisa Aslami. Pemenuhan Hak Keperdataan Anak Angkat Dalam Pengangkatan Anak Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2016.

Rasyid, Chatib, Status Hukum Anak Lahir di Luar Nikah Berbeda dengan

Anak Hasil Zinah, September 27, 2022.

Santosa, Ade Irfan, 2013. Penerapan Hukum Progresif dalam Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif. Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013.

Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga, cetakan II. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Tamam, Babrut. Pengantar hukum adat. Depok: Pustaka Radja, 2022 Tim Penyusun. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: IAIN Jember

Press, 2020.

Wadong, Maulana Hasan. Avokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:

Grasindo Widya Sarana Indonesia, 2000.

Washil, Nashr farid Muhammad. Qawa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Amzah, 2009.

Wasman dan Wardah Nuroniyah. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia.

Yogyakarta: Teras, 2011.

Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung, 1997.

B. Jurnal

Faqih, Mariyadi, “Nilai-nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat.” Jurnal Konstitusi, No. 3 (Juni 2010) https://www.neliti.com/publications/112526/Nilai-Nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Final Dan Mengikat - Neliti Febriansyah, Eddo. “Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Kedudukan Anak Diluar Nikah Yang Diakui Dalam Pembagian Warisan,” Unnes Law Journal, 2015.

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU–VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DILUAR NIKAH YANG DIAKUI DALAM PEMBAGIAN WARISAN | Unnes Law Journal

M. Halilurrahman dan Abdul Wahid, “Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Zina (Analisis Kompratif),” Cendikia: Jurnal Studi Keislaman. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI DAN FATWA MUI TENTANG KEDUDUKAN ANAK ZINA (ANALISIS KOMPARATIF) | CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman (staiha.ac.id)

C. Tesis

Najma Fairus, “Pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Kota Malang Terhadap Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”. (Tesis UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014)

Lisna Wati, “Analisis Terhadap Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakuan Terhadapnya”, (Tesis IAIN Raden Intan Lampung, 2017).

78

Wilda Srijunida, “Status Anak Luar Kawin menurut Fiqh, Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Mahkamah Konstitusi”. ( Tesis UIN Alauddin Makasar, 2015).

D. Website

“HAK WARIS ANAK ZINA,” SEAN OCHAN. diakses tanggal 16 Juni 2023. Hak Waris Anak Zina | Sean Ochan (wordpress.com)

“Mahfudz MD: Bedakan Hubungan Keperdataan dengan Soal Nasab”, nu online, 7 April 2012, Diakses pada tanggal 16 Juni 2023 https://www.nu.or.id/nasional/mahfudz-md-bedakan-hubungan- keperdataan-dengan-soal-nasab-0nUFD

Syamhudi, Kholid. “STATUS ANAK ZINA”, di akses tanggal 16 Juni 2023. Status Anak Zina | Almanhaj

“Sejarah MUI.” Diakses pada tanggal 16 Juni, 2023, Sejarah MUI – Majelis Ulama Indonesia.

E. Al – Quran

Departemen Agama RI. 2001. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV.

Asy-Syifa.

F. Undang – Undang

Sekertariat Negara Republik Indonesia. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Sekretariat Negara Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PUU-VIII/2010.

Sekertariat Negara Republik Indonesia. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Sekertariat Negara Republik Indonesia. Undang – Undang RI No. 23 tahun 2002.

Sekretariat jenderal Ulama Indonesia. Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012.

Dalam dokumen kedudukan anak hasil zina menurut fatwa mui (Halaman 76-84)